Yasmin menunggu sendirian di aula. Sudah hampir tiga puluh menit, rekannya tak jua kembali. Gadis itu mulai kesal dan bangkit dari duduknya.
"Kemana dia? Apa dia sudah pulang? Kenapa tidak mengabariku?" gerutu Yasmin. Ia lalu berjalan mondar-mandir.'Jika tidak terpaksa. Aku tak sudi bekerja sama dengan Oliv. Modelan orangnya saja begitu. Dasar jutek!' ucapnya dalam hati.Ia ingin sekali menelepon rekannya itu. Tetapi, ia takut akan mengganggu percakapan antara Oliv dan si Nyonya Muda."Yas!" tegur Oliv.Ia sudah tiba di aula. Kali ini tangannya membawa sebuah map berisi perjanjian kontrak kerja sama dengan Nyonya Muda."Lama sekali kau! Aku muak menunggu di sini," keluh Yasmin padanya."Anggap saja kita impas. Beruntung Nyonya Muda itu mau bekerja sama dengan kita. Nampaknya ia sangat menyukai desain gaunmu. Kode desainmu yang ZD09X.""Oh, yang itu. Aku pikir tidak akan ada yang menyukainya. Karena model yang kubuat itu cukup abstrak. Tetapi biar bagaimana pun itu terlihat unik! Jangan lupakan! Aku begadang semalaman untuk menyelesaikannya. Dan itu desain terbaruku," tutur Yasmin membanggakan diri."Ya, ya, ya. Hanya orang yang memiliki selera seni tinggi yang menyukai desain abstrakmu itu!" sindir Oliv."Ini." Tangannya menyodorkan map berisi beberapa berkas beserta pulpen kepada Yasmin."Kau pelajari dan tandatangani secepatnya. Sore nanti salinan berkasnya akan kukirim ke Sania," pinta Oliv."Sania?" tanya Yasmin."Wanita tadi yang ingin bicara denganku. Dia adalah asisten pribadi Nyonya Muda, klien baru kita," ujar Oliv."Oh, baiklah aku baca berkas ini dulu."Yasmin membaca dokumen dengan teliti. Dibacanya persyaratan yang diajukan oleh kliennya, di dalamnya tak ada yang aneh, termasuk hal yang umum dan wajar."Raline Van Calleythi?"'Namanya tidak asing,' batin Yasmin."Liv, nama klien kita Raline Van Calleythi?" tanyanya pada Oliv yang duduknya tak jauh darinya."Iya. Memangnya kenapa?" tanya Oliv penuh selidik."Tidak apa-apa." Yasmin pun menandatangani berkas tersebut."Liv, kenapa Nyonya Calley tantenya Nyonya Muda itu, mengadakan rapat kerjasama kita di gedung ini? Biasanya kan di mana-mana itu kalau tidak di cafe ya di restoran atau di tempat lain yang lebih cocoklah. Bisa juga di kantornya saja kan? Tetapi, ini kenapa malah di gedung seperti ini. Ya meskipun kesannya sama dengan gedung pameran praga busana pada umumnya. Tapi, bagiku ini cukup aneh."Ia melihat sekeliling ruang aula yang hanya ada mereka berdua."Aku juga kurang tau. Memang Nyonya Calley ini terkenal dengan syaratnya yang aneh. Katanya, dia juga tidak suka dengan keramaian. Tapi, dia itu sungguh kaya," ungkap Oliv.Mendengar kata 'kaya', Yasmin sontak memutar kedua bola matanya dengan malas."Nanti malam kamu datang ke kediamannya Nyonya Raline, ya. Dia ingin kalian berbincang mengenai desain gaun di sana.""Hanya aku saja yang ke sana? Apa kau tidak ikut?""Tidak! Lagi pula tugasku kan sudah selesai. Kontrak kesepakatan kerjasama juga sudah ditandatangani. Kita akan bekerja sama dengan perusahaan Nyonya Raline selama satu tahun kedepan. Sekarang tinggal tugasmu sendiri yang harus kau kerjakan Desainer Yasmin Evlynzee!""Oke!"***"Ma! Azkara udah bangun?" tanya Liza sesampainya ia di rumah."Udah tuh," jawab mamanya yang sedang menyulam.Liza beranjak pergi ke kamar Azkara. Namun, tak didapatinya adiknya di dalam. Dia pun berjalan ke ruang kerja Azkara. Ia mengetuk pintu, terdengar suara Azkara dari dalam untuk mempersilakannya masuk."Masuk saja!" seru Azkara dari dalam.Liza masuk dan dilihatnya sesosok pria yang sangat tak ia sukai yakni Arland. Ia menatap sinis ke arah Arland. Arland yang mengetahuinya pun tak ambil pusing.Liza duduk di sofa sudut dekat dengan jendela. "Azka!" panggilnya."Hmm."Azkara hanya berdeham sembari serius membaca berkas berisikan anggaran untuk mengganti kerugian gedung resepsi yang terkena bom."Kamu masih mencari Meika?" tanya Liza."Pertanyaan macam apa itu kak? Tentu saja aku masih mencarinya," jawab Azkara sembari tersenyum tipis. Ia