Saat itu saya dan ketiga team penulis lainnya diminta datang ke lokasi shooting untuk mengenal set lokasi di lapangan. Tujuannya agar kami makin mengenal lokasi dan bisa membuat adegan yang beragam karena mengenal medan lokasi shootingnya dengan baik. Kami berkeliling lokasi dan disambut baik oleh semua crew yang ada di sana. Begitu juga para artis yang terlibat di program acara komedi itu, mereka menyambut kami dengan hormat. Saya perhatikan sutradara yang sedang mengambil adegan. Saya kira sutradara itu seperti yang sering saya tonton di film-film ; galak, buas, berkata kasar pada artis, ternyata tidak untuk sutradara sitkom yang satu ini. Dia malah sangat baik dan orang yang paling sabar sedunia. Dia memperlakukan artis seperti memperlakukan benda berharga yang dimilikinya.
Kami berada di sana sampai malam hari. Saat itu semua crew dan para artis sudah pulang dari lokasi. Di sana yang tersisa tinggal saya, Andi dan seorang sutradara yang baik hati dan tidak sombong itu. Mungkin karena terlalu asik berdiskusi tentang naskah secara pribadi, kami menjadi penghuni terakhir di tempat itu. Saat sutradara pamit duluan pada kami, Andi menawarkan diri untuk mengantarkan saya ke kostan dengan motornya. Saya tolak, karena itu merepotkan baginya. Kalau Andi harus mengantarkan saya ke kostan, itu artinya dia akan menghabiskan waktu dua kali lipat dari jarak yang seharusnya ditempuh menuju kediamannya. Saya pun memilih untuk naik angkutan umum saja.
Saat Andi sudah pergi, dan saya pun bersiap meninggalkan lokasi, tiba-tiba ada seorang perempuan datang kepada saya. Rambutnya sebahu, dia mengenakan kaca mata, yang kelak saya mengetahui namanya adalah Ira. Dia adalah seorang manager pribadi artis.
"Mas, tolongin saya, Mas! Andara pingsan, Mas!"
“Andara?”
“Iya, Andara, Mas.”
Ya, nama Andara sudah tidak asing bagi saya. Dia adalah salah satu artis pendatang baru yang paling cantik yang menjadi peran pendukung di sitkom yang sedang saya tulis itu.
"Di mana Andaranya?" tanya saya dengan panik.
"Di sana, Mas!"
Saya dan Ira pun bergegas menuju Andara yang katanya kini sedang pingsan di set rumah. Setiba di sana kami lihat Andara sedang duduk menyandar di dinding dengan lemas. Sepertinya dia sudah sadar dari pingsannya. Saya terkejut saat melihat banyak muntahan di sekitar tempat duduknya. Bau muntah dan alkohol tiba-tiba merebak membuat saya ingin muntah juga. Saya yakin kondisinya bisa begitu karena efek dari meminum alkohol. Saya pun tidak berpikir panjang lagi dan langsung membantunya menggotong Andara menuju mobilnya dengan bersusah payah. Setelah Andara sudah berhasil kami masukkan ke dalam mobil dan kami sandarkan di bangku belakang mobil, Ira memandangiku dengan bingung.
"Mas bisa nyetir mobil nggak?"
"Kenapa?" tanya saya heran.
"Aku nggak bisa nyetir mobil, yang bisa nyetir cuman Andara, Mas. Tapi dianya begitu mau gimana? "
Saya pun tak berpikir panjang lagi dan langsung menyetiri mobil itu, mengantarkan mereka menuju ke rumah Andara.
“Sebenarnya saya udah lama nggak nyetir mobil lagi, Mbak.”
Ira panik mendengar saya bicara begitu.
“Kalo gitu minggir aja, Mas.”
“Udah lama nggak nyetir bukan berarti nggak bisa nyetir, Mbak. Saya dulu punya mobil.”
Ira tampak lega dan tenang.
“Sekarang udah nggak?”
“Masih,” jawab saya.
“Terus mobilnya ditinggal di tempat shooting?” tanya Ira heran.
“Di rumah ayah saya, Mbak.”
