LOGINHari keduaku di Dirgantara Corp berlalu jauh lebih cepat daripada yang aku bayangkan. Mungkin karena aku benar-benar berusaha keras memastikan tak ada satu pun kejadian konyol seperti kemarin terulang lagi. Pagi ini aku datang setengah jam lebih awal, sepatu hak kupakai hati-hati, setiap langkah kupikirkan supaya nggak menimbulkan masalah, rambut kuikat serapi mungkin, bahkan sisa-sisa parfum kutabur seperlunya agar tidak mencolok. Dan, tentu saja, secangkir kopi panas kubawa buat Arseniel—hitam, polos, tanpa gula, tanpa susu. Sudah kuhafal betul, sesuai catatan yang diberikan si resepsionis kemarin, seperti mantra yang harus kutepati.
Kupandangi cangkir kopi itu di tanganku, benda kecil yang kemarin hampir saja menghancurkan reputasiku sebelum sempat kubangun. Lucu, ya—benda sederhana seperti ini bisa jadi penentu nasib. Sekarang, kugenggam cangkir itu erat-erat, seolah-olah aku sedang membawa bom waktu yang harus kusampaikan dengan selamat tanpa meledak di tengah jalan. Rasanya jantungku berdetak lebih cepat hanya karena menatap permukaan kopi yang hitam pekat itu. Lift terbuka di lantai 45. Seperti biasa, koridor di sini sunyi, rapi, dingin, dan entah kenapa membuat nyaliku ciut. Setiap langkah kaki terdengar jelas, seperti gema di ruang kosong. Aku melangkah pelan ke ruangan Arseniel, mengetuk pintu dengan hati-hati, berharap suaranya tak terlalu keras. “Masuk,” suara berat dan datar itu terdengar dari dalam. Kali ini, nada bicaranya tidak setajam kemarin, ada sesuatu yang sedikit lebih lunak, entah apa. Aku masuk, menahan napas. Dia duduk di balik meja kerjanya yang besar, kemeja putih digulung sampai siku, dasi longgar tergantung di leher, matanya menatap layar laptop, namun sempat melirik ketika aku meletakkan kopi di mejanya, seolah-olah sedang menilai setiap gerakanku. “Tanpa gula, tanpa susu,” ucapku pelan, berusaha terdengar yakin. “Sesuai catatan.” Alisnya naik sedikit, seolah ada ketertarikan baru di matanya. “Kamu belajar cepat,” katanya singkat. Aku cuma bisa tersenyum canggung, menunduk sebentar. “Saya nggak mau ngulangin kesalahan yang sama, Pak.” Dia menatapku lama, terlalu lama untuk ukuran interaksi di kantor. Aku bisa merasakan tatapannya menembus lapisan kepercayaandiriku yang tipis. “Kesalahan itu guru yang baik. Tapi kalau diulang…” Ucapannya menggantung, suaranya turun setengah nada, terdengar lebih dalam, lebih berat. “Itu sudah jadi pilihan.” Aku menelan ludah, merasa ruangan itu tiba-tiba menyempit. Sunyi. Hanya suara detak jam di dinding yang terdengar, setiap detiknya menambah ketegangan. Mendadak, Arseniel berdiri, mengambil sebuah map tebal, lalu berjalan ke arahku dengan langkah mantap. “Temani saya ke ruang rapat lantai 46,” katanya tanpa menunggu jawaban. “Saya butuh notulen langsung.” Aku buru-buru mengangguk, mengikuti langkahnya yang panjang dan yakin. Setiap langkahnya terasa seperti pernyataan kekuatan, dan aku harus mempercepat langkah agar tidak tertinggal di belakang. Begitu sampai di ruang rapat, beberapa eksekutif senior sudah menunggu, semua terdiam menunggu dimulainya rapat. Aku duduk di samping, siap dengan laptop yang sudah kubuka, sementara Arseniel berdiri di depan, mengambil alih suasana ruangan dengan wibawanya yang tenang. Caranya bicara di depan ruangan—ada karisma yang sulit dijelaskan. Suaranya mengalir, dalam, setiap kalimatnya seperti sudah diperhitungkan dengan cermat. Semua orang terdiam, menatapnya dengan penuh hormat, tapi juga ada rasa takut yang jelas terlihat di mata mereka. Aku sendiri tak luput dari perasaan itu. Namun di balik rasa kagum yang mulai tumbuh, ada sesuatu yang lain—perasaan aneh yang tak bisa kutahan, seolah aku sedang berdiri di tepi jurang antara kekaguman dan rasa cemas. Sepanjang rapat, aku sibuk mengetik, berusaha menangkap setiap detail pembicaraan. Tapi ketika Arseniel berjalan ke arahku untuk menyerahkan berkas tambahan, jari-jarinya tanpa sengaja menyentuh punggung tanganku. Hanya sebentar, sepersekian detik, tapi