Sejak hari itu, Darren bergerak cepat. Ia pandai bicara, cepat akrab dengan murid lain, bahkan guru. Ia mendekati Aruna dengan cara halus: membantunya mengangkat buku, memuji hasil kerja kelompok, bahkan pura-pura membela Aruna saat ada gosip baru.
Aruna, yang sedang rapuh, awalnya bingung. Ia bisa merasakan Ezra menatap dingin setiap kali Darren ada di dekatnya. “Kenapa kau terlihat begitu curiga sama dia? Dia… cuma murid baru, kan?” “Aruna, dengarkan aku. Orang seperti dia… bukan sekadar murid biasa. Umbra tidak akan tinggal diam setelah gagal kemarin.”Aruna menarik napas, ragu, “…Aku ingin percaya, tapi kalau dia benar-benar… baik?”Ezra merasakan hatinya diremas. Rasa cemburu bercampur ketakutan bukan karena Aruna mungkin memilih Darren, tapi karena Aruna mungkin terjebak oleh permainannya.Darren mulai menyabotase perlahan.Ia masuk ke panitia festival sekolah, mengambil peran penting.Ia mengusulkan agar Aruna dPagi itu, langit biru cerah, udara terasa lebih ringan meski gosip di sekolah belum benar-benar reda.Aruna datang ke gerbang sekolah lebih awal, tapi ternyata Ezra sudah menunggunya.“Pagi, Runa,” ucap Ezra sambil mengangkat tangan, wajahnya santai seolah tidak ada masalah dunia.Aruna menghela napas, menahan senyum. “Kenapa kamu ada di sini? Biasanya kamu telat lima menit.”Ezra mengedikkan bahu. “Ya… aku pikir, kalau aku telat, kamu bakal kepikiran. Jadi aku datang lebih cepat.”Aruna menunduk, menahan rona merah di pipinya. “Kamu ini… bikin orang salah paham terus.”Ezra terkekeh. “Yaudah, biar aku yang salah. Yang penting kamu nggak sendirian.”Mereka berjalan masuk bersama. Beberapa murid berbisik, sebagian menatap dengan rasa penasaran, bahkan iri. Tapi Aruna hanya menegakkan punggungnya, sementara Ezra dengan santainya menaruh tangan di saku dan tetap di sisi Aruna.Waktu istirahat, Aruna duduk bersama N
Kerumunan kembali gaduh antara yang kaget, ragu, ada yang masih menuduh. Tapi aura Aruna dan Ezra yang berdiri bersebelahan, saling menggenggam tangan di bawah cahaya api unggun dan kembang api terakhir, menciptakan momen yang begitu kuat.Beberapa siswa yang semula berteriak kini mulai diam. Ada yang saling berbisik, bingung, bahkan mulai meragukan gosip itu.Raska yang berdiri di samping, akhirnya maju setengah langkah. Dengan senyum tipis namun tegas, ia berkata:“Kalian semua tahu Aruna. Kalian lihat sendiri siapa dia di sini, setiap hari. Masa kalian rela percaya kebohongan murahan tanpa bukti lain?”Kata-kata itu makin memecah kebisuan.Aruna menunduk sebentar, air matanya jatuh tapi kali ini bukan karena putus asa, melainkan karena ia merasa kuat untuk pertama kalinya.“Aku tidak akan lari lagi. Tidak dari diriku sendiri, tidak dari mereka, dan tidak darinya…”Ia menggenggam tangan Ezra lebih erat, menatap api unggun y
