Share

Tergusur Dari Rumah Mertua
Tergusur Dari Rumah Mertua
Author: Sugianti Bisri

Kejutan dari Suami

Sejak membaca SMS  Mas Fahmi  di HP ibu mertuanya, hati Tiara langsung berbunga-bunga. Dia mendapat kabar yang sangat mebahagiakan hatinya. Hari ini  suaminya akan pulang, dia memberi kabar  kalau sedang dala perjalanan menuju Jakarta.

Tiara langsung mempersiapkan penampilannya. Mendadani  dirinya sebaik mungkin untuk menyenangkan suami. Luar dalam dia rapikan dan dibuat wangi  agar memesona.

Dia  juga anak-anaknya. Maklum, waktu ini yang sudah ditunggunya. Yang selalu dia panjatkan dalam setiap doanya karena sudah empat tahun lamanya Mas Fahmi tidak pulang. Tepatnya ketika dia diangkat menjadi PNS dan ditugaskan ke pulau terluar dan terpencil.

Sore itu, Tiara mengenakan mini dres berwarna putih tulang dengan barisan kancing dengan warna senada di bagian depannya. Baju terbaik yang dimilikinya ini adalah baju pemberian Mas Fahmi saat lamaran,  tujuh tahun yang lalu.

“Tia, anak-anak sudah makan dan mereka lagi  mandi,” Bu Nur datang ke kamarnya, mengagetkan Tiara yang tengah merapikan rambutnya di depan meja rias.

“Iya, Ma. Sudah aku siapkan. Sebentar, aku akan memakaikan baju mereka,”

“Udah, biar mama aja. Kau siap-siap saja!” sela wanita itu. Dia cukup paham bagaimana suasana hati menantunya ini  yang ingin menyambut sang suami dengan tampilan yang maksimal.

Usai berkata seperti itu, Bu Nur melihat tumpukan pakaian di atas tempat tidur dan mengambilnya. Sebelum meninggalkan kamar, di melihat menantunya itu lagi.

“Mas Fahmi sudah sampai mana?” tanya Tiara tidak sabar.

“Belum ada kabar lagi. SMS yang terakhir itu aja,” sahut Bu Nur, dia mengulang apa yang dikatakan oleh anak tunggalnya itu kalau saat ini sudah ada di terminal Terminal Kali Deres dan sedang menuju ke rumah.

“Harusnya sudah sampai ya, Ma?”

“Iya, sih,” wanita yang berumur sekitar enam puluh tahun itu menjawab dengan senyum yang penuh arti. Dia tahu bagaimana perasaan Tiara saat ini. Sejak mendapat SMS dan dia langsung memberitahu mantunya, Tiara sangat ceria sekali.

Bu Nur mendengar Tiara bersenandung sambil membereskan kamar tidur dan merapikan diri. Apalagi ketika Bu Nur bilang kalau dia saja yang menyiapkan makanan dan mengurus anak-anak, Tiara tampak surprice sekali.

Tiara memang menantu di keluarga ini, istri Fahmi, anak satu-satunya di keluarga ini. Tapi, sebagai mertua, Bu Nur tidak pernah membedakan antara anak kandung dan anak menantu. Baginya, antara Fahmi dan Tiara, sama-sama anaknya.

Dia merasa beruntung karena  Tiara yang notabene adalah anak dari teman kerjanya itu, anak-satu-satunya juga mau menerima pinangan Fahmi yang saat itu masih bekerja sebagai guru honor.

Tiara tidak minta mahar yang mahal, dia juga tidak keberatan ketika Fahmi hanya bisa memberinya satu suku Mas 24 karat sebagai ikatan.

Padahal, sebagai anak tunggal dari keluarga yang cukup mampu, Tiara hidup dalam limpahan kasih sayang.

Tapi karena cintanya pada suami, setelah menikah dia rela ikut mertua dan dia juga tidak pernah protes ketika Famhi hanya bisa memberinya uang  seratus ribu saja perbulan.

“Kita tinggal gratis di rumah Mama. Uang ini cukup kok untuk makan kita bertiga,” katanya kala itu yang membuat Bu Nur berkaca-kaca mendengar kedewasaan menantunya itu.

Seiring berjalannya waktu, sampai dia hamil dan lahirlah Fattan, Fadlan, dia bisa mengatur pendapatan suami yang hanya membawa pulang uang dua ratus ribu saja perbulan.

“Mama kenapa?” tanya Tiara bingung karena mertuanya itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

Bu Nur tergagap. Dia tersenyum setelah sadar dari lamunan dan buru-buru menjawab.

“Kamu cantik sekali, Nak!”

