Share

2. Dia... Revita

Penulis: Yuli F. Riyadi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-17 17:17:24

Melinda berjalan cepat menyusuri koridor kantor Gavin siang itu. Nyonya besar pemilik PT. Bumi Indah Tbk memasang wajah masam. Bahkan sapaan para karyawan tidak dia hiraukan. 

Rambutnya yang sebatas leher terlihat rapi dan mengkilap. Anggota tubuhnya berhias mutiara asli dari Laut Jepang. Outfit yang dia kenakan juga memiliki nilai jutaan rupiah. Yang melekat di tubuh wanita paruh baya itu tidak ada yang murah. 

Vania yang melihat kedatangan wanita itu sontak berdiri. Dadanya agak deg-degan. Tidak biasanya Nyonya besar menyambangi kantor Gavin, kecuali pria itu susah ditemui. 

"Selamat siang, Bu," sapa Vania seramah mungkin.

"Gavin mana?" tanya Melinda dengan dagu terangkat. 

"Pak Gavin ada di ruangannya, Bu. Mari saya antar."

Melinda mengangkat tangan sebelum Vania beranjak dari meja kerja. "Tidak usah. Saya bisa masuk sendiri." 

Wanita itu membuka pintu ruang direktur tanpa mengetuk terlebih dulu. Sontak hal itu membuat Gavin mendongak. 

Pria bermata cokelat itu menarik napas melihat sang mama berjalan mendekat. Dia seolah bisa memprediksi apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian. 

"Gavin, mama mendapat laporan nggak enak dari mamanya Talia. Dia bilang selama makan malam kemarin kamu cuma diam dan banyak nggak merespons kalau Talia bicara," omel Melinda begitu berada di depan putranya. 

Pria berambut lebat itu menghela napas, lalu bergerak menutup pena yang dia pegang. 

"Mama baru datang kok sudah mengomel sih? Duduk dulu dong, Ma," ucap Gavin berusaha bersikap sabar. Dia berdiri dan keluar dari rongga antara meja dan kursi. Langkahnya memutari meja itu dan ketika tangannya bisa menjangkau sang mama, dia menggiring wanita itu untuk duduk. 

"Gimana mama nggak ngomel? Kencanmu terancam gagal. Untungnya Talia masih mau ngedate ulang." 

Kening Gavin berkerut. "Ngedate ulang?"

Melinda mengangguk, lantas memangku tas mahalnya. "Iya, Minggu depan kalian makan malam lagi. Ingat loh, Vin. Jangan sampai kamu bersikap kayak kemarin. Pokoknya mama pengin kali ini harus berhasil." Wajah masam Melinda, berubah semringah ketika mengatakan itu. Sangat kontras dengan Gavin yang mulai kebingungan cara menolak kencan unfaedah itu. 

Pasalnya dari pertemuan kemarin dia sudah mati kebosanan karena mendengarkan ocehan wanita bernama Talia. Bukannya dia tidak merespons, tapi memang tidak ada kesempatan untuk melakukan itu. Gila saja, dia tidak mau memiliki istri yang maunya cuma didengarkan tanpa mau mendengarkan. 

"Ma, kalau aku kayak gitu berarti aku nggak cocok, Ma. Dan nggak berniat lanjut." 

"Memangnya kenapa? Talia kurang cantik?"

Pria yang sekarang mengenakan kemeja navy itu menggeleng. "Dia cantik, tapi bukan tipe aku."

Seketika itu bahu Melinda melorot. Dia mengempaskan punggung ke sandaran kursi. Sebelah tangannya memijat dahi yang mendadak berdenyut. 

"Kamu mau wanita yang kayak gimana lagi, si Vin?" keluh Melinda, tampak pusing. "Adik-adikmu sudah menikah. Apa kamu nggak iri?" 

Senyum manis Gavin terulas, dia mendekati Melinda lalu berjongkok di depan wanita itu. Dua tangan yang kulitnya agak kendur milik sang mama dia gapai. 

"Aku nggak apa-apa, Ma. Aku nggak iri sama adik-adik. Urusan jodohku mama nggak perlu memikirkannya lagi. Nanti —"

"Mama akan berhenti memikirkan kalau kamu mengenalkan seorang wanita ke rumah." Melinda melepas pegangan tangan anaknya, lantas berdiri. 

Perkara sulit. Gavin cuma bisa membuang napas lalu kembali berdiri. Dia berbalik menghadap sang mama ketika kepalanya mengingat gadis cilik penjual bunga. 

"Ma, mama ingat Revita enggak?"

