Beranda / Romansa / Terjebak Cinta Bos Sadis / Bab 2- Tatapan dari lantai 45

Share

Bab 2- Tatapan dari lantai 45

Penulis: Rayden Arsha
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-08 21:13:26

Begitu pintu lift terbuka di lantai 45, aku langsung disergap aroma kopi yang begitu pekat, bercampur wangi kayu mahal yang hangat dan menenangkan. Rasanya benar-benar berbeda dari semua lantai yang tadi kulewati—di sini atmosfernya jauh lebih tenang, lebih eksklusif, dan ada sesuatu yang membuatku seketika gugup. Langit-langitnya menjulang tinggi, seolah ruangan ini diciptakan untuk menampung ambisi besar. Dinding-dindingnya dipenuhi panel kayu gelap yang mengilat, dipadukan dengan kaca hitam yang memantulkan bayanganku sendiri. Setiap langkah sepatu yang kuayunkan di atas lantai marmernya menggema jelas, suara kecilku terasa berlipat ganda, membuatku sadar betapa ruangan ini terasa terlalu luas, terlalu sunyi, dan memiliki wibawa yang menekan dari segala arah. Udara di sini seolah sarat dengan rahasia dan tekanan yang tak terlihat.

Di ujung lorong panjang, berdiri sebuah meja resepsionis mungil yang terlihat kontras dengan kemegahan sekitarnya. Seorang wanita dengan sanggul rapi duduk di sana, mengenakan seragam hitam elegan. Tatapannya sulit ditebak—ada senyum tipis di bibirnya, tapi matanya tajam menelisik, seperti sedang menilai apakah aku layak berada di tempat ini. Aku pun berusaha mengatur napas, merapikan blazer, lalu melangkah mendekat.

“Selamat pagi,” aku menyapa, mencoba menampilkan senyum yang sopan meski rahangku sedikit kaku. “Saya Rania Putri Azzahra, sekretaris baru Pak Arseniel.”

Dia mengangguk singkat, ekspresi wajahnya nyaris tak berubah. Sorot matanya naik-turun, mengamati aku dari kepala hingga kaki, seolah pertanyaan “Kamu pantas nggak ada di sini?” terpampang jelas di matanya.

“Pak Arseniel sedang di ruangannya. Silakan langsung masuk,” katanya datar, tanpa nada ramah ataupun ketus. Tapi entah kenapa, mendengar suaranya, telapak tanganku langsung menjadi dingin dan lembap.

Aku berjalan ke depan sebuah pintu kaca besar yang berkilau, dengan nama besar tertera di sana:

ARSENIEL DIRGANTARA – CEO

Baru membaca namanya saja, jantungku seperti dipaksa berlari maraton. Aku berdiri di depannya beberapa detik, menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Namun sebelum aku sempat mengetuk, suara berat dari dalam ruangan sudah terdengar jelas, seolah suaranya memang selalu cukup untuk memberi perintah tanpa perlu menunggu.

“Masuk.”

Itu dia. Suara itu berat, datar, dan penuh penekanan—seperti perintah yang tak memberi ruang untuk diskusi atau keraguan. Perlahan aku buka pintu, dan di sana, di tengah ruangan yang luas dan terang, berdiri sosok yang tak asing. Pria yang barusan saja kutumpahi kopi pagi ini. Ia membelakangiku, menghadap jendela kaca raksasa yang menampilkan pemandangan kota Jakarta dari ketinggian. Tangan kirinya menenteng cangkir kopi baru, uapnya masih menari-nari di udara. Tangan kanannya masuk ke saku celana, posturnya tegak dan tenang. Aura dinginnya terasa memenuhi seluruh ruangan, seolah aku masuk ke dalam lingkaran badai yang sunyi.

“Rania Putri Azzahra,” ucapnya tanpa menoleh sedikit pun. “Kau datang tiga menit terlambat, menumpahkan kopi ke jas saya, dan sekarang berdiri di ruang kerja saya.”

Nada suaranya tidak tinggi, tapi tiap kata terdengar seperti vonis yang sudah dijatuhkan. Tenggorokanku tercekat, dan aku menelan ludah dengan gugup.

“Saya benar-benar minta maaf, Pak. Itu murni kecelakaan. Saya janji nggak akan—”

“Tidak akan terlambat lagi?” katanya pelan, memotong ucapanku, lalu perlahan berbalik menghadapku.

