Share

BAB 5

Yasmin menunggu sendirian di aula. Sudah hampir tiga puluh menit, rekannya tak jua kembali. Gadis itu mulai kesal dan bangkit dari duduknya.

"Kemana dia? Apa dia sudah pulang? Kenapa tidak mengabariku?" gerutu Yasmin. Ia lalu berjalan mondar-mandir.

'Jika tidak terpaksa. Aku tak sudi bekerja sama dengan Oliv. Modelan orangnya saja begitu. Dasar jutek!' ucapnya dalam hati.

Ia ingin sekali menelepon rekannya itu. Tetapi, ia takut akan mengganggu percakapan antara Oliv dan si Nyonya Muda.

"Yas!" tegur Oliv.

Ia sudah tiba di aula. Kali ini tangannya membawa sebuah map berisi perjanjian kontrak kerja sama dengan Nyonya Muda.

"Lama sekali kau! Aku muak menunggu di sini," keluh Yasmin padanya.

"Anggap saja kita impas. Beruntung Nyonya Muda itu mau bekerja sama dengan kita. Nampaknya ia sangat menyukai desain gaunmu. Kode desainmu yang ZD09X."

"Oh, yang itu. Aku pikir tidak akan ada yang menyukainya. Karena model yang kubuat itu cukup abstrak. Tetapi biar bagaimana pun itu terlihat unik! Jangan lupakan! Aku begadang semalaman untuk menyelesaikannya. Dan itu desain terbaruku," tutur Yasmin membanggakan diri.

"Ya, ya, ya. Hanya orang yang memiliki selera seni tinggi yang menyukai desain abstrakmu itu!" sindir Oliv.

"Ini." Tangannya menyodorkan map berisi beberapa berkas beserta pulpen kepada Yasmin.

"Kau pelajari dan tandatangani secepatnya. Sore nanti salinan berkasnya akan kukirim ke Sania," pinta Oliv.

"Sania?" tanya Yasmin.

"Wanita tadi yang ingin bicara denganku. Dia adalah asisten pribadi Nyonya Muda, klien baru kita," ujar Oliv.

"Oh, baiklah aku baca berkas ini dulu."

Yasmin membaca dokumen dengan teliti. Dibacanya persyaratan yang diajukan oleh kliennya, di dalamnya tak ada yang aneh, termasuk hal yang umum dan wajar.

"Raline Van Calleythi?"

'Namanya tidak asing,' batin Yasmin.

"Liv, nama klien kita Raline Van Calleythi?" tanyanya pada Oliv yang duduknya tak jauh darinya.

"Iya. Memangnya kenapa?" tanya Oliv penuh selidik.

"Tidak apa-apa." Yasmin pun menandatangani berkas tersebut.

"Liv, kenapa Nyonya Calley tantenya Nyonya Muda itu, mengadakan rapat kerjasama kita di gedung ini? Biasanya kan di mana-mana itu kalau tidak di cafe ya di restoran atau di tempat lain yang lebih cocoklah. Bisa juga di kantornya saja kan? Tetapi, ini kenapa malah di gedung seperti ini. Ya meskipun kesannya sama dengan gedung pameran praga busana pada umumnya. Tapi, bagiku ini cukup aneh."

Ia melihat sekeliling ruang aula yang hanya ada mereka berdua.

"Aku juga kurang tau. Memang Nyonya Calley ini terkenal dengan syaratnya yang aneh. Katanya, dia juga tidak suka dengan keramaian. Tapi, dia itu sungguh kaya," ungkap Oliv.

Mendengar kata 'kaya', Yasmin sontak memutar kedua bola matanya dengan malas.

"Nanti malam kamu datang ke kediamannya Nyonya Raline, ya. Dia ingin kalian berbincang mengenai desain gaun di sana."

"Hanya aku saja yang ke sana? Apa kau tidak ikut?"

"Tidak! Lagi pula tugasku kan sudah selesai. Kontrak kesepakatan kerjasama juga sudah ditandatangani. Kita akan bekerja sama dengan perusahaan Nyonya Raline selama satu tahun kedepan. Sekarang tinggal tugasmu sendiri yang harus kau kerjakan Desainer Yasmin Evlynzee!"

"Oke!"

***

"Ma! Azkara udah bangun?" tanya Liza sesampainya ia di rumah.

"Udah tuh," jawab mamanya yang sedang menyulam.

Liza beranjak pergi ke kamar Azkara. Namun, tak didapatinya adiknya di dalam. Dia pun berjalan ke ruang kerja Azkara. Ia mengetuk pintu, terdengar suara Azkara dari dalam untuk mempersilakannya masuk.

