Postingan Sam terasa agak ambigu di kepalaku. Kulihat Nia dan beberapa orang lainnya me-like postingan Sam. Kemudian ada Camelia berkomentar. "Wait 3 days more, forever we will be together.”
Sam tidak bereaksi. Tidak membalas komentar Camelia atau me-like komentarnya. Bisa jadi mereka lanjut bertelepon atau video call. Tapi sungguh aku tak yakin. Postingan Sam bisa tertuju pada siapapun, dan beberapa perempuan bahkan bisa ge-er karenanya. Seperti Camelia yang merasa itu untuknya. Bisa jadi Nia juga merasa itu tertuju padanya. Namun tidak seperti Camelia yang merupakan istri sah dan bisa berkomentar bebas di akun Sam, Nia yang hanya istri simpanan tidak akan memiliki keberanian untuk melakukannya. Semua perasaannya baik senang maupun sedih. Berdebar dan rindu. Dia hanya bisa menahan dan menyimpannya sendiri sampai waktu yang memungkinkan untuk dia menyatakannya. Dan yang lebih aneh adalah, aku merasa status Sam bahkan ditujukan untukku! Heyyyyy....kenapa kepalaku jadi bodoh sejak melihat Sam telanjang???? Bisa-bisanya aku ge-er! Padahal ya, kenapa juga Sam harus membuat postingan untukku yang bukan siapa-siapanya di akun media sosialnya? Untuk apa? Hanya karena Sam me-like komentarku lebih dulu di postingan Nia! Apa aku sebodoh itu? Kenapa pikiranku melantur disaat aku bahkan punya suami???
“Iissshhh!!!” grutuku kesal.
“Kenapa?” tanya Ben. Lagi dia menoleh bingung kearahku.
“Tidak. Hanya saja aku merasa AC-nya kurang dingin, padahal posisinya udah enak banget ini.” jawabku bohong.
Sam beranjak dari duduknya lalu mengambil remot AC dan menurunkan suhunya ke 16°C. “Apa terlalu dingin? Atau kurang dingin?”
“Tidak sayang, cukup. Terimakasih.” jawabku agak khawatir. Jelas aku berbohong. Ben bahkan tahu pasti aku tidak tahan suhu kamar yang terlalu dingin. Tapi dia sepertinya tidak merasa aneh dengan itu, mungkin sekarang dia tengah berpikir lain karena aku baru pulang dinas luar. Di luar itu Ben memang selalu berpikir positif, sangat bertolak belakang denganku.
Tiba-tiba handphoneku bergetar. Kulihat nama Sam tertera di layar handphone. Aku mengenyit, “Kenapa Sam meneleponku tengah malam begini?” pikirku aneh, kulihat jam dinding menunjuk ke angka 12.45. bahkan sudah lewat tengah malam! Kulirik Ben yang kembali serius di meja kerjanya. Aku merasa tidak enak dengan Ben mengenai panggilan telepon Sam. Apa memang kepalaku yang terlalu berpikir aneh dan berlebihan? Atau memang pikiranku sendiri saja yang melantur mengenai Sam? Bisa jadi Sam menelepon karena ada urusan pekerjaan yg penting bukan?
Aku beranjak dari kasur. “Aku mau ambil minum. Mau sekalian kuambilkan?” tanyaku pada Ben.
“Tidak sayang. Nanti bisa kuambil sendiri. Terimakasih.” jawab Ben tampa menoleh, dengan jemari yg kian lincah menari di atas keyboard.
Aku lantas keluar kamar, ke dapur mengambil gelas dan membuka kulkas, lalu mengisinya dengan air dingin kemudian duduk di meja dapur. Aku tidak meminumnya. Karena memang sebenarnya aku tidak haus. Aku ke dapur hanya beralasan untuk mengangkat telepon dari Sam yang masih berdering di handphoneku. Awalnya aku merasa enggan untuk mengangkatnya, aku berpikir Sam aneh, dan akupun merasa tidak enak dengan Ben. Tapi melihat Ben masih bekerja bahkan lewat tengah malam, bisa jadi memang hanya aku saja yang berpikir aneh, dan Sam menelepon memang karena ada sesuatu yang penting mengenai pekerjaan.
“Kenapa juga aku harus keluar kamar untuk mengangkat teleponnya?” pikirku resah. Tanpa berpikir lebih lama lagi, aku menekan tombol untuk mengangkat telepon. “Hallo?” sapaku.
