Accueil / Romansa / Terjebak Cinta Bos Sadis / Bab 7 – Jejak Luka yang Disembunyikan Arsen

Share

Bab 7 – Jejak Luka yang Disembunyikan Arsen

Auteur: Rayden Arsha
last update Dernière mise à jour: 2025-12-06 10:50:38

Pintu ruang rahasia itu menutup tepat di belakang Arsen, menyisakan aku seorang diri di dalam ruangan yang tidak seharusnya kutinggali.

Aku masih duduk di sofa, tetapi rasanya seperti seluruh tubuhku tak lagi sama. Ada sesuatu di dadaku—campuran cemas, bingung, dan… tertarik.

Aku memeluk kedua tanganku, mencoba memahami kalimat terakhirnya.

“Terlalu berbeda… sampai sulit bagiku untuk menjaga jarak.”

Itu bukan sekadar komentar biasa.

Itu pengakuan.

Atau mungkin ancaman?

Arsen selalu membuatku sulit membaca batasnya.

Aku menatap kaca besar yang menghadap Ardan City.

Gedung-gedung tinggi seperti menatap balik ke arahku, seolah ingin memperingatkan tentang dunia yang baru saja kumasuki—dunia Arsen Dirgantara.

Aku menghembuskan napas panjang, lalu berdiri.

Aku tak boleh terus di ruangan itu.

Ia bilang tidak semua orang boleh masuk ke sini… tapi ia membawaku masuk tanpa ragu.

Kenapa?

Kenapa aku?

Aku membuka pintu perlahan, memastikan koridor aman. Tidak ada orang. Lift eksekutif masih menunggu.

Saat aku masuk, rasanya tekanan di dadaku belum hilang.

---

Kembali ke lantai 45, suasana terasa berbeda. Seolah semua orang bisa melihat sesuatu terjadi padaku.

Aku duduk di meja kerja, menunduk, mencoba fokus pada dokumen. Tapi tidak satu pun kalimat masuk ke otakku.

Aku butuh air.

Butuh keluar sebentar.

Aku bangkit dan berjalan ke pantry.

Saat hendak membuka kulkas, suara seseorang terdengar di belakangku.

“Rania?”

Aku tersentak kecil.

Itu bukan Arsen—syukurlah—melainkan Hana, salah satu staf senior yang ramah padaku sejak pagi.

“Hari pertamamu… berat, ya?” ia tersenyum lembut.

Aku mencoba balik tersenyum. “Sedikit.”

“Kau tampak pucat. Rapat direksi bisa sangat melelahkan.”

Aku menelan ludah. “Ya. Rasanya… tegang.”

Hana kemudian mencondongkan tubuh, menurunkan suaranya.

“Direksi Bram tadi—dia memang suka begitu. Banyak yang tidak nyaman.”

Aku mengangguk pelan. “Tadi… maksudku, dia sempat—”

“Berkata tidak pantas?” Hana memotong lembut.

“Kau tidak sendirian. Banyak yang pernah mengalaminya.”

Ada rasa marah tiba-tiba muncul di dadaku.

“Tapi Pak Arsen datang tepat waktu,” kataku tanpa sadar.

Hana tersenyum samar—senyum yang membuatku bingung.

“Ya. Pak Arsen memang berbeda dalam hal itu.”

Aku mengerutkan kening. “Berbeda bagaimana?”

Hana tidak langsung menjawab.

Ia malah berjalan ke kulkas, mengambil air, lalu kembali menatapku dengan tatapan yang sulit kuterjemahkan.

“Arsen selalu menjaga orang-orang yang bekerja langsung dengannya,” katanya perlahan.

“Kadang… terlalu menjaga.”

Aku merasakan tubuhku menegang. “T-terlalu?”

Hana memandangku penuh arti.

“Dia kehilangan sekretaris sebelumnya secara… buruk.”

Aku terdiam.

Hana membuka mulut lagi, tapi sebelum ada kata lain keluar, suara langkah berat terdengar dari luar pantry.

Arsen.

Tubuhku refleks menegang.