Tatapannya tajam, seolah ia bisa membaca seluruh isi pikiranku hanya dengan satu lirikan. Ia memindai aku dari ujung rambut sampai ujung kaki, matanya berhenti lama di wajahku. Ada sesuatu di sorot matanya yang membuat lututku hampir lemas, bukan hanya karena rasa takut, tapi juga ada sesuatu yang lain—sesuatu yang sulit aku jelaskan, seperti rasa penasaran bercampur hormat.

Ia berjalan mendekat, langkahnya pelan tapi penuh keyakinan, setiap gerakannya terasa terukur dan berwibawa. “Dirgantara Corp tidak menoleransi kesalahan ceroboh, Nona Rania. Tapi saya menghargai kejujuran. Silakan duduk.”

Dengan tangan yang masih gemetar, aku menarik kursi di depan mejanya dan duduk, berusaha tampak tenang meski jantungku rasanya benar-benar ingin meloncat keluar. Ruangan ini terasa semakin besar, semakin dingin, semakin sunyi—seolah setiap suara, setiap napas, bisa didengar dengan jelas. Ia duduk di kursi kerjanya, menatap layar komputer beberapa detik seakan menimbang sesuatu, sebelum akhirnya bicara lagi.

“Saya tidak memilih sekretaris baru secara langsung. Tapi HRD bilang nilai akademis Anda tinggi, latar belakang komunikasi Anda juga bagus. Benar?”

“Ya, Pak,” jawabku, suaraku nyaris hanya bisikan.

“Baik. Tunjukkan kalau HRD tidak salah.”

Aku mengangguk cepat, merasakan tekanan bertambah di bahuku. Ia menatapku lagi, lebih lama kali ini, seolah benar-benar ingin memastikan siapa aku sebenarnya.

“Mulai hari ini, Anda bekerja langsung di bawah instruksi saya. Tidak ada kesalahan. Tidak ada alasan. Setiap detik Anda di sini, waktu saya ikut terpakai.”

Nada suaranya tegas, otomatis membuat aku duduk lebih tegak dan mengatur napas. “Dimengerti, Pak.”

Ia meletakkan cangkir kopi di atas meja kayu besar, lalu bersandar di kursi dengan gerakan yang tetap penuh kontrol. “Satu lagi, Nona Rania.”

Aku menegakkan kepala, bersiap dengan segala kemungkinan. “Ya, Pak?”

Tatapannya semakin tajam, tapi kali ini, ada—meski samar sekali—senyum tipis yang menghiasi sudut bibirnya.

“Lain kali kalau mau menumpahkan sesuatu, jangan kopi panas. Saya tidak suka bau gula di jas saya.”

Aku hampir tersedak mendengar kalimatnya. “Maaf, Pak!”

Dia tidak membalas, hanya menatapku dengan ekspresi yang sulit kutebak—antara geli, dingin, dan berbahaya, seolah dibalik ketenangan itu banyak hal yang disembunyikan.

Di tengah keheningan yang menekan, aku sadar satu hal: pria ini bukan sekadar atasan. Ia seperti badai sunyi—tak berisik, tapi sekali bergerak, bisa menghancurkan segalanya tanpa peringatan.

---

Siang menjelang, pekerjaan langsung menumpuk tanpa ampun. Menyusun laporan, mencatat jadwal rapat, mengangkat telepon penting—semuanya datang bersamaan, seperti ujian hidup yang tak ada habisnya. Tapi anehnya, setiap kali Pak Arseniel lewat di dekat mejaku, tubuhku kaku tanpa sebab yang jelas. Tatapannya selalu tajam, penuh kontrol, dan gerakannya disiplin, seolah setiap detik benar-benar berharga. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar berat, seakan mengandung makna yang tak bisa ditawar.

Namun di balik semua tekanan itu, aku justru jadi lebih memperhatikan hal-hal kecil tentang dirinya. Aku melihat caranya mengetuk-ngetukkan jari di meja setiap kali sedang berpikir keras, atau ketika ia berdiri di depan jendela besar, menatap jauh ke luar seolah memikirkan sesuatu yang dalam dan tak mudah dibagikan. Ada kesan bahwa di balik sikap dingin dan kerasnya, ia menyimpan sesuatu—mungkin luka lama, atau rahasia yang belum siap diungkapkan.

