LOGINLift itu berhenti di lantai 45 dengan suara "ding" yang nyaris tak terdengar, seolah-olah lift pun tahu betapa tegangnya suasana hatiku. Bunyi lemah itu sama sekali tidak cukup untuk menenangkan jantungku yang berdebar kencang seperti ingin meloncat keluar dari dada. Aku melangkah keluar, langsung disambut koridor panjang berkarpet abu gelap yang tampak begitu sunyi dan tak berujung. Dinding-dinding kaca di kedua sisi membingkai pemandangan kota Ardan yang perlahan mulai diterangi cahaya matahari pagi, gedung-gedung tinggi berselimut kabut tipis, dan jalanan yang baru saja terbangun dari tidur panjang.
Langit di luar mulai cerah, rona oranye samar menari di antara gedung-gedung, menandakan hari yang baru. Namun, suasana di dalam koridor ini justru sebaliknya—udara dingin dari AC menusuk kulit, membuatku menggigil meski sudah memakai blazer tebal. Aku tak tahu mana yang lebih dingin: suhu ruangan, atau pikiranku sendiri yang dipenuhi kecemasan akan siapa yang menungguku di ujung ruangan itu. Setiap langkah terasa berat, seolah lantai karpet ini menyerap keberanian yang tersisa dalam diriku. Akhirnya, aku berhenti di depan sebuah pintu besar berlapis kayu gelap, dengan tulisan mengilap: ARSENIEL DIRGANTARA — Chief Executive Officer Huruf-huruf logam itu berkilauan diterpa cahaya pagi, seolah-olah memberi peringatan keras: pikirkan matang-matang sebelum melangkah masuk. Aku menelan ludah. Jari-jariku gemetar saat mengetuk pintu, pelan, hampir ragu. Sekali. Dua kali. Tidak ada jawaban. Sunyi yang merayap menambah beban di dada. Dengan napas yang tak beraturan, aku dorong pintu itu perlahan. Ruangan yang terbuka di hadapanku jauh lebih megah dari bayanganku. Langit-langitnya tinggi, dinding kaca membentang dari lantai hingga ke atas, membiarkan cahaya pagi leluasa menembus dan memantulkan kilau di meja kerja besar dari kayu gelap di tengah ruangan. Di balik meja, duduk seorang pria dengan postur tegap dan aura yang mendominasi: Arseniel Dirgantara. Dia tampak sibuk menelusuri berkas, seolah kehadiranku sama sekali tidak mengusik. Aku merasa kecil, nyaris tak terlihat—hanya bayangan samar yang lewat di udara. Jantungku makin berdebar ketika aku maju beberapa langkah, suara sepatu nyaris tenggelam di karpet tebal. "Selamat pagi, Pak. Saya—" "Rania Putri Azzahra," potongnya tanpa menatapku, nada tajam menusuk udara. "Sekretaris baru. Tiga menit terlambat." Suara dinginnya membuatku refleks menegakkan badan. Aku merasa seperti murid yang tertangkap basah melanggar aturan. "Iya, Pak. Saya minta maaf soal kejadian di lobi tadi. Itu nggak akan terulang lagi." Akhirnya, matanya terangkat menatapku. Tatapannya seperti es yang baru terbelah—dingin, namun di dalamnya ada percikan api yang tak bisa kusebutkan. Rasanya seperti sedang dihakimi tanpa kata, namun juga diuji ketahananku. "Kamu tahu berapa banyak orang yang ingin ada di posisi kamu, Nona Rania?" Aku menarik napas, berusaha agar suaraku stabil. "Banyak, Pak." "Dan dari semua itu, aku justru dapat sekretaris yang datang terlambat di hari pertama." Kata-katanya datar, tapi menusukku lebih dalam daripada bentakan. Aku menunduk, malu dan menyesal. "Saya akan perbaiki, Pak." "Pastikan bukan cuma janji," katanya sambil berdiri. Dengan tinggi badan dan sikap tegapnya, dia seperti menguasai seluruh ruangan tanpa usaha. "Di Dirgantara Corp, waktu itu segalanya. Siapa yang meremehkan, tak akan bertahan lama di sini." Dia berjalan melewatiku, berdiri