Pertanyaan yang meluncur dari sang putra membuat Melinda sedikit kaget. Dia menatap Gavin dengan alis tertaut. Sudah lama sekali putranya tidak menanyakan tentang Revita. Perasaan gelisah mendadak menyusup. Apakah Gavin bertemu perempuan itu lagi? 

"Anaknya Bi Ayun, yang pernah kerja di rumah kita delapan tahun lalu," jelas Gavin, karena tidak ada reaksi apa pun dari Melinda. 

Wanita yang dipenuhi barang branded itu berdeham sesaat. "Mama nggak lupa sama Bi Ayun, tapi kalau anaknya mama lupa."

Tepatnya pura-pura lupa, karena Melinda tidak ingin mengingat mereka. Gembel yang tidak lebih daripada sampah. 

"Kenapa kamu tiba-tiba bertanya begitu?" tanya Melinda, mencoba mencari tahu. Jika benar Revita muncul lagi, dia tidak akan tinggal diam. 

"Kemarin aku bertemu gadis kecil, wajah gadis itu mirip dengan Revita." 

"Mama kira ada apa. Itu kan cuma mirip. Lagian Revita pasti sudah dewasa." 

"Iya, aku tahu. Tapi aku sempat berpikir kalau gadis itu anak Revita."

Jantung Melinda seakan berhenti berdetak. Dia menatap jeri sang anak. Ada gugup di kedua mata yang sedang coba wanita itu tutupi. "Itu hanya pikiran kamu. Mereka sudah kembali ke kampung. Jadi, mana mungkin ada di sini lagi." 

"Bisa saja kan?" 

"Sudah. Nggak perlu memikirkan mereka. Fokus saja ke masa depanmu." Melinda berusaha mengalihkan perhatian Gavin. Padahal dadanya sudah sangat bergetar saat anaknya menyebut nama anak pembantu itu. 

"Sampai sekarang aku belum bisa melupakan mereka. Dan masih bertanya-tanya kenapa mereka pergi begitu saja," ucap Gavin setengah bergumam dengan pandangan menunduk. 

Melinda tidak peduli. Baginya pembantu dan anaknya itu sudah mati. Dua anak dan ibu tidak tahu diri itu hampir merusak kebahagiaan keluarganya. Jika keduanya berani muncul di hadapan Melinda, wanita itu bersumpah akan mengenyahkan mereka dari muka bumi. 

"Sudah. Mama mau pulang. Kamu nggak perlu antar mama." Melinda menyandang tas lalu menerima salim dari Gavin, sebelum keluar dari ruang mewah itu. 

Selepas kepulangan Melinda, Gavin dan Vania mengunjungi gedung produksi, yang terletak tidak jauh dari gedung kantornya. Gedung produksi sebenarnya memiliki manajemen sendiri, tapi masih termasuk anak cabang perusahaan. Anak-anak cabang produksi lain juga tersebar di beberapa titik daerah di seluruh tanah air. Namun, cabang paling banyak berada di Pulau Jawa. 

Kedatangan Gavin bertepatan dengan jam istirahat siang. Dia sengaja melakukan itu agar para anak produksi tidak terkejut dengan kedatangannya. 

Namun, ketika dia sedang memperhatikan penjelasan supervisor yang menemaninya berkeliling, tatapnya menangkap sesuatu yang tidak dia duga. Dia melihat seorang wanita berseragam layaknya karyawan produksi lain tengah berbincang dengan salah satu rekannya. Sesekali wanita itu tertawa, lalu entah berbicara apa. 

Dari posisinya, Gavin terus memperhatikan wanita itu. Lalu rasa yang sudah dia kubur dalam-dalam perlahan merayap naik, menjalari seluruh tubuhnya. Selama beberapa lama Gavin tertegun di tempat. Dia tidak merespons penjelasan apa pun dari supervisor yang mungkin mulutnya sudah berbusa-busa menjelaskan perkara proses produksi. 

"Nah, dari sini kita akan memasuki proses sterilisasi. Kita bisa lanjut ke—" 

Ucapan supervisor terjeda ketika secara tiba-tiba Gavin mengangkat tangan. Supervisor dan Vania sontak bingung dan saling tatap, ketika fokus Gavin ternyata tertuju ke lain tempat. 

"Kenapa, Pak? Ada masalah?" tanya Vania heran. Namun, tanpa dia duga, pria berahang tegas itu mengangguk. 

"Pak Taufik, siapa wanita itu?" tanya Gavin kepada supervisor tanpa melepas pandang dari wanita yang berada di meja staf leader. 

"Yang mana, Pak?" tanya pria bernama Taufik itu

"Yang rambutnya dikucir satu. Dia berdiri di meja staf leader." 

