Langit Genoa berwarna kelabu keperakan saat kereta Frecciarossa melaju cepat dari Florence. Dari balik jendela, Nadiya memandangi siluet pelabuhan tua yang mulai terlihat di kejauhan — tempat kisah ini akan melompat ke babak yang lebih kelam, dan mungkin... lebih jujur.Di sampingnya, Kenzo memegang sebuah map lusuh berisi arsip tua dengan inisial “L.M.” — konon, pelukis misterius yang pernah menjadi ikon avant-garde Italia, sebelum menghilang tanpa jejak. Tapi menurut informasi rahasia dari arsip galeri gelap di Tokyo, L.M. adalah mantan agen seni dari jaringan rahasia Umbra yang kabur setelah melihat hal yang tak seharusnya.Mereka tiba di penginapan kecil dekat Vicolo delle Grazie, jalan sempit berundak dengan bangunan batu tua.“Pasti di sinilah tempat terakhirnya,” bisik Nadiya sambil menatap pintu studio tertutup di ujung gang.Kenzo mengangguk. “Arsip menunjukkan, dia biasa dipanggil Maestro Ombra. Tapi sekarang orang-orang memanggilnya—pel
Florence tak hanya menyambut Nadiya dengan kemegahan arsitektur Renaisans dan aroma kopi yang kuat. Kota ini juga mempertemukannya dengan bayang-bayang yang tidak ia undang. Hari pertama program artist-in-residence, Nadiya mengenakan apron putih dan menggenggam kuas dengan tangan sedikit bergetar. Di ruang studio kaca besar, bersama seniman-seniman muda dari seluruh dunia, ia merasa kecil… tapi kuat. Lalu masuklah Agnese Bellotti, seniman senior dengan reputasi tinggi dalam komunitas seni Eropa. Berambut perak seperti kabut pagi dan bibir tajam seperti pisau palet, wanita itu mendekati kanvas Nadiya dan berkata dalam bahasa Inggris yang tajam: “Your strokes… they’re emotional. But messy. Like someone who still hasn’t resolved their past.” Nadiya hanya menatapnya, menahan reaksi. Tapi matanya menyala. Ia tahu ini bukan hanya kritik teknik. Ini penghakiman diam-diam terhadap siapa dirinya. Tak b
“Aku udah maafin semua, Kenzo. Tapi ternyata... masa laluku belum selesai maafin aku.”– NadiyaHanya seminggu setelah malam mereka saling menyelipkan surat—saling menjawab dalam sunyi yang penuh makna—cinta Kenzo dan Nadiya tampak seperti sedang tumbuh dalam damai. Namun, kedamaian itu ternyata adalah mata air yang mengalir di atas batu tajam yang selama ini tersembunyi.Malam itu, Kenzo mengantar Nadiya pulang seusai kelas tambahan fotografi. Mereka tertawa, membicarakan hal sepele, hingga Nadiya tampak melirik jam dengan gelisah.“Kenapa?” tanya Kenzo.“Jam segini... dia biasanya muncul.”“Dia?”Sebelum sempat menjawab, motor tua dengan knalpot bising berhenti mendadak di ujung jalan kecil. Dari balik helm gelapnya, seorang pria bertubuh kurus menatap tajam ke arah Nadiya. Wajah Kenzo mengeras.“Jangan bilang itu...”“Rafi,” gumam Nadiya, suaranya nyaris tak terdengar.Rafi bukan sekada
Aku sering merasa rusak. Bukan karena luka fisik, tapi karena bagian dalamku seperti pecahan kaca tajam, dingin, dan pantulan masa lalu itu… menyakitkan.Kenzo gak pernah pakai kata-kata besar. Dia gak maksa aku ngomong, gak minta aku jelaskan kenapa aku tiba-tiba diam tiga hari, atau kenapa aku nangis di kamar mandi hanya karena dengar lagu lama.Tapi entah bagaimana, dia selalu ada.Duduk. Diam. Bernapas bersamaku.Dan aku mulai menyadari…Dia mendengarkan bahkan saat aku tak berkata apa pun.Suatu sore, aku pulang lebih dulu dari terapi. Aku tahu dia pasti di taman belakang, tempat favoritnya baca komik lama.Aku buat teh lemon panas. Dia benci lemon. Tapi aku tambahkan madu karena dia selalu bilang, "yang pahit tetap bisa jadi manis kalau kita tahu caranya."Saat dia masuk ke ruang belakang, aku geser gelas itu ke arahnya tanpa berkata apa-apa.Dia hanya tersenyum kecil… lalu menatapku.“Lemon ya?”“A
Sejak kecil, Nadiya selalu merasa aneh dengan mimpi-mimpinya.Ia sering bermimpi berada di ruang putih tanpa pintu, ada suara-suara yang tidak punya wajah, menyebut angka:“Subjek Tujuh. Stabilitas emosional belum sempurna.”“Coba lagi siklus R-02. Jangan bangunkan dia terlalu cepat.”Kini, mimpi itu bukan sekadar mimpi.Itu memori. Memori masa bayi. Di bawah pengawasan Umbra.Hari-hari berikutnya, Nadiya mulai mengalami dissociative flashbacks.Wajahnya sendiri di cermin seperti asing. Bahkan saat bersentuhan dengan Dara atau Kenzo, ia merasa bukan sebagai ‘Nadiya’, tapi seolah ia hanya mengamati dari luar tubuh.“Apakah aku hanya hasil rekayasa genetik yang ditanam dengan emosi palsu?”“Apakah kasih sayang Dara dan Kenzo… hanya reaksi terhadap cerita, bukan aku sebagai individu?”Dara diam-diam mengambil sampel rambut Nadiya dan mengirimnya ke tim ICE-Net.Hasilnya tak terbantahkan:Genom Nadiya dim
Sudah berminggu-minggu sejak penangkapan Adi Kumara. Tapi Dara tahu, sesuatu masih menggantung di udara—tatapan Adi Kumara terakhir pada Nadiya, bisikan samar itu: “Kau hanya menyentuh permukaan…” Dara bukan hanya seorang seniman mural dan aktivis sosial. Ia juga mantan field liaison untuk organisasi nirlaba internasional yang fokus pada penyelamatan korban sindikat manusia. Dan Umbra—nama itu pernah ia dengar, bertahun-tahun lalu, dalam briefing intelijen di Belanda. Jaringan gelap yang menyaru sebagai yayasan-yayasan amal, bergerak di belakang skema adopsi ilegal, pencucian uang, dan prostitusi kelas elit. Dara memutuskan satu hal, Dia harus kembali ke jaringan lamanya. Dara menghubungi kontak lamanya di jaringan ICE-Net (International Civilian Extraction Network), seseorang yang hanya ia panggil "L"