แชร์

Tergoda Teman Papa
Tergoda Teman Papa
ผู้แต่ง: ORI GAMII

Pertemuan

ผู้เขียน: ORI GAMII
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-11-19 20:47:24

Bugh!

Suara benturan punggung dengan tembok terdengar nyaring. Bricia meringis kecil, rasa nyeri langsung menjalar di punggungnya.

Belum sempat ia bereaksi, kedua tangan Leo sudah lebih dulu menangkup kedua dadanya. Lelaki itu meremasnya tanpa perasaan lalu mulai mendekatkan bibirnya di sepanjang leher Bricia.

Kening Bricia berkerut. Ia sungguh mulai lelah dengan kejadian yang terus berulang seperti ini. Tak ada lagi kelembutan dan rasa memuja di saat ia dan Leo bercumbu. Leo terus berbuat sesuka hatinya memperlakukan tubuhnya.

“Sakit, Leo,” keluhnya lirih. Ia mulai jengah dengan semua ini.

Leo menghentikan gerakannya. Rahangnya mengeras, rahang itu seperti menahan amarah yang hampir meledak.

“Cukup diam dan nikmati aja,” suaranya berat seperti sebuah perintah. Kemudian, ia kembali mengecup rahang kiri Bricia. Tangannya juga semakin intens meremas dada sekal milik sang kekasih.

Bricia menggeleng, ia menarik wajahnya menjauh. Jelas ia menolak dengan apa yang dilakukan kekasihnya. Ini bukan hanya tentang kepuasan Leo, tapi harusnya ini juga menjadi kenikmatannya. Tapi justru ia semakin merasa hanya dieksploitasi tanpa perasaan.

Kesal, Leo menurunkan kedua tangannya dari dada Bricia. Tatapannya berubah tajam, kilat marah melintas di matanya.

“Kamu tahu, aku paling nggak suka kalau kesenanganku diganggu!” bentaknya.

Bricia menatapnya dengan napas tak beraturan. “Tapi kamu udah keterlaluan, Le. Kamu bahkan nggak mikirin aku menikmati apa nggak!”

“Sial!” Leo berbalik kasar, kakinya menendang udara di depannya. Napasnya terdengar berat dan rahangnya menegang. Ia frustrasi, bukan hanya karena penolakan, tapi juga karena Bricia membuatnya kehilangan kendali. Hasratnya sudah terasa di ujung kepalanya, tapi justru Bricia terlihat menolaknya.

Sementara di belakangnya, Bricia hanya berdiri diam. Tubuhnya masih gemetar, tapi matanya menatap punggung Leo dengan rasa yang bercampur antara takut, marah, juga kecewa. Dan semua rasa itu perlahan meluruhkan perasaan yang selama ini ia banggakan.

“Aku pulang!”

Tanpa menunggu reaksi Leo, Bricia membuka pintu apartemen dan melangkah keluar. Tak ada lagi alasan untuk bertahan, semua ini hanya buang waktu.

“Bricia! Kembali!” teriak Leo dari dalam. Suaranya menggema, tapi Bricia tak menoleh. Kali ini, langkahnya tak lagi ragu untuk pergi.

Wanita itu berjalan mantap melewati lorong, begitu tiba di depan lift bukannya memencet tombol lift dan masuk, ia justru menyandarkan dahinya di dinding yang dingin di depannya. Lalu kilatan samar kebersamaan mereka selama satu tahun terakhir terbayang di kepalanya.

Dulu, ia dan Leo saling mencintai dan memuja. Mereka saling menyentuh dengan penuh perasaan. Bahkan peluh yang bercucuran selalu ditutup dengan erangan kepuasan keduanya. Namun, setelah beberapa bulan terlewati semuanya berubah. Leo selalu bermain kasar, bahkan pernah melakukan penyatuan mereka dengan mencekik leher Bricia.

“Hah! Ini gila,” lirihnya. “Aku nggak mungkin terus bertahan di sini. Tapi masalahnya... aku cinta sama dia.”

Bodoh. Memang itu kenyataannya. Bricia mulai lelah, tapi ia juga tak kunjung beranjak pergi.

Akhirnya, dengan sisa tenaga yang ia punya tangannya memencet tombol lift. Saat pintu itu terbuka, kakinya melangkah pelan membawa gundah yang mengekang hatinya.

***

Setelah perjalanan panjang dari apartemen Leo, mobil Bricia memasuki halaman rumahnya. Dahinya berkerut dalam mendapati sebuah mobil asing terparkir di depan garasi. Namun, apa peduli Bricia, karena sudah dipastikan itu milik teman Papanya.

