Aaro menatap Zahra dengan tatapan tajam membunuh dengan napas memburu sebagai tanda bahwa emosinya sedang bergejolak. Tak ada kata satu kata pun yang keluar dari bibirnya. Hanya kedua tangannya mengepal erat sebagai upaya pengendalian diri.
"Aa..." sekali lagi Zahra memanggil Aaro dengan lirih hampir seperti bisikan. Kentara sekali bahwa dirinya takut. Tapi ia juga tak bisa membiarkan Aaro begitu saja. "A-apa aku melakukan kesalahan?"
Masih tidak ada reaksi dari Aaro. Dia tetap berdiri menjulang di hadapan Zahra, masih dengan ekspresi yang sama. Entahlah, melihat Zahra berbicara berdua saja dengan Rozi membuat emosinya tersulut. Memang bisa jadi Zahra dan
Zahra menyembunyikan diri di balik bahu Aaro. Saat ini keluarga besar Blackstone sedang berkumpul di kamar perawatan salah satu menantu Blackstone, yaitu Shera Tama Blackstone. Lalu apa yang membuat Zahra begitu ketakutan?"Aa...," ujarnya seraya menarik lengan Aaro supaya lebih merapat padanya.Aaro menoleh, "kamu mau keluar?" Ia menawarkan karena melihat sang istri sepertinya betul-betul ketakutan. "Aku akan minta ijin pada ayah dulu.""Aa...," Zahra menarik lengan Aaro yang hendak meninggalkannya untuk menghampiri Aidan. "Jangan tinggalin aku," cicit Zahra.Aaro tersenyum sambil mengangguk menenangkan. Ia merangkul pundak Zahra dan membawa istrinya itu mendekati sang ayah yang sedang menyesap kopinya sendirian di meja makan."Ayah, boleh Aa dan Zaa keluar sebentar?" Aaro meminta ijin pada sang ayah. Karena memang sudah semacam tradisi di keluarga Blackstone bahwa ketika ada salah satu anggota keluarga mereka sakit, tertimpa musibah a
"Suamiku...""Hmm...""Apa di sekolah nanti aku juga harus memanggilmu suamiku?" Zahra mencebikkan bibir. Saat ini ia dan Aaro sedang berjalan menuju ke sekolah sambil bergandengan tangan. Memang tempat tinggal mereka tak begitu jauh dari sekolah."Apa aku harus kembali pulang dan bekerja di bengkel saja?" Aaro malah balik bertanya membuat Zahra semakin memajukan bibirnya."Maksudku... saat di kelas, aku sedang ngajar, apa aku juga harus memanggilmu begitu?"Aaro tak menjawab. Ia malah menunjuk ke arah sebuah kedai kecil yang menjual bubur ayam. "Sarapan bubur ayam, mau?"Zahra menghela napas pelan. "Aku tidak lapar," jawabnya pelan. Namun saat dirinya menjawab seperti itu perutnya berbunyi pertanda minta di isi, membuat Zahra malu saja.Kruuk! kruukk!Aaro tergelak melihat wajah Zahra yang berubah merah padam karena malu. "Nah, itu lapar
"Zaa...!"Zahra memaksa berhenti saat mendengar ada yang memanggil namanya. Sekuat tenaga ia menahan tangannya yang ditarik oleh Aaro menuju UKS sekolah. "Berhenti sebentar, suamiku... ada yang manggil."Aaro menoleh untuk melihat siapa gerangan yang memanggil istrinya dan membuyarkan rencana paginya bersama Zahra."Untunglah kamu sudah masuk." Salah seorang teman Zahra menghampiri sambil berlari. "Dosen minta RPP, semua sudah, tinggal kamu yang belum. Nanti siang semua mau dikumpulin.""Apa? Nanti siang?" Zahra setengah berteriak. "Mendadak sekali.""Bukan mendadak. Itu tugas sudah lama. Semua sudah diinfokan di grup wa. Kamu nggak ada di sana. Rumah kamu dimana juga pada nggak tahu. Kemarin si Silva ke klub, katanya kamu dan ibu kamu sudah nggak tinggal di sana.""Terus gimana dong? Mana sempat aku bikin kalau nanti siang dikumpulin. Nggak bisa diundur lagi?" Zahra panik.