tahu betul apa yang dimaksud kakaknya."Lalu apa sudah ada hasil? Apa dia sudah ditemukan?""Hampir."Liza mengernyitkan dahinya."Saya permisi dulu, Tuan Muda!" pamit Arland."Tunggu, Lan, tetap di sini saja. Masih ada beberapa hal yang harus kita bahas.""Baiklah kalau begitu, Tuan Azka."Liza mendecap kesal atas keberadaan Arland. "Percayalah padaku, Azka! Pencarianmu itu akan sia-sia saja. Aku heran kenapa kau masih saja mencarinya? Dia sudah meninggalkanmu! Bisa saja dia pergi dengan lelaki lain atau dia memang berniat untuk mempermalukan kita," tuduhnya."Sudah, kak! Hentikan! Meika bukan wanita seperti itu. Aku mengenal sifatnya," Azkara menampik ucapan kakaknya."Kau mengenalnya? Kalau begitu aku juga mengenalnya! Jika dia memang tidak seperti yang kupikirkan. Untuk apa dia lari darimu? Pergi begitu saja. Kepergiannya sungguh tidak jelas. Lebih baik kau akhiri saja hubunganmu dengannya. Di awalnya saja sudah tidak jelas begini. Mau bagaimana lagi di akhir?""Dengan kepergiannya yang tidak jelas itulah aku harus menyelidikinya. Kita tidak ada yang tau apa yang terjadi malam itu. Dan untuk urusan rumah tanggaku, cukup aku saja yang mengaturnya, kak!"Liza yang sudah tidak ingin berdebat pun akhirnya memilih keluar. Saat ia melangkah ke luar pintu dan menutupnya, ia mendengar suara ponsel berdering. Ia pun menurungkan niatnya untuk pergi dan tetap berdiri di depan ruang kerja Azkara guna menguping pembicaraan di dalam."Halo, Bar! Bagaimana?" tanya Arland yang mengangkat panggilan masuk di teleponnya."Baiklah, kalian tetap berada di sana," sambungnya lagi. Panggilan telepon pun diakhiri."Tuan Muda, anak buah kita lagi-lagi kehilangan jejak Nyonya Meika."Arland menceritakan aksi kejar yang dilakukan anak buahnya dengan Yasmin pada Azkara. Liza memasang telinganya lebar-lebar mendengar rincian penjelasan kata demi kata yang diucapkan Arland."Kenapa Meika senekat itu? Seniat itukah dia menjauhiku?" rintih Azkara yang tak menyangka dengan apa yang diceritakan Arland padanya."Ini foto yang berhasil diambil Akbar, Tuan Muda." Arland memberikan ponselnya pada Azkara.Tertera di layarnya gambar seorang wanita dengan rambut dicepol sedang menyetir mobil. Foto itu diambil dari sisi kanan wanita tersebut."Ini?" Azkara terpelongo melihat foto yang ditunjukkan Arland padanya.Wanita itu persis seperti Meika. Hanya pada mata sedikit berbeda. Bentuk matanya tajam dan ukurannya sedikit lebih panjang daripada mata Meika yang bentuknya lebih bulat."Ini Meika bukan? Tapi aku merasa ada yang berbeda darinya," cetusnya."Apanya yang berbeda, Tuan Azka?""Entahlah, aku masih mencari letak perbedaannya." Azkara sibuk menatap foto wanita dengan rambut dicepol yang dikiranya adalah Meika, jarinya memperbesar gambar bagian wajah itu.Liza yang sedari tadi menguping bertanya-tanya di dalam hati, bagaimana bisa foto Meika didapatkan. Sedangkan ia tahu persis di mana letak keberadaan adik iparnya itu.Liza bergumam, "Aku harus mencari tahu lokasi Meika yang ditemukan oleh Azkara."Liza buru-buru beranjak dari sana. Sesampainya di kamar, ia berjalan mondar-mandir. Ia terlihat sedang cemas.'Apa benar itu adalah Meika?''Apa dia berhasil lolos? Tapi kenapa dia tidak langsung pulang ke sini saja?''Apa wanita itu punya rencana lain?'Begitu banyak pertanyaan yang muncul di benaknya. Liza kemudian menelepon seseorang. Namun, nomor yang dihubungi tidak aktif."Bisa-bisanya saat keadaan gawat seperti ini, dia malah tidak bisa dihubungi!" geramnya.Liza lalu duduk di kasur, dengan kesal ia melempar bantal.***"Arland, siapkan saja semua dana untuk membayar kerugian ini," pinta Azkara."Baik, Tuan Muda!"Arland lalu beranjak pergi membawa beberapa berkas dokumen yang sudah ditandatangani oleh Azkara.Saat hendak berbelok arah ke kanan koridor, tiba-tiba muncul tangan seseorang di balik tembok koridor tersebut yang mencegatnya. Ia sontak berhenti. Hampir saja dadanya mengenai tangan itu. Orang di balik tembok akhirnya keluar berdiri tepat menghadapnya. "Emm ... dengar!