Begitu kakinya melangkah ke ruang tamu, telinga Bricia langsung disambut suara tawa yang bergema. Dari arah sofa, Papanya duduk santai bersama Louisa, kekasihnya, dan seorang pria dewasa di seberang meja. Wajah pria itu asing, sepertinya baru kali ini Bricia melihatnya.

“Sudah pulang kamu, Bri? Sini... Papa kenalin sama teman Papa. Ah, lebih tepatnya adik tingkat Papa,” panggil Eric sambil tersenyum lebar.

Bricia mendekat perlahan, matanya langsung meneliti sosok pria matang di depannya.

“Kenalkan, ini Andrew Darwis. Teman lama Papa.”

Pria yang disebut masih tampak gagah. Kemeja berwarna navy yang melekat ditubuhnya bahkan semakin menambah aura mahal dan seksi. Ia berdiri, lalu mengulurkan tangannya pada Bricia. “Andrew,” ucapnya mantap. Tatapannya tajam, seolah menembus balik manik mata Bricia.

“Bricia Averina Prayudha,” balas Bricia tak kalah tenang. Manik keduanya bertemu saling menatap tajam, tegas, seolah tak ada yang mau mengalah.

Andrew tersenyum tipis. “Nama yang cantik, seperti pemiliknya.”

Eric terkekeh kecil melihat tatapan keduanya yang bertaut terlalu lama. “Alihkan pandanganmu, Andrew,” godanya. “Putriku tidak gampang dibuat terpesona sama orang baru.”

Andrew hanya tersenyum samar, tapi matanya masih belum lepas dari wajah Bricia. “Justru itu yang menarik,” katanya pelan, nadanya dalam, seolah sengaja dibiarkan menggantung.

Bricia mengangkat alis, sudut bibirnya terangkat sedikit. Ada sesuatu dalam cara pria itu berbicara. Terlalu tenang tapi juga terlalu percaya diri.

“Bri ke kamar dulu, Pa,” kata Bricia cepat, ia mencoba mengalihkan suasana.

“Baiklah,” jawab Eric santai.

Saat Bricia berbalik, ia masih bisa merasakan tatapan Andrew di punggungnya. Tatapan yang entah kenapa membuat bulu kuduknya meremang. Antara tidak nyaman dan anehnya, sulit dijelaskan.

***

Keesokan harinya, seperti biasa, Bricia datang ke kampus untuk mengurus administrasi kelulusannya sebelum wisuda.

Menjelang siang, semua sudah rampung. Ia melangkah menuju area parkir sambil mengecek pesan di ponselnya. Tapi tinggal beberapa langkah dari mobilnya, seseorang tiba-tiba menarik lengannya dengan keras.

“Leo?” Bricia terperanjat, tubuhnya terhuyung ke belakang.

Tanpa sempat berkata apa-apa, Leo menariknya menuju mobilnya yang terparkir di tepi jalan. “Masuk,” ucapnya dingin.

“Lepas, Le! Aku nggak mau!” seru Bricia sambil berusaha melepaskan diri. Tapi genggaman tangan Leo terlalu kuat, membuatnya tak berkutik hingga akhirnya terduduk di kursi penumpang dengan wajah masam.

“Ngapain sih narik-narik kayak gini?” suara Bricia tajam, ia menahan kesal dan malu karena beberapa mahasiswa mulai memperhatikan.

Leo tidak menjawab. Ia hanya menatap Bricia tajam, lalu menyalakan mesin mobil dan melajukan kendaraannya pergi dari kampus.

Beberapa menit kemudian, mobil itu memasuki area basement apartemen Leo. Bricia menghela napas berat. Begitu mobil berhenti, ia langsung menarik handle pintu. Tapi terkunci.

“Buka! Aku mau pulang!” katanya keras.

Leo menoleh cepat. “Kita belum selesai.”

“Apa lagi? Aku udah capek, Le.”

“Kamu pikir aku nggak?” balasnya cepat.

Bricia menatapnya tajam. “Kalau sama-sama capek, ya udah. Sudahi aja semuanya.”

Leo mendekat cepat, jaraknya tak bersisa. Tangannya lalu terangkat, mencengkeram leher Bricia membuat wanita itu terkunci di tempatnya.

“Kamu selalu membuatku kehilangan akal, Bri,” desis Leo pelan tapi tajam.

Bricia memejamkan matanya, lalu dengan sisa tenaganya ia mendorong dada Leo dengan keras. “Jangan dekat-dekat aku!” serunya.