"Apa yang ingin kau tahu?" Aaro berjongkok di hadapan Zahra sambil menatap lembut mata istri yang sangat dicintainya itu.Saat ini mereka berada di gudang belakang sekolah. Selepas mengajar, Zahra langsung diseret oleh Aaro ke gudang, tempat favorit Aaro untuk menyendiri saat bosan dengan suasana kelas. Aaro tak ingin menunggu sampai mereka pulang dan menjelaskan segalanya kepada Zahra. Karena, ia tak mau Zahra mengambil kesimpulan sendiri dan akhirnya semakin memperburuk keadaan.Zahra diam tak menjawab. Ia memandang ke samping, melihat apa saja asal bukan Aaro. Tubuhnya mengejang sedikit saat Aaro meraih kedua tangannya dan menggenggamnya erat."Cinta..." Aaro memanggil dengan nada pelan dan lembut hampir seperti bisikan. Ohh, jika itu perempuan lain, mungkin mereka akan langsung luluh oleh panggilan Aaro. Tapi ini Zahra. Istri keras kepala, mudah ngambek, dan selalu rendah diri. "Aku minta maaf."Zahra mendengus mendengar permintaan maaf Aaro. Ka
Apa aku terlalu egois? Pikir Zahra seraya mengamati dari jauh, ibunya yang kini sudah sah menjadi istri orang, yang tak lain adalah Rommy, salah seorang sahabat ayah mertuanya.Sejujurnya, ia sama sekali tak keberatan dengan pernikahan ibunya dan om Rommy. Hanya saja, dirinya merasa sedikit tak rela saat tahu bahwa sang ibu akan diboyong suaminya untuk tinggal di Korea Selatan.Malam ini, di salah satu cafe milik keluarga Blackstone, acara akad nikah digelar. Bukan acara mewah. Hanya dihadiri oleh sahabat dan kerabat dekat saja. Sebagian, Zahra sudah kenal dan bertemu, seperti Om Damian dan putrinya. Namun, sebagian lagi, ia belum kenal betul meski wajahnya seperti sudah tak asing lagi. Ya, saat masih tinggal di kediaman Blackstone, memang kerap kali banyak tamu ayah mertuanya yang datang, baik urusan pekerjaan atau sekedar berkumpul bersama.Karena esok hari Rommy dan Fatma sudah akan terbang ke korea dan menetap di
Suara berisik alarm yang terus berbunyi akhirnya membangunkan Zahra dari tidurnya yang tak bisa dibilang nyenyak. Karena di dalam mimpi ia melihat dirinya terus berlari mengejar ibunya yang dini hari tadi terbang ke singapura. Ya, rencananya ibu dan ayah tirinya akan terbang ke korea selatan dari singapura.Meski sudah terjaga, tapi Zahra masih memilih berbaring di tempat tidur. Badannya terasa kaku semua. Selain semalam ia dan Aaro memang pulang larut dari cafe, juga karena semalaman ia masih terus menangisi ibunya sampai akhirnya tertidur.Ohh, berbicara soal Aaro, Zahra akhirnya memaksa dirinya untuk bangun dan duduk di tepi tempat tidurnya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan untuk mencari keberadaan suaminya itu. Namun dia tak terlihat dimanapun. Ahh, mungkin di bengkel bawah, batin Zahra.Agar tidak terlalu lemas dan malas, Zahra memutuskan untuk mandi terlebih dahulu, baru menyiapkan keperluannya untuk berangka
"Ini dimana?" Zahra bertanya karena ia heran, Rozi membawanya bukan lagi ke pinggiran kota, tapi sepertinya bahkan sudah keluar dari kota. Jalan yang mereka lalui semakin sepi dan jarang ada kendaraan lewat. "Apa masih jauh?""Sebentar lagi." Hanya itu jawaban Rozi tanpa memberikan penjelasan lebih jauh pada Zahra."Ehh, maaf pak Rozi, kalau tempat kosnya jauh begini, sepertinya saya cari tempat kos lain saja. Percuma juga kalau saya nggak bisa kemana-mana, bahkan untuk bekerja." Zahra sedikit jengkel karena merasa dipermainkan. Karena tadi kata Rozi, tempat kos itu letaknya di pinggiran kota. Siapa sangka ternyata malah pelosok seperti ini. "Kita kembali saja," ia menambahkan dengan nada kethus."Iya, ini sebentar lagi sampai.""Nggak. Saya batal kos di sini. Mana jalanannya sepi begini. Lebih baik kita kembali saja.""Cerewet!" Rozi habis kesabaran. "Dibilang sebentar lagi sampai, ya sabar!"
Zahra membuka mata saat merasakan dingin di punggung tangannya. Ia berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan dengan cahaya terang di sekitar."Anda sudah bangun?" Seorang perawat perempuan yang memakai baju tosca muda tersenyum padanya."Jam berapa sekarang?""Sekarang sudah pukul delapan pagi. Anda tidur cukup lama sejak dibawa kemari oleh dokter Aidan kemarin malam. Sekarang anda terlihat lebih baik, makanya dokter Aidan meminta saya untuk melepas infus anda.""Infus?" Zahra mengangkat tangan dan melihat plester bulat di punggung tangannya. "Kenapa saya harus diinfus?""Maaf, saya hanya menjalankan tugas dari dokter Aidan. Silahkan bertanya langsung pada beliau. Saya permisi."Selama beberapa saat, Zahra masih berbaring dan mencoba mengingat, apa gerangan yang terjadi, sampai dirinya harus terbaring di tempat ini dan diinfus.Ia ingat, dirinya pergi bersama Pak