Ezra bergerak cepat, berdiri di depan Aruna, melindunginya dari tatapan-tatapan penuh tuduhan.“Berhenti! Jangan percaya begitu saja!” suaranya tegas, tapi tak cukup menghentikan bisik-bisik yang makin membesar.Raska yang ada di kerumunan maju, mencoba menenangkan siswa lain.“Tunggu dulu, ini belum tentu benar—”Tapi seseorang menyela lantang:“Foto nggak mungkin bohong!”Suasana menjadi kacau. Beberapa siswa menyalakan ponsel mereka, memotret foto itu, menyebarkan ke media sosial. Gosip berubah jadi gelombang fitnah yang tak terbendung.Aruna merasakan dunia mengecil. Suara musik festival berganti jadi gema yang memekakkan. Wajah-wajah yang tadinya tersenyum kini menatapnya seperti monster.“Semua orang tahu. Semuanya terbongkar. Aku… kotor.”Air mata hampir pecah, tapi Aruna menahannya mati-matian. Ia mundur selangkah, lalu selangkah lagi, sampai punggungnya menyentuh bahu Ezra.“Aruna…” Ezra menoleh, sua
Musik tradisional bercampur dengan lagu modern dari panggung siswa. Beberapa pasangan mulai menari di dekat api unggun. Ada yang saling menggenggam tangan, ada juga yang duduk berdekatan menikmati kembang api kecil yang dibagikan panitia.Ezra tiba-tiba berbalik menatap Aruna.“Mau ikut?”“Hah? Apa?”“Menari. Atau paling nggak, jalan ke dekat api. Kamu kelihatan pengen, tapi nahan.”Aruna refleks menyangkal. “Nggak ah. Aku malu.”Ezra tidak menjawab panjang. Ia hanya mengulurkan tangan. Matanya menatap dalam, seolah berkata: “Aku di sini. Kamu nggak sendirian.”Aruna menatap tangan itu lama. Jantungnya berdebar. Semua gosip, semua trauma, seolah memudar saat ia akhirnya meletakkan tangannya di genggaman Ezra.Mereka berjalan ke dekat api. Kilau cahaya membuat wajah Aruna bersinar, dan Ezra tidak bisa mengalihkan pandangan.Di antara kerumunan yang tertawa dan bersorak, mereka berdua seperti punya dunia sendiri.“A
Aruna menatap tulisan itu, lalu balik menuliskan pesan,“Kenapa kamu lebih suka ngajarin lewat catatan kecil daripada bisikan?”Ezra membacanya, lalu membalas dengan cepat:“Kalau aku bisik, nanti kamu malah makin gugup.”Aruna menahan tawa kecil, pipinya memerah. Dia bener-bener tahu kelemahanku ya…Mereka duduk berdua di kantin, dan untuk pertama kalinya, Aruna membawa bekal buatan sendiri.Ezra membuka kotaknya, menatap nasi gulung yang bentuknya agak miring. “Ini… kamu bikin?”“Ya. Jangan banyak komentar,” kata Aruna cepat, sedikit defensif.Ezra mengambil satu, menggigitnya, lalu berhenti.“Gimana?” Aruna menatap gugup.Ezra mengunyah pelan, lalu tersenyum samar. “Agak asin. Tapi… anehnya enak.”Aruna menoleh, pura-pura sibuk dengan air minum. Pipinya merah lagi.“Kalau mau jujur, bilang aja nggak enak.”“Aku serius,” Ezra menegaskan. “Aku nggak suka makanan terlalu manis. Jadi ini… pas.”
Pena Aruna berhenti menulis. Tangannya gemetar. Ia tahu sebagian gosip itu memang punya bayangan kebenaran dunia malam, balapan, DJ, semua itu bagian dari dirinya dulu. Tapi sekarang, diulang-ulang sebagai bisikan jahat, rasanya seperti luka lama dikupas lagi.Ezra, dari meja seberang, memperhatikan. Ia bisa membaca ekspresi Aruna rahang yang menegang, mata yang menunduk. Perlahan, ia menyelipkan secarik kertas kecil ke mejanya.“Kamu bukan orang yang mereka omongin. Kamu Aruna yang aku tahu sekarang. Fokus ke itu.”Aruna membuka kertas itu, lalu menutup cepat-cepat karena takut terlihat. Tapi bibirnya nyaris tersenyum samar.Di kantin, situasi makin keruh. Beberapa siswi sengaja berbisik keras agar terdengar.“Ezra itu kan pintar, ganteng, populer. Masa iya mau sama Aruna yang gosipnya aneh-aneh?”“Jangan-jangan dia cuma kasihan.”“Haha, iya! Kasihan banget kalau beneran begitu.”Aruna hampir berdiri dari kursinya, tapi