Share

Gosip di TV

Di dalam kamar, tepatnya di atas bantal Masayu menumpahkan tangisnya. Terlampau porak-poranda hatinya sampai-sampai saat ibu mertuanya bertanya padanya sepulangnya ia dari rumah sakit tadi hanya mampu dijawabnya dengan anggukan saja.

Tiba-tiba pintu kamarnya didorong dari luar. Ternyata Gita. Seperti biasa bocah kecil itu masuk dengan membawa selembar kertas bergambar di tangannya. Cepat-cepat Masayu mengusap air matanya.

"Bunda ...."

"Iya, Sayang. Sini." Masayu mendudukkan Gita di pangkuannya, lantas melongok pada kertas yang dibawa oleh anak sambungnya itu. "Gita gambar apa?"

"Gambar Papa, Gita, Bang Genta, sama Bunda," sahut Gita menunjukkan hasil gambarnya.

"Wah, bagus sekali gambarnya. Anak pinter."

"Bunda tadi nangis? Bunda lagi sedih, ya?" tanya Gita tiba-tiba. Anak itu memang kritis.

Masayu mengelap lagi sisa air mata di pipinya, kemudian memaksa bibirnya untuk tersenyum.

"Nggak, kok, Sayang. Bunda kelilipan tadi."

"Sini, Gita embusin biar nggak kelilipan lagi." Gita berdiri, kemudian meniup mata Masayu.

"Wah, pinter, Gita. Bunda udah gak kelilipan lagi, loh. Makasih, ya, Bu Dokter, Gita."

Gita tersenyum.

"Gita nanti kalo udah gede mau jadi dokter. Kayak temen Papa," celotehnya dengan mata berbinar.

"Kayak Om Edo?"

"Bukan. Kayak Tante cantik yang ada di tivi sama Papa."

Sepasang alis Masayu mengernyit.

"Tante cantik?"

Gita mengangguk lugu.

"Tadi Gita nonton tivi?" tanya Masayu sekali lagi memastikan anak itu kembali mengangguk. Dan benar saja.

Masayu segera berdiri dari ranjangnya.

"Gita di sini dulu, ya. Nanti Bunda balik lagi. Sebentar aja," pesannya. Gita mengangguk.

Masayu bergegas keluar. Kemudian berjalan ke ruang televisi. Benar saja, pasti ada yang teledor tidak mematikannya setelah tidak ditonton lagi. Masayu mengambil remote, tapi mendadak tangannya mengambang di udara kala menyaksikan acara di televisi yang mana menampilkan Bian bersama dengan seorang wanita. Sepertinya ini yang dimaksud Gita tadi.

Tontonan tidak mendidik! Ia menggerutu dalam hati. Kemudian mematikannya detik itu juga.

Kebetulan saat itu Bi Ijah—asisten rumah tangga melewati ruangan itu.

"Bi, siapa tadi yang menonton tivi?"

"Nggak tau, Bibi, Yu. Memangnya ada apa, Yu?" Bik Ijah memang memanggil Masayu dengan sebutan nama saja tanpa embel-embel Nona seperti yang lainnya. Masayu yang memintanya, biar kesannya lebih akrab karena Bi Ijah sudah dianggap seperti ibunya sendiri.

"Tadi nggak sengaja ditonton sama Gita, Bi, karena nggak dimatikan."

"Oh, tadi Non Gita memang nyariin kamu, Yu. Mungkin dikiranya kamu lagi nonton tivi."

"Ada apa, Masayu?" Tiba-tiba saja Herlina menghampiri mereka. Bi Ijah lantas beranjak ke belakang untuk melanjutkan tugasnya ketika majikannya itu datang.

"Gita tadi nonton tivi, Ma. Nggak sengaja. Nggak tau siapa yang nonton nggak dimatikan."

"Oh, itu tadi Mama. Aduh, maaf, Mama udah teledor. Tapi acara tivinya nggak yang aneh-aneh, kan?"

"Justru itu, Ma. Gosipnya Bang Bian sama perempuan, dokter," bisik Masayu.

"Apa?" Mata Herlina membeliak. "Jadi Gita liat itu tadi?"

Masayu mengangguk.

"Tidak bisa dibiarkan!" geram Herlina seraya mengepalkan tangannya.

"Masayu, nanti malam setelah makan malam Mama mau bicara serius dengan kamu dan juga Bian!"

***

Malam hari.

"Mama sengaja mengumpulkan kalian berdua di sini, karena Mama mau bicara serius. Terutama sama kamu, Bian!"

