Aku sampai di depan rumah tepat pukul 8 malam. Setelah membayar ongkos taxi, aku segera masuk ke dalam rumah dengan kunci yang memang biasa kubawa. Baik aku maupun Ben, suamiku, sama-sama memegang kunci rumah masing-masing sehingga kita tidak perlu saling menunggu satu sama lain saat masing-masing dari kita ada keperluan di luar rumah. Se-fleksible itu hubunganku dengan Ben. Di tahun ke-5 pernikahan kita, sudah jarang kita bertengkar meributkan hal yang spele, rasa saling percaya tertanam begitu saja seiring waktu kebersamaan kami tanpa kompromi.
Hal pertama yang kuperiksa adalah kamar Kayas, putriku, terlihat dia tidur dengan lelap. Dan aku keluar setelah mencium keningnya. Lantas aku ke kamar, kulihat Ben sedang serius di meja kerjanya dengan laptop yang menyala menampilkan sederet cerita yang enggan kubaca saat ini.
“Hai sayang!” sapaku, seraya memeluknya dari belakang.
Ben terlonjak kaget, rupanya dia tengah sangat serius dengan cerita garapannya sampai-sampai tidak menyadari kedatanganku. Dia menoleh ke wajahku dengan ekspresi terkejut, bingung, juga takut.
“Dasar!” gerutuku kesal, seraya mengusap-usap wajah Ben dengan sedikit kasar. “Gak kangen?” tanyaku jengkel.
“Kamu benar Mala? Mala istriku?” tanya Ben tidak yakin.
“Dapat banget eskpresimu saat menanyakannya!” celetukku kesal seraya melepaskan pelukan dan sedikit mundur menjauh dari Ben. “Aku bukan Mala, aku hantu! Hannntuuuu!” kataku dengan nada dibuat seseram mungkin seraya memasang wajah horor dan mengosongkan pandangan.
Ben mematung.
Melihatnya hanya diam dan menatapku takut, aku berbalik kesal. “Tidak seru.” rutukku jengkel lantas melangkah keluar kamar. Namun belum sempat kakiku melewati ambang pintu, dengan cepat Ben menarik lenganku lalu menutup pintu dengan satu tangan lainnya. Lalu tanpa aba-aba menciumku, melumat bibirku, menghisap lidahku, dan dengan lidahnya dia menjelajahi mulutku sampai rasanya aku seperti kehabisan napas dan kemudian mendorongnya dengan kencang. Kulihat wajah Ben yang tersenyum jahil.
“Kuberi waktu kau bernapas.” ledeknya.
Aku menatapnya takut, “Jangan-jangan kau bukan Ben?!” aku memicingkan mata menatapnya curiga. “Katakan dimana suamiku?!” seruku menimpali candaan Ben, lagi kudorong Ben hingga dia terduduk di kursi, dan aku lantas duduk di atasnya dengan kedua kakiku yang melingkari pinggulnya, kuncengkram lehernya, kudekatkan wajahnya lalu aku menciumnya dengan brutal.
Lengan Ben bergerak menyusup kedalam kaosku, mengusap-usap punggungku lalu melepaskan bra dengan mudah. Bisa kurasakan milik Ben mengeras seperti halnya bagian intimku yang berdenyut dan seperti basah. Lengan Ben terus bergerak mengusap-usap punggungku, lalu keperutku, dan sampai di dadaku. Dia mengusap lembut disana, menggosok-gosok bagian putingku yang mengeras. Menangkupnya lalu meremasnya lembut. Sedang mulut kita terus berciuman panas. Sampai kita sama-sama kehabisakan napas dan mengambil jeda sesaat untuk bernapas. Ben tidak menyia-nyiakannya, dengan cepat dia membuka bajuku. Dan aku turun dari pangkuan Ben untuk melepas celanaku. Saat itu pula Ben membuka kaos dan melepas celananya, hingga di antara kami tidak ada batasan apapun yang menghalangi. Ben kembali terduduk di kursi dengan kaki selonjoran dan sedikit membuka. Milik Ben tampak berdiri tegak dan keras seolah menantang langit. Melihat itu selintas aku teringat pada sosok Sam yang telanjang. Segera kutepis bayangan Sam, dengan cepat aku naik keatas Ben, melingkarkan kakiku di pinggulnya, mendorong milikku pada benda tumpul Ben yang berdiri tegak, hingga masuk seluruhnya kedalam diriku dan kami mendesah berbarengan. Lazy man itu tidak hanya diam, dia menundukkan kepalanya dan menciumi dadaku, mengecup, menghisap, mengulum putingnya hingga aku menggeliat semakin berhasrat. Aku menggerakkan pinggulku naik turun, menggesek-gesekkannya ke atas dan ke bawah dengan ritme yang terus bertambah cepat. Dan Ben, dia meremas-remas dadaku dengan desahan dan pandangan nanar. Sampai akhirnya kami meledak bersama, Ben melenguh panjang saat miliknya akhirnya muncrat di dalam diriku yang menebarkan sensasi hangat ke seluruh tubuhku, dan aku yang juga mencapai klimaks bersamanya hanya mendesah panjang seraya memeluk leher Ben dengan erat. Lalu akhirnya kami sama-sama terdiam, berpelukan dalam keadaan telanjang sembari mengatur napas.