“Terima kasih, Ma!” Tiara hanya bisa menimpali pujian itu sambil tersenyum.

Tak lama, Bu Nur keluar. Tiara kembali menatap dirinya di depan kaca. Dia mengamati penampilannya dari ujung kepala hingga ke kaki.

 Memang tidak banyak berubah antara Tiara yang dinikahi Fahmi tujuh tahun lalu dengan Tiara yang saat ini. Meskipun tinggal bersama mertua, hidup dengan penghasilan suami yang sangat minim namun dia sangat pandai bersyukur. Termasuk ketika selama di perantauan, Mas Fahmi tidak memberi kabar dan juga tidak memberinya uang, dia masih berpikir positif.

Suaminya tinggal jauh dari keramaian. Awal-awal menjadi PNS golongan tiga bisa ketakar berapa pendapatan yang dibawa pulang. Jadi mungkin uang itu hanya bisa untuk bayar kos, makan dan transpor Mas Fahmi di sana.

Apalagi Mama juga pernah menghiburnya, Fahmi pasti menabung uangnya agar dia bisa kembali lagi ke Jakarta dan menetap bersama dengan anak dan istrinya.

“Mutasi butuh biaya. Jadi sabar aja jika dia tidak mengirim kita uang. Pensiun Mama masih cukup untuk kebutuhan sehari-hari kita,”

Itulah kata-kata yang selalu menguatkan Tiara ketika perasaannya dihinggapi keraguan. Tujuh tahun pertama pernikahan, ujian rumah tangga mereka yang utama adalah ekonomi.

Sekarang, suaminya sudah menjadi PNS dan menurut rencana, setelah empat tahun di sana, Mas Fahmi akan kembali ke Jakarta.

Tiara tersenyum. Dia setuju dengan Mama mertuanya. Dia memang cantik meskipun gaun yang dipakainya ini bisa dikatakan sudah ketinggalan zaman.

“Ma!” teriak Fattan dengan suara yang keras sambil mendobrak pintu.

Tiara kaget. Dia langsung membalikkan badan dan melihat anak sulungnya itu sudah rapi.

“Ma, Papa da dateng!” katanya sebelum Tiara menasehatinya karena masuk ke kamar tanpa permisi.

“Sudah dateng?” tanya Tiara seakan tak percaya. Dia melihat ke luar kamar dan sepertinya, apa yang dikatakan Fattan itu benar. Terdengar suara Mas Fahmi yang menyapa Mamanya.

Tanpa banyak bicara, Tiara langsung menerobos keluar. Dia melupakan Fattan yang masih berdiri di depan pintu menunggunya.

Belum sampai di ruang tamu, langkah Tiara langsung tertahan dengan sendirinya. Kakinya seakan terpaku di lantai dan lututnya mulai bergetar.

Tak jauh dari tempatnya berdiri, duduk seorang pria yang sangat dia kenal. Pria yang sudah memberinya tiga orang anak itu tengah menatap Bu Nur yang duduk di sampingnya.

Yang membuat jantung Tiara seolah ditikam oleh pedang adalah, wanita yang ada di sebelah Mas Fahmi, yang melingkarkan tangan kanannya di lengan Mas Fahmi.

“Ma, aku minta maaf. Aku tidak kasih kabar ke Mama kalau Melly akan pulang bersamaku,”

Bu Nur tidak menanggapi permintaan maaf anaknya itu. Tubuhnya masih mematung. Tiara  juga tidak bisa memastikan bagaimana rekasinya karena Bu Nur duduk membelakanginya.

“Ma!” Fattan mendekat. Suaranya membuat Fahmi dan wanita yang ada disampingnya langsung melihat ke arah Tiara dan ketiga anaknya.

“Ma, Papa aku mana?” kini suara Fauzan yang menyembunyikan wajahnya di pinggul Tiara membuat Bu Nur langsung berdiri dan mengambil ketiga cucunya.

“Tiara, tunggu di sini. Mama akan membawa naka-anak ke kamar!”

Setelah Bu Nur membawa ketiga anaknya, entah mendapat kekuatan dari mana, Tiara langsung menghampiri mereka berdua dan berdiri tepat di depan Mas Fahmi. Dia langsung lepas kendali karena gemuruh di dadanya yang sdah tidak bisa dia tahan.

“Mas, siapa wanita ini?” tanyanya dengan suara yang tegas. Tatapannya yang tajam menusuk pandangan Melly yang juga tengah menatapnya.

“Kenapa dia terus mendekap lenganmu?”

“Jelaskan, Mas!”

“Apa karena wanita ini kau tidak pernah memberi kabar pada kami?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status