BAGIAN 56 Sehari sudah Mbak Reva berada di rumah kami. Setelah aku sempat bertengkar beberapa kali dengannya serta dengan suamiku sendiri, untungnya di pagi hari ini tak ada perdebatan yang begitu berarti. Aku bangun pagi-pagi, kemudian salat Subuh, tetapi tidak langsung turun ke dapur seperti kemarin. Kupinta izin kepada suamiku agar aku bisa beristirahat sejenak untuk berkutat di dapur. Mas Sofyan dengan penuh perhatian memberikanku izin. Dia bilang, aku bebas mau istirahat sampai jam berapa pun. Bahkan dia bilang kalau mau lanjut tidur lagi juga tidak apa-apa. “Kalau mau tidur lagi, ya tidur aja, Sayang,” ucap Mas Sofyan sambil mengusap-usap keningku. Pria yang baru selesai tadarus satu halaman Alquran itu menatapku manis. Sedang aku, tengah berbaring di atas kasur kami yang empuk sambil memainkan ponselku. “Nggak ah, Mas. Kan, nggak baik tidur habis salat Subuh. Aku baring-baring aja dulu, Mas. Nanti kalau masih capek, jam enam pagi baru tidur,”
Bagian 57 Tok! Tok! Tok! Pintu kamarku diketuk tiga kali. Aku yang sedang enak-enaknya terlelap tidur demi mengusir lelah di tubuh, terpaksa harus membuka mata lebar-lebar. Terdengar, ketukan di pintu pun semakin cepat dan nyaring suaranya. Dahiku sampai mengernyit sendiri. Siapa yang dengan tidak sabarannya mengetuk pintu begitu? “Sebentar!” pekikku parau. Aku pun perlahan bergerak. Turun dari tempat tidur sambil mengucek-ngucek mata yang masih ‘sepet’. Refleks mulutku menguap lebar dan buru-buru kututupi dengan telapak. Masih mengantuk, pikirku. Padahal, pukul enam tadi pagi aku sudah tertidur saking lelahnya. Beginilah kalau sedang hamil muda. Syukur-syukur cuma capek dan ngantuk biasa. Untungnya tidak dengan drama mual muntah hingga masuk rumah sakit segala. Nauzubillah, sih! Ceklek! Aku membuka kunci kenop pintu. Sontak diriku kaget saat melihat Mbak Reva sedang memegang pergelangan tangan Syifa. Anakku sudah
Bagian 58 Aku menutup kembali pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Kutuntun Syifa menuju ranjangku. Gadis kecil itu masih mengenakan seragam sekolahnya sambil memanggul tas ransel berwarna pink. Sedari tadi, anak sulungku itu tak bicara. Wajahnya pun seperti sedih. “Syifa, Bunda minta maaf, ya. Tadi lama nggak nungguinnya?” tanyaku sambil duduk di samping Syifa. Kami berdua sama-sama duduk di atas ranjang. Kubantu Syifa untuk melepaskan jilbab seragam yang dia pakai. “Nggak kok, Bun. Cuma nunggu sebentar aja. Tadi, langsung dibawa sama Tante Reva makan. Terus dibeliin es krim sama cokelat juga. Tante Reva pas jemput Syifa baik banget, Bun. Bercanda juga sama Syifa. Cuma, kenapa pas sudah pulang jadi galak ya, Bun? Syifa jadi takut.” Kepala Syifa langsung kuraih dan kusandarkan dalam dekapanku. Aku semakin menyesal dan merasa bersalah saja sebab sudah membuat mentalnya terusik sebab kemarahan Mbak Reva barusan. Mbak Reva memang aneh. D
Bagian 59 Aku dan Syifa sudah selesai salat Zuhur berjamaah di kamar milik gadis kecil itu. Segera saja kutidurkan Syifa di atas ranjangnya. Tak memerlukan waktu lama, anak sulungku pun tertidur pulas setelah diselimutkan serta distelkan AC dengan suhu 23 derajat selsius. Gegas aku keluar dari kamar Syifa. Tentu dengan gerakan berjinjit supaya dia tidak kaget dan kembali terjaga. Setelah itu, aku berjalan cepat menuju ruang makan karena sudah merasa kelaparan yang teramat sangat. “Bi Dilah!” sapaku kepada pembantu setia kami yang ternyata tengah mencuci singkong di wastafel. Cukup banyak singkong yang dia cuci. Bonggolannya besar-besar. Mungkin kalau ditimbang nyaris sepuluh kilogram. Aku sampai kaget juga kenapa bisa ada singkong sebanyak itu. “Iya, Mbak Mila,” sahut Bi Dilah sambil menoleh. Raut wajah Bi Dilah tak tersenyum. Beliau malah terlihat lelah dan keringat di dahinya mengucur sebesar biji jagung. Lekas kudekati