“Loh, kok?” ucap Ira yang tampak masih bingung.
“Ya karena mobilnya punya ayah saya yang dipinjamkan sama saya, Mbak.”
Ira tampak mengehela napas.
Kemudian dia kembali memperhatikan kondisi Andara.
“Emang Andara kenapa bisa gitu, Mbak?” tanya saya penasaran.
"Tadi aku udah bilang, kalo di lokasi shooting jangan minum. Eh ternyata dia diem-diem bawa minuman mas," curhat Ira pada saya.
"Emang dia peminum berat, ya?" tanya saya pada Ira dengan penasaran.
"Nggak juga. Dia gini karena abis putus sama pacarnya, Mas.”Ira berpikir sejenak,” Tolong jangan ceritain ke yang lain ya, Mas. Dia lagi sepi job. Cuman sitkom ini doang yang lagi dia kerjain." Pinta Ira dengan penuh harap pada saya.
"Iya, tenang aja," pinta saya pada Ira.
Ira tampak lega.
Saya pandangi wajah Andara di kaca mobil sambil menyetir. Saya terpana melihat Andara. Makhluk surga dari mana yang diturunkan Tuhan ke bumi ini yang saat ini sedang duduk di belakang saya? Saya sudah lama menyaksikan Andara membintangi berbagai FTV, sinetron dan yang lainnya. Di televisi saya lihat wajahnya biasa-biasa saja, maksud saya tipe cantiknya yang saya lihat di televisi sudah lumrah, tapi kenapa saat saya melihatnya langsung, dia menjadi sangat cantik walau dalam kondisi mabuk. Rambutnya yang panjang, kulitnya yang putih bersinar, wajahnya yang sangat mulus, ah... ini untuk pertama kalinya saya melihat makhluk Tuhan yang indah.
Tak berapa lama kemudian Andara terbangun. Matanya melotot ke arah saya.
"Heh, elooo! Siapa elo! Ngapain elo nyetirin mobil gue?! Kita udah putuuus! Berenti dan keluar dari mobil gueee!" teriak Andara.
Andara langsung menjambak rambut saya dari belakang. Saya yang sedang menyetir mendadak terkejut dan mobil yang saya setiri menjadi oleng. Akhirnya dengan sekuat tenaga saya pinggirkan mobilnya dan saya rem tepat di pinggir jalan, bersamaan denga Ira yang berusaha melepaskan tangan Andara dari kepala saya.
"Dia bukan mantan lo, Ra. Dia penulis yang gue mintain tolong buat nganter kita."
"Nggak bisa! Keluar lo anj*ng! Lo udah nyakitin perasaan gue! Lo tega duain gue sama pecun laknat satu itu! Keluaaaar!" teriak Andara pada saya dengan emosinya.
Saya paham, dia sedang mabuk, akal sehatnya sedang tidak bekerja dengan baik. Saat itu emosinya lah yang menguasainya sampai-sampai dia tidak bisa membedakan mana mantan dan mana orang lain.
Saya pun jadi takut. Akhirnya saya turun dari mobil untuk menjauh darinya karena percuma menghadapi orang mabuk, kita tak akan pernah bisa menang.
