Share

CHAPTER 9: Hari Sial

Nesa mengangguk-anggukkan kepalanya sambil terkekeh pelan, lambat laun suara kekehan itu menjadi tawa cukup kencang, dan beberapa detik setelahnya bibirnya cemberut dan meraung frustasi. Perempuan itu mengacak-acak rambutnya dengan kesal, beberapa orang yang melihat keadaan Nesa meringis ngeri, mungkin saja mereka mengira Nesa adalah orang gila.

Nesa sedang berada di jalanan trotoar hendak menuju ke unit apartemennya. 

Baiklah, kita ceritakan bagaimana awal mulanya Nesa pulang dengan keadaan jalan kaki seperti ini. Tadi, setelah semua pekerjaannya selesai Nesa bersiap akan pulang. Edgar awalnya mengajak Nesa untuk pulang bersama, namun tentu saja Nesa menolaknya, bahkan karena saking buru-burunya ingin pulang dan menghindari bosnya, Nesa sampai lupa membawa dompet. Nesa diturunkan oleh supir taxi karena Nesa mengaku jika dompetnya tertinggal di meja kerjanya, yang lebih parah adalah, baterai handphone Nesa habis, handphonenya mati total.

Pikirannya sedang kacau karena bosnya, ditambah dengan keadaanya sekarang benar-benar membuat Nesa terlihat sangat frustasi.

"Copet!"

"Tangkap dia, lelaki itu pencopet!"

Baru saja Nesa akan menengokkan wajahnya ke belakang karena mendengar suara keributan, ia dikejutkan dengan seorang lelaki yang berjalan cepat melewatinya, bahkan menarik tas milik Nesa. Kedua matanya sempat bertemu dengan manik mata lelaki itu.

Melihat Nesa yang hanya diam, bahkan tidak berteriak, padahal baru saja beberapa detik yang lalu si pencopet mengambil tasnya, membuat beberapa orang di sana keheranan. "Mbak! Tasnya di copet itu!" teriak salah seorang lelaki tua yang sedari tadi mengejar si pencopet.

Nesa hanya mengangkat bahunya pasrah. Kembali melangkah berjalan melewati trotoar, dengan wajah datar. Beberapa orang masih terlihat berlarian untuk mengejar si pencopet itu. Namun, Nesa—selaku salah satu korban berjalan santai melanjutkan langkahnya, masuk ke dalam gang sepi—menggunakan jalan tikus yang juga menjadi jalan alternatif agar cepat sampai apartemennya.

"Shh!" Nesa meringis, mencoba mengeluarkan hak heelsnya yang masuk ke dalam jalanan berlubang. Memejamkan matanya, menelan ludah, lalu menghela napasnya pelan. Yang paling menyebalkan adalah; jalanan berlubang itu terdapat genangan air kotor, bisa dibayangkan heelsnya bagaimana sekarang, 'kan? Perempuan itu kembali melangkah dengan menghentak-hentakkan kakinya karena sudah mulai kesal. Namun, lagi-lagi kesialan menimpa dirinya, sepatu heelsnya terkantuk batu—membuat Nesa kehilangan keseimbangan dan langsung terduduk di jalanan. "Arghh! Sepatu sialan!" teriak Nesa frustasi, ia menyelonjorkan kakinya sambil meraung kesal. "Tidakkah bisa hari ini berjalan dengan lancar!" jerit Nesa lagi, yang sudah menangis. Dengan cepat tangannya langsung melepas sepasang sepatu heels yang dipakainya, lalu melemparkannya ke sembarang arah.

"Bangsat!" Tidak! umpatan itu bukan berasal dari mulut Nesa, tapi dari seorang lelaki yang mendapat timpukkan sepatu heels dari Nesa. 

Nesa menghentikan acara menangisnya, mengedipkan matanya beberapa kali, dengan tujuan untuk menormalkan penglihatannya karena menangis sehingga matanya berkabut. Seorang lelaki dengan perawakan tinggi berjalan menghampirinya, memegang salah sepatu heels Nesa yang beberapa detik lalu baru saja mengenai wajahnya. Nesa menatap lelaki itu dengan tatapan sendu, bibirnya bergetar, dan beberapa detik setelahnya suara tangisan kembali terdengar, kali ini bahkan suaranya lebih keras dari sebelumnya.

Lelaki itu memperhatikan sekitar, lalu berdecak malas. "Gue bahkan belum nyentuh lo, tapi lo udah nangis kejer gitu, sinting! Lo yang salah karena nimpuk gue pake sepatu sialan ini kan, trus kenapa lo yang nangis, hah?!" bentaknya.

"Punya bos nyebelin, aku minta resign hari ini... tapi ... dia malah ngasih syarat gila sebelum aku resign. Trus tadi, mau pulang dompet aku ketinggalan di kantor... trus—" Nesa menjeda ucapannya karena perempuan itu sedang mengelap ingusnya. "Baterai handphone aku habis, mati total. Akhirnya aku di turunin sama supir taksinya di pinggir jalan... yang lebih parahnya lagi, tas aku dicopet, huaa...." Nesa benar-benar kacau sekarang.