Semakin lama aku berada di sini, semakin aku merasa bahwa pria ini bukan sekadar atasan yang disiplin dan perfeksionis. Ada sisi lain, sesuatu yang tersembunyi jauh di balik ekspresi datarnya—entah itu rasa sakit, kehilangan, atau beban yang tak bisa diceritakan pada siapa pun. Aku jadi semakin penasaran, semakin ingin tahu apa yang sebenarnya ia simpan rapat-rapat di balik sikap dinginnya.

Satu hal yang pasti, sejak hari itu, aku tahu hidupku tidak akan pernah sama lagi. Hari-hari ke depan akan penuh tantangan, tekanan, dan mungkin kejutan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Dan semuanya berawal dari satu cangkir kopi yang tumpah di pagi hari.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terjebak Cinta Bos Sadis   Bab 21 – Kembali ke Dunia yang Sama

    Pagi itu aku berdiri lebih lama dari biasanya di depan lemari. Setelan kerja tergantung rapi—rok pensil hitam, kemeja putih, blazer abu-abu. Pakaian yang dulu kupakai hampir setiap hari, tapi kini terasa seperti seragam orang lain.Aku menyentuh kainnya perlahan, seolah bertanya pada diriku sendiri: apakah aku benar-benar siap kembali?Di luar kamar, terdengar langkah kaki Arsen. Tidak terburu-buru, tidak ragu. Ia mengetuk pelan.“Kau masih punya waktu,” katanya dari balik pintu.“Aku tahu,” jawabku. “Aku hanya… memastikan.”Aku mengenakan pakaian itu akhirnya. Rambutku kuikat sederhana. Tidak ada riasan berlebihan. Aku ingin terlihat seperti diriku sendiri—versi yang sekarang, bukan bayangan masa lalu.Di meja makan, Arsen sudah menyiapkan kopi. Kami duduk berhadapan, seperti pagi-pagi sebelumnya, tapi rasanya berbeda. Ada kesadaran baru di antara kami, semacam perjanjian tak tertulis.“Jika kau berubah pikiran,” katanya, “kita bisa pulang.”“Aku tidak akan,” kataku cepat, lalu terse

  • Terjebak Cinta Bos Sadis   Bab 20 – Di Antara Pilihan

    Gedung itu tidak tampak istimewa dari luar. Kaca bening, lantai abu-abu, satpam yang berdiri dengan wajah bosan. Tapi langkahku melambat begitu kami masuk. Ada sesuatu di udara—bukan firasat buruk, melainkan kesadaran bahwa aku sedang berjalan ke arah yang tidak bisa kuputar kembali.Arsen berjalan sedikit di depanku. Tidak menggenggam tanganku, tidak memberi isyarat berlebihan. Tapi setiap beberapa langkah, ia menoleh, memastikan aku masih di sana. Dan entah kenapa, itu cukup.Kami naik ke lantai tujuh. Lorongnya sunyi. Pintu-pintu tertutup rapat, seperti menyimpan urusan masing-masing. Di ujung lorong, seorang pria menunggu. Usianya sekitar lima puluh, jasnya rapi, rambutnya mulai memutih di pelipis.“Pak Arsen,” katanya, nadanya netral. Lalu matanya beralih padaku. “Dan ini… Rania.”Ia menyebut namaku seperti menyebut data.Kami masuk ke ruang rapat kecil. Tidak ada jendela. Hanya meja, tiga kursi, dan lampu putih yang terlalu terang. Aku duduk, merapatkan jaketku tanpa sadar.“Aku

  • Terjebak Cinta Bos Sadis   Bab 19 – Yang Mulai Retak

    Aku tidak langsung tidur malam itu. Aku hanya berbaring, menatap langit-langit, mendengarkan suara rumah yang sesekali berderak seperti sedang bernapas. Ada rasa asing yang sulit dijelaskan—bukan takut, bukan sedih, tapi seperti kehilangan pegangan pada sesuatu yang bahkan belum sepenuhnya kupahami.Sekitar tengah malam, aku bangkit dan keluar kamar. Lampu ruang kerja Arsen masih menyala. Ia duduk membelakangi pintu, bahunya sedikit membungkuk, seolah beban di kepalanya terlalu berat untuk ditopang sendirian.“Kau belum tidur,” kataku.Ia menoleh. Wajahnya terlihat lebih pucat di bawah cahaya lampu. “Kau juga.”Aku masuk dan duduk di sofa kecil di sudut ruangan. Kami tidak langsung bicara. Arsen kembali menatap layar laptopnya, tapi aku tahu pikirannya tidak benar-benar di sana.“Apa kau tahu sejak awal?” tanyaku akhirnya.Ia menutup laptop. “Tidak semuanya.”“Tapi cukup banyak,” kataku.“Iya.”Jawaban jujur itu terasa seperti tamparan pelan. Tidak keras, tapi tepat sasaran.“Apa yang

