Share

CHAPTER 8: Pengajuan Surat Resign

Kedua bola matanya membola sempura, jantungnya berhenti berdetak untuk beberapa detik, jika saja tidak ada pintu di sampingnya, mungkin Nesa akan duduk terjatuh saking ia merasakan lemas di kakinya.

"Bu Nesa, selamat pagi," sapa Sandi yang baru menyadari kehadiran Nesa. Lelaki itu langsung berdiri dari duduknya dengan wajah yang sedikit terkejut karena kehadiran Nesa, namun dia berhasil menyembunyikan wajah terkejutnya dengan menampilkan sebuah senyuman. Karena sapaan Sandi, Edgar, lelaki yang sedang duduk di sun lounger ikut menatap Nesa.

"Pa—pagi... " Nesa merutuki dirinya sendiri karena suaranya terdengar sangat gugup. Ia berdehem, lalu tersenyum. "Pagi, Pak," ulang Nesa.

"Saya tunggu di luar kalau begitu." Sandi membungkukkan sedikit kepalanya untuk berpamitan, lalu dia berjalan meninggalkan area kolam renang, meninggalkan Edgar dan Nesa yang masih berdiri mematung di dekat sliding door.

Edgar bangun dari duduknya, membenarkan lilitan handuk dipinggangnya lalu mengambil segelas minuman berwarna coklat yang tergelatak di meja, meneguk minuman yang tinggal setengah itu hingga habis tak bersisa.

Nesa membasahi bibir, ketika bosnya sudah berjalan menghampirinya. "Bu Sahila, selaku sekretaris Pak Gino memberi tahu jika jadwal meetingnya minta untuk dilakukan lebih awal. Jam sembilan meeting akan dilaksanakan di kantor Dupont crop, Pak," jelas Nesa.

Edgar mengangguk, lalu berjalan masuk ke dalam rumah. "Saya mandi dulu," katanya.

Nesa berjalan mundur untuk duduk di kursi bar, dengan cepat ia menggeleng-gelengkan kepalanya, membuang pikiran negatif yang ada di kepalanya. Saat Nesa baru tiba di kediaman rumah milik Edgar, ia langsung menuju ke area kolam renang yang ada di halaman samping, ia sudah hafal betul jika bosnya pasti sedang berenang di jam segini. Namun, yang membuat kaki Nesa mendadak lemas adalah; posisi Edgar yang sedang duduk di sun lounger, dan Sandi yang sedang duduk bersimpuh dengan wajah yang berhadapan dengan—tidak! Memikirkannya saja membuat Nesa merinding. Posisinya terlihat ambigu di mata Nesa. Sebaiknya memang tidak terlalu berpikir negatif—tapi setelah pembicaraannya waktu itu yang membuat Nesa menjadi ragu dengan orientasi seksual bosnya, membuat Nesa tidak bisa berpikir positif tentang lelaki itu.

"Maaf, saya sedang tidak memegang handphone tadi."

Nesa sedikit terperanjat kaget karena mendengar suara Sandi. Ia langsung memutar wajahnya menatap lelaki yang sudah rapih mengenakan setelan jasnya.

"Iya, tida papa, Pak."

Jadwal meeting dengan direktur Dupont Crop memang awalnya akan dilaksanakan pada pukul satu siang, namun sekretaris direktur Dupont Crop memberi tahu Nesa jika jadwal meetingnya dimajukan menjadi pukul sembilan karena beliau mendadak ada urusan bisnis ke luar negeri katanya. Nesa sudah menghubungi Edgar, namun teleponnya tidak diangkat, dan chatnya juga tidak dibalas. Nesa juga menghubungi Sandi, untuk memberi informasi, namun lelaki itu juga tidak bisa dihubungi. "Dari jam berapa Pak Sandi datang?" tanya Nesa sedikit berbasa-basi.

"Tadi malam, kebetulan saya menginap di sini, Bu."

Nesa mengedipkan matanya. 'Menginap?' Oh! Ayolah kenapa pikiran Nesa kali ini sangat jelek sekali? Ia benar-benar berpikir sangat negatif tentang kedua lelaki ini.

"Bu Nesa pucat sekali, apa sedang sakit?" tanya Sandi.

Nesa dengan cepat menggeleng. "T—tidak...."

"Belum sarapan?" tanya Sandi, lagi.

"Ah! Iya... sepertinya karena saya belum sarapan." Nesa menganggukkan kepalanya sambil tersenyum canggung. "Pak Sandi sudah sarapan?"

Sandi menggeleng. "Belum, Pak Edgar juga belum sarapan."

