Happy Reading
*****Fandra semakin mengeratkan pelukannya pada Wening. Dia bahkan sampai memutar tubuh si perempuan ke arah berlawanan dan sedikit menjauh dari tempat semula. Wening mulai meronta-ronta minta dilepaskan, sementara suara panggilan namanya dari arah belakang membuat semua karyawan mulai berkerumun."Ayo pergi sekarang sebelum makin banyak teman-teman kerjamu memperhatikan kita," bisik Fandra tanpa mau menghiraukan panggilan seseorang pada Wening."Iya, tapi lepaskan dulu."Fandra mengendurkan pelukan, tetapi tangannya dengan cepat menyeret Wening keluar dari kantor garment tempatnya bekerja. Tanpa menoleh pada siapa pun. Mereka berdua jalan lurus hingga sampai di parkiran.Sementara itu, seseorang yang memanggil Wening tadi begitu marah karena merasa di abaikan."Kenapa kamu terlihat marah begitu, Yang?" tanya perempuan yang selalu menempel pada lelaki itu."Gimana nggak marah. Wening melakukan hal tak senonoh di tempat kerja. Memangnya kantor ini tempat mesum? Seenaknya saja berpelukan di depan semua karyawan." Fahri menunjuk beberapa karyawan yang mulai keluar untuk beristirahat karena sudah memasuki jam makan siang. Beberapa orang lainnya menatap aneh pada lelaki itu."Sudahlah, Yang. Ayo kita keluar makan siang. Malu dilihat karyawan." Tiara menggandeng tangan tunangannya. Sedikit menyeret agar Fahri segera keluar garment.Sementara itu, Wening dan Fandra sudah sampai di kafe seberang jalan garment. Si gadis melepas paksa genggaman tangan lelaki yang baru dikenalnya."Gila, ya, kamu. Berani-beraninya memelukku," bentak Wening. Wajahnya merah, jelas sekali jika dia marah."Aku melakukannya demi kebaikan. Kamu pasti nggak tahu kalau lelaki yang memanggilmu tadi sudah mendelik sejak pintu lift terbuka," jawab Fandra santai, "dia pacarmu, ya, Mbak?""Bukan," jawab Wening dan berlalu meninggalkan Fandra di depan pintu kafe. Mencari tempat duduk ternyaman dan segera memesan minuman."Kalau bukan, kenapa dia terlihat marah sekali ketika aku memelukmu. Apalagi teriakannya saat memanggil." Fandra bahkan sampai memiringkan wajah. Persis anak kecil yang melakukan ciluk ba, demi melihat dan mengetahui kebenaran di mata Wening."Nggak usah sok ikut campur. Aku masih kesal sama kamu." Wening mengerucutkan bibir, kedua tangannya dilipat di depan dada."Oke, aku nggak akan ikut campur, tapi berjanjilah.""Janji apa?" Mata Wening berputar ke kanan dan kiri, sedangkan bibirnya masih mengerucut ke depan."Buka hatimu untukku." Fandra berusaha mencolek dagu si gadis, tetapi Wening bisa menepisnya dengan cepat."Jaga tanganmu. Kita bukan suami istri. Jadi, jaga batasan.""Sebentar lagi, kamu akan menjadi istriku, kan?""Tau, ah. Ngomong sama kamu itu bikin ku darting dan lapar.""Maem, dong, Cantik biar nggak laper."Beberapa detik kemudian, seorang pelayan sudah menyajikan minuman yang dipesan Wening tadi."Kok, cuma minum." Fandra menatap gadis di depannya dengan heran. Lalu, tanpa persetujuan Wening, dia memesan makanan. "Mas, tambahin mie ayam 2 mangkok sama es jeruk dua.""Lho, kok?" tanya Wening."Jangan protes. Aku nggak mau calon istriku ini maag-nya kambuh, terus jadi kurus. Nggak suka, ih, lihat cewek kurus, kurang empuk kalau dipeluk. Kalau dicium pasti berada nyium kayu, kan, tulang semua." Fandra mengedipkan mata."Gila," jawab Wening sambil membuang muka.Si pelayan yang sedang mencatat pesanan, terkikik geli mendengar perkataan Fandra. Tak ingin mengganggu pelanggannya, dia pun segera berlalu meninggalkan mereka.Selesai makan siang, Fandra mengantar Wening ke kantor setelah perdebatan panjang. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan mendekati si gadis. Fandra mengiyakan semua persyaratan yang diajukan.Mengenakan masker dan juga topi, Fandra sampai di lobi garment tempat Wening bekerja. Entah kebetulan yang disengaja atau tidak, keduanya berpapasan kembali dengan pasangan yang semalam baru meresmikan acara pertunangannya."Lain kali kalau mau bermesraan sama pacar jangan di kantor," sindir Fahri ketika Fandra mencium tangan Wening.Si lelaki yang berperan sebagai kekasih sang akuntan diam saja. Sementara Wening menatap tajam pada pasangan itu."Sebaiknya, Pak Fahri berkaca pada diri sendiri. Sudahkah perkataan itu diterapkan pada hubungan kalian berdua." Wening berlalu begitu saja meninggalkan semua orang menuju lif."Permisi," kata Fandra setelah beberapa saat kepergian perempuan berjilbab yang bersamanya tadi.Fahri diam mematung bahkan ketika Tiara mengajaknya untuk segera naik ke ruangan. Lelaki itu tetap diam, seperti sedang memikirkan sesuatu. Sang tunangan terpaksa mencubit pinggangnya."Aduh. Sakit, Yang," ucap sang wakil direktur baru. Fahri mengusap pinggangnya yang terkena cubitan sang tunangan."Rasain. Lagian lagi melamun apa, sih?" Tiara sudah melepas tangannya dari lengan sang tunangan. Dia meninggalkan Fahri dan berjalan ke arah lif.Wening mulai jengah ketika Tiara menahan pintu lif yang akan tertutup. Ketika Fahri memasuki ruangan kotak sempit yang akan membawa mereka ke ruangan, dia memalingkan muka.Beruntung ada dua karyawan lagi yang berada di lif tersebut sehingga Wening tidak terlihat seperti pengganggu di antara kemesraan yang ditampakkan Tiara.Satu menit di dalam lif sungguh menyesakkan hati wanita berjilbab tersebut. Bagaimana tidak sesak jika Tiara menempel erat pada Fahri seperti lintah yang menghisap darah inangnya. Dulu, lelaki itu tidak pernah mau jika Wening berbuat seperti Tiara sekarang.Terkadang, jika Wening dan Fahri bergandengan tangan dan ada karyawan lain yang tak sengaja mereka temui. Fahri dengan kasar menepis tangan perempuan itu bahkan terkadang mendorongnya.Menelan ludah karena kerongkongannya kian tercekat mengingat kisahnya dengan Fahri. Wening mencoba mengalihkan perhatian pada tempat lain.Di saat kedua mata Wening mengembun, Fahri malah menatapnya dan berkata. "Untuk kalian semua yang masih single maupun yang memiliki pasangan. Saya akan membuat peraturan baru. Dilarang menunjukkan kemesraan di depan publik terutama saat jam kerja. Apalagi sampai berpelukan seperti kejadian Bu Wening dan pacarnya. Sungguh tidak etis dilihat karyawan lain.""Baik, Pak," jawab karyawan selain Wening.Gadis berjilbab itu memilih diam bukan berarti dia setuju dengan kata-kata Fahri. Akan tetapi, Wening menghindari perdebatan yang akan memicu emosi dan kemarahannya pada lelaki itu.Pintu lift terbuka dan Wening mendahului dua pasangan yang baru bertunangan itu begitu saja. Tidak ada lagi sopan santun dalam dirinya. Setengah berlari, gadis berkulit kuning langsat itu menuju ruangannya.Membuka pintu dengan kasar dan menutupnya keras hingga menimbulkan bunyi debum. Wening menjatuhkan tubuhnya ke sofa dan kembali terisak."Kejam ... kejam. Mengapa kamu tega memperlakukan aku begini, Mas. Apa hubungan kita selama ini nggak berarti apa pun? Mengapa ... mengapa kamu mengkhianatiku di saat impian kita hampir saja terwujud."Di saat tangis Wening pecah, interkom di mejanya berdering cukup nyaring. Wening segera mengusap air mata dan meraih gagang telepon."Halo, di sini Wening. Ada yang bisa dibantu?""Ke ruangan saya sekarang juga. Ada hal penting yang harus saya putuskan untukmu," kata sang penelepon."Apalagi ini?" kata Wening dalam hati.Happy Reading*****Wening memperbaiki dirinya sebelum keluar ruangan. Sudah dua kali dalam satu hari ini, dia dipanggil sang atasan. Kali ini, entah hal penting apa yang akan disampaikannya. Naik ke lantai berikutnya, gadis itu berdoa dalam hati semoga bukan tentang kejadian di lobi yang membuatnya di panggil oleh sang direktur.Mengetuk pintu ruangan sang direktur sekaligus sang