Share

6. Tragedi Di Lobi

Happy Reading

*****

Fandra semakin mengeratkan pelukannya pada Wening. Dia bahkan sampai memutar tubuh si perempuan ke arah berlawanan dan sedikit menjauh dari tempat semula. Wening mulai meronta-ronta minta dilepaskan, sementara suara panggilan namanya dari arah belakang membuat semua karyawan mulai berkerumun.

"Ayo pergi sekarang sebelum makin banyak teman-teman kerjamu memperhatikan kita," bisik Fandra tanpa mau menghiraukan panggilan seseorang pada Wening.

"Iya, tapi lepaskan dulu."

Fandra mengendurkan pelukan, tetapi tangannya dengan cepat menyeret Wening keluar dari kantor garment tempatnya bekerja. Tanpa menoleh pada siapa pun. Mereka berdua jalan lurus hingga sampai di parkiran.

Sementara itu, seseorang yang memanggil Wening tadi begitu marah karena merasa di abaikan.

"Kenapa kamu terlihat marah begitu, Yang?" tanya perempuan yang selalu menempel pada lelaki itu.

"Gimana nggak marah. Wening melakukan hal tak senonoh di tempat kerja. Memangnya kantor ini tempat mesum? Seenaknya saja berpelukan di depan semua karyawan." Fahri menunjuk beberapa karyawan yang mulai keluar untuk beristirahat karena sudah memasuki jam makan siang. Beberapa orang lainnya menatap aneh pada lelaki itu.

"Sudahlah, Yang. Ayo kita keluar makan siang. Malu dilihat karyawan." Tiara menggandeng tangan tunangannya. Sedikit menyeret agar Fahri segera keluar garment.

Sementara itu, Wening dan Fandra sudah sampai di kafe seberang jalan garment. Si gadis melepas paksa genggaman tangan lelaki yang baru dikenalnya.

"Gila, ya, kamu. Berani-beraninya memelukku," bentak Wening. Wajahnya merah, jelas sekali jika dia marah.

"Aku melakukannya demi kebaikan. Kamu pasti nggak tahu kalau lelaki yang memanggilmu tadi sudah mendelik sejak pintu lift terbuka," jawab Fandra santai, "dia pacarmu, ya, Mbak?"

"Bukan," jawab Wening dan berlalu meninggalkan Fandra di depan pintu kafe. Mencari tempat duduk ternyaman dan segera memesan minuman.

"Kalau bukan, kenapa dia terlihat marah sekali ketika aku memelukmu. Apalagi teriakannya saat memanggil." Fandra bahkan sampai memiringkan wajah. Persis anak kecil yang melakukan ciluk ba, demi melihat dan mengetahui kebenaran di mata Wening.

"Nggak usah sok ikut campur. Aku masih kesal sama kamu." Wening mengerucutkan bibir, kedua tangannya dilipat di depan dada.

"Oke, aku nggak akan ikut campur, tapi berjanjilah."

"Janji apa?" Mata Wening berputar ke kanan dan kiri, sedangkan bibirnya masih mengerucut ke depan.

"Buka hatimu untukku." Fandra berusaha mencolek dagu si gadis, tetapi Wening bisa menepisnya dengan cepat.

"Jaga tanganmu. Kita bukan suami istri. Jadi, jaga batasan."

"Sebentar lagi, kamu akan menjadi istriku, kan?"

"Tau, ah. Ngomong sama kamu itu bikin ku darting dan lapar."

"Maem, dong, Cantik biar nggak laper."

Beberapa detik kemudian, seorang pelayan sudah menyajikan minuman  yang dipesan Wening tadi.

"Kok, cuma minum." Fandra menatap gadis di depannya dengan heran. Lalu, tanpa persetujuan Wening, dia memesan makanan. "Mas, tambahin mie ayam 2 mangkok sama es jeruk dua."

"Lho, kok?" tanya Wening.

"Jangan protes. Aku nggak mau calon istriku ini maag-nya kambuh, terus jadi kurus. Nggak suka, ih, lihat cewek  kurus, kurang empuk kalau dipeluk. Kalau dicium pasti berada nyium kayu, kan, tulang semua." Fandra mengedipkan mata.

"Gila," jawab Wening sambil membuang muka.

Si pelayan yang sedang mencatat pesanan, terkikik geli mendengar perkataan Fandra. Tak ingin mengganggu pelanggannya, dia pun segera berlalu meninggalkan mereka.

