Tak lama kemudian Ira turun juga dan mengejar saya. Ira memohon kepada saya untuk menyetiri mobilnya lagi. Ira bilang si Andara muntah lagi dan sekarang sudah tidur. Saya keluar bukan mau meninggalkan mereka, tapi mau menyelamatkan diri dari efek jahat alcohol yang sudah menguasai Andara. Saya pun kembali naik mobil dan mengantarkan mereka ke rumahnya.
Kami pun tiba di rumah Andara. Rumah itu cukup mewah, berada di Kawasan Tebet. Saya pun langsung meminta tolong Ira untuk menggotong Andara membawanya ke dalam rumah. Saat kami berhasil membaringkan Andara di atas kasur, tiba-tiba Andara terbangun dan langsung memeluk saya dengan erat sambil menangis.
"Jangan pergi. Jangan tinggalin aku! Aku masih sayang sama kamu! Jangan pergiii!"
Lalu dia menangis histeris ditengah detak jantung saya yang berdegub kencang. Dalam seumur hidup saya, baru kali ini seorang hawa memeluk tubuh saya yang ringkih ini. Saya bingung harus berbuat bagaimana. Ira nampaknya mengerti lalu dia berbisik pada saya.
"Tolongin dulu, Mas. Pleas! Kalo bisa mas tidur dulu di sini, aku takut dia kenapa-napa mas," pinta Ira penuh harap.
Tidur di sini? Itu tidak mungkin. Walau hati kecil saya menghendakinya saya masih memiliki iman. Guru ngaji saya dulu pasti akan marah besar jika tahu saya sudah berani tidur dengan perempuan yang bukan muhrim.
“Itu haram mbak,” ucap saya pada Ira.
“Maksudnya bukan tidur sama Andara, Mas. Tapi tidur di kamar tamu."
Saya lega mendengar penjelasannya.
“Kirain,” gumam saya.
Saya pun mencari cara yang lain. Akhirnya saya melepas pelukan Andara. Dia masih terisak bersamaan dengan saya yang masih gugup. Saya pun mulai berakting layaknya peran utama pria yang sedang berdialog dengan pemeran utama wanita.
"Iya, saya nggak akan pergi kok, tapi kamu tidur ya?" ucap saya pada Andara seolah menjadi mantannya yang dia maksud. Ini acting tergila yang pernah saya lakukan.
Andara pun mengangguk. Kemudian dia tidur. Usaha saya berhasil. Ira tampak tenang. Saya bergegas keluar dari kamarnya dengan sejuta degub. Ira pun menyusul saya.
"Terima kasih ya, Mas. Sekali lagi aku mohon jangan kasih tahu sama yang lain ya mas," pinta Ira dengan memelas.
"Iya," jawab saya, ”tapi kalo dipeluk nggak sengaja kayak tadi nggak dosa kan mbak?”
Ira tampak diam, sepertinya dia bingung mau menjawabnya bagaimana.
“Nggak usah dijawab mbak,” ucap saja kemudian.
Tak berapa lama kemudian sebuah pesan masuk datang di handphone saya. Setelah saya periksa ternyata itu sebuah email yang berisi revisi plot dari headwriter yang saya kerjakan kemarin. Saya langsung cemas saat membaca isi pesannya kalau naskahnya diminta langsung ditulis dan harus dikirim besok sore. Saya pun pamit pada Ira. Ira meminta saya menunggu sebentar. Dia pergi menuju lemari es, mengambil sebotol minuman kaleng lalu memberikan pada saya. Setelah saya periksa, minuman kaleng itu ternyata beer yang beralkohol. Saya panik karena saya tidak pernah meminum minuman keras.
“Maaf, Mbak. Saya nggak minum alcohol,” ucap saya sok polos.
Ira kaget.
“Astaga. Saya tadinya mau ngasih minuman soda, ternyata malah beer yang keambil. Maaf, maaf.”
Ira meraih beer di tangan saya lalu menggantinya dengan minuman soda lengkap dengan sedotannya. Saya pun mengucapkan terima kasih lalu pergi.
Di dalam taksi, sambil meminum minuman soda yang diberikan Ira tadi, saya tersenyum-senyum sendiri, tak menyangka akan menemui pengalaman yang begitu seru. Ini interaksi pertama saya dengan seorang artis yang memerankan tokoh yang saya tulis. Walau situasinya tidak saya inginkan, tapi tak mengapa, saya senang. Jiwa saya yang selama ini sering mengacuhkan kehidupan romansa karena dimabuk impian yang masih sukar saya capai, mendadak seolah sedang disinari sinar terang. Hati saya mendadak menguapkan kerinduan, rindu pada seharusnya seorang pria perjaka lakukan ; mencari pasangan hidup dan bahagia selama-lamanya bersama pasangan bak di negeri dongeng.
Ah, kenapa harus Andara yang membuka pintu itu? Saya pun menepis jauh-jauh wajah cantiknya dalam bayangan saya. Saya sadar, ini hanya sebuah bentuk tipu muslihat dari hawa nafsu untuk pria sederhana seperti saya yang selama ini tak pernah goyah dari bujuk rayunya. Apalagi seorang pria seperti saya yang sangat sederhana, Andara tak mungkin juga bisa menyukai saya.
