LOGINAku kembali ke meja kerjaku dengan langkah yang hampir tidak terasa menyentuh lantai. Pikiran tentang apa yang hampir Arsen katakan—kamu milik…—terus terulang di kepalaku seperti gema yang tidak mau hilang.
Tidak mungkin. Tidak mungkin aku mendengarnya dengan benar. Atau… apakah ia sengaja menggantung kalimat itu? Aku menunduk, mencoba fokus pada dokumen di layar. Namun setiap halaman yang kubuka terlihat kabur. Jantungku berdetak terlalu keras, dan rasanya aku sudah tidak bisa membedakan antara ketakutan dan sesuatu yang jauh lebih berbahaya. Desiran peringatan. Atau ketertarikan. Aku benar-benar tidak yakin. Sampai suara pintu kantor CEO terbuka. Langkahnya. Dingin. Tenang. Tegas. Arsen keluar tanpa menoleh ke siapa pun. Ia berjalan lurus ke arah lift eksekutif, namun tepat saat aku berpura-pura sibuk mengetik, suaranya terdengar. “Rania. Ikut saya.” Aku menegang. Beberapa karyawan menoleh, saling berbisik. Bukan karena aku dipanggil—melainkan cara ia memanggilku. Tidak ada jarak profesional. Tidak ada jeda. Hanya instruksi singkat, seperti ia yakin aku akan menuruti apa pun yang ia katakan. Aku berdiri, menelan napas yang tersangkut di tenggorokan, lalu mengikutinya. Kami masuk ke lift eksekutif. Pintu tertutup. Hening. Sangat hening. Hanya suara napasku yang tidak stabil, sementara Arsen berdiri dengan tangan di saku, memandangi angka lantai yang bergerak turun. Beberapa detik kemudian, suaranya terdengar tanpa ia menoleh. “Kamu sangat mudah terpengaruh.” Aku menoleh cepat. “Maaf?” “Tadi saat Bram bicara. Kau terlihat… takut.” Matanya turun ke wajahku, menelanjangiku dengan tatapannya. “Jangan tunjukkan kelemahanmu pada siapa pun.” Aku menggenggam jari-jari sendiri. “Saya hanya tidak suka komentar seperti itu.” Arsen menatapku lama. Lama sekali. Seolah ia mencoba membaca pikiranku. “Bagus,” katanya akhirnya. “Tapi kau harus lebih tegas.” Aku mengangguk pelan. “Baik, Tuan.” Lift berhenti di lantai 52—lantai yang bahkan tidak tercantum di papan petunjuk. Aku mengerutkan kening. “Kita… ada meeting di sini?” Arsen tidak menjawab. Hanya berjalan keluar, dan karena pintu lift hampir menutup, aku buru-buru menyusul. Kami memasuki koridor sepi dengan lampu temaram. Hanya ada satu pintu di ujung, dengan kaca buram dan panel keamanan sidik jari. Arsen menempelkan jarinya. Pintu terbuka. Ruangan itu luas, tapi bukan ruang meeting. Bukan ruang kerja. Bukan ruang rapat direksi. Melainkan… ruang pribadi. Ada rak buku besar, meja panjang dengan lampu gantung mewah, sofa lembut berwarna hitam, dan kaca besar yang menghadap kota. Ruangan itu sunyi, hangat, dan tidak ada siapa pun di sana. “A—apa ini?” tanyaku dengan suara hampir bergetar. Arsen menutup pintu dengan tenang. Kemudian, perlahan, berjalan mendekat. “Ini ruang kerja pribadi saya. Tidak terdaftar di sistem. Tidak semua orang boleh masuk.” Ia berhenti tepat di depan wajahku. “Kamu… salah satunya.” Jantungku melompat. “Tuan… Arsen, kenapa saya—” “Duduk.” Ia menunjuk sofa tanpa memberi ruang untuk debat. Aku menurut. Mungkin karena takut. Mungkin karena penasaran. Mungkin karena tatapan itu—tajam, gelap, dan entah bagaimana membuatku tidak bisa menolak. Arsen duduk di sampingku. Terlalu dekat. Hanya beberapa sentimeter memisahkan lutut kami. “Ada sesuatu yang harus kamu ketahui,” katanya pelan, suaranya dalam dan jauh dari nada CEO biasanya. “Dan itu tidak boleh keluar dari ruangan ini.” Aku menelan ludah. “Baik.” “Kau pasti sudah menyadari,” lanjutnya, “bahwa banyak yang memperhatikanmu.” Aku menegang. “Dan sebagian bukan karena alasan profesional.” Rahang Arsen mengeras. Tatapannya berubah jadi tajam dan berbahaya. “Aku sudah memperingatkan mereka. Tapi ada orang-orang tertentu… yang tidak peduli.” Aku merinding. “Tuan… apa maksud Anda?” Arsen memutar tubuh, menghadapku sepenuhnya. Tatapannya menusuk, intens, dan hampir… posesif. “Orang-orang itu menyukai kekuasaan,” katanya pelan. “Dan mereka mengincar sekretarisku.” Alisku berkerut. “Tapi saya baru satu hari bekerja.” “Justru itu.” Suara Arsen turun menjadi bisikan. “Mereka pikir kamu lemah… polos… mudah dimanipulasi.” Ia mendekat. Wajahnya hanya sejengkal dari wajahku. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.” Aku membeku. Jantungku berdetak tidak karuan. Arsen mengangkat tangan— Aku menegang, mengira ia akan menyentuh wajahku— Tapi ia hanya menyingkirkan helaian rambut yang jatuh di pundakku, jarinya nyaris menyentuh kulitku. “Mulai hari ini,” ucapnya, rendah. “Kamu tidak boleh sendirian di area direksi.” Aku tersentak. “Itu… terlalu berlebihan.” Arsen tertawa pelan—suara yang tidak pernah kudengar darinya. “Rania,” katanya sambil menatapku dalam. “Jika kau tahu apa yang pernah terjadi pada sekretaris sebelum kamu… kau tidak akan bilang begitu.” Darahku terasa dingin. “A—apa… apa yang terjadi?” bisikku. Arsen bersandar ke belakang, memejamkan mata sejenak. Retakan kecil terlihat di balik dinginnya. Seperti sebuah rahasia gelap yang selama ini ia simpan rapat-rapat. “Seseorang…” Ia membuka mata dan menatapku. “…memanfaatkan kedekatannya dengan direksi.” Aku menahan napas. “Dan hidupnya berubah selamanya.” Nada suaranya menggelap. “Dengan cara yang salah.” Ruang itu tiba-tiba terasa lebih dingin. “Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi padamu.” Aku menatapnya, tidak percaya dengan intensitas ketulusannya. Atau mungkin… obsesi? “Tuan…” Suara serak keluar sebelum aku bisa menghentikannya. “Kenapa Anda begitu peduli?” Arsen tidak menjawab. Ia hanya menatapku. Lama. Dalam. Seolah jawabannya ada di balik matanya—tapi tidak terucap. Akhirnya, dengan suara serak yang hampir pecah, ia berkata: “Karena kamu berbeda.” Aku membeku. “Terlalu berbeda… sampai sulit bagiku untuk menjaga jarak.” Sebelum aku sempat bertanya apa maksudnya— Pintu otomatis berbunyi. Seseorang dari luar mencoba membuka. Arsen berdiri cepat, tubuhnya menegang. “Kita belum selesai, Rania,” katanya tanpa menoleh. Ia menuju pintu, menekan panel keamanan, dan ruangan kembali sunyi. Sunyi… tapi penuh rahasia yang baru saja dibuka… dan ancaman yang belum terungkap.Pagi itu aku berdiri lebih lama dari biasanya di depan lemari. Setelan kerja tergantung rapi—rok pensil hitam, kemeja putih, blazer abu-abu. Pakaian yang dulu kupakai hampir setiap hari, tapi kini terasa seperti seragam orang lain.Aku menyentuh kainnya perlahan, seolah bertanya pada diriku sendiri: apakah aku benar-benar siap kembali?Di luar kamar, terdengar langkah kaki Arsen. Tidak terburu-buru, tidak ragu. Ia mengetuk pelan.“Kau masih punya waktu,” katanya dari balik pintu.“Aku tahu,” jawabku. “Aku hanya… memastikan.”Aku mengenakan pakaian itu akhirnya. Rambutku kuikat sederhana. Tidak ada riasan berlebihan. Aku ingin terlihat seperti diriku sendiri—versi yang sekarang, bukan bayangan masa lalu.Di meja makan, Arsen sudah menyiapkan kopi. Kami duduk berhadapan, seperti pagi-pagi sebelumnya, tapi rasanya berbeda. Ada kesadaran baru di antara kami, semacam perjanjian tak tertulis.“Jika kau berubah pikiran,” katanya, “kita bisa pulang.”“Aku tidak akan,” kataku cepat, lalu terse
Gedung itu tidak tampak istimewa dari luar. Kaca bening, lantai abu-abu, satpam yang berdiri dengan wajah bosan. Tapi langkahku melambat begitu kami masuk. Ada sesuatu di udara—bukan firasat buruk, melainkan kesadaran bahwa aku sedang berjalan ke arah yang tidak bisa kuputar kembali.Arsen berjalan sedikit di depanku. Tidak menggenggam tanganku, tidak memberi isyarat berlebihan. Tapi setiap beberapa langkah, ia menoleh, memastikan aku masih di sana. Dan entah kenapa, itu cukup.Kami naik ke lantai tujuh. Lorongnya sunyi. Pintu-pintu tertutup rapat, seperti menyimpan urusan masing-masing. Di ujung lorong, seorang pria menunggu. Usianya sekitar lima puluh, jasnya rapi, rambutnya mulai memutih di pelipis.“Pak Arsen,” katanya, nadanya netral. Lalu matanya beralih padaku. “Dan ini… Rania.”Ia menyebut namaku seperti menyebut data.Kami masuk ke ruang rapat kecil. Tidak ada jendela. Hanya meja, tiga kursi, dan lampu putih yang terlalu terang. Aku duduk, merapatkan jaketku tanpa sadar.“Aku
