Share

* 7 *

Author: KOMALA
last update Last Updated: 2025-03-04 09:10:27

Aku sampai di depan rumah tepat pukul 8 malam. Setelah membayar ongkos taxi, aku segera masuk ke dalam rumah dengan kunci yang memang biasa kubawa. Baik aku maupun Ben, suamiku, sama-sama memegang kunci rumah masing-masing sehingga kita tidak perlu saling menunggu satu sama lain saat masing-masing dari kita ada keperluan di luar rumah. Se-fleksible itu hubunganku dengan Ben. Di tahun ke-5 pernikahan kita, sudah jarang kita bertengkar meributkan hal yang spele, rasa saling percaya tertanam begitu saja seiring waktu kebersamaan kami tanpa kompromi.

Hal pertama yang kuperiksa adalah kamar Kayas, putriku, terlihat dia tidur dengan lelap. Dan aku keluar setelah mencium keningnya. Lantas aku ke kamar, kulihat Ben sedang serius di meja kerjanya dengan laptop yang menyala menampilkan sederet cerita yang enggan kubaca saat ini.

“Hai sayang!” sapaku, seraya memeluknya dari belakang.

Ben terlonjak kaget, rupanya dia tengah sangat serius dengan cerita garapannya sampai-sampai tidak menyadari kedatanganku. Dia menoleh ke wajahku dengan ekspresi terkejut, bingung, juga takut.

“Dasar!” gerutuku kesal, seraya mengusap-usap wajah Ben dengan sedikit kasar. “Gak kangen?” tanyaku jengkel.

“Kamu benar Mala? Mala istriku?” tanya Ben tidak yakin.

“Dapat banget eskpresimu saat menanyakannya!” celetukku kesal seraya melepaskan pelukan dan sedikit mundur menjauh dari Ben. “Aku bukan Mala, aku hantu! Hannntuuuu!” kataku dengan nada dibuat seseram mungkin seraya memasang wajah horor dan mengosongkan pandangan.

Ben mematung.

Melihatnya hanya diam dan menatapku takut, aku berbalik kesal. “Tidak seru.” rutukku jengkel lantas melangkah keluar kamar. Namun belum sempat kakiku melewati ambang pintu, dengan cepat Ben menarik lenganku lalu menutup pintu dengan satu tangan lainnya. Lalu tanpa aba-aba menciumku, melumat bibirku, menghisap lidahku, dan dengan lidahnya dia menjelajahi mulutku sampai rasanya aku seperti kehabisan napas dan kemudian mendorongnya dengan kencang. Kulihat wajah Ben yang tersenyum jahil.

“Kuberi waktu kau bernapas.” ledeknya.

Aku menatapnya takut, “Jangan-jangan kau bukan Ben?!” aku memicingkan mata menatapnya curiga. “Katakan dimana suamiku?!” seruku menimpali candaan Ben, lagi kudorong Ben hingga dia terduduk di kursi, dan aku lantas duduk di atasnya dengan kedua kakiku yang melingkari pinggulnya, kuncengkram lehernya, kudekatkan wajahnya lalu aku menciumnya dengan brutal.

Lengan Ben bergerak menyusup kedalam kaosku, mengusap-usap punggungku lalu melepaskan bra dengan mudah. Bisa kurasakan milik Ben mengeras seperti halnya bagian intimku yang berdenyut dan seperti basah. Lengan Ben terus bergerak mengusap-usap punggungku, lalu keperutku, dan sampai di dadaku. Dia mengusap lembut disana, menggosok-gosok bagian putingku yang mengeras. Menangkupnya lalu meremasnya lembut. Sedang mulut kita terus berciuman panas. Sampai kita sama-sama kehabisakan napas dan mengambil jeda sesaat untuk bernapas. Ben tidak menyia-nyiakannya, dengan cepat dia membuka bajuku. Dan aku turun dari pangkuan Ben untuk melepas celanaku. Saat itu pula Ben membuka kaos dan melepas celananya, hingga di antara kami tidak ada batasan apapun yang menghalangi. Ben kembali terduduk di kursi dengan kaki selonjoran dan sedikit membuka. Milik Ben tampak berdiri tegak dan keras seolah menantang langit. Melihat itu selintas aku teringat pada sosok Sam yang telanjang. Segera kutepis bayangan Sam, dengan cepat aku naik keatas Ben, melingkarkan kakiku di pinggulnya, mendorong milikku pada benda tumpul Ben yang berdiri tegak, hingga masuk seluruhnya kedalam diriku dan kami mendesah berbarengan. Lazy man itu tidak hanya diam, dia menundukkan kepalanya dan menciumi dadaku, mengecup, menghisap, mengulum putingnya hingga aku menggeliat semakin berhasrat. Aku menggerakkan pinggulku naik turun, menggesek-gesekkannya ke atas dan ke bawah dengan ritme yang terus bertambah cepat. Dan Ben, dia meremas-remas dadaku dengan desahan dan pandangan nanar. Sampai akhirnya kami meledak bersama, Ben melenguh panjang saat miliknya akhirnya muncrat di dalam diriku yang menebarkan sensasi hangat ke seluruh tubuhku, dan aku yang juga mencapai klimaks bersamanya hanya mendesah panjang seraya memeluk leher Ben dengan erat. Lalu akhirnya kami sama-sama terdiam, berpelukan dalam keadaan telanjang sembari mengatur napas.