“Mas!” supir taksi mendadak memanggil saya.
“Kenapa pak?” tanya saya heran.
“Mas doyan minum beer ya?”
“Nggak, Pak. Saya nggak suka minuman beralkohol, Pak.”
Supir taksi itu tampak heran.
“Kok merk minuman di kaleng minumannya kayak yang beralkohol ya?” ucap supir taksi itu tak percaya.
“Bukan, Pak. Ini minuman soda.”
“Bener, Mas. Itu minuman beralkohol. Saya hapal betul karena sering juga minum minuman itu.
Saya mulai panik. Saya pun memeriksa merk di kaleng minumannya.
“Redleer rasa jeruk. Mengandung alcohol sepuluh persen,” ucap saya mengeja merk minuman itu. Saya langsung panik.
“Astaga!”
Seperti itulah awal saya mengenal Andara. Sebenarnya saya berpikir ribuan kali untuk menulis kisah ini. Rasanya tak mungkin untuk membongkar semua kebodohan ini pada khalayak ramai, walau belum tentu juga ada yang mau membacanya, padahal saya sudah berusaha untuk menutupnya serapat-rapatnya pada orang-orang terdekat. Tapi pada akhirnya saya menemukan sebuah jawaban, kenapa kisah ini mesti saya tuliskan. Ya, hari itu, di pinggir kali Ciliwung yang bau, saya berdiri merenung di sela aktivitas saya yang dikejar oleh deadline.Saat itu saya bertemu dengan orang gila yang penampilannya compang-camping. Rambutnya panjang acak-acakan, menggumpal dipenuhi kotoran debu - yang mungkin bersemayam di sana semenjak dia didiagnosis gila. Dia tersenyum pada saya. Senyum yang menakutkan. Saya langsung membuka tas dan mengambil sebuah roti dan sekotak susu sejuta umat dan memberikan padanya. Mungkin dia lapar dan menginginkan makanan dari saya. Dia menerimanya dengan senang lal
"Kalo kamu sering bolos-bolosan kayak gini, mending berhenti aja kuliah! Jadi penulis sana!" teriak ayah kala itu." Saat itu saya sedang duduk di ruang keluarga bersamanya, juga bersama ibu. Ibu tampak diam saja, seperti bingung mau membela atau ikut menyalahkan saya. Saat itu juga saya berdiri dan berjalan meninggalkan mereka. "Jangan pulang sebelum kamu bisa membuktikan kalo kamu bisa sukses jadi penulis!" teriak ayah. Saya tak melihatnya, terus saja berjalan meninggalkan mereka berdua. Lalu saya menghilang selama satu tahun lamanya. Gara-gara itu saya putus kuliah. Ternyata ayah benar, menjadi penulis bukan hal yang gampang. Akan tetapi karena saya sudah berjanji untuk membuktikan pada ayah bahwa saya bisa sukses menjadi penulis, saya pun menerima nasib buruk itu dengan ikhlas. Saya akhirnya bekerja serabutan dengan mengandalkan ijazah SMA yang saya punya lalu sambil menggeluti dunia sastra. Sambil bekerja, saya menulis cerpen dan novel. Ta
Akhirnya saya pelan-pelan bisa mengikutinya dan skenario yang saya tulis mulai jarang direvisi oleh headwriter yang mengepalai di team kami. Jujur, naskah pertama yang saya kirim ke headwriter dimaki habis-habisan karena saya dinilai merusak citra komedi Indonesia. Mengapa? Karena saya mengubah satu episode sitkom yang terkenal itu menjadi kisah sedih sepanjang masa. Andi sampai geleng-geleng melihat saya. Untunglah headwriter saya berbaik hati pada saya. Akhirnya saya diberi kesempatan karena dinilainya memiliki potensi. Seperti yang saya ceritakan di atas, akhirnya saya berhasil. Tentu itu menjadi kemenangan buat saya. Jujur, saat itu bisa menjadi penulis skenario sudah membuat saya sangat bersyukur. Kesempatan ini tidak mudah didapatkan oleh penulis lain. Karena mendapatkan pekerjaan sebagai penulis scenario tidak seperti menulis novel yang bisa mengajukan naskah ke penerbit mana pun yang disuka atau bisa memuatnya di platform-platform
Dan malam yang tenang itu. Saya menemui Andara yang sudah duduk cantik di meja makan. Dengan penuh percaya diri disertai gugup sepuluh persen. Akhirnya saya menghampiri dia. "Andara?" sapa saya. Andara cukup lama memandangi saya. Dia berdiri lalu seperti shock melihat saya. Saya heran. “Kenapa? Saya serem ya?” celetuk saya. “Nggak kok,” kata Andara yang masih tampak tercengang, "kamu Kak Tarwan?" Andara mengatakan itu seperti orang yang baru ketemu dengan orang yang sudah lama dia kenal. Sesaat kemudian saya lihat dia tampak senang dengan kehadiran saya. Di pikiran saya sudah berkecamuk. Ini pasti akan menjadi cerita indah. Cerita cinta antara seorang artis yang sedang naik daun dengan penulis sederhana. Mungkin seperti FTV yang sering diperankannya. "Iya," jawab saya. "Duduk kak," pintanya kemudian. Aku pun duduk dengan salting. Beberapa pengunjung melihat ke arah Andara. Mungkin mereka tahu kalau Andara adalah a