"Masuk saja!" seru Azkara dari dalam.

Liza masuk dan dilihatnya sesosok pria yang sangat tak ia sukai yakni Arland. Ia menatap sinis ke arah Arland. Arland yang mengetahuinya pun tak ambil pusing.

Liza duduk di sofa sudut dekat dengan jendela. "Azka!" panggilnya.

"Hmm."

Azkara hanya berdeham sembari serius membaca berkas berisikan anggaran untuk mengganti kerugian gedung resepsi yang terkena bom.

"Kamu masih mencari Meika?" tanya Liza.

"Pertanyaan macam apa itu kak? Tentu saja aku masih mencarinya," jawab Azkara sembari tersenyum tipis. Ia tahu betul apa yang dimaksud kakaknya.

"Lalu apa sudah ada hasil? Apa dia sudah ditemukan?"

"Hampir."

Liza mengernyitkan dahinya.

"Saya permisi dulu, Tuan Muda!" pamit Arland.

"Tunggu, Lan, tetap di sini saja. Masih ada beberapa hal yang harus kita bahas."

"Baiklah kalau begitu, Tuan Azka."

Liza mendecap kesal atas keberadaan Arland. "Percayalah padaku, Azka! Pencarianmu itu akan sia-sia saja. Aku heran kenapa kau masih saja mencarinya? Dia sudah meninggalkanmu! Bisa saja dia pergi dengan lelaki lain atau dia memang berniat untuk mempermalukan kita," tuduhnya.

"Sudah, kak! Hentikan! Meika bukan wanita seperti itu. Aku mengenal sifatnya," Azkara menampik ucapan kakaknya.

"Kau mengenalnya? Kalau begitu aku juga mengenalnya! Jika dia memang tidak seperti yang kupikirkan. Untuk apa dia lari darimu? Pergi begitu saja. Kepergiannya sungguh tidak jelas. Lebih baik kau akhiri saja hubunganmu dengannya. Di awalnya saja sudah tidak jelas begini. Mau bagaimana lagi di akhir?"

"Dengan kepergiannya yang tidak jelas itulah aku harus menyelidikinya. Kita tidak ada yang tau apa yang terjadi malam itu. Dan untuk urusan rumah tanggaku, cukup aku saja yang mengaturnya, kak!"

Liza yang sudah tidak ingin berdebat pun akhirnya memilih keluar. Saat ia melangkah ke luar pintu dan menutupnya, ia mendengar suara ponsel berdering. Ia pun menurungkan niatnya untuk pergi dan tetap berdiri di depan ruang kerja Azkara guna menguping pembicaraan di dalam.

"Halo, Bar! Bagaimana?" tanya Arland yang mengangkat panggilan masuk di teleponnya.

"Baiklah, kalian tetap berada di sana," sambungnya lagi. Panggilan telepon pun diakhiri.

"Tuan Muda, anak buah kita lagi-lagi kehilangan jejak Nyonya Meika."

Arland menceritakan aksi kejar yang dilakukan anak buahnya dengan Yasmin pada Azkara. Liza memasang telinganya lebar-lebar mendengar rincian penjelasan kata demi kata yang diucapkan Arland.

"Kenapa Meika senekat itu? Seniat itukah dia menjauhiku?" rintih Azkara yang tak menyangka dengan apa yang diceritakan Arland padanya.

"Ini foto yang berhasil diambil Akbar, Tuan Muda." Arland memberikan ponselnya pada Azkara.

Tertera di layarnya gambar seorang wanita dengan rambut dicepol sedang menyetir mobil. Foto itu diambil dari sisi kanan wanita tersebut.

"Ini?" Azkara terpelongo melihat foto yang ditunjukkan Arland padanya.

Wanita itu persis seperti Meika. Hanya pada mata sedikit berbeda. Bentuk matanya tajam dan ukurannya sedikit lebih panjang daripada mata Meika yang bentuknya lebih bulat.

"Ini Meika bukan? Tapi aku merasa ada yang berbeda darinya," cetusnya.

"Apanya yang berbeda, Tuan Azka?"

"Entahlah, aku masih mencari letak perbedaannya." Azkara sibuk menatap foto wanita dengan rambut dicepol yang dikiranya adalah Meika, jarinya memperbesar gambar bagian wajah itu.

Liza yang sedari tadi menguping bertanya-tanya di dalam hati, bagaimana bisa foto Meika didapatkan. Sedangkan ia tahu persis di mana letak keberadaan adik iparnya itu.

Liza bergumam, "Aku harus mencari tahu lokasi Meika yang ditemukan oleh Azkara."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status