“Aku rindu.” gumam Ben pelan.
“Menurutmu aku tidak?” timpalku seraya melepaskan diri dari Ben dan turun.
Ben menahan lenganku, “Mau kemana?” tanyanya.
“Mandilaaah.”
“Aku masih mau memelukmu.” mohon Ben.
Aku berdiri menatapnya lembut. Jika melakukannya di Kasur, biasanya kami memang berpelukan lama setelahnya. Saling mendengarkan hembusan napas masing-masing yang kian teratur, mendengarkan detak jantung, dan kemudian sama-sama mensyukuri kebersamaan kami satu sama lainnya.
“Mari kita lakukan setelah kita mandi. Aku merasa lengket dan ingin bersih-bersih.” putusku lantas berlalu ke kamar mandi.
***
Aku keluar dari kamar mandi dengan tubuh segar, kulihat Ben tanpak kembali serius dengan laptonya dengan hanya mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada. Kulihat di nakas ada segelas susu hangat dan sepotong sandwich. Ben memang selalu manis. Masih mengenakan handuk aku duduk di tepi ranjang dan mulai mengunyah sandwichnya dengan nikmat dilanjutkan dengan menyesap habis susunya.
“Kau tidak mandi?” tanyaku seraya bergerak menuju lemari dan membukanya.
“Biar kulanjutkan dulu, inspirasiku rasanya bertumpuk setelah bercumbu denganmu.” jawab Ben tanpa menoleh dari layar laptop, sedang jarinya tampak lincah memencet-mencet keyboard menimbulkan suara ketak-ketik yang khas dan tidak asing bagiku.
Aku tak berkomentar, aku sudah terbiasa dengan Ben yang seperti itu. Aku berdiri mematung di depan pintu lemari yang terbuka, seluruh rak-nya terisi penuh oleh pakaian yang tersusun rapih. Meski begitu aku selalu kebingungan dan merasa tidak memiliki baju yang pantas saat hendak berpakaian. Dan tetiba lipatan piyama satin putih terlihat olehku dan mengingatkanku pada piyama yang kukenakan saat Sam melihatku di kamar hotel di Surabaya. Setelah itu dengan berani sosok Sam yang berdiri tegap dengan telanjang bulat berkelebat dalam benakku.
“Iishh!!!” rutukku kesal, seraya menarik set piyama satin putih dengan bahan yang tipis dan terasa lembut.
“Kenapa?” Ben menoleh dan menatapku penasaran.
Aku tergagap, “Engga, hanya aku merasa konyol membeli beberapa set piayama yang sama persis.” grutuku berbohong.
“Kau bahkan mengabaikanku saat aku bilang jayus melihatmu mengambil beberapa piayama yang sama persis baik model maupun warnanya, untuk dibeli. Kau bilang tak masalah selama memang nyaman digunakan.”
“Lain kali seret saja aku keluar mall saat aku khilaf dan kembali membeli piyama yang sama persis.” pintaku dengan nada kesal.
“Hmmm, aku tak yakin.” gumam Ben, seraya kembali fokus pada laptopnya.
Akhirnya aku mengenakan piyama dengan model dan warna yang sama dengan yang kubawa ke Surabaya, dengan perasaan menyesal kenapa harus membawa dan mengenakan piayama untuk dinas luar ke Surabaya. Perasaan lelah membawaku untuk segera berbaring nyaman di kasur empuk milikku, dikamar pribadiku, dimana aku rasanya tidak akan melihat orang lain melakukan hal gila selain aku dengan Ben. Kuatur suhu AC ke 21° Celcius dan mengenakan selimut lembut hangat favoritku. Sembari menunggu Ben yang masih berkutat dengan ketikannya, aku bermain handphone untuk sekadar scroll media sosial. Dan postingan Nia muncul di beranda akunku. tampak semangkok mie kuah dengan irisan cabe rawit dilengakapi telur dan sawi.