cukup untuk membuatku langsung kaku di tempat. Aku mendongak perlahan, dan dia pun menatapku. Mata abu-abu itu… tenang, namun tajam, seolah bisa membaca isi kepalaku. Tatapannya terasa seperti es yang membekukan semua gerakku. “Teruskan catatannya,” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. Aku hanya mampu mengangguk, diam-diam berusaha menenangkan detak jantung yang sekarang berdebar lebih kencang dari sebelumnya. Tidak mudah ketika seluruh perhatianmu terpusat pada seseorang yang begitu dominan. Dua jam rapat akhirnya berlalu. Satu per satu para eksekutif keluar, meninggalkan ruangan. Kini hanya aku dan Arseniel yang tersisa. Aku bereskan catatan, memilih menunduk agar tidak perlu berhadapan langsung dengannya, tapi tiba-tiba suaranya terdengar lagi, kali ini tanpa menatapku. “Bagus. Kamu detail sekali—bahkan lebih rapi dari notulen yang sudah lama di sini.” Aku menghela napas lega, merasa sedikit dihargai. “Terima kasih, Pak,” jawabku setulus mungkin. Dia berbalik, menatapku lurus dan tajam. “Tapi ada satu hal yang harus kamu ingat.” Aku berhenti merapikan catatan, menahan napas. “Apa, Pak?” Dia melangkah semakin dekat. Kini jaraknya terlalu dekat untuk sekadar urusan pekerjaan, membuatku gugup dan sulit berkutik. “Jangan biarkan siapa pun meremehkanmu. Termasuk saya.” Suaranya rendah, dalam, anehnya terasa seperti perlindungan sekaligus peringatan. Aku berdiri mematung, tidak tahu harus melihat ke mana. Atmosfer di ruangan tiba-tiba jadi berat, seolah ada sesuatu yang belum terucapkan. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan pergi, meninggalkanku sendiri dengan jantung yang masih berdebar kencang. Saat pintu tertutup di belakangnya, aku baru benar-benar sadar sesuatu: sepertinya ini bukan hanya soal pekerjaan. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih rumit, yang pelan-pelan menarikku masuk. Aku baru saja melangkah ke dalam permainan berbahaya bernama Arseniel Dirgantara—dan tidak ada jalan untuk mundur.Pagi itu aku berdiri lebih lama dari biasanya di depan lemari. Setelan kerja tergantung rapi—rok pensil hitam, kemeja putih, blazer abu-abu. Pakaian yang dulu kupakai hampir setiap hari, tapi kini terasa seperti seragam orang lain.Aku menyentuh kainnya perlahan, seolah bertanya pada diriku sendiri: apakah aku benar-benar siap kembali?Di luar kamar, terdengar langkah kaki Arsen. Tidak terburu-buru, tidak ragu. Ia mengetuk pelan.“Kau masih punya waktu,” katanya dari balik pintu.“Aku tahu,” jawabku. “Aku hanya… memastikan.”Aku mengenakan pakaian itu akhirnya. Rambutku kuikat sederhana. Tidak ada riasan berlebihan. Aku ingin terlihat seperti diriku sendiri—versi yang sekarang, bukan bayangan masa lalu.Di meja makan, Arsen sudah menyiapkan kopi. Kami duduk berhadapan, seperti pagi-pagi sebelumnya, tapi rasanya berbeda. Ada kesadaran baru di antara kami, semacam perjanjian tak tertulis.“Jika kau berubah pikiran,” katanya, “kita bisa pulang.”“Aku tidak akan,” kataku cepat, lalu terse
Gedung itu tidak tampak istimewa dari luar. Kaca bening, lantai abu-abu, satpam yang berdiri dengan wajah bosan. Tapi langkahku melambat begitu kami masuk. Ada sesuatu di udara—bukan firasat buruk, melainkan kesadaran bahwa aku sedang berjalan ke arah yang tidak bisa kuputar kembali.Arsen berjalan sedikit di depanku. Tidak menggenggam tanganku, tidak memberi isyarat berlebihan. Tapi setiap beberapa langkah, ia menoleh, memastikan aku masih di sana. Dan entah kenapa, itu cukup.Kami naik ke lantai tujuh. Lorongnya sunyi. Pintu-pintu tertutup rapat, seperti menyimpan urusan masing-masing. Di ujung lorong, seorang pria menunggu. Usianya sekitar lima puluh, jasnya rapi, rambutnya mulai memutih di pelipis.“Pak Arsen,” katanya, nadanya netral. Lalu matanya beralih padaku. “Dan ini… Rania.”Ia menyebut namaku seperti menyebut data.Kami masuk ke ruang rapat kecil. Tidak ada jendela. Hanya meja, tiga kursi, dan lampu putih yang terlalu terang. Aku duduk, merapatkan jaketku tanpa sadar.“Aku
