"Beneran nggak butuh apa-apa?" Zahra bertanya pada Aaro sambil melirik jam yang melingkar di tangan kirinya. "Ini hari pertamaku bekerja, aku tak mau terlambat, tapi..."
Zahra mendesah pelan dan menatap Aaro bingung, "aku tahu, aku seharusnya ada di sini, menemanimu."
Aaro tersenyum menenangkan. "Pergilah. Setelah aku sembuh, aku janji, kau tak perlu melakukan ini lagi."
Zahra mengangguk pelan. "Oke," jawabnya sambil berjalan mendekati Aaro untuk berpamitan. Ia mencium punggung tangan Aaro dengan cepat karena ingin segera berangkat. Menurutnya, kesan pertama sangat menentukan, jadi ia ingin memberi kesan yang baik pada masa training-nya kali ini. Namun, saat hendak menegakkan badan, Aaro menarik tengkuknya secara tiba-tiba, membuatnya terkejut dan hilang keseimbangan. Ia jatuh membungkuk di atas Aaro.
"Apa yan..." Zahra tak dapat menyelesaikan ucapannya karena Aaro sudah membungkam mulutnya dengan ciuman. Ia m
Zahra merenung di ruang kerjanya. Ia bingung. Ketika datang tadi pagi, yang mana dirinya terlambat beberapa menit-karena suami brondongnya sulit sekali untuk ditinggal, dirinya disambut oleh seluruh jajaran pengurus di TK Bintang Kecil ini. Mulai dari ketua yayasan, sampai petugas kebersihan berjajar rapi di halaman. Mereka memperkenalkan diri satu per satu.Setelah acara perkenalan, ia diantar berkeliling sekolah oleh kepala yayasan dan kepala sekolah TK ini. Dan yang membuatnya semakin terkejut adalah posisi pekerjaan yang diberikan padanya, yaitu sebagai pengawas sekolah. Ya Tuhan, pengawas sekolah? Bagaimana bisa, sementara saat interview kemarin, jelas-jelas dikatakan bahwa posisi yang dibutuhkan adalah pendamping untuk siswa luar biasa di tingkat playgroup. Sewaktu ia tanyakan hal itu pada ibu kepala sekolah yang kemarin sempat mewawancarai dirinya, beliau hanya mengatakan bahwa saat ini posisi yang lebih mendesak adalah pengawas seko
"Suamiku... Aku sudah kembali," Zahra tertawa riang sambil menutup pintu kamar perawatan Aaro. Ia melompat-lompat seperti anak kecil, menghampiri tempat tidur suaminya. Banyak hal yang ingin ia ceritakan pada suaminya itu. Namun, ia berhenti bersuka cita saat melihat Aaro menyilangkan kedua lengannya di depan dada dan tak menoleh ke arahnya."Suamiku... Ada apa?"Aaro melengos. Dongkol setengah mati karena Zahra tak menepati janji. Seharian ini, entah berapa ratus kali dirinya menghubungi ponsel istrinya itu. Namun, tak sekalipun dijawab."Apa ada yang sakit?" Zahra menduga suaminya itu gengsi untuk mengakui bahwa tubuhnya terasa sakit. "Aku panggilkan dokter atau perawat ya?"Aaro menepis tangan Zahra yang sudah terulur untuk menekan tombol panggilan ke nurse station, membuat istrinya itu terkejut. Ia setengah menyesal sudah bersikap kasar pada Zahra, tapi memang istrinya itu menyebalkan! Bagaimana bisa dia p
Keesokan harinya saat Zahra sampai di sekolah, para guru dan karyawan menatapnya dengan ekspresi yang janggal. Seakan iba pada dirinya. Ia tak tahu mengapa demikian. Namun, seperti biasa, Zahra tak pernah ambil pusing mengenai sikap orang lain terhadap dirinya. Ia tetap menyapa mereka dengan ramah.Sampai di kantornya, Zahra langsung berlari ke arah jendela kaca yang menghadap ke arah jalan raya. Ia mendesah pelan ketika melihat siluet suaminya pulang mengenakan kursi roda setelah mengantarnya barusan.Ia sudah menolak setengah mati ketika Aaro hendak mengantarnya ke sekolah, tapi suaminya itu tetap memaksa hingga ia pun mengalah dan membiarkan Aaro mengantarnya. Tiba-tiba saja, Zahra merasa seakan hatinya tertusuk sesuatu...Zahra masih terus berdiri di jendela mengamati Aaro sampai suaminya itu menghilang di belokan yang mengarah ke tempat tinggal mereka. Ia pun duduk, menyesap teh hangat yang sudah tersedia di mejanya sedi