“Cheat day, alone.” caption postingan Nia.
Aku memencet tombol hati dan berkomentar, “Diet woyyy!”.
Tak berapa lama Nia membalas komentar ku, “Laah kamu belum tidur? Lagi temu kangen yak?” komentarnya, dan aku balas dengan ketikkan, “wkwkkwkw. Sotoy”.
Tetiba kulihat Sam me-like semua komentarku, lalu ada jeda sebentar sebelum akhirnya dia me-like komentar Nia dan statusnya juga. Yang membuatku berkerut dahi heran adalah dia lebih dulu menyukai komentarku sebelum komentar Nia dan postingannya. Apa pikiranku yang berlebihan, atau itu bukan sesuatu yang harus dipikirkan? Aku meninggalkan postingan Nia dan kembali scroll untuk melihat lainnya dengan mengesampingkan pikiran anehku. Lalu kulihat Sam memposting!
“Rindu. Menatapmu.” sesimple itu postingan Sam. Dua kata, bukan satu kalimat.
POV : SamDengan rasa frustrasi aku menatap pintu kamar mandi yang mengeluarkan suara kran air yang dinyalakan. Di dalamnya ada Mala, entah dia tengah mandi atau sekadar mencuci wajah, entahlah. Ingin aku bergerak membuka pintu itu dan masuk ke dalamnya. Membayangkan Mala tanpa pakaian dengan suhu tubuhnya yang tengah demam, aku merasa hawa panas menjalari seluruh syaraf dalam tubuhku, menimbulkan rasa pening di kepalaku saat membayangkan tubuh hangat Mala kuciumi.Aku mengusap-usap kasar wajahku, berusaha mendinginkan pikiranku dan memfokuskan kepalaku dari hal-hal yang agak liar. Kualihkan perhatianku pada makanan yang kupesan, kutata di meja agar Mala bisa makan dengan nyaman. Buah-buah iris yang tampak segar, aneka berry warna-warni, serta ada saus youghurt. Ada susu steril yang sengaja kupesan khusus untuk Mala, berharap dengan itu dapat membantu mempercepat penyembuhannya. Bubur abalone dan sup ayam gingseng. Sementara untukku sendiri, aku memesan steak wagyu, asparagus panggang
POV : SAM“Kenapa melotot begitu padaku?” tanyaku, seraya menghampiri Mala dan duduk di tepi ranjang, yang tiba-tiba Mala bangkit, dia terlihat panik dan loncat dari ranjang bahkan menjauh dariku.Dia menyenderkan tubuhnya pada dinding dengan wajah pucat yang terlihat jelas diliputi kekhawatiran yang tampak nyata. Aku mengerti apa yang dipikirkan Mala, namun aku tak peduli. Saat ini aku ingin menjadi Sam yang menyukai Mala sejak SMA, bukan menjadi Sam yang adalah seorang CEO yang tengah menghadapi karyawannya.“Kenapa?” tanyaku lagi, dengan dahi berkerut heran.“Nia mana?” tanya Mala.Seperti tertampar oleh pertanyaan Mala, kesadaranku muncul menimbulkan rasa sakit yang berdenyut aktif di dada, aku terdiam menahan diri untuk sejenak mengatur napas berusaha melonggarkan dadaku dari rasa sesak yang mendera. Kemudian aku hanya mengendikkan bahu, aku memang tidak tahu Nia dimana.“Pak Sam sebaiknya keluar. Apa yang akan Nia katakan jika melihat kita hanya berdua di dalam kamar?” tanya Mal
Hari mulai gelap, aku keluar dari ruang kerja pribadiku di salah satu hotel besar di Bali, di ruangan paling atas dari hotel ini yang sengaja kusiapkan khusus untukku. Beberapa karyawan hotel yang kebetulan berpapasan denganku saat aku bergerak turun, mengangguk hormat seraya tersenyum ramah, seolah aku hanyalah sekadar tamu hotel VVIP mereka.Memang tak ada yang tahu, bahwa hotel ini adalah milikku dan merupakan salah satu usaha yang kurintis secara diam-diam. Aku hanya menempatkan satu orang kepercayaanku di setiap hotel yang kudirikan, untuk mengelolanya sebagai manajemen professional serta menjadi wajahku untuk mengatur pekerja. Meski begitu secara sistem, kinerja, pengambilan keputusan, aku sendiri yang meninjau dan memutuskan melalui orang kepercayaanku itu yang selalu memberikan laporan di setiap harinya. Sampai hari ini, semua berjalan lancar dan terkendali. Bahkan beberapa cabang hotelku bekembang pesat melebihi ekspektasi, tersebar di beberapa kota besar di Indonesia, dan ad