di depan jendela besar, menatap kota yang mulai sibuk. Siluetnya tampak gagah, dan entah kenapa, ada sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak tentang pria ini. "Kenapa kamu mau kerja di sini?" tanyanya, masih membelakangi. Aku menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. "Karena saya ingin belajar, Pak. Dari orang-orang terbaik." Senyum tipis, hampir tak terlihat, muncul di sudut bibirnya. Hanya sekejap, tapi cukup untuk membuatku kehilangan kata-kata. Ada sesuatu yang aneh dalam senyuman itu—bukan hanya sekadar senang, tapi juga seperti ada rahasia yang ia sembunyikan. "Jawaban aman," katanya pelan, suaranya mengandung tantangan. "Tapi aku nggak butuh orang yang main aman. Aku butuh yang bisa berpikir cepat, apalagi saat tekanan datang." Aku menahan napas, tak berani membalas. Kali ini, tatapannya menelanjangi seluruh pertahananku—menilai, menantang, seperti menunggu reaksiku berikutnya. "Baik, Nona Rania. Anggap ini ujian pertamamu," ujarnya tegas. "Siapkan laporan keuangan divisi investasi bulan lalu. Aku ingin lihat di mejaku, tiga jam lagi." Aku langsung mengangguk, meski tangan masih gemetar. "Baik, Pak. Saya akan segera—" "Tunggu." Langkahku terhenti, napasku tertahan. Dia mendekat, cukup dekat hingga aroma parfumnya yang khas—mahal dan maskulin—menusuk hidungku. Tatapannya jatuh ke wajahku. "Aku tidak suka pegawai yang bicara sambil menunduk," katanya, suara rendah menggema di ruangan besar itu. "Angkat kepala. Lihat aku." Dengan perlahan aku mendongak, mengumpulkan keberanian yang tersisa. Matanya—abu-abu, dingin, menusuk—mencari-cari sesuatu di wajahku. Dalam tatapan itu, seolah seluruh duniaku mengecil, hanya tersisa aku dan dia. Ada sesuatu yang mengguncang dalam cara dia menatap—bukan sekadar atasan pada bawahan, tapi seperti ada badai yang ditahan di balik ketenangan itu: amarah, luka, entah apa. Aku tak bisa berpaling, sekeras apapun aku mencoba. "Baik," katanya akhirnya, mundur selangkah. "Sekarang pergi. Bekerjalah seolah masa depanmu benar-benar bergantung pada tugas itu. Karena… memang begitu." Aku menunduk sopan, lalu melangkah keluar. Begitu pintu tertutup di belakangku, aku bersandar di tembok koridor, mencoba menenangkan napas yang masih tersengal. Rasanya seperti baru saja keluar dari ruang interogasi, atau mungkin, terseret ke tengah badai yang tiba-tiba datang tanpa peringatan. Aku menatap pantulan diriku di dinding kaca seberang ruangan. Wajahku memerah, pipi panas, tapi mataku tampak berbeda—ada rasa penasaran yang tumbuh, rasa ingin tahu yang seharusnya tidak muncul pada hari pertamaku bekerja. Arseniel Dirgantara. Sosok dengan aura sedingin es, tatapan yang mampu membekukan siapa saja. Tapi aku yakin, di balik semua itu ada sesuatu yang lebih gelap, lebih dalam. Bukan sekadar ketegasan seorang pemimpin, tapi juga luka atau rahasia yang belum terungkap. Dan entah kenapa, aku justru semakin tertarik untuk mengungkapnya, meski tahu itu berbahaya. Aku duduk di meja kerja yang disiapkan untukku, tepat di luar ruangannya. Komputer menyala, dokumen-dokumen menumpuk menunggu untuk disentuh, tapi pikiranku masih melayang pada pertemuan barusan. Setiap kali aku mulai mengetik, wajahnya terbayang lagi—tatapannya, suaranya, dan kalimat terakhir yang menancap di pikiranku. “Bekerjalah seolah masa depanmu bergantung padanya.” Aku menarik napas dalam-dalam, menatap bayangan diriku sendiri di layar komputer. Hari pertamaku di sini bahkan belum