Aku tidak langsung tidur malam itu. Aku hanya berbaring, menatap langit-langit, mendengarkan suara rumah yang sesekali berderak seperti sedang bernapas. Ada rasa asing yang sulit dijelaskan—bukan takut, bukan sedih, tapi seperti kehilangan pegangan pada sesuatu yang bahkan belum sepenuhnya kupahami.Sekitar tengah malam, aku bangkit dan keluar kamar. Lampu ruang kerja Arsen masih menyala. Ia duduk membelakangi pintu, bahunya sedikit membungkuk, seolah beban di kepalanya terlalu berat untuk ditopang sendirian.“Kau belum tidur,” kataku.Ia menoleh. Wajahnya terlihat lebih pucat di bawah cahaya lampu. “Kau juga.”Aku masuk dan duduk di sofa kecil di sudut ruangan. Kami tidak langsung bicara. Arsen kembali menatap layar laptopnya, tapi aku tahu pikirannya tidak benar-benar di sana.“Apa kau tahu sejak awal?” tanyaku akhirnya.Ia menutup laptop. “Tidak semuanya.”“Tapi cukup banyak,” kataku.“Iya.”Jawaban jujur itu terasa seperti tamparan pelan. Tidak keras, tapi tepat sasaran.“Apa yang
Aku terbangun tanpa alarm. Cahaya pagi masuk lembut melalui jendela, membuat kamar terlihat pucat dan bersih. Untuk sesaat, aku berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi panjang. Tapi rasa berat di dadaku berkata sebaliknya.Rumah ini terlalu sunyi.Aku bangun dan keluar kamar. Dapur kosong. Tidak ada aroma kopi, tidak ada suara langkah. Jam menunjukkan pukul delapan lewat sedikit. Biasanya Arsen sudah sibuk sejak subuh.Ada secarik kertas di meja.Aku keluar sebentar. Tidak jauh. Sarapan sudah kusiapkan. Jangan buka pintu untuk siapa pun.Tulisannya rapi, tegas, seperti dirinya. Tapi aku menangkap sesuatu di sana—kekhawatiran yang tidak diucapkan.Aku duduk, menatap sarapan yang sudah dingin. Telur, roti, segelas jus. Perhatian kecil yang tidak pernah kuminta, tapi entah kenapa terasa penting.Setelah makan, aku mencoba mengisi waktu. Membaca berita, menulis beberapa baris yang tidak selesai, lalu menyerah. Pikiranku terus kembali pada potongan ingatan itu. Bau obat. Ruang sempit. S
Malam datang tanpa permisi. Tidak ada hujan, tidak ada angin kencang—hanya gelap yang turun perlahan, seolah memberi waktu pada siapa pun untuk bersiap. Tapi aku tidak merasa siap. Aku duduk di tepi ranjang, menatap dinding kosong. Bayangan siang tadi masih tertinggal di kepalaku. Ruangan sempit. Bau obat. Tangan terikat. Rasanya seperti kenangan itu bukan milikku, tapi tubuhku mengingatnya dengan sangat baik. Ketukan pelan terdengar di pintu. “Masuk,” kataku. Arsen membuka pintu dan berdiri di ambang. Ia tidak langsung bicara, hanya mengamati wajahku, seperti mencoba memastikan aku benar-benar ada di sini. “Kau mau teh?” tanyanya akhirnya. Aku mengangguk. Kami duduk di ruang tamu. Televisi mati. Lampu tidak terlalu terang. Ada rasa canggung yang aneh—bukan karena kami asing, tapi karena terlalu banyak yang belum selesai. “Aku memikirkan sesuatu,” kataku sambil memegang cangkir. “Kalau ingatanku kembali sepenuhnya… bagaimana kalau aku tidak menyukai diriku yang dulu?”
Aku terbangun karena suara pintu yang ditutup pelan. Jam di meja samping tempat tidur menunjukkan pukul lima pagi. Langit masih gelap, tapi ada cahaya samar dari lampu teras yang menembus tirai.Aku tahu itu Arsen.Entah kenapa, aku bangkit dan keluar kamar tanpa berpikir panjang. Langkahku pelan, hampir ragu. Dari arah dapur terdengar suara gelas diletakkan, lalu keheningan lagi.Ia berdiri di sana, bersandar pada meja, menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Jas sudah dikenakan, rambutnya rapi—versi Arsen yang siap menghadapi dunia.“Kau tidak tidur lagi?” tanyanya saat menyadari kehadiranku.“Aku terbangun.” Aku mendekat, lalu berhenti beberapa langkah darinya. “Kau mau pergi?”“Sebentar.” Ia menyimpan ponsel. “Ada hal yang harus kuurus sebelum semuanya bergerak lebih jauh.”“Kau selalu bicara seperti itu,” kataku pelan. “Seolah semuanya hanya soal strategi.”Arsen menatapku, lalu menghela napas panjang. Untuk sesaat, bahunya terlihat turun—lelah.“Karena kalau aku berhen







