Share

CHAPTER 7: Gay?

"Kamu sudah cukup lama menjadi sekretaris Edgar. Kamu pasti mengetahui banyak tentang kehidupan anak saya, apa kamu tahu tentang urusan percintaannya—maksudnya, apa kamu tahu Edgar sedang menjalin hubungan dengan seorang perempuan?" Mia menatap Nesa dengan tatapan penuh harap.

Nesa menggeleng sebagai jawaban. Walaupun ia sudah cukup lama menjadi sekretaris Edgar, tapi ia tidak pernah tahu urusan percintaan bosnya. "Maaf, tapi saya tidak mengetahui urusan percintaan Pak Edgar, sepertrinya itu juga terlalu privacy."

"Kamu tidak tahu ya... baiklah." Mia menjeda ucapannya beberapa detik, lalu kembali menatap Nesa. "Tapi, apa kamu pernah melihat Edgar tertarik dengan seorang perempuan, maksudnya pergi berkencan, atau menyuruh kamu untuk mencari tahu kehidupan salah seorang perempuan karena Edgar tertarik kepada perempuan itu?" Mia kembali melanjutkan pertanyaannya.

Lagi-lagi Nesa menggeleng. Edgar tidak pernah membahas tentang perempuan kepadanya.

Melihat Nesa menggeleng, membuat Mia mendadak lesu. "Nes..." Mia menatap manik mata Nesa dengan lekat. "Apa Edgar tidak menyukai perempuan?" lirihnya sangat pelan namun masih mampu di dengar oleh Nesa, perempuan itu sampai tersedak ludahnya sendiri ketika mendengar pertanyaan Mia yang satu ini.

"Kamu tahu nggak Nes, saya tuh kepikiran banget sama omongannya Mbak Evi. Mbak Evi bilang kalau Edgar nggak mau nikah sampai sekarang mungkin karena dia emang nggak tertarik aja sama perempuan. Saya khawatir kalau itu benar."

Nesa menggeleng. "Bu, Pak Edgar nggak mungkin kaya gitu, 'kan? Mungkin Pak Edgar belum mau menikah karena memang belum mau saja, dia masih ingin fokus dengan pekerjaannya," jelas Nesa mencoba membuat Mia berpikir positive tentang putranya.

"Tapi coba kamu ingat, apa Edgar pernah berhubungan dengan seorang perempuan? Sepertinya hanya sekedar duduk mengobrol santai dengan seorang perempuan saja tidak pernah... ya, kecuali kalau masalah pekerjaaan—maksud saya berinteraksi dengan seorang perempuan diluar urusan pekerjaan. Apa dia penah? Tidak kan? Apalagi membawa seorang perempuan ke rumah, memperkenalkannya kepada keluarga... tidak pernah, Nes...."

Benar sekali. Padahal ada banyak sekali perempuan yang dengan terang-terangan menggodanya jika sedang menghadiri sebuah acara, namun Edgar terkesan acuh, seperti tidak tertarik. Bahkan, ada juga beberapa orang tua rekan bisnisnya yang secara tidak langsung, maupun secara gamblang berniat untuk mengenalkan putri-putrinya kepada Edgar, namun tentu saja lelaki itu menolaknya.

"Bagaimana kalau itu adalah kenyataannya, Nes. Edgar... gay?" Mia langsung menutup wajah dengan kedua tangan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Nesa? Perempuan itu hanya mampu menelan ludahnya gugup, awalnya ia memang tidak berpikir sejauh itu, tapi sekarang... setelah Mia mengatakan itu, ia jadi ragu dengan orientasi seksual bosnya.

"Vanesa!"

Nesa terperanjat kaget ketika mendengar suara bosnya. "I—iya?" Nesa bertanya gugup.

"Kamu tidak mendengarkan saya sedari tadi? Saya sudah memanggilmu lebih dari lima kali kalau kau ingin tahu!" Suara Edgar seperti biasa terdengar dingin dan tegas. Nesa yang sedang duduk di sampingnya mendadak gugup, tadi ia sedang mengingat obrolannya dengan Mia beberapa jam yang lalu.

"Maaf, Pak. Saya sedang tidak fokus. Mohon maaf, tadi Pak Edgar bertanya tentang apa?"

"Tumben sekali Mama mengundangmu ke rumah, ada apa?"