separuh jalan, tapi aku sudah tahu: bekerja di bawah Arseniel Dirgantara bukan sekadar soal disiplin, tugas, atau absen tepat waktu. Ini adalah ujian mental, ketahanan, dan kemampuan membaca situasi di tengah tekanan yang tak terduga. Di balik semua tuntutan dan ketegasan itu, aku merasa seperti sedang berhadapan dengan badai—badai yang sewaktu-waktu bisa menenggelamkanku, tapi juga bisa membentukku menjadi seseorang yang lebih kuat. Dan mungkin, tanpa kusadari, aku juga ingin tahu: siapa sebenarnya Arseniel Dirgantara di balik dinding-dinding es dan tatapan tajam itu? Apa yang ia sembunyikan dari dunia? Satu hal yang pasti, aku harus bertahan. Menyelami hari-hari di bawah sorot mata pria yang bisa saja menghancurkan, namun juga—entah bagaimana—bisa mengguncang hatiku dengan cara yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Hari ini baru permulaan, dan aku tahu, badai yang sebenarnya mungkin baru saja dimulai.Pagi itu aku berdiri lebih lama dari biasanya di depan lemari. Setelan kerja tergantung rapi—rok pensil hitam, kemeja putih, blazer abu-abu. Pakaian yang dulu kupakai hampir setiap hari, tapi kini terasa seperti seragam orang lain.Aku menyentuh kainnya perlahan, seolah bertanya pada diriku sendiri: apakah aku benar-benar siap kembali?Di luar kamar, terdengar langkah kaki Arsen. Tidak terburu-buru, tidak ragu. Ia mengetuk pelan.“Kau masih punya waktu,” katanya dari balik pintu.“Aku tahu,” jawabku. “Aku hanya… memastikan.”Aku mengenakan pakaian itu akhirnya. Rambutku kuikat sederhana. Tidak ada riasan berlebihan. Aku ingin terlihat seperti diriku sendiri—versi yang sekarang, bukan bayangan masa lalu.Di meja makan, Arsen sudah menyiapkan kopi. Kami duduk berhadapan, seperti pagi-pagi sebelumnya, tapi rasanya berbeda. Ada kesadaran baru di antara kami, semacam perjanjian tak tertulis.“Jika kau berubah pikiran,” katanya, “kita bisa pulang.”“Aku tidak akan,” kataku cepat, lalu terse
Gedung itu tidak tampak istimewa dari luar. Kaca bening, lantai abu-abu, satpam yang berdiri dengan wajah bosan. Tapi langkahku melambat begitu kami masuk. Ada sesuatu di udara—bukan firasat buruk, melainkan kesadaran bahwa aku sedang berjalan ke arah yang tidak bisa kuputar kembali.Arsen berjalan sedikit di depanku. Tidak menggenggam tanganku, tidak memberi isyarat berlebihan. Tapi setiap beberapa langkah, ia menoleh, memastikan aku masih di sana. Dan entah kenapa, itu cukup.Kami naik ke lantai tujuh. Lorongnya sunyi. Pintu-pintu tertutup rapat, seperti menyimpan urusan masing-masing. Di ujung lorong, seorang pria menunggu. Usianya sekitar lima puluh, jasnya rapi, rambutnya mulai memutih di pelipis.“Pak Arsen,” katanya, nadanya netral. Lalu matanya beralih padaku. “Dan ini… Rania.”Ia menyebut namaku seperti menyebut data.Kami masuk ke ruang rapat kecil. Tidak ada jendela. Hanya meja, tiga kursi, dan lampu putih yang terlalu terang. Aku duduk, merapatkan jaketku tanpa sadar.“Aku
Aku tidak langsung tidur malam itu. Aku hanya berbaring, menatap langit-langit, mendengarkan suara rumah yang sesekali berderak seperti sedang bernapas. Ada rasa asing yang sulit dijelaskan—bukan takut, bukan sedih, tapi seperti kehilangan pegangan pada sesuatu yang bahkan belum sepenuhnya kupahami.Sekitar tengah malam, aku bangkit dan keluar kamar. Lampu ruang kerja Arsen masih menyala. Ia duduk membelakangi pintu, bahunya sedikit membungkuk, seolah beban di kepalanya terlalu berat untuk ditopang sendirian.“Kau belum tidur,” kataku.Ia menoleh. Wajahnya terlihat lebih pucat di bawah cahaya lampu. “Kau juga.”Aku masuk dan duduk di sofa kecil di sudut ruangan. Kami tidak langsung bicara. Arsen kembali menatap layar laptopnya, tapi aku tahu pikirannya tidak benar-benar di sana.“Apa kau tahu sejak awal?” tanyaku akhirnya.Ia menutup laptop. “Tidak semuanya.”“Tapi cukup banyak,” kataku.“Iya.”Jawaban jujur itu terasa seperti tamparan pelan. Tidak keras, tapi tepat sasaran.“Apa yang