Zahra mengamati tiga disain taman bermain, baik berupa gambar atau miniaturnya yang tertata di meja besar di ruang ketua yayasan~karena Aaro memaksa mendampingi dirinya meeting bersama para arsitek, ia akhirnya meminta izin pada ketua yayasan untuk menggunakan ruangannya.Ia sama sekali tak menyadari wajah serius dan tegang para arsitek itu. Ketiganya berdiri menjauh dari tempat Zahra. Bahkan saat berbicara kepada Zahra, ketiganya pun lebih memilih menunduk dan tidak menatap langsung wajah menantu Blackstone itu. Apalagi dengan kehadiran Aaro yang terus mengamati mereka bertiga dalam diam.Zahra menggelengkan kepala beberapa kali, tak setuju dengan disain yang mereka serahkan. Tiga disain terbaik yang tak sesuai dengan bayangannya. "Kenapa semua seperti ini?""Itu Waterboom mini. Seperti yang anda sampaikan dua hari yang lalu, Anda menginginkan kolam air."Zahra menggeleng pelan. "Memang, tapi bukan seperti ini... Kolam pasir ini juga terlalu... Aku men
Zahra berdiri sambil melipat kedua tangan di depan dadanya. Memperhatikan para pekerja dari kantornya yang sedang menyelesaikan finishing taman seperti yang ia harapkan. Mereka bekerja dengan cepat. Hanya dalam waktu satu bulan lebih sedikit proyek itu hampir selesai. Ia curiga, bahkan ketika malam hari pun, pengerjaan itu tetap berjalan.Setelah beberapa kali diskusi dan revisi bersama para arsitek dan ahli tata taman dan hutan buatan, akhirnya miniatur air terjun itu hampir jadi. Ia tak sabar untuk segera membuka taman itu dan menunjukkannya pada anak-anak. Ia tersenyum sendiri membayangkan antusiasme murid-muridnya saat mengetahui kejutan yang sudah ia siapkan untuk mereka.Zahra melirik jam tangan di pergelangan tangannya. Ia pun berlalu dari jendela yang menghadap ke arah taman, kembali ke mejanya untuk mengambil beberapa berkas dan mengambilnya. Ada satu hal penting yang harus ia sampaikan pada Pak Gun. Dan ia akan mengusulkan
Aaro menggandeng tangan Zahra melewati beberapa lubang yang terisi genangan air di sebuah gang. Gang itu sempit dan bau akibat air got yang luber ke jalan. Letaknya di sebuah perkampungan kumuh tak berapa jauh dari tempat tinggal mereka, tepatnya di pemukiman padat penduduk di bawah jembatan."Bentar lagi sampai, kok."Zahra mengangguk melihat Aaro menoleh dan tersenyum ke arahnya. Benar saja, tak lama kemudian Aaro berhenti di sebuah rumah reyot dan mengetuk pintunya.Lama tak ada jawaban dan Aaro mengetuk lagi.Seorang anak kecil kisaran usia enam tahun membuka pintu. Ia menatap Aaro dan Zahra bingung. "Cari siapa?""Agus ada?"Gadis kecil itu mengangguk dan membuka pintu rumahnya dengan susah payah. Sepertinya engsel pintunya bermasalah hingga pintu itu sulit untuk dibuka tutup.Zahra mengikuti Aaro masuk ke dalam rumah. Di dalamnya hanya terdiri dari satu rua
Zahra terbangun karena merasa kehausan. Dengan berat, ia maksa membuka matanya. Untuk sesaat, Zahra bingung melihat tempatnya saat ini. Ia pun duduk dan mengamati sekitar.Kamar ini didominasi nuansa mint lembut kombinasi putih. Tidak terlalu luas, tapi semua keperluan sepertinya tersedia di sini. Selain lemari baju tiga pintu di samping meja rias yang juga minimalis, di sudut ruangan dekat pintu yang sepertinya mengarah ke balkon terdapat satu set sofa nyaman yang menghadap ke arah sebuah layar televisi layar lebar."Ohh," Zahra tersentak. Ia ingat saat ini dirinya dan Aaro sedang berkunjung ke rumah Alea. Tapi bagaimana bisa dirinya berada di kamar ini?Zahra menepuk keningnya pelan. Ya, tadi ia pasti tertidur di ruang keluarga. Lalu, siapa yang memindahkannya kemari? Apakah Aaro?Pikiran bahwa Aaro yang menggendongnya ke kamar membuat perasaan Zahra kembali buruk. Apalagi, saat menoleh ke samping, Aaro tern
Aaro menatap punggung Zahra yang berjalan jauh di depannya dengan perasaan kacau. Sudah hampir dua minggu ini sikap istrinya itu berubah. Dia tak lagi ingin diantar atau dijemput saat berangkat atau pulang kerja. Dan Zahra selalu berhasil menghindar darinya.Tak hanya itu, bahkan saat di rumah pun, Zahra juga lebih sering diam. Dia tetap mengerjakan pekerjaan rumah, masak dan menyiapkan semua keperluannya~meski pada akhirnya dirinya yang harus membenahi semua kekacauan yang timbul karena itu~ tanpa banyak bicara.Ohh, yang lebih membuat Aaro merasa sangat terpukul adalah, bahkan Zahra tak bereaksi apapun saat dirinya meminta pemenuhan kebutuhan biologisnya. Dia hanya diam dengan mata nyalang menatap langit-langit menerima semua perlakuan Aaro sampai kebutuhannya terpenuhi.Beberapa kali Aaro sudah mencoba membahas masalah ini. Namun, setiap dirinya baru saja menyinggung masalah ini, Zahra akan berpura-pura ingin buang air besar, ngantuk atau yang lainny