Bian yang tadinya menyandar santai, seketika memosisikan duduknya menjadi lebih serius. Di sebelahnya, masih berada di sofa yang sama, tapi berjarak sekian meter, duduk Masayu dengan anggunnya, bersiap menyimak apa yang akan disampaikan oleh ibu mertuanya.

"Kamu masih ingat apa yang Mama katakan di meja makan pagi tadi, Bian?" Herlina memulai topik pembicaraan.

"Bian nggak ingat secara rinci. Tapi kalau garis besarnya saja Bian ingat."

Herlina manggut-manggut.

"Apa yang Mama katakan tadi pagi itu serius. Mama ingin merayakan anniversari pernikahan kalian. Sudah setahun, kan, Masayu?" Herlina melemparkan pertanyaan kepada menantunya.

"I-iya, Ma. Sudah ... setahun."

Sepertinya. Karena Masayu memang tak pernah menghitungnya. Tidak terasa, ternyata ia sanggup juga bertahan dalam sebuah hubungan pernikahan yang tidak jelas arahnya ke mana dalam waktu cukup lama.

Tidak pernah diberi nafkah batin, tidak menampilkan hubungan layaknya suami istri yang harmonis, tidak pernah mengobrol apalagi bersenda gurau. Tidak pernah disayang, tidak pernah menunjukkan wajah ramah terhadap istrinya. Disambangi setiap dua bulan sekali karena sang suami lebih memilih sibuk dengan bisnisnya di luar kota. Dan banyak lagi.

Untuk yang terakhir memang sangat konyol sekali. Ironinya, Masayu dan Bian hanya bertemu enam kali selama menikah hampir satu tahun.

Jeli sekali Masayu mendata segala dosa-dosa suaminya. Kelak rencananya dia akan menuangkannya di pengadilan agama karena sudah tidak tahan lagi. Namun, mertuanya malah berencana mengadakan anniversari untuk mereka.

"Besok."

"Apa, Ma? Besok?!" Bian tampak tercengang.

"Iya, besok malam Mama mau mengadakan acaranya."

"Bukannya anniversarinya tanggal sebelas pekan depan, ya, Ma? Kok jadinya besok malam?" protes Bian.

"Ingatan kamu kuat juga, ya, Bian. Mama kira yang ada di otak kamu cuma kerja, kerja, dan kerja. Mama nggak nyangka kalau kamu ingat dengan hari pernikahanmu. Mendiang papamu saja nggak ingat dengan hari ulang tahun Mama."

Bian berusaha menutupi salah tingkahnya. Sementara di sebelahnya, hati Masayu tersenyum penuh kemenangan.

"Maksudnya, Bian memang selalu ingat hari di mana Bian merasa sangat tertekan, Ma. Jadi bukan seperti yang Mama pikirkan."

"Ah, sudah, sudah. Pokoknya acaranya besok malam, titik!" Herlina menegaskan.

"Hari peringatan kematian Papa sebentar lagi, Ma. Bukannya lebih baik kalau kita lebih dulu mengadakannya? Ketimbang urusan Bian bisa menyusul kapan-kapan. Lagi pula besok memang bukan tanggal pernikahan Bian," usul sang putra, demi bisa mengulur acara yang tidak diminatinya sama sekali.

"Kamu ini, Bian, banyak sekali alasanmu. Biasanya kamu nggak peduli dengan acara hari kematian papamu? Kenapa sekarang jadi antusias sekali?"

"Bukan gitu, Ma. Akan lebih baik kalau kita lebih mendahulukan orang yang kita hormati di rumah ini semasa hidupnya. Kalau besok, bukannya itu mendadak sekali, Ma. Belum lagi Bian mengundang teman, klien, teman bisnis. Repot, Ma!" keluhnya.

"Kamu nggak perlu khawatir, semua udah Mama atur. Pokoknya besok malam, kalian berdua tinggal menikmati acaranya."

"Tapi, Ma—"

"Bian! Tutup mulutmu dan jangan banyak alasan! Kamu kira hati Mama tenang lihat acara gosip kamu di tv dengan wanita lain? Tadi siang Gita nggak sengaja menonton kamu dengan perempuan itu di tv. Nggak malu kamu ditonton anak sendiri?"

Bian tercengang. Gita melihat gosip dirinya bersama wanita lain? Ditatapnya Masayu, gadis itu malah melempar pandang ke arah lain.

"Perempuan mana lagi yang kamu gandeng, Bian?!" tanya Herlina dengan pandangan mendakwa. Menyebabkan Bian jadi serba salah.

"I-itu cuma—"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status