Nesa menggeleng. Malam di mana resepsi pernikahan Dina dan Dion, Mia mengajak Nesa untuk ke rumahnya, Nesa kira hanya basa basi biasa, tapi rupanya Mia tidak hanya sekedar basa-basi, perempuan paruh baya itu bahkan sampai menelepon Nesa dan meminta untuk menyempatkan waktunya ke rumah. Dan, ya... Mia bertanya tentang putranya itu.

"Bu Mia, minta saya buat mengajarinya masak gulai ayam, Pak... ya... hanya itu," kata Nesa yang tentu saja berbohong.

"Kau tidak pandai berbohong! Kali ini perempuan anak siapa lagi yang ingin Mama kenalkan sama saya?" tanya Edgar, matanya masih menatap keluar jendela mobil. Dan, Nesa masih tetap diam, bingung akan menjawab apa untuk pertanyaan bosnya.

Keheningan kembali menyelimuti mobil itu, keduanya menatap jalanan kota yang cukup renggang karena malam sudah semakin larut, dan Sandi yang menjadi pengemudi fokus menyetir.

"Boleh saya bertanya?" tanya Nesa pelan, dan hati-hati. Kali ini, ia memandang wajah bosnya.

"Tidak ada perempuan yang sedang saya dekati. Beritahu Mama tentang ini!"

Lagi-lagi Nesa menelan ludahnya gugup. Sepertinya Edgar tidak bodoh, karena dia tahu betul kemana arah pembicaraan Nesa.

"Saya minta maaf sebelumnya kalau saya lancang, atau terkesan sangat ikut campur tentang kehidupan Pak Edgar. Tapi... apa Pak Edgar tidak berniat untuk menikah?" Nesa menatap wajah bosnya, ingin melihat bagaimana ekspresi lelaki itu—namun, seperti biasa lelaki itu tidak merubah mimik wajahnya. "Atau minimal menjalin hubungan dengan seseorang? Ada perempuan yang membuat Pak Edgar tertarik? Siapa? Apa perlu saya bantu?"

Edgar melirik Nesa yang terus menatapnya dengan tatapan penuh harap. "Jadi, kamu diembel-embeli hadiah apa sama Mama kalau kamu berhasil mencari tahu tentang kisah percintaan saya?"

Nesa menggeleng cepat. "Tidak, Pak. Bukan seperti itu. Saya hanya bertanya tadi, Bu Mia merasa kebingungangan tentang Pak Edgar. Katakan kepada Bu Mia jika memang tidak berniat menikah ataupun menjalin hubungan percintaan, beritahu dan jelaskan alasannya."

"Kau mengajari saya?!" Edgar menaikkan satu alisnya bertanya.

Memejamkan mata beberapa detik untuk meredamkan emosinya, Nesa mengalihkan pandangannya keluar jendela. "Bukan mengajari, tapi memberi nasihat."

Edgar menyunggingkan senyum menyebalkan mendengar perkataan Nesa. "Kau yakin memberi nasihat? Lalu, bagaimana dengan urusan percintaanmu?"

Nesa kembali menatap Edgar. Menyebalkan, kenapa lelaki itu malah membahas tentang dirinya? Pikir Nesa.

Mobil berhenti di pelataran sebuah gedung apartemen. Nesa segara memakai tasnya, menatap Sandi yang juga menatapnya lewat pantulan cermin. "Terima kasih sudah mengantarkan saya pulang, Pak Sandi—Nesa menampilkan senyumnya lalu beralih menatap Edgar dengan senyum yang terlihat dipaksakan, lalu melanjutkan ucapannya, "Terima kasih, Pak Edgar. Selamat malam."

Pukul lima sore, setelah ia menyelesaikan pekerjaannya, Nesa langsung pergi ke kediaman kedua orang tua Edgar, mengobrol banyak hal dengan Mia tentang bosnya. Lalu tepat pukul setengah sembilan malam Edgar datang, katanya sih ingin mengambil barang yang tertinggal di rumahnya saat acara arisan keluarga besar Naratama malam itu, dan ya... berakhir mengajak Nesa untuk pulang bersama—ralat! Memaksa Nesa untuk pulang bersama.

Jujur, setelah mengobrol cukup banyak dengan Mia tentang Edgar membuat Nesa merinding jika memikirkan kalau memang benar bosnya tidak tertarik dengan seorang perempuan. Edgar kan lelaki yang di mata orang-orang adalah definisi lelaki idaman. Bukan hanya hartanya melimpah, postur tubuhnya bagus, tinggi, juga pahatan yang sempurna di wajahnya. Apa kata orang jika lelaki itu ternyata... gay?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status