Arsen berhenti di pintu pantry, masih memakai setelan gelapnya, garis rahangnya tegas, dan tatapannya langsung terkunci padaku.

Tidak pada air.

Tidak pada Hana.

Padaku.

“Hana,” katanya datar tanpa mengalihkan pandangan. “Rapat divisi finansial sudah dimulai.”

“Oh—ya, Pak.”

Hana tersenyum padaku, menepuk lenganku pelan.

“Kita lanjutkan nanti.”

Ia keluar.

Dan tinggallah aku berdua dengan Arsen.

Udara langsung berubah.

Begitu Hana menghilang dari pandangan, Arsen melangkah masuk.

Pelan.

Tegas.

Seperti singa yang baru saja mengusir gangguan dari wilayahnya.

“Apa yang dia katakan padamu?” suaranya rendah, mengiris.

Aku menelan ludah. “Hanya… menanyakan kondisiku. Tidak ada yang penting.”

Tatapan Arsen menggelap, seolah mencoba membaca kebohonganku.

“Kau terlihat… tidak fokus.”

“Maaf, Tuan. Saya hanya—”

“Rania.”

Nada itu membuatku berhenti berbicara.

Arsen melangkah lebih dekat.

Sangat dekat hingga punggungku hampir menyentuh meja pantry.

“Kau memikirkan tentang apa yang kukatakan di ruang kerja pribadi tadi?”

Suara itu… turun dua oktaf lebih gelap.

Aku tak bisa menjawab.

“Jawab saya.”

Aku menelan napas keras-keras. “Iya.”

Tatapan Arsen melunak sedikit—bukan lembut, tapi lebih seperti… puas.

Seolah ia senang aku terpengaruh olehnya.

Tiba-tiba, ia mengangkat tangannya.

Aku refleks menegang, tapi ia tidak menyentuhku.

Ia hanya menyingkirkan rambutku ke belakang telinga—

Dengan hati-hati.

Dengan cara yang membuatku kelewat sadar akan kehadirannya.

“Bagus,” katanya pelan. “Karena aku memikirkannya juga.”

Darahku membeku.

“M-memikirkannya?”

Arsen mendekat lagi.

Wajahnya hanya beberapa sentimeter dari wajahku.

“Aku memikirkan…”

Ia berhenti, menatap bibirku.

“…bagaimana caraku menjaga jarak darimu.”

Napasnya menyentuh kulitku.

“Tapi tampaknya itu hal yang mustahil.”

Aku menggigit bibir bawah—kesalahan besar—karena tatapan Arsen menurun mengikuti gerakanku.

Lalu tanpa peringatan—

“Sekretaris Rania.”

Seseorang memanggil dari luar pantry.

Aku tersentak mundur.

Arsen menarik napas panjang, mengembalikan ekspresinya menjadi dingin dalam sekejap.

“Ada apa?” suaranya kembali profesional, berbeda sekali dari lima detik lalu.

Pria staf IT muncul di pintu. “Maaf, Tuan. Ada dokumen yang perlu ditandatangani Nona Rania.”

Arsen hanya mengangguk.

“Tunggu di luar.”

Staf itu pamit.

Begitu pintu pantry kembali kosong, Arsen menatapku sekali lagi.

“Rania.”

“Y-ya, Tuan?”

Ia mendekat sedikit—sekali lagi membuatku sulit bernapas.

“Kita akan bicara… lagi.”

Nada itu bukan permintaan.

Bukan instruksi.

Itu janji.

“Di balik pintu yang sama.”

---

Saat aku keluar pantry, tanganku masih gemetar.

Bukan karena takut.

Bukan karena marah.

Karena untuk pertama kalinya…

aku menyadari sesuatu yang jauh lebih berbahaya:

Arsen Dirgantara tidak sekadar menyimpan rahasia.

Ia menyimpan rasa.

Dan yang lebih berbahaya—

aku mulai merasakannya juga.