Tak lama kemudian Ira turun juga dan mengejar saya. Ira memohon kepada saya untuk menyetiri mobilnya lagi. Ira bilang si Andara muntah lagi dan sekarang sudah tidur. Saya keluar bukan mau meninggalkan mereka, tapi mau menyelamatkan diri dari efek jahat alcohol yang sudah menguasai Andara. Saya pun kembali naik mobil dan mengantarkan mereka ke rumahnya. Kami pun tiba di rumah Andara. Rumah itu cukup mewah, berada di Kawasan Tebet. Saya pun langsung meminta tolong Ira untuk menggotong Andara membawanya ke dalam rumah. Saat kami berhasil membaringkan Andara di atas kasur, tiba-tiba Andara terbangun dan langsung memeluk saya dengan erat sambil menangis. "Jangan pergi. Jangan tinggalin aku! Aku masih sayang sama kamu! Jangan pergiii!" Lalu dia menangis histeris ditengah detak jantung saya yang berdegub kencang. Dalam seumur hidup saya, baru kali ini seorang hawa memeluk tubuh saya yang ringkih ini. Saya bingung harus berbuat bagaimana. Ira nampaknya mengerti lalu
Seperti itulah awal saya mengenal Andara. Sebenarnya saya berpikir ribuan kali untuk menulis kisah ini. Rasanya tak mungkin untuk membongkar semua kebodohan ini pada khalayak ramai, walau belum tentu juga ada yang mau membacanya, padahal saya sudah berusaha untuk menutupnya serapat-rapatnya pada orang-orang terdekat. Tapi pada akhirnya saya menemukan sebuah jawaban, kenapa kisah ini mesti saya tuliskan. Ya, hari itu, di pinggir kali Ciliwung yang bau, saya berdiri merenung di sela aktivitas saya yang dikejar oleh deadline.Saat itu saya bertemu dengan orang gila yang penampilannya compang-camping. Rambutnya panjang acak-acakan, menggumpal dipenuhi kotoran debu - yang mungkin bersemayam di sana semenjak dia didiagnosis gila. Dia tersenyum pada saya. Senyum yang menakutkan. Saya langsung membuka tas dan mengambil sebuah roti dan sekotak susu sejuta umat dan memberikan padanya. Mungkin dia lapar dan menginginkan makanan dari saya. Dia menerimanya dengan senang lal
"Kalo kamu sering bolos-bolosan kayak gini, mending berhenti aja kuliah! Jadi penulis sana!" teriak ayah kala itu." Saat itu saya sedang duduk di ruang keluarga bersamanya, juga bersama ibu. Ibu tampak diam saja, seperti bingung mau membela atau ikut menyalahkan saya. Saat itu juga saya berdiri dan berjalan meninggalkan mereka. "Jangan pulang sebelum kamu bisa membuktikan kalo kamu bisa sukses jadi penulis!" teriak ayah. Saya tak melihatnya, terus saja berjalan meninggalkan mereka berdua. Lalu saya menghilang selama satu tahun lamanya. Gara-gara itu saya putus kuliah. Ternyata ayah benar, menjadi penulis bukan hal yang gampang. Akan tetapi karena saya sudah berjanji untuk membuktikan pada ayah bahwa saya bisa sukses menjadi penulis, saya pun menerima nasib buruk itu dengan ikhlas. Saya akhirnya bekerja serabutan dengan mengandalkan ijazah SMA yang saya punya lalu sambil menggeluti dunia sastra. Sambil bekerja, saya menulis cerpen dan novel. Ta
Akhirnya saya pelan-pelan bisa mengikutinya dan skenario yang saya tulis mulai jarang direvisi oleh headwriter yang mengepalai di team kami. Jujur, naskah pertama yang saya kirim ke headwriter dimaki habis-habisan karena saya dinilai merusak citra komedi Indonesia. Mengapa? Karena saya mengubah satu episode sitkom yang terkenal itu menjadi kisah sedih sepanjang masa. Andi sampai geleng-geleng melihat saya. Untunglah headwriter saya berbaik hati pada saya. Akhirnya saya diberi kesempatan karena dinilainya memiliki potensi. Seperti yang saya ceritakan di atas, akhirnya saya berhasil. Tentu itu menjadi kemenangan buat saya. Jujur, saat itu bisa menjadi penulis skenario sudah membuat saya sangat bersyukur. Kesempatan ini tidak mudah didapatkan oleh penulis lain. Karena mendapatkan pekerjaan sebagai penulis scenario tidak seperti menulis novel yang bisa mengajukan naskah ke penerbit mana pun yang disuka atau bisa memuatnya di platform-platform