Bagian 60 “Bercandamu itu sama sekali tidak lucu, Mil!” Mbak Reva terdengar sangat keki. Aku sih, mana mau peduli? Terserah dia mau bicara apa. Aku lanjutkan saja makanku tanpa mau menoleh ke belakang lagi. “Bi Dilah, Bi Dilah! Singkongnya udah dipotong-potong belum?!” Mbak Reva kemudian berteriak sekencang-kencangnya hingga telingaku terasa berdenging saking suara itu terdengar berisik. Kupandangi punggung Mbak Reva yang berjalan masuk ke arah pintu menuju dapur yang berada di sebelah timur. Aku hanya mengernyitkan dahi. Mbak Reva ini sangat-sangat tidak tahu diri. Kapan kiranya dia didepak suamiku dari rumah kami? Aku sudah muak dan bosan sekali melihat tingkah lakunya serta mendengar jerit demi jeritan tidak pentingnya. “Ini barusan dicuci, Mbak Reva. Baru mau dikupas sama dipotong-potong. Soalnya masih banyak tanah di kulitnya. Kalau dipotong langsung, bikin kotor talenan.” Terdengar olehku suara sahutan Bi Dilah. Suara itu jelas menunjukkan rasa kesal yang tertahankan. A
Bagian 61 Piring kotor sisaku makan tadi sengaja kuletakkan di atas meja begitu saja. Aku tak memasukkannya ke dalam tudung saji malahan. Buru-buru aku pun berjalan menuju kamar sebelum si Mbak Reva keluar dari dapur. Tidak mau berpapasan wajah dengannya. Muak! Malas sekali. Daripada nanti janinku malah mirip mukanya dia. Ogah! Nauzubillah, pokoknya. Jangan sampai kejadian! Kukunci pintu kamar dari dalam. Aku mencuci tangan di kamar mandi dalam saja. Setelah itu aku pun duduk di atas ranjang sembari memainkan ponsel. Sebentar lagi aku akan mengetik bab terbaru yang bakalan tayang di cerita bersambung dengan judul terbaru karyaku. Cerita bersambung itu memiliki genre drama rumah tangga, seperti cerita-cerita sebelumnya yang pernah kutulis hingga membuat namaku melambung di jagat blantika platform baca novel online. Dari menjadi penulis novel inilah aku bisa menyambung hidup saat diriku menjanda. Cukup lumayan hasilnya. Bahkan bisa kutansfer untuk b
Bagian 62 Perseteruan Hebat “Ng … a-anu, Mas,” sahutku tergagap. Betapa aku masih terkaget-kaget dengan pertanyaan Mas Sofyan yang tak disangka-sangka tersebut. Aku benar-benar dia buat kelabakan sekarang. Ya Allah, kenapa Mas Sofyan jadi pemarah begini? Apakah … memang inilah sifat aslinya yang baru ketahuan? “Anu apa, Mil? Bilang saja. Aku nggak bakalan marah ke kamu.” Dia bilang bahwa dia tak akan marah kepadaku, tetapi tatapan matanya begitu tajam seolah tengah mengisyaratkan bahwa dia sedang marah saat ini. Dadaku benar-benar Mas Sofyan bikin mencelos. Ya Allah, pokoknya lindungi aku. Lindungi rumah tangga kami yang baru seumuran jagung ini. Jangan sampai hanya gara-gara masalah sepele tentang jemput menjemput, aku bisa diceraikan oleh suami keduaku. Nauzubillah! “Begini, Mas. Aku bisa jelaskan,” ujarku lagi mencoba untuk sedikit tenang. Kutarik napas dalam-dalam, lalu aku menatap serius kepada Mas Sofyan. “Ya, suda
Bagian 63Kehebohan “Mila, please, jangan bilang pisah terus. Bukan pisah yang jadi penyelesaian masalah rumah tangga kita. Mending kamu pukul aku sampai mati saja, ketimbang kamu harus mengucapkan kata pisah!” Mas Sofyan meminta dengan muka yang putus asa. Kedua tangannya pun menggenggam ke sepuluh jemariku erat-erat. Dia kelihatannya begitu cemas dengan ancamanku. Baru tahu rasa kamu kan, Mas? Kuhela napas sedalam mungkin, kemudian kuembuskan dengan masygul. Tangan kanan kutarik dari genggaman tangannya Mas Sofyan. Lekas kuusap seluruh sudut di wajah yang masih menyisakan basah akibat tangisan tadi. “Ini serius, Mas. Kamu yang selalu tiba-tiba memarahiku karena hal sepele, kamu juga harus terima jika sewaktu-waktu aku meledak seperti tadi. Kamu berhak tidak suka dengan ancaman pisahku, tapi aku juga berhak untuk melawan bentakan yang kamu berikan kepadaku. Jangan kamu pikir, karena kamu suami dan laki-laki, kamu jadi sebebas-bebasnya untuk menjatu