Aku terbangun tanpa alarm. Cahaya pagi masuk lembut melalui jendela, membuat kamar terlihat pucat dan bersih. Untuk sesaat, aku berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi panjang. Tapi rasa berat di dadaku berkata sebaliknya.Rumah ini terlalu sunyi.Aku bangun dan keluar kamar. Dapur kosong. Tidak ada aroma kopi, tidak ada suara langkah. Jam menunjukkan pukul delapan lewat sedikit. Biasanya Arsen sudah sibuk sejak subuh.Ada secarik kertas di meja.Aku keluar sebentar. Tidak jauh. Sarapan sudah kusiapkan. Jangan buka pintu untuk siapa pun.Tulisannya rapi, tegas, seperti dirinya. Tapi aku menangkap sesuatu di sana—kekhawatiran yang tidak diucapkan.Aku duduk, menatap sarapan yang sudah dingin. Telur, roti, segelas jus. Perhatian kecil yang tidak pernah kuminta, tapi entah kenapa terasa penting.Setelah makan, aku mencoba mengisi waktu. Membaca berita, menulis beberapa baris yang tidak selesai, lalu menyerah. Pikiranku terus kembali pada potongan ingatan itu. Bau obat. Ruang sempit. S
Malam datang tanpa permisi. Tidak ada hujan, tidak ada angin kencang—hanya gelap yang turun perlahan, seolah memberi waktu pada siapa pun untuk bersiap. Tapi aku tidak merasa siap. Aku duduk di tepi ranjang, menatap dinding kosong. Bayangan siang tadi masih tertinggal di kepalaku. Ruangan sempit. Bau obat. Tangan terikat. Rasanya seperti kenangan itu bukan milikku, tapi tubuhku mengingatnya dengan sangat baik. Ketukan pelan terdengar di pintu. “Masuk,” kataku. Arsen membuka pintu dan berdiri di ambang. Ia tidak langsung bicara, hanya mengamati wajahku, seperti mencoba memastikan aku benar-benar ada di sini. “Kau mau teh?” tanyanya akhirnya. Aku mengangguk. Kami duduk di ruang tamu. Televisi mati. Lampu tidak terlalu terang. Ada rasa canggung yang aneh—bukan karena kami asing, tapi karena terlalu banyak yang belum selesai. “Aku memikirkan sesuatu,” kataku sambil memegang cangkir. “Kalau ingatanku kembali sepenuhnya… bagaimana kalau aku tidak menyukai diriku yang dulu?”
Aku terbangun karena suara pintu yang ditutup pelan. Jam di meja samping tempat tidur menunjukkan pukul lima pagi. Langit masih gelap, tapi ada cahaya samar dari lampu teras yang menembus tirai.Aku tahu itu Arsen.Entah kenapa, aku bangkit dan keluar kamar tanpa berpikir panjang. Langkahku pelan, hampir ragu. Dari arah dapur terdengar suara gelas diletakkan, lalu keheningan lagi.Ia berdiri di sana, bersandar pada meja, menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Jas sudah dikenakan, rambutnya rapi—versi Arsen yang siap menghadapi dunia.“Kau tidak tidur lagi?” tanyanya saat menyadari kehadiranku.“Aku terbangun.” Aku mendekat, lalu berhenti beberapa langkah darinya. “Kau mau pergi?”“Sebentar.” Ia menyimpan ponsel. “Ada hal yang harus kuurus sebelum semuanya bergerak lebih jauh.”“Kau selalu bicara seperti itu,” kataku pelan. “Seolah semuanya hanya soal strategi.”Arsen menatapku, lalu menghela napas panjang. Untuk sesaat, bahunya terlihat turun—lelah.“Karena kalau aku berhen