Dan malam yang tenang itu. Saya menemui Andara yang sudah duduk cantik di meja makan. Dengan penuh percaya diri disertai gugup sepuluh persen. Akhirnya saya menghampiri dia. "Andara?" sapa saya. Andara cukup lama memandangi saya. Dia berdiri lalu seperti shock melihat saya. Saya heran. “Kenapa? Saya serem ya?” celetuk saya. “Nggak kok,” kata Andara yang masih tampak tercengang, "kamu Kak Tarwan?" Andara mengatakan itu seperti orang yang baru ketemu dengan orang yang sudah lama dia kenal. Sesaat kemudian saya lihat dia tampak senang dengan kehadiran saya. Di pikiran saya sudah berkecamuk. Ini pasti akan menjadi cerita indah. Cerita cinta antara seorang artis yang sedang naik daun dengan penulis sederhana. Mungkin seperti FTV yang sering diperankannya. "Iya," jawab saya. "Duduk kak," pintanya kemudian. Aku pun duduk dengan salting. Beberapa pengunjung melihat ke arah Andara. Mungkin mereka tahu kalau Andara adalah a
Kami pun makan malam bersama di café yang sama tempat pertama dia mengajak saya makan malam. Kebetulan yang melayani kami adalah pelayan yang dulu menuduh saya belum membayar bill. Pelayan itu tampak malu melayani saya. Saya mencoba bersikap biasa saja, pura-pura lupa. Tak berapa lama kemudian menu makanan yang kami pesan datang. Saya dan Andara langsung melahapnya. “Gimana nulisnya, Kak?” tanya Andara sambil melahap menu makanan di hadapannya. “Alhamdulillah, lancar-lancar aja.” Andara mengangguk. “Menurut kakak, acting aku di sitkom udah bagus belum?” “Udah, kok.” “Beneran?” “Saya serius.” “Kalo ada yang kurang bilang aja kak, nanti aku perbaiki.” “Nggak ada yang kurang kok. Peran Siti yang kamu mainkan di sana sudah bagus kok.” Andara tampak senang dipuji. Setelahnya kami mengobrol banyak lagi. Ngalor ngidul membicarakan apapun. Saya pun akhirnya cerita soal Ira yang salah ngasih minuman ke saya. Anda
“Perasaan temen elo cuman gue dah.” Saya menghela napas. Emosi. “Udah jawab aja, ribet amat sih pengen tau siapanya.” Andi kemudian berpikir. “Bisa jadi sih.” Saya senyum-senyum sendiri mendengar jawaban Andi. Jawaban Andi dan Yongki sama. Mungkin benar kalau Andara memang menyukai saya. Kalau dia tidak suka, tidak mungkin dia bisa sebaik itu sama saya. “Tapi tunggu dulu,” Perkataan itu memadamkan senyum saya yang terlanjur merekah. “Kenapa?” “Jangan keburu ge er dulu.” “Kok?” “Ada juga orang baik karena ada maunya.” “Contohnya?” “Ya kayak si Indro, anggota team penulis kita.” “Emang dia kenapa?” “Ada artis cewek yang deketin dia dan baik banget sama dia. Dia nyangka artis itu suka sama dia, tahunya mau manfaatin doang biar si artis itu sering dapet peran ditulisannya.” Saya kembali layu. Kebetulan si Andara ini adalah artis yang main di sitkom yang sedang
Sesaat kemudian saya pandangi wajahnya dengan gugup. “Andara?” “Iya, Kak.” Andara tampak heran. “Saya boleh nanya? “Mau nanya apa kak? Setelah itu saya berpikir lagi. Saya mendadak gugup untuk menanyakan itu. Akhirnya saya urungkan niat itu. “Nggak jadi aja deh.” “Kok nggak jadi?” “Nggak apa-apa.” “Yaudah, kalo gitu, aku aja yang nanya ke kakak ya?” Deg. Dia mau bertanya apa ke saya? Dengan gugup akhirnya saya mengiyakan ucapannya. "Kakak mau jadi kakak angkat aku nggak?" tanya Andara seketika. Dia mengatakan itu dengan tulus. Saya diam sejenak. Sungguh hati kecil saya bukan itu yang saya inginkan. Walau berlebihan, setidaknya biarkan saya berjuang dulu untuk mengejar dan menyatakan cinta disuatu saat nanti. Tapi jika sudah ditawari untuk menjadi kakak angkatnya begitu, mungkin itu sudah menjadi sebuah jawaban kalau saya tidak akan pernah bisa menjadi kekasihnya. Dan itu juga bisa