---

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Terjebak Cinta Bos Sadis   Bab 19 – Yang Mulai Retak

    Aku tidak langsung tidur malam itu. Aku hanya berbaring, menatap langit-langit, mendengarkan suara rumah yang sesekali berderak seperti sedang bernapas. Ada rasa asing yang sulit dijelaskan—bukan takut, bukan sedih, tapi seperti kehilangan pegangan pada sesuatu yang bahkan belum sepenuhnya kupahami.Sekitar tengah malam, aku bangkit dan keluar kamar. Lampu ruang kerja Arsen masih menyala. Ia duduk membelakangi pintu, bahunya sedikit membungkuk, seolah beban di kepalanya terlalu berat untuk ditopang sendirian.“Kau belum tidur,” kataku.Ia menoleh. Wajahnya terlihat lebih pucat di bawah cahaya lampu. “Kau juga.”Aku masuk dan duduk di sofa kecil di sudut ruangan. Kami tidak langsung bicara. Arsen kembali menatap layar laptopnya, tapi aku tahu pikirannya tidak benar-benar di sana.“Apa kau tahu sejak awal?” tanyaku akhirnya.Ia menutup laptop. “Tidak semuanya.”“Tapi cukup banyak,” kataku.“Iya.”Jawaban jujur itu terasa seperti tamparan pelan. Tidak keras, tapi tepat sasaran.“Apa yang

  • Terjebak Cinta Bos Sadis   Bab 18 – Pagi yang Terlalu Sunyi

    Aku terbangun tanpa alarm. Cahaya pagi masuk lembut melalui jendela, membuat kamar terlihat pucat dan bersih. Untuk sesaat, aku berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi panjang. Tapi rasa berat di dadaku berkata sebaliknya.Rumah ini terlalu sunyi.Aku bangun dan keluar kamar. Dapur kosong. Tidak ada aroma kopi, tidak ada suara langkah. Jam menunjukkan pukul delapan lewat sedikit. Biasanya Arsen sudah sibuk sejak subuh.Ada secarik kertas di meja.Aku keluar sebentar. Tidak jauh. Sarapan sudah kusiapkan. Jangan buka pintu untuk siapa pun.Tulisannya rapi, tegas, seperti dirinya. Tapi aku menangkap sesuatu di sana—kekhawatiran yang tidak diucapkan.Aku duduk, menatap sarapan yang sudah dingin. Telur, roti, segelas jus. Perhatian kecil yang tidak pernah kuminta, tapi entah kenapa terasa penting.Setelah makan, aku mencoba mengisi waktu. Membaca berita, menulis beberapa baris yang tidak selesai, lalu menyerah. Pikiranku terus kembali pada potongan ingatan itu. Bau obat. Ruang sempit. S

  • Terjebak Cinta Bos Sadis    Bab 17 Hal-Hal yang Tidak Terucap

    Malam datang tanpa permisi. Tidak ada hujan, tidak ada angin kencang—hanya gelap yang turun perlahan, seolah memberi waktu pada siapa pun untuk bersiap. Tapi aku tidak merasa siap. Aku duduk di tepi ranjang, menatap dinding kosong. Bayangan siang tadi masih tertinggal di kepalaku. Ruangan sempit. Bau obat. Tangan terikat. Rasanya seperti kenangan itu bukan milikku, tapi tubuhku mengingatnya dengan sangat baik. Ketukan pelan terdengar di pintu. “Masuk,” kataku. Arsen membuka pintu dan berdiri di ambang. Ia tidak langsung bicara, hanya mengamati wajahku, seperti mencoba memastikan aku benar-benar ada di sini. “Kau mau teh?” tanyanya akhirnya. Aku mengangguk. Kami duduk di ruang tamu. Televisi mati. Lampu tidak terlalu terang. Ada rasa canggung yang aneh—bukan karena kami asing, tapi karena terlalu banyak yang belum selesai. “Aku memikirkan sesuatu,” kataku sambil memegang cangkir. “Kalau ingatanku kembali sepenuhnya… bagaimana kalau aku tidak menyukai diriku yang dulu?”