Supervisor bertubuh gempal itu memanjangkan leher, dan melihat wanita yang bosnya maksud. "Ooh, dia Revita, Pak. Salah satu staf leader kami." 

Jadi, Gavin tidak salah melihat. Dia tidak sedang berhalusinasi. Meskipun delapan tahun tidak bertemu, dia tidak mungkin melupakan wajah itu. Wajah yang selalu menebar senyum ketika dia menemuinya dulu. Apakah sekarang pun sama?

"Dia sudah berapa lama di sini, Pak?" tanya Gavin lagi. Bisa-bisanya dia tidak tahu jika wanita itu ada di kota ini.

"Sekitar tiga tahunan kalau nggak salah."

Apa? Tiga tahun? Bagaimana bisa Gavin melewatkan waktu sebanyak itu? Refleks pria itu mengepalkan tangan. Dalam hati dia bertekad tidak akan melepas Revita, kecuali wanita itu sudah memiliki suami. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Cut Zanah
masih pemasaran.. ......
goodnovel comment avatar
Yuli F. Riyadi
Wkwkwk.....
goodnovel comment avatar
Anies
mantan terindah nih kayaknya.. hmm nenarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Terjebak Bersama Dua Mantan   150. Musim Gugur di Beacon Hill

    Berjalan sambil bergandengan tangan di Charless street pada musim gugur akan menjadi momen romantis yang tidak akan pernah Revita lupa. Berbaur di pemandangan jalan yang mempesona si kawasan pinggir kota paling tua dan makmur, Boston. Untuk ke-empat kalinya Gavin mengajak Revita dan anak-anak ke kota ini dan wanita itu akui tidak pernah bosan berada di tempat ini. "Ini kali pertama kita ke sini pas musim gugur. Kalau tau bakal seindah ini aku pasti sudah minta ke sini di bulan-bulan musim gugur sebelumnya," ujar Revita dengan bibir maju. Sudah empat kali berkunjung, dan dia baru melihat musim secantik ini. Kakinya yang terbungkus boots panjang berjalan menapaki trotoar yang terbuat dari batu kerikil. Matanya mengedar dengan senyum yang mengembang memperhatikan barisan rumah bergaya federal. Yang menarik, rumah-rumah di sini memiliki pengetuk pintu dari kuningan yang dipoles alih-alih bel wifi atau listrik. Gavin bilang itu adalah simbol tak resmi kawasan pinggir kota ini. "Musim g

  • Terjebak Bersama Dua Mantan   149. Kejutan (2)

    Begitu membuka pintu kosan, Revita langsung melihat wajah putrinya yang tersenyum lebar. Anak itu segera menghambur ke pelukannya. Di belakang Reina, Gavin melambaikan tangan seraya tersenyum manis. "Mama udah siap?" tanya Reina, kepalanya meneleng untuk melihat barang-barang di belakang punggung ibunya. Hanya ada satu koper besar dan tas jinjing berukuran sedang. "Isi rumah nggak dibawa, Ma?" Revita terkekeh sembari menggeleng. "Barang-barang itu kan bukan milik kita, Na. Ada-ada aja kamu."Gavin sendiri langsung mengambil alih bawaan sang istri dan segera memasukkannya ke bagasi mobil. Akhirnya hari yang dia tunggu tiba. Revita dan Reina akan tinggal bersamanya menjadi satu keluarga utuh. "Itu apa?" tanya Gavin melihat kotak dengan ukuran lumayan besar yang dibungkus kado. Revita mengikuti arah pandang Gavin. "Itu dari teman-teman di pabrik. Belum aku buka sih." "Dibawa juga?" "Iya. Kado perpisahan." Selain koper milik dirinya, ada juga koper milik Reina di bagasi mobil Gavin

  • Terjebak Bersama Dua Mantan   148. Kejutan (1)

    Mata Revita mengerjap. Mungkin yang Indila katakan benar, tapi wanita itu tidak boleh pesimis. Mahesa hanya belum melupakan Revita, tapi bukan berarti tidak bisa melupakan. Revita tersenyum menatap wanita manis di depannya. "Dengan lo terus di sampingnya, gue yakin dia bisa segera lupain gue. Apalagi lo deket sama Dony. Sekedar informasi, meski dia dulu deketin gue, dia nggak pernah loh ngenalin anaknya ke gue. Tapi ke lo? Nah itu tandanya dia serius sama lo." Wajah mendung Indila hilang seketika. Berganti dengan wajah penuh senyum. "Lo bisa aja, Re," katanya cengengesan. "Gue yakin sih bentar lagi lo bakal dilamar," goda Revita seraya menaik-turunkan alisnya. "Nggaklah. Gue bakal kasih waktu ke dia buat terima kenyataan bahwa lo itu milik keponakannya." Kedua wanita itu lantas tertawa. Lalu saling berpelukan. Tepat saat itu Revita seolah menyadari sesuatu. "Tunggu-tunggu." Revita melepas pelukannya dan mengangkat tangan sejenak. Dia merasa ada yang aneh di sini. "Jadi, lo mau p