Wanita bersanggul itu kemudian meletakkan cangkir kopinya."Maaf, Nyonya Ira. Mengapa Anda begitu membenci Nyonya Meika?""Apa kau ingin tahu penyebabnya?" tanya Mahira. Arland mengangguk. "Iya, Nyonya.""Arland, bukankah kau tahu bahwa aku tidak membenci sembarang orang tanpa sebab yang fatal. Meika yang kelihatan polos itu benar-benar telah menyakitiku sebagai seorang ibu!" sergah Mahira."Dia memaksaku agar menyetujui pernikahannya dengan Azkara karena rahasiaku yang diketahuinya. Dia menjadikan itu sebagai senjata untuk mengancamku. Apa kau masih berpikir dia wanita tulus dan baik?""Rahasia?" tanya Arland."Ya, aku akan mengatakannya padamu. Aku rasa kau adalah orang yang tepat untuk kuberitahu. Aku mempercayaimu, Arland. Kuminta setelah kau mendengarnya, jangan beritahukan pada siapapun termasuk Azkara dan Liza.""Tapi kenapa, Nyonya Ira? Kenapa mereka tidak boleh tahu?""Mereka mungkin akan terluka," jawab Mahira. Sesaat ia termenung mengingat kejadian dua puluh delapan tahun s
"Baiklah, aku punya sesuatu untukmu," imbuh Oliv."Apa?"Oliv mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya yang membuat Yasmin semakin heran."Botol parfum?" tanya Yasmin. Sedari tadi ia terus memperhatikan botol di genggaman Oliv."Iya! Ini bukan sembarang botol parfum.""Tapi kenapa warna airnya begitu?" Jarinya menunjuk botol parfum.Oliv meletakkan botol itu di meja. "Ini isinya bukan parfum atau air bibit wangi, melainkan air cabai." "Untuk apa kau membawanya?" Yasmin tercengang tak mengira Oliv bisa menyediakan benda seperti itu di dalam tas. Ia sebenarnya sempat melihat di televisi dan sosmed mengenai botol parfum atau botol semprot yang diisi air cabai sebagai senjata wanita saat bepergian. "Untuk jaga-jaga. Ini bisa jadi senjata pamungkas bagi seorang wanita. Apalagi jika sendirian. Tidak mungkin, kan, kalau kita pergi kemanapun harus membawa pisau atau pistol? Jadi lebih baik pakai ini saja. Kita bisa membawanya di dalam tas. Tapi, tetap harus hati-hati jangan sampai tertukar. N
"Tidak. Aku sengaja tidak memberi tahu Mama. Mama pasti tidak akan mengizinkan karena kondisi mental dan fisikku. Semalam saja Mama terus menyuruhku untuk istirahat akibat obat tidur dan ledakan itu, padahal aku baik-baik saja. Kuminta jangan beritahu siapa pun. Untuk pekerjaan di kantor pusat Kak Liza dan kau yang meng-handle," tutur Azkara. Arland tak habis pikir, kenapa seorang suami harus diam-diam pergi untuk mencari istrinya. "Azkara, kau pergi dengan siapa?" tanya Arland. "Beberapa ajudan dan seorang supir.""Aku akan beri tahu Akbar supaya mereka tidak usah kembali ke sini. Biar mereka tetap di sana saja menunggumu. Mereka yang terlebih dulu tahu info tentang istrimu.""Baiklah, ide yang bagus!" Azkara menaiki tangga menuju pintu perpustakaan diikuti oleh Arland di belakangnya. Saat mereka mendekat, pintu terbuka otomatis. Pintu tersebut terbuat dari mirror glass dengan ukuran besar dan tinggi. Dari dalam bisa terlihat dengan jelas keadaan di luar ruangan.Lain halnya jika