"Baiklah, saya akan menyiapkan pakaian untuk Pak Edgar terlebih dahulu, sembari menanyakan apa yang ingin Pak Edgar makan untuk sarapan hari ini. Pak Sandi ingin saya buatkan apa untuk sarapan?"

"Apapun, saya tidak masalah."

Nesa mengangguk sambil tersenyum. "Baiklah, saya ke atas dulu, Pak."

***

Nesa melirik bosnya yang memasang wajah datar andalannya—namun tidak dipungkiri lelaki itu pasti sedang dalam suasana baik karena direktur Dupont Crop siap berinvestasi untuk pembangunan proyek sky house dari hasil meetingnya. Mereka sedang dalam perjalan menuju ke kantor.

"Ada hal penting yang saya ingin bicarakan dengan Pak Edgar," ucap Nesa memecah kesunyian di dalam mobil itu.

"Masalah percintaan saya? Saya sedang dalam suasana baik saat ini, jangan memperburuk suasana."

Nesa menggeleng cepat. "Tidak, ini bukan tentang hal itu."

"Setidaknya biarkan saya menyantap makan siang saya dengan tenang, baru kau boleh berbicara tentang apa yang ingin kau katakan."

Nesa mengangguk lemah, "Baiklah."

"Mau mampir ke sebuah restoran untuk makan siang terlebih dahulu?"

"Tidak, hari ini saya ingin makan siang di cafetaria." Edgar menjawab pertanyaan yang dilontarkan Sandi.

Tepat beberapa menit setelahnya, mobil yang ditumpangi mereka berhenti di pelataran gedung kantor, seorang lelaki yang berjaga di depan pintu masuk segera membuka pintu mobil, menyambut kehadiran sang wakil direktur.

Tumben sekali Edgar ingin makan di cafetaria, biasanya lelaki itu akan makan siang di luar kantor—sebenarnya ada baiknya memang seharusnya Edgar makan siang di luar kantor saja, karena pernah beberapa kali Edgar makan di cafetaria hampir seluruh karyawan tidak ada yang mengobrol, semuanya fokus memakan makanannya.

Sepertinya para karyawan yang sedang berada di cafetaria hari ini juga harus mempersiapkan diri.

Benar sekali! Bisa didengar tawa juga obrolan para karyawan yang sedang berada di cafetaria terdengar sebelumnya, namun begitu Edgar menampakkan dirinya, semuanya langsung diam. Edgar tidak melakukan apapun, dia tidak menggigit, atau bahkan langsung memecat karyawan yang berbicara, namun sepertinya aura Edgar memang menyeramkan!

Nesa, Edgar, dan Sandi duduk di meja yang sama. Mereka menyantap makanannya dengan santai, tanpa ada obrolan. Nesa juga tidak berniat mengatakan apapun, takut jika bosnya akan murka ketika Nesa berbicara dan membuat mood bosnya buruk—katanya, suasana lelaki itu sedang dalam keadaaan baik.

Sebenernya Nesa bukan akan berbicara tentang masalah percintaan bosnya. Ini tentang dirinya—Nesa sudah memutuskan untuk mengajukan surat resign.

Perkataan Ibunya membuat Nesa dipaksa terus untuk memikirkan hal itu. Tujuan Nesa bekerja memang untuk melunasi hutang Ayahnya kepada kedua orang tua Nadya, sekarang hutang itu sudah lunas, Ibunya juga sudah mempunyai rumah makan yang walaupun sederhana tapi itu lebih dari cukup, adiknya juga sebentar lagi wisuda, tabungan Nesa juga sangat cukup bahkan lebih. Ya... semuanya sudah cukup, Nesa sepertinya harus berhenti.

Tanpa menyentuh, Edgar mendongakkan wajahnya menatap Nesa yang sedari tadi berdiri di depan mejanya. Kembali membaca tulisan yang ada di bagian depan amplop yang baru saja beberapa detik lalu Nesa simpan di mejanya, lalu menggeser posisi laptop yang ada di atas mejanya ke samping. "Beri tahu saya alasannya!"

Nesa membasahi bibirnya yang terasa kering, lalu mencoba menampilkan senyumnya. "Sudah hampir tujuh tahun, Pak. Usia saya juga sudah tidak muda lagi. Tidak ada alasan spesial, hanya saja sepertinya semuanya sudah cukup. Saya hanya ingin berhenti."

"Alasan tidak diterima!" Edgar kembali menggeser posisi laptopnya, jari-jarinya kembali bergerak di atas keyboard, kedua matanya fokus menatap monitor.

Nesa masih mencoba tetap tenang, dan menampilkan senyumnya. "Maaf, bukankah itu hak saya, Pak?"