pemilik usaha. Wening membukanya setelah dipersilakan. "Permisi, Pak," ucap Wening. Sedikit membungkuk mendekati meja sang direktur.Lelaki dengan perut buncit itu menggerakkan kepala menatap akuntan yang sudah bekerja lebih lima tahun di hadapannya. Sejak pertama kali melamar pekerjaan di garmen miliknya, Wening sudah menarik simpati sang atasan. Sosoknya sangat berkarakter, jarang sekali melakukan kesalahan pada pekerjaan. Disiplin tinggi serta tanggung jawab dan loyalitasnya pada garmen tidak perlu diragukan lagi. "Duduklah," suruh lelaki bernama Hartawan.Menggeser kursi di hadapan sang direktur, Wenin
Happy Reading*****Dalam perjalanan pulang, perkataan Abraham terus saja berputar di dalam otak Wening. Jika sahabat yang paling dekat dengan mantan kekasihnya saja mengatakan demikian. Lalu, kenapa dia masih begitu percaya pada Fahri saat itu."Jadi, apa arti hadirku dalam hidupmu, Mas?" tanya Wening dalam hati. Memarkirkan mobil milik bapaknya. Wening masuk rumah tanpa ada firasat apa pun. Tidak pernah tahu bahwa seluruh anggota keluarganya kini tengah berkumpul di ruang tamu menunggu kepulangannya."Assalamualaikum," salam Wening ketika memutar kenop pintu ke bawah."Waalaikumussalam," jawab semua orang dari dalam rumah.Kepala Wening menyembul di daun pintu. Dia sengaja mengintip terlebih dahulu, mendengar jawaban serempak yang tak biasanya terdengar ketika pulang kerja. Kedua alis si gadis menyatu. Perlahan, dia melangkahkan kaki masuk dan mulai menyapa seluruh keluarga satu per satu dengan menyalami mereka semua.Ketika akan bergerak menuju kamar, suara bariton Mahmud terdenga
Happy Reading*****"Katanya ingin adik segera menikah, tapi Ibu menetapkan standard yang begitu tinggi saat mencari calon menantu. Gimana, sih," sahut si tengah, "kalau ingin adik menikah tahun ini, ya, biarkan saja sama Fandra. Dia cukup baik dan ramah. Masalah pekerjaan, kita nggak boleh mengadili seperti itu. Suatu saat, seorang office boy juga pasti akan naik jabatan."Si tengah, Akbar menatap Fatimah dengan wajah keberatan atas kalimat yang dikeluarkannya tadi. Baru akan membuka suara lagi, tangan kanan Mahmud terangkat. Kelima jarinya tegak meminta Akbar diam. Ada sesuatu yang harus dia ketahui dan hal itu sangat penting daripada pekerjaan Fandra. Lalu, Mahmud pun menatap putrinya dan berkata, "berapa umur Fandra, Nduk?""Adik nggak tahu, Pak. Mungkin usianya jauh di bawah Wening." Si bungsu menjawab dengan sangat lirih bahkan kepalanya tertunduk begitu dalam. Sepanjang hidup, baru kali ini Wening disidang oleh keluarganya sendiri gara-gara orang lain.Sekali lagi, helaan panj
Happy Reading*****"Mbak," panggil Fandra. Tangannya bergoyang ke kanan kiri, tepat pad wajah Wening. "Mau nggak? Kok, malah bengong. Nggak ada orang lain yang bisa dimintai tolong. Lagian sudah mau magrib, keburu bengkelnya tutup.""Hah?" tanya Wening, seperti orang linglung."Bisa nggak nolongin aku, Mbak?" tanya Fandra memastikan sekali lagi."Hmm. Bisa, tapi aku nggak pernah melakukannya. Tunjukkan caranya, aku akan belajar dengan cepat.""Baiklah. Terima kasih sebelumnya." Fandra bahkan dengan sengaja mengedipkan mata pada si gadis. Wening memalingkan muka.Fandra tertawa cukup keras, tetapi detik selanjutnya, dia mulai menjelaskan pada Wening bagaimana caranya. Menyimak semua instruksi yang dikatakan oleh Fandra, Wening mulai naik pada motor lelaki itu.Perlahan kedua melaju, menuju bengkel yang letaknya cukup jauh dari tempat Fandra menghentikan Wening tadi. Sesampainya di depan bengkel, keduanya berhenti. "Terima kasih, Mbak. Sudah mau membantuku," kata Fandra. Sekali lagi,