Selesai makan siang, Fandra mengantar Wening ke kantor setelah perdebatan panjang. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan mendekati si gadis. Fandra mengiyakan semua persyaratan yang diajukan.

Mengenakan masker dan juga topi, Fandra sampai di lobi garment tempat Wening bekerja. Entah kebetulan yang disengaja atau tidak, keduanya berpapasan kembali dengan pasangan yang semalam baru meresmikan acara pertunangannya.

"Lain kali kalau mau bermesraan sama pacar jangan di kantor," sindir Fahri ketika Fandra mencium tangan Wening.

Si lelaki yang berperan sebagai kekasih sang akuntan diam saja. Sementara Wening menatap tajam pada pasangan itu.

"Sebaiknya, Pak Fahri berkaca pada diri sendiri. Sudahkah perkataan itu diterapkan pada hubungan kalian berdua." Wening berlalu begitu saja meninggalkan semua orang menuju lif.

"Permisi," kata Fandra setelah beberapa saat kepergian perempuan berjilbab yang bersamanya tadi.

Fahri diam mematung bahkan ketika Tiara mengajaknya untuk segera naik ke ruangan. Lelaki itu tetap diam, seperti sedang memikirkan sesuatu. Sang tunangan terpaksa mencubit pinggangnya.

"Aduh. Sakit, Yang," ucap sang wakil direktur baru. Fahri mengusap pinggangnya yang terkena cubitan sang tunangan.

"Rasain. Lagian lagi melamun apa, sih?" Tiara sudah melepas tangannya dari lengan sang tunangan. Dia meninggalkan Fahri dan berjalan ke arah lif.

Wening mulai jengah ketika Tiara menahan pintu lif yang akan tertutup.  Ketika Fahri memasuki ruangan kotak sempit yang akan membawa mereka ke ruangan, dia memalingkan muka.

Beruntung ada dua karyawan lagi yang berada di lif tersebut sehingga Wening tidak terlihat seperti pengganggu di antara kemesraan yang ditampakkan Tiara.

Satu menit di dalam lif sungguh menyesakkan hati wanita berjilbab tersebut. Bagaimana tidak sesak jika Tiara menempel erat pada Fahri seperti lintah yang menghisap darah inangnya. Dulu, lelaki itu tidak pernah mau jika Wening berbuat seperti Tiara sekarang.

Terkadang, jika Wening dan Fahri bergandengan tangan dan ada karyawan lain yang tak sengaja mereka temui. Fahri dengan kasar menepis tangan perempuan itu bahkan terkadang mendorongnya.

Menelan ludah karena kerongkongannya kian tercekat mengingat kisahnya dengan Fahri. Wening mencoba mengalihkan perhatian pada tempat lain.

Di saat kedua mata Wening mengembun, Fahri malah menatapnya dan berkata. "Untuk kalian semua yang masih single maupun yang memiliki pasangan. Saya akan membuat peraturan baru. Dilarang menunjukkan kemesraan di depan publik terutama saat jam kerja.  Apalagi sampai berpelukan seperti kejadian Bu Wening dan pacarnya. Sungguh tidak etis dilihat karyawan lain."

"Baik, Pak," jawab karyawan selain Wening.

Gadis berjilbab itu memilih diam bukan berarti dia setuju dengan kata-kata Fahri. Akan tetapi, Wening menghindari perdebatan yang akan memicu emosi dan kemarahannya pada lelaki itu.

Pintu lift terbuka dan Wening mendahului dua pasangan yang baru bertunangan itu begitu saja. Tidak ada lagi sopan santun dalam dirinya. Setengah berlari, gadis berkulit kuning langsat itu menuju ruangannya.

Membuka pintu dengan kasar dan menutupnya keras hingga menimbulkan bunyi debum. Wening menjatuhkan tubuhnya ke sofa dan kembali terisak.

"Kejam ... kejam. Mengapa kamu tega memperlakukan aku begini, Mas. Apa hubungan kita selama ini nggak berarti apa pun? Mengapa ... mengapa kamu mengkhianatiku di saat impian kita hampir saja terwujud."

Di saat tangis Wening pecah, interkom di mejanya berdering cukup nyaring. Wening segera mengusap air mata dan meraih gagang telepon.

"Halo, di sini Wening. Ada yang bisa dibantu?"

"Ke ruangan saya sekarang juga. Ada hal penting yang harus saya putuskan untukmu," kata sang penelepon.

"Apalagi ini?" kata Wening dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status