Lelaki yang masih berdiri di dekat Nesa kembali mendelik malas. "Kayanya syarat resign lo udah terpenuhi, lo udah kaya orang gila sekarang!" katanya, lalu berjalan melewati Nesa yang masih terduduk di tanah begitu saja setelah melempar sepatu heels Nesa di sampingnya.

Nesa meredakan suara isak tangisnya, walaupun masih sesenggukkan ia kembali mencerna ucapan lelaki itu. "Gila... Gila?!" lirih Nesa dengan sangat pelan. Matanya langsung membelalak, menengokkan wajahnya, menatap lelaki itu yang sudah berjalan menjauh dengan tatapan sengit. "Ya! tarik kata-katamu itu! Siapa yang kamu sebut gila!" teriak Nesa kembali melemparkan sepatu heelsnya. Namun, sepatu itu meleset tidak mengenainya.

Nesa menghela napas, mengusap air matanya dengan cepat, lalu berdiri. Melangkah untuk mengambil heelsnya yang tergeletak di tanah, belum juga menyentuh heels itu, terdengar suara dari seseorang yang membuat Nesa mengurungkan niatnya. "Wah! Ada cewek nih."

Nesa perlahan memutar kepalanya untuk melihat siapa yang memanggil. Wajahnya mendadak pucat pasi, tiga orang lelaki sedang berjalan menghampiri tempatnya berpijak sekarang, dengan masih-masing satu lengan mereka memegang sebuah botol yang sudah pasti isi di dalamnya adalah minuman keras. Dengan perasaan takut, bahkan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, Nesa melangkah mundur dengan perlahan.

"Hei, mau kemana manis. Malem-malem lewat gang sepi, nggak takut ketemu orang jahat emang?" kata salah satu dari mereka yang mempunyai tubuh gempal dengan nada centilnya.

Hari ini benar-benar sial!

"Jangan macem-macem, saya teriak nih!" ancam Nesa dengan tubuh yang sudah bergetar takut. Bukannya menakuti para lelaki itu, justru Nesa yang terlihat ketakutan, membuat ketiga lelaki itu mengeluarkan suara gelak tawanya.

"Silahkan teriak nona manis...." goda lelaki bertubuh kurus.

"Najis!" setelah mengatakan itu, Nesa bisa melihat perubahan raut wajah dari ketiga lelaki di depannya. Celaka, ketiganya mempercepat langkanya, begitu juga Nesa yang bersiap akan berlari, namun seorang lelaki dari belakang merangkul bahunya. "Ipeh, gue bilang ikutin gue, lo malah tetep di sini!" Nesa cengo, lelaki yang beberapa menit lalu menyebut dirinya gila kembali, dan kali ini bahkan dia sudah merangkul bahu Nesa.

Merangkul?!

Nesa sudah akan protes, hendak menyingkirkan lengan lelaki itu. Namun, rangkulan lelaki itu malah semakin kencang. "Siapa nih? Cewek lo?" si lelaki berbadan gempal bertanya, membuat Nesa dengan cepat langsung menggelengkan kepalanya kuat.

"Hm." Lelaki itu hanya berdehem, membuat Nesa kembali merengut tidak suka. "Lagi ribut, dia suka nggak ngaku kalo gue pacarnya," lanjut lelaki itu enteng, lalu mengajak Nesa untuk berjalan meninggalkan tempat itu.

"Lepas!" ketus Nesa mendongak menatap lelaki di sampingnya dengan tatapan galak, dengan masih mencoba melepaskan diri dari rangkulannya.

"Gue lepasin lo!Tapi, jangan nyalahin gue kalau mereka ngapa-ngapain lo!" tekan si lelaki berhasil membuat Nesa yang sudah beberapa langkah menjauh, kini kembali menempel kepada lelaki itu.

Nesa merutuki dirinya sendiri, harusnya ia memang tidak usah mengambil jalan tikus sebagai jalan alternatif untuk menuju ke apartemennya, iya sih akan lebih cepat sampai, tapi ingatkan Nesa kembali jika sudah pasti jalan itu digunakan untuk beberapa orang jahat berkumpul.

Sebentar! Orang jahat?!

Nesa menghentikkan langkahnya, begitu juga dengan lelaki itu. Nesa perlahan mendongak menatap si lelaki, wajahnya terlihat seperti seorang preman, dengan kaos hitam melar, dipadukan dengan celana jeans sobek-sobek berwarna senada, juga gambar tato dengan berbagai bentuk yang Nesa tidak tahu pasti gambar apa itu tertempel di sebagian lengan kanan si lelaki.

Sebuah senyuman menyeringai menghiasi wajah si lelaki, detik itu juga jantung Nesa terasa berhenti berdetak. Lelaki itu bukan menyelematkannya... Nesa rasanya ingin kembali menangis. Bagaimana sekarang?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status