Kami pun makan malam bersama di café yang sama tempat pertama dia mengajak saya makan malam. Kebetulan yang melayani kami adalah pelayan yang dulu menuduh saya belum membayar bill. Pelayan itu tampak malu melayani saya. Saya mencoba bersikap biasa saja, pura-pura lupa. Tak berapa lama kemudian menu makanan yang kami pesan datang. Saya dan Andara langsung melahapnya. “Gimana nulisnya, Kak?” tanya Andara sambil melahap menu makanan di hadapannya. “Alhamdulillah, lancar-lancar aja.” Andara mengangguk. “Menurut kakak, acting aku di sitkom udah bagus belum?” “Udah, kok.” “Beneran?” “Saya serius.” “Kalo ada yang kurang bilang aja kak, nanti aku perbaiki.” “Nggak ada yang kurang kok. Peran Siti yang kamu mainkan di sana sudah bagus kok.” Andara tampak senang dipuji. Setelahnya kami mengobrol banyak lagi. Ngalor ngidul membicarakan apapun. Saya pun akhirnya cerita soal Ira yang salah ngasih minuman ke saya. Anda
“Perasaan temen elo cuman gue dah.” Saya menghela napas. Emosi. “Udah jawab aja, ribet amat sih pengen tau siapanya.” Andi kemudian berpikir. “Bisa jadi sih.” Saya senyum-senyum sendiri mendengar jawaban Andi. Jawaban Andi dan Yongki sama. Mungkin benar kalau Andara memang menyukai saya. Kalau dia tidak suka, tidak mungkin dia bisa sebaik itu sama saya. “Tapi tunggu dulu,” Perkataan itu memadamkan senyum saya yang terlanjur merekah. “Kenapa?” “Jangan keburu ge er dulu.” “Kok?” “Ada juga orang baik karena ada maunya.” “Contohnya?” “Ya kayak si Indro, anggota team penulis kita.” “Emang dia kenapa?” “Ada artis cewek yang deketin dia dan baik banget sama dia. Dia nyangka artis itu suka sama dia, tahunya mau manfaatin doang biar si artis itu sering dapet peran ditulisannya.” Saya kembali layu. Kebetulan si Andara ini adalah artis yang main di sitkom yang sedang
Sesaat kemudian saya pandangi wajahnya dengan gugup. “Andara?” “Iya, Kak.” Andara tampak heran. “Saya boleh nanya? “Mau nanya apa kak? Setelah itu saya berpikir lagi. Saya mendadak gugup untuk menanyakan itu. Akhirnya saya urungkan niat itu. “Nggak jadi aja deh.” “Kok nggak jadi?” “Nggak apa-apa.” “Yaudah, kalo gitu, aku aja yang nanya ke kakak ya?” Deg. Dia mau bertanya apa ke saya? Dengan gugup akhirnya saya mengiyakan ucapannya. "Kakak mau jadi kakak angkat aku nggak?" tanya Andara seketika. Dia mengatakan itu dengan tulus. Saya diam sejenak. Sungguh hati kecil saya bukan itu yang saya inginkan. Walau berlebihan, setidaknya biarkan saya berjuang dulu untuk mengejar dan menyatakan cinta disuatu saat nanti. Tapi jika sudah ditawari untuk menjadi kakak angkatnya begitu, mungkin itu sudah menjadi sebuah jawaban kalau saya tidak akan pernah bisa menjadi kekasihnya. Dan itu juga bisa
Akhirnya gaun yang dinginkan Andara ditemukan juga dibutiknya. "Gila lo, Sob. Nggak nyangka pacar lo artis," bisik Cheng Lie pada saya. Saya hanya senyum-senyum sendiri, membiarkan dia berhalusinasi sendiri. Soalnya jika saya jelaskan bagaimana hubungan kami sebenarnya, pasti akan Panjang ceritanya. Jujur saya senang melihat senyum bahagia Andara saat dia menemukan gaun yang diinginkannya itu. Saya pun senang sudah bisa membantunya menyelesaikan masalahnya. Saya yakin, suatu saat pasti ada sebuah keajaiban. Ya, suatu saat nanti Andara tahu kalau kakak angkatnya ini mencintai dia dan dia akhirnya menerima cinta saya apa adanya. Mungkin kah? "Kakak!" "Iya dek." Kami bicara di telepon. "Kakak lagi apa?" "Kakak abis nulis." "Udah dikirim?" "Udah." "Ada aku kan di sana?" “Nggak ada.” “Kok nggak ada?” “Kalo peran Siti, ada.” Peran Siti ini adalah nama peran yang dimainkann