Leo terhuyung sedikit, tak menyangka dorongan Bricia sekuat itu. Saat ia hendak menahan, Bricia lebih cepat bergerak. Tangannya menekan tombol kunci, dan pintu sampingnya langsung terbuka.

Tanpa pikir panjang, Bricia keluar dari mobil dan berlari ke arah pintu keluar basement. Napasnya terengah, tapi langkahnya tak berhenti.

Hingga ia melihat sebuah mobil melintas tak jauh di depan dan tanpa ragu, Bricia menghadangnya. Sang pengemudi sontak menginjak rem, suara decit ban pun terdengar keras.

Begitu mobil berhenti, Bricia langsung membuka pintu penumpang. “Tolong, saya ikut, dan cepat pergi dari sini,” katanya panik.

“Bricia?”

Bricia langsung membeku, ia tatap lelaki yang kini juga menatapnya dengan heran. “Om Andrew?”

“Kamu kenapa?”

“Plis jangan tanya apa-apa dulu, Om. Yang penting kita keluar dari sini,” pintanya cepat.

Dan kali ini Andrew menurut, ia memilih melajukan mobilnya. Namun, belum sempat ia menarik gas mobilnya, mata Andrew menangkap sesuatu di leher Bricia. Luka yang masih basah dan memerah.

Refleks, tangannya terangkat hendak menyentuhnya.

“Ini… kenapa, Bri?”

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Tergoda Teman Papa    Perasaan Louisa

    Mobil hitam milik Eric memasuki halaman rumah. Senja hampir menelan langit, dan seperti biasa, ia pulang dengan tubuh lelah dan kepala penuh pikiran akan pekerjaan. Begitu mesin dimatikan, ia menghembuskan napas berat lalu keluar dari mobil. Tangan Eric langsung terarah pada dasi yang sejak pagi terasa mencekik. Ia longgarkan dengan gerakan cepat, seolah ingin segera bebas dari hari yang panjang. Saat ia menginjak anak tangga pertama di teras, pintu utama sudah terbuka. Louisa muncul dengan senyum tipis yang selalu tersemat manis di bibirnya. Ia mengulurkan tangan mengambil tas kerja Eric, lalu melepaskan jas dari pundak pria itu. Semua dilakukan dengan gerakan yang begitu halus dan tenang, seperti rutinitas yang sudah dihafal selama bertahun-tahun. “Mau minum teh dulu atau langsung mandi?” tanyanya lembut. “Mandi," Jawaban Eric pendek, tanpa menatap ke arah Louisa. Louisa hanya mengangguk. Ia mengikuti langkah Eric menuju kamar, langkah yang penuh dengan keheningan. Set

  • Tergoda Teman Papa    Janji kosong

    Bricia mematut dirinya di depan cermin. Ini sudah baju ketiga yang ia coba, tapi tetap saja, rasanya ada yang kurang. Padahal ia hanya mau bertemu Andrew untuk mengambil gelang. Hanya itu. Tapi tingkahnya sekarang mirip ABG yang justru hendak bertemu dengan gebetan. “Begini… norak nggak, ya?” gumamnya. Ia memiringkan tubuh, melihat pantulan dirinya dari samping. Floral dress dengan aksen bunga pink itu memang membuatnya terlihat lebih manis, lebih lembut dan hal itu justru membuatnya makin bingung. “Kenapa aku harus mikirin Om Andrew suka atau nggak…” ia merapikan rambutnya, “…kan cuma ambil gelang, selesai, dan pulang. Pakai baju apa aja juga kayaknya nggak ngaruh!" Namun kalimat itu tidak membuatnya berhenti memperhatikan detail kecil di gaunnya. Pinggang yang kurang pas, atau apakah warna pink ini terlalu mencolok untuk siang hari. Dan tanpa ia sadari, senyum kecil muncul di ujung bibirnya. “…tapi kalau Om Andrew lihat aku kelihatan cantik, ya nggak apa-apa juga sih,"