  • Terjebak Bersama Dua Mantan   147. Pagar Makan Tanaman

    Perombakan kesekretariatan ternyata lumayan mengundang perhatian. Bukan hanya itu, Gavin juga memecat beberapa sekretaris yang diduga berkomplot menjebak dirinya, termasuk Ferial. Tidak peduli dikatakan presdir kejam atau apa. Baginya perbuatan Ferial dan teman-temannya sudah melampaui batas. Kejadian mabuknya Ferial membuat Gavin tahu betapa busuknya perempuan itu. Paginya, begitu wanita itu sadar, Gavin memintanya untuk pulang ke Indonesia. Sempat ada drama dan permohonan maaf dari Ferial, tapi Gavin tak peduli dan tetap mengirim wanita itu kembali ke Jakarta. Alhasil seminar dua hari dan rapat terakhir dia lakukan sendiri tanpa dampingan sekretaris. "Jadi, apa yang bikin kamu memecat mereka?" tanya Mahesa saat pria itu berkunjung ke kantor Gavin. Kabar itu cukup bikin heboh. "Mereka kerjanya tidak becus," sahut Gavin sambil terus menandatangani dokumen di mejanya. Menarik kursi di depan meja, Mahesa pun duduk. "Apa yang mereka lakukan?" "Aku yakin Om sudah tau apa yang terjadi

  • Terjebak Bersama Dua Mantan   146. Resiko

    "Mas?" Rasa kantuk dan kesal hilang seketika saat Revita menemukan suaminya sudah berdiri di depan pintu kosan. Dia mengucek mata untuk memastikan penglihatannya tidak salah. Ini sudah hampir pukul satu malam. Kenapa Gavin ada di sini? "Kaget ya? Biarin aku masuk dulu, Re. Aku capek." Gavin hendak masuk kamar, tapi segera Revita tahan. "Tunggu-tunggu, kamu beneran Mas Gavin, kan? Bukan demit yang nyamar jadi suamiku?" Detik berikutnya Revita terpekik karena mendapat sentilan di dahi. Dia segera mengusap dahinya yang kesakitan. "Demit mana ada yang seganteng suami kamu." Dengan pelan Gavin mendorong Revita masuk, begitu pun dirinya yang lantas ikut masuk dan menutup pintu kamar kosan. "Tapi, Mas. Kamu kan lagi ada di Malaysia. Kok sekarang udah ada di sini aja? Mana malam-malam lagi datangnya." Rasanya Revita belum puas mendapat jawaban dari pria itu. "Kamu kabur ya?" Melepas sepatu, Gavin pun juga melepas kemeja beserta celana panjangnya. "Seminar sudah selesai. Bu

  • Terjebak Bersama Dua Mantan   145. Merepotkan

    "Berapa hari?" Selain meeting ada seminar kewirausahaan yang harus Gavin hadiri selama dua hari. Kebetulan dia akan menjadi salah satu pengisi materi di hari kedua seminar yang diadakan di Kuala Lumpur tersebut. "Mungkin 3 sampai 4 hari, Sayang." "Hm, lama." Reina cemberut. "Mama weekend katanya masuk kerja. Masa papa juga belum balik?"Gavin menyentuh kepala Reina. "Papa usahakan weekend sudah kembali," ucapnya tersenyum. "Pak, sudah waktunya berangkat!" Di dekat mobil, Ferial kembali mengingatkan. Mata cokelat Reina langsung melirik tak suka. "Ih, aku nggak suka sama sekretaris papa yang itu. Kenapa bukan Tante Vania aja sih?" "Tante Vania ada pekerjaan lain.""Ya ganti aja jangan yang itu. Kelihatannya genit. Mentang-mentang cantik. Papa nggak takut mama cemburu?" "Uhm—""Papa mau ke Malaysia bareng dia kan?"Gavin mengangguk ragu. Semoga ini bukan masalah. "Tapi kami ke sana cuma bekerja. Dia di sana cuma membantu pekerjaan papa. Sekaligus papa lagi nguji dia layak atau ngg

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status