Aldrich sudah tiba di mension. Ia membuka bagasi lalu menggendong Yasmin yang berada dalam kantung jenazah. Pintu mension dibukakan oleh pengawal. Ia masuk kemudian menaiki tangga menuju lantai dua. 'Menyebalkan! Bisa-bisanya dia menempatkan kamar wanita ini di lantai atas,' omelnya dalam hati. Setibanya di kamar, ia membaringkan Yasmin di kasur pasien. Datanglah dua orang perawat yang membantunya mengeluarkan Yasmin dari kantung janazah.Kamar itu berisikan alat-alat medis seperti di kamar rumah sakit pada umumnya. Bahkan yang ada di kamar itu jauh lebih lengkap. Sekarang Yasmin sedang ditangani oleh seorang dokter dan dua perawat. ***Aldrich sedang menunggu seseorang di lantai bawah. Ia meregangkan otot-ototnya. Menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri sehingga menimbulkan bunyi gemeretak. Orang yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. "Oh, Aldrich! Ternyata kau sudah sampai. Di mana Yasmin? Apa dia telah tiada?" tanya seorang wanita dengan gaun hitam yang melekat di tubuhnya. S
"Azkara!" panggil Liza sekali lagi. Ia mengitari kamar adiknya. Mengecek ke kamar mandi dan balkon. Tak jua didapatinya keberadaan sang adik. Pantang menyerah, dia lalu mendatangi seluruh ruangan di lantai dua. Hasilnya nihil. Ia kembali ke kamarnya dan menghubungi Azkara. Namun, nomornya tidak dapat menerima panggilan. "Dia tidak ada di mana pun. Ditelepon juga tidak aktif. Kemana dia selarut ini? Arland, dia pasti tahu ke mana Azkara." Ia kembali turun untuk menemui Arland. Bukannya permisi atau mengetuk pintu, Liza malah menerobos masuk begitu saja."Kau tahu kemana Azkara pergi? Dia tidak ada di kamarnya.""Dia pergi untuk mengurus suatu hal yang penting," jawab Arland. Matanya menahan kantuk. "Iya, tapi kemana, hah? Jangan bilang kalau kau tidak akan memberitahuku. Dengar! Aku berhak untuk tahu.""Saya sudah berjanji padanya untuk tidak memberitahu siapa pun.""Ya ampun! Jangan bilang karena alasan itu makanya Azkara menyuruhmu untuk tinggal di sini kembali.""Saya hanya tingg
Azkara tengah berada di restoran hotel G Foresst bersama dua ajudannya. Ia menanti kehadiran Zayyan sang polisi yang ditugaskan untuk mencari Meika. CEO tampan itu tidak memakai pakaian resmi. Ia terlihat santai dengan gaya berpakaiannya. Hoodie abu-abu dan celana spot panjang dengan warna yang senada. Sepatu kets putih melekat di kakinya. Tentunya semua barang tersebut dari brand terkenal. Dia juga memakai masker agar tak mengundang banyak perhatian. "Selamat pagi, Tuan Muda Azkara Arghantara! Senang bisa bertemu dengan Anda." sapa Zayyan ramah. Ia mengulas senyum serta tangan kanannya terulur kepada Azkara. Azkara menjabat tangan Zayyan. "Selamat pagi, Pak Zayyan. Senang juga bisa bertemu dengan Anda. Maaf jika saya harus memakai masker seperti ini." "Tidak masalah, Tuan. Anda juga harus tetap menjaga privasi Anda di khalayak ramai."Mereka berdua kemudian duduk membahas topik penting yang menjadi tujuan Azkara datang ke sana. "Langsung saja, Tuan Azkara. Saya akan berusaha me
Orang yang menghubunginya malah menjawab dengan bahasa korea. 'Astaga! Mau apa orang ini, aku tidak bisa bahasa Korea,' batin Liza. Walau tidak bisa, tapi dia sedikit tahu beberapa kata dan logat Korea.Liza bertanya dalam bahasa Inggris, "Who are you? Do you know me?" (Siapa kau? Apa kau mengenalku?)"Hhmm," balas pria yang meneleponnya. Respon penelepon misterius itu berhasil membuat Liza geram. Bisa dipastikan tensinya naik sekarang. "If nothing is important, you better not call!" (Jika tidak ada yang penting, Anda sebaiknya tidak menelepon!) hardik Liza yang sudah kesal. Sebelum Liza memutus panggilan, penelepon itu berkata, "Kim Malvin!""What? Malvin, is that you?" (Apa? Malvin, Kaukah itu?) tanya Liza tak percaya. "Menurutmu siapa lagi? Sorry, aku baru bisa menghubungimu karena pagi tadi aku baru saja tiba di Seoul." Malvin berdiri dekat jendela, melihat pemandangan kota sembari meneguk teh favoritnya. "Thanks, Liz. Berkat bantuanmu aku bisa membawa Meika ke sini. Tenang s