Happy Reading*****"Mengapa kalian melihat Bapak dengan tatapan aneh begitu," ucap Mahmud menanggapi keterkejutan semua orang. Seluruh anggota keluarga menggeleng. Jika sang kepala keluarga sudah beritahu, tidak akan bisa anggota yang lain protes untuk menolak. Demikianlah yang terjadi sejak bertahun-tahun lalu di keluarga Wening. Mahmud mengarahkan pandangan pada si bungsu. "Nduk, pinjamkan sarung untuk Nak Fandra," titah sang kepala keluarga tanpa ada yang bisa membantah.Wening berbalik arah dan menuju lemari di pintu masuk musala. Sementara Fandra, dia segera mengambil wudu. Tak ingin membuang waktu sama sekali karena waktu magrib sangat singkat. Walau ada rasa gugup yang menyerang jantungnya saat ini, tetapi Fandra tetap menerima permintaan Mahmud. Entah alasan apa yang dimiliki lelaki paruh baya tersebut.Fandra percaya semua akan terlewati dengan mudah. Niatnya datang ke rumah keluarga Wening baik dan insya Allah akan mendapat keridhaan.Menyerahkan sarung tanpa berkata apa
Happy Reading*****"Nggak perlu berdebat seberapa lama kamu telah mengenal putri Bapak. Semuanya pasti nggak akan ada ujungnya." Mahmud kembali melirik sang istri. Gelagat kekaguman serta cinta yang begitu besar di mata Fandra ketika menatap Wening, tertangkap oleh indera Mahmud. Tidak akan dia biarkan seorang lelaki menatap putri seperti itu. "Nduk, sudah waktunya makan malam. Sebaiknya kalian menyiapkan makan malam. Masalah itu sudah jelas ke mana ujungnya. Bapak harap, Nak Fandra mau menerima dengan lapang. Untuk saat ini, Bapak memang belum bisa menerima lamaranmu."Para wanita beranjak dari duduk dan mulai berjalan ke dapur. Fatimah terdengar mengoceh, seperti memberi nasihat atau sedang marah pada Wening. Fandra masih mengamati perempuan berjilbab yang sudah sangat menarik hatinya itu.Kurang dari lima menit kemudian, kakak ipar kedua Wening yang bernama Reni, kembali ke ruang tamu. "Pak, makanan sudah siap," ucapnya.Menoleh pada menantunya, Mahmud menganggukkan kepala. "Ayo
Happy Reading*****Membuka mata karena mendengar suara orang mengaji dari speaker musala. Wening menegakkan tubuh dan menyandarkan kepala sebelum turun dari ranjang. "Alhamdulillah. Engkau masih memberi hamba kesempatan terbangun pagi ini, Ya Allah." Mengusap kedua tangan pada wajah. Gadis itu tersenyum. Mengambil ponsel karena mendengar dering notifikasi masuk. Wening mendapat sapaan pagi dari Fandra."Pagi cantik. Sudah bangun? Jangan sedih, ya. Aku akan berjuang untuk mendapatkan restu Bapak. Nggak masalah jika Mbak belum mencintaiku. Asal aku masih bisa mengirimkan chat dan melihat Mbak Ning setiap hari walau cuma foto. Jangan sampai telat salat subuh, ya." Di akhir chat yang dikirimkan si lelaki, dia membiarkan emotikon berbentuk hati dengan warna hitam.Antara ingin tersenyum dan mengisi, Wening menatap layar ponselnya. "Kamu begitu manis sekali padahal orang yang bertahun-tahun menjalin hubungan dekat denganku nggak pernah melakukannya. Maafkan aku, Fan. Semoga, kamu segera d
Happy Reading*****"Aku cuma bertanya, tidak bermaksud apa pun," ucap Fahri."Tapi nada bicaramu seperti membela dan tidak terima jika aku berkata sedikit ketus pada Wening. Kamu punya perasaan suka sama dia, ya?" Perkataan Tiara makin ngaco. Fahri bahkan menatap calon kakak iparnya dengan perasaan sungkan. "Ngomong apa kamu, Yang," sahut Fahri.Panggilan yang disematkan lelaki berkulit sawo matang itu membuat jantung Wening makin merasakan nyeri yang cukup hebat. Tak ingin mendengar perdebatan kedua lebih lama lagi, si gadis berjilbab menatap Tiara dan Fahri."Maaf, saya nggak keluyuran atau menggosip di saat jam kerja. Anda bisa mengecek catatan kinerja saya pada HRD. Jika bukan Pak Hartawan yang memanggil, saya juga nggak akan ninggalin ruangan," jawab Wening, "ada masalah apa kalian mencari saya."Walau suara sedikit bergetar dan tercekat sehingga terdengar seperti orang yang akan menangis. Namun, raut wajah sang akuntan tak gentar sama sekali. Dia berusa tegar menghadapi semua