Aku tidak langsung tidur malam itu. Aku hanya berbaring, menatap langit-langit, mendengarkan suara rumah yang sesekali berderak seperti sedang bernapas. Ada rasa asing yang sulit dijelaskan—bukan takut, bukan sedih, tapi seperti kehilangan pegangan pada sesuatu yang bahkan belum sepenuhnya kupahami.Sekitar tengah malam, aku bangkit dan keluar kamar. Lampu ruang kerja Arsen masih menyala. Ia duduk membelakangi pintu, bahunya sedikit membungkuk, seolah beban di kepalanya terlalu berat untuk ditopang sendirian.“Kau belum tidur,” kataku.Ia menoleh. Wajahnya terlihat lebih pucat di bawah cahaya lampu. “Kau juga.”Aku masuk dan duduk di sofa kecil di sudut ruangan. Kami tidak langsung bicara. Arsen kembali menatap layar laptopnya, tapi aku tahu pikirannya tidak benar-benar di sana.“Apa kau tahu sejak awal?” tanyaku akhirnya.Ia menutup laptop. “Tidak semuanya.”“Tapi cukup banyak,” kataku.“Iya.”Jawaban jujur itu terasa seperti tamparan pelan. Tidak keras, tapi tepat sasaran.“Apa yang
Aku terbangun tanpa alarm. Cahaya pagi masuk lembut melalui jendela, membuat kamar terlihat pucat dan bersih. Untuk sesaat, aku berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi panjang. Tapi rasa berat di dadaku berkata sebaliknya.Rumah ini terlalu sunyi.Aku bangun dan keluar kamar. Dapur kosong. Tidak ada aroma kopi, tidak ada suara langkah. Jam menunjukkan pukul delapan lewat sedikit. Biasanya Arsen sudah sibuk sejak subuh.Ada secarik kertas di meja.Aku keluar sebentar. Tidak jauh. Sarapan sudah kusiapkan. Jangan buka pintu untuk siapa pun.Tulisannya rapi, tegas, seperti dirinya. Tapi aku menangkap sesuatu di sana—kekhawatiran yang tidak diucapkan.Aku duduk, menatap sarapan yang sudah dingin. Telur, roti, segelas jus. Perhatian kecil yang tidak pernah kuminta, tapi entah kenapa terasa penting.Setelah makan, aku mencoba mengisi waktu. Membaca berita, menulis beberapa baris yang tidak selesai, lalu menyerah. Pikiranku terus kembali pada potongan ingatan itu. Bau obat. Ruang sempit. S
Malam datang tanpa permisi. Tidak ada hujan, tidak ada angin kencang—hanya gelap yang turun perlahan, seolah memberi waktu pada siapa pun untuk bersiap. Tapi aku tidak merasa siap. Aku duduk di tepi ranjang, menatap dinding kosong. Bayangan siang tadi masih tertinggal di kepalaku. Ruangan sempit. Bau obat. Tangan terikat. Rasanya seperti kenangan itu bukan milikku, tapi tubuhku mengingatnya dengan sangat baik. Ketukan pelan terdengar di pintu. “Masuk,” kataku. Arsen membuka pintu dan berdiri di ambang. Ia tidak langsung bicara, hanya mengamati wajahku, seperti mencoba memastikan aku benar-benar ada di sini. “Kau mau teh?” tanyanya akhirnya. Aku mengangguk. Kami duduk di ruang tamu. Televisi mati. Lampu tidak terlalu terang. Ada rasa canggung yang aneh—bukan karena kami asing, tapi karena terlalu banyak yang belum selesai. “Aku memikirkan sesuatu,” kataku sambil memegang cangkir. “Kalau ingatanku kembali sepenuhnya… bagaimana kalau aku tidak menyukai diriku yang dulu?”
Aku terbangun karena suara pintu yang ditutup pelan. Jam di meja samping tempat tidur menunjukkan pukul lima pagi. Langit masih gelap, tapi ada cahaya samar dari lampu teras yang menembus tirai.Aku tahu itu Arsen.Entah kenapa, aku bangkit dan keluar kamar tanpa berpikir panjang. Langkahku pelan, hampir ragu. Dari arah dapur terdengar suara gelas diletakkan, lalu keheningan lagi.Ia berdiri di sana, bersandar pada meja, menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Jas sudah dikenakan, rambutnya rapi—versi Arsen yang siap menghadapi dunia.“Kau tidak tidur lagi?” tanyanya saat menyadari kehadiranku.“Aku terbangun.” Aku mendekat, lalu berhenti beberapa langkah darinya. “Kau mau pergi?”“Sebentar.” Ia menyimpan ponsel. “Ada hal yang harus kuurus sebelum semuanya bergerak lebih jauh.”“Kau selalu bicara seperti itu,” kataku pelan. “Seolah semuanya hanya soal strategi.”Arsen menatapku, lalu menghela napas panjang. Untuk sesaat, bahunya terlihat turun—lelah.“Karena kalau aku berhen