  • Tergoda Teman Papa    Janji Temu

    Di sela rasa haru itu, suara pintu utama tiba-tiba terbuka. Disusul suara seorang wanita yang langsung mengomel tanpa jeda. Annette hanya berdecak, bahkan tak menoleh atau berusaha mencari tahu. “Itu pasti dia,” gumamnya. Dan benar saja, seorang wanita berambut sebahu muncul sambil menenteng tas jinjing, wajah kesal dan nada suaranya tinggi. “Mom sudah bilang berkali-kali, Leo! Kamu itu sudah dewasa. Sudah waktunya mikirin pekerjaan. Daddy bahkan sudah siapin posisi buat kamu, tapi kamu malah tetap mikirin main-main!” Andrew mengangkat kedua alis, menatap Annette seperti bertanya siapa yang datang dengan suara berisik begitu. “Selena,” jelas Annette sambil memutar bola matanya. “Sepupumu.” Selena akhirnya tiba di halaman belakang dan baru sadar ada Andrew di situ. Ia langsung berhenti mengomel, matanya membesar, dan senyum lebarnya terbit begitu saja. “Oh. Kamu pulang rupanya,” ujarnya, nada marahnya hilang total berganti antusias. Andrew tersenyum tipis. “Halo, Sel. Iya, suda

  • Tergoda Teman Papa    Masa Lalu Andrew

    Di bawah lampu merah, Andrew menatap gelang kecil di tangannya dengan raut geli. Ia menemukannya di bawah kursi penumpang—entah terjatuh saat pertama kali ia menolong Bricia atau baru saja ketika mengantarnya pulang. Ia tidak peduli. Yang ia tahu, ini seperti isyarat kecil yang memaksa mereka bertemu lagi. “Menarik sekali kamu, Bri,” gumamnya pelan. Lampu berubah hijau. Andrew kembali menggenggam setir, memasukkan gelang itu ke saku kemejanya, dan menarik gas mobil. Ia melaju menuju rumah yang memang sejak awal ingin ia kunjungi. Rumah tempat seseorang menunggunya. Hampir lima belas menit setelahnya, mobil Andrew masuk ke dalam pagar tinggi yang baru saja terbuka. Begitu mobil terparkir, ia langsung turun dan menuju pintu utama. Tanpa mengetuk, ia membuka pintu dan masuk. Dari arah taman belakang, ia melihat seorang wanita paruh baya sedang duduk santai sambil menyeruput teh. "Hallo, Mom," sapa Andrew sambil mencondongkan badan dan mencium kepala wanita itu. Wanita itu

  • Tergoda Teman Papa    Bertemu lagi?

    Tak ingin berlama-lama di rumah Andrew, Bricia memutuskan pulang. Awalnya ia berniat memesan taksi, tapi Andrew langsung menolak. “Aku antar,” katanya tanpa memberi ruang untuk berdebat. Akhirnya, Andrew benar-benar mengantar Bricia sampai depan gerbang rumahnya. “Thanks, Om. Lain kali aku traktir kopi,” ujar Bricia sebelum turun. Nada suaranya dibuat santai, meski hatinya masih terasa kacau. Entah kacau karena lukanya, atau justru tatapan Andrew yang selalu menguncinya. Andrew menyandarkan tangan di kemudi. “Boleh. Aku tunggu.” Tak lama setelah itu, mobil Andrew melesat pergi, meninggalkan Bricia berdiri sendiri di depan gerbang. Tak ada pembicaraan lanjutan tentang luka di lehernya. Andrew tidak memaksa. Dan Bricia memilih membiarkannya begitu. Biarlah luka itu jadi rahasianya sendiri, untuk sekarang. Begitu melangkah masuk ke pintu utama, aroma masakan langsung menerobos hidungnya. Ia menghela napas panjang. Tentu saja ia tahu siapa yang berkutat di dapur di jam-jam seperti

  • Tergoda Teman Papa    Luka

    “Ini… kenapa, Bri?” Bricia langsung menahan tangan Andrew dan menariknya menjauh. Tanpa menoleh, ia buru-buru merapikan rambutnya untuk menutupi leher. “Om, sebaiknya kita jalan dulu.” Nada tak sukanya terdengar jelas. “Ah… ya. Aku akan mengantarmu pulang ke rumah." "Jangan! Ke mana pun, asal jangan ke rumah. Aku nggak mau Louisa lihat keadaanku seperti ini."Andrew mengembuskan napas berat. "Baiklah, ke rumahku saja." Mobil akhirnya melaju meninggalkan area basement. Bricia memejamkan mata, kepalanya bersandar pada kursi. Ia menghela napas berkali-kali, berusaha menetralkan degup jantungnya yang kacau. Tak ada percakapan menyusul. Hening mendominasi. Andrew hanya fokus pada jalan, sesekali melirik cepat ke arah Bricia. Ia tahu Bricia sedang tidak baik-baik saja, maka tanpa banyak bertanya, ia memutuskan untuk membawanya pulang ke rumahnya. Begitu tiba di depan gerbang rumahnya, Andrew mengambil remot di dashboard dan menekannya. Gerbang perlahan terbuka, mobil melaju masuk, l

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status