“Aku rindu.” gumam Ben pelan.

“Menurutmu aku tidak?” timpalku seraya melepaskan diri dari Ben dan turun.

Ben menahan lenganku, “Mau kemana?” tanyanya.

“Mandilaaah.”

“Aku masih mau memelukmu.” mohon Ben.

Aku berdiri menatapnya lembut. Jika melakukannya di Kasur, biasanya kami memang berpelukan lama setelahnya. Saling mendengarkan hembusan napas masing-masing yang kian teratur, mendengarkan detak jantung, dan kemudian sama-sama mensyukuri kebersamaan kami satu sama lainnya.

“Mari kita lakukan setelah kita mandi. Aku merasa lengket dan ingin bersih-bersih.” putusku lantas berlalu ke kamar mandi.

***

Aku keluar dari kamar mandi dengan tubuh segar, kulihat Ben tanpak kembali serius dengan laptonya dengan hanya mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada. Kulihat di nakas ada segelas susu hangat dan sepotong sandwich. Ben memang selalu manis. Masih mengenakan handuk aku duduk di tepi ranjang dan mulai mengunyah sandwichnya dengan nikmat dilanjutkan dengan menyesap habis susunya.

“Kau tidak mandi?” tanyaku seraya bergerak menuju lemari dan membukanya.

“Biar kulanjutkan dulu, inspirasiku rasanya bertumpuk setelah bercumbu denganmu.” jawab Ben tanpa menoleh dari layar laptop, sedang jarinya tampak lincah memencet-mencet keyboard menimbulkan suara ketak-ketik yang khas dan tidak asing bagiku.

Aku tak berkomentar, aku sudah terbiasa dengan Ben yang seperti itu. Aku berdiri mematung di depan pintu lemari yang terbuka, seluruh rak-nya terisi penuh oleh pakaian yang tersusun rapih. Meski begitu aku selalu kebingungan dan merasa tidak memiliki baju yang pantas saat hendak berpakaian. Dan tetiba lipatan piyama satin putih terlihat olehku dan mengingatkanku pada piyama yang kukenakan saat Sam melihatku di kamar hotel di Surabaya. Setelah itu dengan berani sosok Sam yang berdiri tegap dengan telanjang bulat berkelebat dalam benakku.

“Iishh!!!” rutukku kesal, seraya menarik set piyama satin putih dengan bahan yang tipis dan terasa lembut.

“Kenapa?” Ben menoleh dan menatapku penasaran.

Aku tergagap, “Engga, hanya aku merasa konyol membeli beberapa set piayama yang sama persis.” grutuku berbohong.

“Kau bahkan mengabaikanku saat aku bilang jayus melihatmu mengambil beberapa piayama yang sama persis baik model maupun warnanya, untuk dibeli. Kau bilang tak masalah selama memang nyaman digunakan.”

“Lain kali seret saja aku keluar mall saat aku khilaf dan kembali membeli piyama yang sama persis.” pintaku dengan nada kesal.

“Hmmm, aku tak yakin.” gumam Ben, seraya kembali fokus pada laptopnya.

Akhirnya aku mengenakan piyama dengan model dan warna yang sama dengan yang kubawa ke Surabaya, dengan perasaan menyesal kenapa harus membawa dan mengenakan piayama untuk dinas luar ke Surabaya. Perasaan lelah membawaku untuk segera berbaring nyaman di kasur empuk milikku, dikamar pribadiku, dimana aku rasanya tidak akan melihat orang lain melakukan hal gila selain aku dengan Ben. Kuatur suhu AC ke 21° Celcius dan mengenakan selimut lembut hangat favoritku. Sembari menunggu Ben yang masih berkutat dengan ketikannya, aku bermain handphone untuk sekadar scroll media sosial. Dan postingan Nia muncul di beranda akunku. tampak semangkok mie kuah dengan irisan cabe rawit dilengakapi telur dan sawi.