"Kita ada proyek besar, dan kau ingin resign?" Lelaki itu masih fokus menatap layar monitor di depannya tanpa berniat menatap Nesa.

"Pembangunan sky house akan diadakan satu tahun yang akan mendatang. Maka dari itu saya berniat untuk resign sekarang, saya kira masih cukup untuk merekrut sekretaris baru, sampai waktu pembangunan tiba."

Kali ini Edgar menatap Nesa dengan tatapan datar. "Gajimu kurang?"

Nesa lagi-lagi hanya menampilkan senyum lalu menggeleng pelan. "Tidak, gaji yang Pak Edgar berikan sudah lebih dari cukup, terima kasih. Saya sudah mengatakan alasannya tadi kalau tidak ada alasan spesial, saya hanya ingin berhenti dari pekerjaan ini." Nesa kembali menjelaskan.

Edgar berdiri dari duduknya, berjalan dan berhenti tepat di hadapan Nesa. Kedua tangannya di masukkan ke dalam saku celana. "Bisa beri alasan yang lebih spesifik?"

Untung saja stok kesabaran Nesa masih cukup untuk meredam emosi dan kekesalannya. "Ibu, dan sahabat saya menyarankan untuk resign. Hidup harus dinikmati katanya, saya sudah bertahun-tahun bekerja dengan Bapak. Sepertinya sudah cukup, dan waktunya untuk menikmati hidup."

Saat mengatakan itu, Nesa tidak pernah melunturkan senyumnya. Membuat Edgar menaikkan satu alisnya. "Kau tidak menikmati hidupmu saat bekerja di sini?" tanyanya.

Nesa terkekeh pelan. 'Tentu saja sialan! Kau kira mempunyai bos sepertimu adalah sebuah prestasi! Tidak ada yang namanya menikmati hidup, kau sudah menghancurkan hidupku selama hampir tujuh tahun ini. Kau harusnya bercermin, bos arogan, dan menyebalkan sepertimu siapa yang tahan kalau punya bos sepertimu kalau bukan hanya karena butuh uang untuk bertahan hidup! Para karyawanmu pasti tidak ingin bekerja denganmu kalau mereka tidak butuh uang!' Kata-kata ini sebenarnya ingin Nesa ucapkan. Namun, hanya sampai di tenggorokannya saja.

"Saya menikmati hidup saat bekerja di sini. Tapi, yang di maksud menikmati hidup yang saya katakan tadi adalah; saya ingin hidup tanpa ada kontrak kerja dengan siapapun. Saya akan duduk di rumah, membantu Ibu saya di rumah makan, dan melakukan semua hal yang tidak saya dapat lakukan ketika saya terikat kontrak kerja." Nesa kira jawabannya sudah spesifik, semoga saja Edgar tidak kembali mengajukan pertanyaan.

Lelaki dengan kemeja hitam itu menatap Nesa. "Ini tentang Mama? Tentang hubungan percintaan saya? Kamu sudah lelah dengan ocehan Mama, karena Mama terus bertanya tent—"

Nesa menggeleng ribut. "Saya berani bersumpah ini bukan tentang hal itu, Pak."

Edgar menyunggingkan senyum menyebalkan. "Kau sampai bersumpah, huh?"

Nesa memejamkan matanya. Apa-apaan bosnya ini! Senyum yang sedari ditujukkan untuk bosnya kini lenyap. "Ini sepertinya keluar dari topik pembahasan kita di awal, Pak. Biar saya beri penjelasan lagi, kalau kita sedang membahasa tentang surat resign yang sudah saya ajukan."

Edgar kembali memasang wajah datar, melangkah untuk duduk kembali di kursi kebesarannya. "Beberapa hari yang lalu kamu bilang ingin membantu saya mencarikan seorang perempuan 'kan? Saya kasih waktu kamu satu bulan!"

Nesa tidak mampu menyembunyikan raut keterkejutannya. Apa-apaan? Nesa sudah tidak tertarik dan tidak perduli dengan masalah percintaan Edgar. Toh dia hanya ingin resign, sudah! Setelah resign bahkan dia tidak mau bertemu lagi dengan Edgar, apalagi mengurusi urusan percintaannya. Memang sih awalnya, Nesa berniat untuk menjodohkan Edgar dengan Nadya, tapi setelah dipikir-pikir, untuk apa? Lelaki itu mungkin benar-benar tidak menyukai perempuan.

"Jika kamu tidak berhasil dalam satu bulan, maka saya akan mengijinkan kamu resign setelah pembangunan sky house benar-benar selesai seratus persen."

Gila! Bosnya benar-benar gila!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status