  • Terjebak Cinta Bos Sadis   Bab 16 – Retakan yang Perlahan Terbuka

    Aku terbangun karena suara pintu yang ditutup pelan. Jam di meja samping tempat tidur menunjukkan pukul lima pagi. Langit masih gelap, tapi ada cahaya samar dari lampu teras yang menembus tirai.Aku tahu itu Arsen.Entah kenapa, aku bangkit dan keluar kamar tanpa berpikir panjang. Langkahku pelan, hampir ragu. Dari arah dapur terdengar suara gelas diletakkan, lalu keheningan lagi.Ia berdiri di sana, bersandar pada meja, menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Jas sudah dikenakan, rambutnya rapi—versi Arsen yang siap menghadapi dunia.“Kau tidak tidur lagi?” tanyanya saat menyadari kehadiranku.“Aku terbangun.” Aku mendekat, lalu berhenti beberapa langkah darinya. “Kau mau pergi?”“Sebentar.” Ia menyimpan ponsel. “Ada hal yang harus kuurus sebelum semuanya bergerak lebih jauh.”“Kau selalu bicara seperti itu,” kataku pelan. “Seolah semuanya hanya soal strategi.”Arsen menatapku, lalu menghela napas panjang. Untuk sesaat, bahunya terlihat turun—lelah.“Karena kalau aku berhen

  • Terjebak Cinta Bos Sadis   Bab 15 – Pagi yang Tidak Lagi Sama

    Aku terbangun saat cahaya pagi menyelinap pelan melalui celah tirai. Untuk beberapa detik, aku lupa di mana aku berada. Ruangan ini terasa asing—terlalu rapi, terlalu sunyi. Lalu ingatan itu datang perlahan, seperti air yang merembes masuk ke celah pikiran: Dirgantara Tower, lorong gelap, foto-fotoku, dan suara Arsen yang mengatakan aku pernah hilang.Aku duduk, memeluk lututku sendiri.Pagi ini tidak membawa rasa lega seperti biasanya. Tidak ada rutinitas, tidak ada kepastian. Hanya kesadaran bahwa hidupku telah bergeser, dan aku belum tahu ke arah mana.Ketika aku keluar kamar, aroma kopi menyambutku. Arsen sudah di dapur, mengenakan kemeja abu-abu sederhana dengan lengan digulung. Penampilannya jauh berbeda dari sosok CEO yang biasa kulihat—lebih manusiawi, lebih lelah.“Kau sudah bangun,” katanya tanpa menoleh.“Iya.”Ia menuangkan kopi ke dua cangkir dan mendorong salah satunya ke arahku. Aku menerimanya, jari kami sempat bersentuhan singkat. Sentuhan kecil itu cukup untuk membua

  • Terjebak Cinta Bos Sadis   Bab 14 – Rumah yang Tidak Pernah Kupilih

    Mobil melaju tanpa suara berlebihan, hanya desiran ban menyentuh aspal basah. Lampu kota Ardan City memantul di kaca jendela, menciptakan bayangan yang bergerak pelan—seperti pikiranku yang belum juga tenang. Aku duduk diam, memeluk mantelku sendiri, mencoba merapikan kepingan hidup yang terasa tercerai.Arsen tidak bicara.Tangannya mantap di kemudi, pandangannya lurus ke depan. Tapi aku tahu, dari cara rahangnya mengeras, dari napasnya yang sedikit lebih dalam dari biasanya—ia sedang berpikir keras.Aku ingin bertanya banyak hal.Tentang Dharma.Tentang diriku.Tentang masa lalu yang katanya pernah kurasakan, tapi kini kosong.Namun kata-kata terasa berat.“Aku tidak akan membawamu ke apartemenmu,” Arsen akhirnya bersuara, memecah keheningan.Aku menoleh. “Kenapa?”“Sudah tidak aman.”Jawabannya singkat, tapi jelas. “Jika mereka bisa masuk ke gedung seketat Dirgantara Tower, tempat tinggalmu terlalu mudah diakses.”Perutku mengencang. “Lalu… ke mana kita pergi?”“Ke rumahku.”Jawaba

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status