Handphoneku bergetar tepat saat aku keluar dari bandara. Nama Nia tertera di layar handphone, segera aku mengangkat panggilannya.“Hallo Nai?” sapaku setengah berseru.“Dimana?” tanya Nia.“Baru sampai, ini baru keluar bandara.”“Syukurlah, aku khawatir kamu masih di Jakarta.”“Maaf, aku tadi terlambat sampai bandara. Dan maaf, karenanya aku jadi tertinggal pesawat. Maaf juga kamu jadi harus terbang sendiri.” ujarku merasa bersalah."Banyak banget minta maafnya. Tidak apa-apa, aman kok. Lagian itu kan bukan kemauan kamu juga tiba-tiba ada masalah pagi-pagi, tepat saat kamu harus segera berangkat ke bandara." kata Nia, sejenak dia terdiam. "Maaf juga aku tidak nunggu kamu tadi. Oh iya, kamu tiketnya bagaimana? Jadi harus beli sendiri, maaf ya."Aku termangu, tak tahu harus bilang apa. Tak mungkin kuceritakan bahwa aku terbang bersama Sam, dan dia juga yang mengatur tiket serta penerbanganku, sementara aku hanya mengikutinya saja."Mal?”“Ah, iya sorry. Ini sambil jalan neleponnya. Tida
Dan di sinilah aku sekarang, terduduk di salah satu kursi pesawat kelas bisnis bersama Sam yang duduk santai di sebelahku dengan wajah sumringah. Aku masih belum bisa mencerna apa yang benar-benar terjadi padaku sejak pagi sampai aku berakhir bersama Sam saat ini! Dan untuk membicarakannya dengan Sam rasanya bahkan tak nyaman, aku juga tak tahu bagaimana harus memulainya. Sampai kemudian segala kebingungan dalam kepalaku akhirnya hanya bisa kutelan sendiri saja.“Kenapa?” Tanya Sam khawatir. “Kamu terlihat gelisah.”“Tidak apa.” Jawabku sekenanya, karena memang aku tak tahu apa yang bisa kukatakan padanya sekarang.“Rileks, Mal. Tidak perlu memikirkan hal rumit apapun saat ini, setidaknya saat bersamaku! Cukup nikmati saja waktumu dan berbahagialah” mohon Sam, seraya memencet tombol untuk menggerakkan kursi yang tengah kududuki demi mengatur posisinya agar kemudian bisa digunakan untuk merebahkan tubuh dengan nyaman.Aku sedikit terkejut saat merasakan pergerakan dari kursi yang kudud
Aku sedikit terlonjak karena terkejut, pun dengan Sam. Lelehan kejunya lantas mengotori pipi dan sekitar mulut Sam, bahkan cipratannya juga mengotori kameja putih yang Sam kenakan. Melihatnya, refleks aku menarik tisu dan mengelap mulut serta pipi Sam, juga mengusap-usap noda kuning itu di kemeja Sam. Membuat laki-laki itu terkejut dan bahkan menghentikan mobilnya. Aku terus saja sibuk membersihkan lelehan keju di pipi dan mulut Sam, tak menyadari bahwa laki-laki itu kini tercenung diam dan menatapku lekat, sementara mulutnya penuh sosis yang belum juga dikunyahnya. Sampai tiba-tiba dia memegang lenganku dan menghentikanku. Genggamannya yang erat dan terasa hangat seketika menarik kesadaranku."Maaf." seruku panik, seraya menepiskan lengan Sam dan menegakkan tubuh serta memperbaiki posisi dudukku lalu fokus melihat ke depan. Sementara Sam kemudian mengunyah sosisnya dengan ekspresi seperti menahan tawa."Kok mobilnya berhenti Pak?" tanyaku baru sadar."Kita sudah sampai di bandara." k