“Cheat day, alone.” caption postingan Nia.

Aku memencet tombol hati dan berkomentar, “Diet woyyy!”.

Tak berapa lama Nia membalas komentar ku, “Laah kamu belum tidur? Lagi temu kangen yak?” komentarnya, dan aku balas dengan ketikkan, “wkwkkwkw. Sotoy”.

Tetiba kulihat Sam me-like semua komentarku, lalu ada jeda sebentar sebelum akhirnya dia me-like komentar Nia dan statusnya juga. Yang membuatku berkerut dahi heran adalah dia lebih dulu menyukai komentarku sebelum komentar Nia dan postingannya. Apa pikiranku yang berlebihan, atau itu bukan sesuatu yang harus dipikirkan? Aku meninggalkan postingan Nia dan kembali scroll untuk melihat lainnya dengan mengesampingkan pikiran anehku. Lalu kulihat Sam memposting!

“Rindu. Menatapmu.” sesimple itu postingan Sam. Dua kata, bukan satu kalimat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Cinta CEO Beristri   * 50 *

    Aku sedikit terlonjak karena terkejut, pun dengan Sam. Lelehan kejunya lantas mengotori pipi dan sekitar mulut Sam, bahkan cipratannya juga mengotori kameja putih yang Sam kenakan. Melihatnya, refleks aku menarik tisu dan mengelap mulut serta pipi Sam, juga mengusap-usap noda kuning itu di kemeja Sam. Membuat laki-laki itu terkejut dan bahkan menghentikan mobilnya. Aku terus saja sibuk membersihkan lelehan keju di pipi dan mulut Sam, tak menyadari bahwa laki-laki itu kini tercenung diam dan menatapku lekat, sementara mulutnya penuh sosis yang belum juga dikunyahnya. Sampai tiba-tiba dia memegang lenganku dan menghentikanku. Genggamannya yang erat dan terasa hangat seketika menarik kesadaranku."Maaf." seruku panik, seraya menepiskan lengan Sam dan menegakkan tubuh serta memperbaiki posisi dudukku lalu fokus melihat ke depan. Sementara Sam kemudian mengunyah sosisnya dengan ekspresi seperti menahan tawa."Kok mobilnya berhenti Pak?" tanyaku baru sadar."Kita sudah sampai di bandara." k

  • Terjebak Cinta CEO Beristri   * 49 *

    Melihatku melongo shock, Sam ikut melongo. Dia menatap lekat pada pahaku yang memang terbuka karena hanya mengenakan hotpants, yang kini bahkan blepotan saus tomat dan mayonaise serta ada potongan sosis diantaranya. Tak lama Sam lantas tertawa, sedang aku masih mematung menyesali sepenuh hati karena sudah mengenakan jeans super pendek alias hotpants.Kemudian dengan santainya Sam mencomot potongan sosis di pahaku dan memakannya sekaligus dalam satu suapan, the real sekali happ sampai aku terbelalak melihatnya! Seperti tak menyadarinya atau memang pura-pura tak menyadari reaksiku, Sam lantas menarik selembar tisu dan mengelap-elap pahaku untuk membersihkan saus dan mayonaise di sana.Aku terlalu terkejut dengan tingkahnya sampai tak bisa berkata-kata. Sosis di mulutku bahkan belum kukunyah sama sekali! Selain piyama tipis yang nyaman, kini bertambah lagi item fashion yang harus kublacklist, yaitu hotpants!"Pak, saya bisa melakukannya sendiri." protesku pelan saat berhasil mengumpulkan

  • Terjebak Cinta CEO Beristri   * 48 *

    POV : MalaAku berhenti melangkah, sedikit memicingkan mata untuk memastikan bahwa laki-laki yang berdiri di depan warung ayah itu adalah benar Sam. Dan saat laki-laki itu tersenyum padaku, aku tahu pasti bahwa dia memang benar adalah Sam.“Apa yang dilakukan Sam sepagi ini di depan warung ayah?” pikirku dengan kening berkerut heran. Segera aku menyeret koperku dan melangkah mendekati Sam.Namun sang CEO itu tidak hanya diam menunggu, dia bergerak cepat mendekatiku dan mengambil alih koper yang kuseret.“Pak!” seruku terkejut.Dan Sam tak menghiraukanku. Sampai aku kemudian hanya melongo bingung, saat kulihat Sam memasukkan koperku ke bagasi mobilnya.“Apa yang sedang dilakukannya?” pikirku heran. “Apa Nia menelepon Sam dan memintanya menjemputku karena khawatir ketinggalan pesawat?”Aku masih tercenung bingung dengan tingkah Sam. Sekarang, dia bahkan membukakan pintu mobilnya untukku.“Mau masuk tidak?” tanyanya, melihatku hanya melongo seperti perempuan bego.“Ah.” Aku terhenyak, sed

