Perayaan tahun baru terlewatkan oleh Sebastian dan Eloise. Keduanya sibuk saling memuaskan satu sama lain. Mereka akhirnya terbaring letih dan puas. Sebastian meredakan nafasnya yang memburu karena aktifitas tanpa henti sesaat tadi. "Kita melewatkan kembang api, Eloise."Eloise tertawa. Sebastian menoleh, mengagumi untuk pertama kali tawa lepas wanita itu. "Aku bahkan tidak mendengar ada suara kembang api," ucapnya masih dengan tawa. Sebastian berbaring miring menghadap Eloise, menikmati tawa istrinya. "Kau cantik, Eloise." "Jangan merayu lagi, Sebastian. Aku lelah." "Aku tidak merayu. Aku mengatakan yang sebenarnya. Aku tak pernah melihat tawamu seperti ini." Eloise berpaling dari tatapan memuja Sebastian, pipi Eloise merona malu. Sebastian meraih pinggang Eloise dan menggeser tubuhnya merapat. Menarik tubuh Eloise untuk menghadap ke arahnya. "Jangan pernah tertawa seperti itu pada pria lain. Hanya aku yang boleh melihatmu tertawa seperti ini." Sebastian tampak serius. El
Eloise menjauh dari keriuhan pesta, ia berjalan menuju balkon ballroom. Ada beberapa orang yang tampak berbincang akrab di kursi-kursi sepanjang koridor balkon. Eloise mencari tempat sepi. Memegang dadanya yang terasa nyeri. Apakah ia cemburu? Tidak, ia menggeleng kuat. Ia tidak berhak. Perasaan itu tidak boleh ada di hatinya. Sebastian bukan miliknya. Sebentar lagi, ya sebentar lagi pria itu bukan lagi suaminya. Semua akan segera berakhir. Eloise tertawa sumbang di antara tangisnya. Ia terlalu terbawa perasaan. Menganggap perhatian Sebastian selama beberapa minggu belakangan sebagai bentuk rasa suka. Yang benar saja, Eloise, kau terlalu percaya diri, batinnya mengejek. Eloise memejamkan mata, mengambil sebanyak-banyaknya udara untuk meredakan sesak di dada. Menatap langit malam dengan mata basah. "Kau di sini rupanya, aku mencarimu." Suara Sebastian terdengar dari belakang tubuh Eloise. Eloise yang kaget, buru-buru menghapus air mata. Tidak berani menoleh. Sebastian berdiri di
Sebastian mengajak Eloise makan malam di sebuah resto dekat apartemen sebelum keduanya pulang. Hampir tengah malam saat mereka sampai di penthouse milik Sebastian. Sebastian memperlihatkan sisi lain dirinya. Seorang yang hangat dan perhatian. Benar-benar bukan pribadi yang selama ini Eloise kenal. Sepanjang acara makan hingga pulang ke apartemen, Sebastian tak jarang mencium kening Eloise, membuat hati Eloise meleleh. Sebastian berbaring di ranjang, menatap Eloise yang tengah keluar dari walk in closet, mengenakan pakaian tidur berbahan sutra yang khusus dipesan Sebastian minggu lalu dari butik langganannya. Eloise naik ke atas ranjang dengan perlahan, tanpa sikap menggoda. Pria itu meraih tubuh Eloise dan merapatkan ke tubuhnya. Dada Eloise berdegup kencang. Menatap mata hijau Sebastian yang memandangnya penuh damba. Eloise reflek menyentuh ujung hidung Sebastian. "Ini indah," bisik Eloise. Sebastian tersenyum menyadari sikap Eloise yang mulai berani mengekspresikan perasaan
Keduanya tertidur hingga menjelang pagi. Suasana berkabut di musim dingin seperti hari ini membuat udara terasa membekukan tulang. Sebastian bangun lebih dulu dan kembali menambah kayu di atas perapian yang hampir padam. Sebastian mendekati ranjang dan memeriksa Eloise. Tubuh Eloise sudah tidak sedingin saat awal ia menemukannya di tempat ini. Untunglah Eloise tidak menghapus aplikasi alat pelacak yang terhubung di ponsel milik Sebastian sehingga dengan mudah ia mengetahui keberadaan Eloise. Tubuh Eloise bergerak gelisah. Ia menggumamkan sesuatu. "Aku tidak melakukannya, Ibu." Eloise masih memejamkan mata, tampaknya ia mengigau. Sebastian merapatkan selimut pada tubuh Eloise. "Itu fitnah." Eloise menangis dalam tidurnya, "percayalah padaku, Ibu." Eloise menangis tersedu. Sebastian tak tahan, ia sedikit mengguncang tubuh Eloise mencoba membangunkan wanita itu. "Eloise," bisik Sebastian. Eloise terisak masih dengan mata terpejam. Apakah kesedihan Eloise ada kaitannya
Valerie mencegat langkah Eloise yang hendak turun menuju lantai satu. "Eloise!" seru Valerie berjalan mendekat. Ia telah memastikan Sebastian telah berangkat kerja pagi ini. "Dari awal sudah ku bilang Jolie yang seharusnya menikah dengan Sebastian, bukan kamu." Valerie menatap sinis pada putri sulungnya. Eloise memandang ibunya sejenak. Mencoba memahami mengapa ibunya lebih sayang Jolie ketimbang dirinya, tapi sampai detik ini, Eloise tak bisa menemukan jawaban. "Apa yang Ibu inginkan?" "Minta cerailah pada Sebastian. Aku ingin Jolie yang menjadi istri Sebastian." Eloise diam. Tak perlu diminta pun, Eloise akan bercerai dari Sebastian, hanya tinggal menunggu waktu. "Apa aku anak kandung mu, Ibu?" tanya Eloise tiba-tiba. Valerie menatap penuh amarah. "Apa maksudmu? Jangan mengalihkan pembicaraan!" "Aku hanya ingin bertanya, apakah aku anak kandungmu?" Eloise bertahan menatap mata Valerie, hal yang tak pernah dilakukannya selama ini karena ibunya akan sangat marah
Eloise memegangi kepalanya yang terasa berat. Mencoba mengingat kejadian yang membuat kepalanya pusing. Ah ya, minuman itu. Eloise bangkit duduk membuat selimut di tubuhnya melorot jatuh, memperlihatkan tubuh telanjangnya. Buru-buru Eloise menahan selimut untuk menutupi tubuh polosnya. Apa yang terjadi semalam? Beberapa ingatan tentang bagaimana Sebastian bergerak liar di atas tubuhnya membuatnya sadar akan apa yang terjadi. "Sudah bangun?" Suara Sebastian terdengar memasuki kamar. Di tangannya ada segelas air putih dan aspirin, "minumlah, kau pasti sakit kepala." "Aku mabuk ya?" tanya Eloise menerima gelas dan obat dari tangan Sebastian. Ia menahan selimut dengan kedua kaki yang melipat ke dada. Tapi tetap saja ada bagian tubuh yang menyembul membuat Sebastian harus mengulurkan bathrobe padanya. "Aku sudah sering melihatmu telanjang, sepertinya berlebihan jika kau harus malu sekarang." Wajah Eloise merona malu. Ia meletakkan aspirin dan gelas di atas nakas dan menerima