  • Terjebak Cinta Bos Sadis   Bab 18 – Pagi yang Terlalu Sunyi

    Aku terbangun tanpa alarm. Cahaya pagi masuk lembut melalui jendela, membuat kamar terlihat pucat dan bersih. Untuk sesaat, aku berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi panjang. Tapi rasa berat di dadaku berkata sebaliknya.Rumah ini terlalu sunyi.Aku bangun dan keluar kamar. Dapur kosong. Tidak ada aroma kopi, tidak ada suara langkah. Jam menunjukkan pukul delapan lewat sedikit. Biasanya Arsen sudah sibuk sejak subuh.Ada secarik kertas di meja.Aku keluar sebentar. Tidak jauh. Sarapan sudah kusiapkan. Jangan buka pintu untuk siapa pun.Tulisannya rapi, tegas, seperti dirinya. Tapi aku menangkap sesuatu di sana—kekhawatiran yang tidak diucapkan.Aku duduk, menatap sarapan yang sudah dingin. Telur, roti, segelas jus. Perhatian kecil yang tidak pernah kuminta, tapi entah kenapa terasa penting.Setelah makan, aku mencoba mengisi waktu. Membaca berita, menulis beberapa baris yang tidak selesai, lalu menyerah. Pikiranku terus kembali pada potongan ingatan itu. Bau obat. Ruang sempit. S

  • Terjebak Cinta Bos Sadis    Bab 17 Hal-Hal yang Tidak Terucap

    Malam datang tanpa permisi. Tidak ada hujan, tidak ada angin kencang—hanya gelap yang turun perlahan, seolah memberi waktu pada siapa pun untuk bersiap. Tapi aku tidak merasa siap. Aku duduk di tepi ranjang, menatap dinding kosong. Bayangan siang tadi masih tertinggal di kepalaku. Ruangan sempit. Bau obat. Tangan terikat. Rasanya seperti kenangan itu bukan milikku, tapi tubuhku mengingatnya dengan sangat baik. Ketukan pelan terdengar di pintu. “Masuk,” kataku. Arsen membuka pintu dan berdiri di ambang. Ia tidak langsung bicara, hanya mengamati wajahku, seperti mencoba memastikan aku benar-benar ada di sini. “Kau mau teh?” tanyanya akhirnya. Aku mengangguk. Kami duduk di ruang tamu. Televisi mati. Lampu tidak terlalu terang. Ada rasa canggung yang aneh—bukan karena kami asing, tapi karena terlalu banyak yang belum selesai. “Aku memikirkan sesuatu,” kataku sambil memegang cangkir. “Kalau ingatanku kembali sepenuhnya… bagaimana kalau aku tidak menyukai diriku yang dulu?”

  • Terjebak Cinta Bos Sadis   Bab 16 – Retakan yang Perlahan Terbuka

    Aku terbangun karena suara pintu yang ditutup pelan. Jam di meja samping tempat tidur menunjukkan pukul lima pagi. Langit masih gelap, tapi ada cahaya samar dari lampu teras yang menembus tirai.Aku tahu itu Arsen.Entah kenapa, aku bangkit dan keluar kamar tanpa berpikir panjang. Langkahku pelan, hampir ragu. Dari arah dapur terdengar suara gelas diletakkan, lalu keheningan lagi.Ia berdiri di sana, bersandar pada meja, menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Jas sudah dikenakan, rambutnya rapi—versi Arsen yang siap menghadapi dunia.“Kau tidak tidur lagi?” tanyanya saat menyadari kehadiranku.“Aku terbangun.” Aku mendekat, lalu berhenti beberapa langkah darinya. “Kau mau pergi?”“Sebentar.” Ia menyimpan ponsel. “Ada hal yang harus kuurus sebelum semuanya bergerak lebih jauh.”“Kau selalu bicara seperti itu,” kataku pelan. “Seolah semuanya hanya soal strategi.”Arsen menatapku, lalu menghela napas panjang. Untuk sesaat, bahunya terlihat turun—lelah.“Karena kalau aku berhen

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status