  • Terjebak Cinta CEO Beristri   * 47 *

    POV : BenAku tidak tahu apa sebenarnya yang sudah kuperdebatkan dengan Mala, sampai akhirnya dia pergi dengan perasaan kesal! Bahkan Mala sama sekali tidak membiarkanku untuk mengantarnya ke bandara. Memang aku tidak menawarkan dan Mala juga tidak meminta. Tadi aku terlalu shock saat tahu Mala hendak ke Bali lagi karena urusan pekerjaannya, sampai kemudian kita bertemu hanya untuk bertengkar saja. Aku sudah sangat berekspektasi, setelah turun gunung dengan kepala dingin akan kuhadapi Mala dengan lembut dan kuceritakan semua permasalahanku padanya secara deep talk. Namun seketika buyar, begitu tiba di depan rumah dan mendapati Mala telah bersiap dengan kopernya dan bilang mau ke Bali lagi!Aku emosi? Ya aku emosi!Minggu kemarin dia terbang ke Bali sampai kita harus cukup lama tak bersama. Dan pagi ini, baru saja kami akhirnya bertemu dan bahkan aku sudah sangat menantikannya. Tapi ternyata dia sudah akan berangkat lagi ke Bali? Pernikahan macam apa ini? Aku seketika kehilangan kontro

  • Terjebak Cinta CEO Beristri   * 46 *

    POV : BenAku mencintai Mala, tak pernah terpikirkan olehku untuk menyakitinya. Aku tak pernah berniat membohongi istriku. Semua perkataanku selaras dengan apa yang kulakukan. Tapi kondisiku memang sempat tidak terkontrol, dan sekarang bahkan menjadi diluar kendali. Aku bahkan tak tahu apa yang harus kulakukan dan bagaimana caraku untuk menjelaskan semuanya kepada Mala? Sekali lagi kutegaskan, aku mencintai Mala dan tak ingin kehilangannya sampai kapanpun!Aku tidak berbohong saat aku mengatakan akan pergi hiking ke gunung. Aku memang ke gunung, tapi bukan acara kepenulisan seperti yang kukatakan pada ibu mertuaku, ibunya Mala, saat aku mengantarkan Kayas untuk menitipkannya di rumah neneknya.Aku ke gunung untuk healing. Aku biasa melakukannya dan Mala tahu itu. Saat aku jengah, suntuk, tak punya inspirasi, aku kerap melakukan healing sendiri. Entah itu pergi ke gunung, ke pantai, ke hutan, ke pasar, ke mal, atau sekadar duduk di pesawahan sendirian. Dan akhir-akhir ini Mala sangat s

  • Terjebak Cinta CEO Beristri   * 45 *

    Aku menurunkan kecepatan laju kendaraan, saat mobil yang kukendarai semakin mendekati rumah Mala. Sedikit menahan diri, berniat untuk memantau situasi terlebih dulu sebelum benar-benar mengejutkannya dengan mendatangi Mala dan mengajaknya berangkat ke bandara bersama. Tapi mendadak perasaan excited dalam diriku berganti keresahan, saat kulihat sebuah mobil terparkir di depan gerbang rumah Mala. Yang kutahu pasti itu mobil milik Ben, suami Mala! Rupanya Ben sudah pulang! Kekecewaan mendadak menyeruak dalam diriku! Segala rencana yang tersusun rapi di kepala buyar seketika.Aku melajukan mobilku dengan perlahan saat melewati rumah Mala. Kulihat jelas Mala berdiri di teras rumah dengan kopernya, bersama Ben! Namun keduanya tidak terlihat baik!“Memang takdir tak pernah merelakanku untuk menyerah.” gumamku lega dan senang hati!Jelas Mala dan Ben tengah berdebat. Dan melihat pertengkaran suami istri yang baru bertemu setelah beberapa hari berpisah itu, semangatku kembali menggebu. Aku men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status