Hening, tak ada suara. Aku kembali melihat layar handphone untuk memastikan telepon masih tersambung. “Hallo?” sapaku, lagi. Dan masih sama, tak ada jawaban dari seberang telepon sana. Setelah mencoba ke tiga kalinya dan masih belum ada sahutan, akhirnya aku memutuskan mengakhiri sambungan telepon dengan perasaan kesal. “Mungkin kepencet.” pikirku, tapi belum sampai semenit handphoneku kembali berdering dan Sam kembali menelepon. Aku mengernyit heran. Penasaran, untuk kedua kalinya aku mengangkat panggilan dari Sam. Namun kali ini aku hanya diam dan mendengarkan tanpa menyapa atau mengatakan apapun. Di seberang sanapun masih diam, tetap tak ada suara. Setelah beberapa saat sambungan telepon terhubung dalam diam, aku lantas menutup sambungan telepon dan mematikan handphone. Sam semakin aneh.
“Apa aku cuma berprasangka buruk? Bisa jadi mungkin benar-benar kepencet, atau handphonenya memang error tengah malam.” pikirku, meski hati kecilku merasa pikiran itu seperti janggal dan setengah tidak mungkin.
"Apa pikiran gilaku, tentang kegilaan Sam itu sebenarnya adalah benar?" Aku bahkan tercenung dengan pikiranku sendiri. Pikiran gila dan kegilaan sam? Sebenarnya adalah benar? Bahkan kepalaku rasanya semakin menceracau tidak jelas.
“Ini gila sih!” ujarku kesal, lantas meminum segelas air dingin berharap itu bisa mendinginkan kepalaku yang terasa aneh. Lalu masuk ke kamar dengan perasaan bersalah terhadap Ben.
Aku mendesah berat, kulihat Ben sudah terlelap di ranjang dengan suara dengkuran khas-nya yang di awal pernikahan terasa mengganggu, hinggi kini bahkan menjadi biasa saja. Aku meringkuk di samping Ben, memandangi wajahnya yang tidak tampan. Ia, Ben bukan laki-laki tampan. Bahkan kalau di foto dia lebih suka berbalik dan menampakkan punggungnya yang fotogenik. Jika ditanya bagian tubuh Ben yang paling menarik, jelas jawabannya adalah pundak dan punggungnya. Dan Ben tahu itu.
Teringat awal pertemuanku dengan Ben, saat itu di acara ulang tahun perusahaan, ketika aku masih karyawan baru di PT. Jaya Sejahtera. Aku datang dengan memakai blazer kasual warna broken white model longgar dengan panjang lengan 1/8 yang menampakkan jam tangan kecil berwarna silver model Korea serta aksesoris gelang tali kecil berwarna perak dengan gantungan bentuk daun semanggi ala Van Cleef serta cincin polos kecil di jari telunjuk dan jari manis. Baju dalamnya aku mengenakan kaos putih polos pas badan serta outer rajut model jaring besar tanpa lengan sepanjang betis dengan belahan tinggi di sisi kanan dan kiri, sementara bawahannya aku memadukannya dengan jeans hitam model skinny yang pas di badan dan mengikuti bentuk kaki. Sepatunya heels J’Adior slingback hitam yang tentu saja KW, waktu aku beli online keterangannya kualitas mirror, meski begitu cukup nyaman digunakan dan aku merasa cantik memakainya. Aku merias wajahku dengan make-up tipis ala Korea, mengikat rambutku dengan gaya high ponytail, berharap bisa membuatku tampak cantik dan elegan.
Aku keluar dari ballroom hotel tempat acara diselenggarakan, para senior dan rekan kerja masih di dalam dan menikmati makanan, sementara aku sudah kenyang. Bagaimana tidak, saat rekan kerjaku sibuk mengikuti senior dan beramah tamah kesana kemari menyapa para petinggi perusahaan, aku juga ikut sibuk kesana kemari mencicipi semua menu yang terhidang dan tampak menarik juga enak. Di lobi yang tampak lengang aku berdiri menyender santai ke dinding sembari mengusap-usap perutku yang kekenyangan. Di dalam sangat ramai dan membuatku tidak nyaman.
“Kau hamil?” tanya Sam yang tetiba sudah berdiri di dekatku.
POV : SamDengan rasa frustrasi aku menatap pintu kamar mandi yang mengeluarkan suara kran air yang dinyalakan. Di dalamnya ada Mala, entah dia tengah mandi atau sekadar mencuci wajah, entahlah. Ingin aku bergerak membuka pintu itu dan masuk ke dalamnya. Membayangkan Mala tanpa pakaian dengan suhu tubuhnya yang tengah demam, aku merasa hawa panas menjalari seluruh syaraf dalam tubuhku, menimbulkan rasa pening di kepalaku saat membayangkan tubuh hangat Mala kuciumi.Aku mengusap-usap kasar wajahku, berusaha mendinginkan pikiranku dan memfokuskan kepalaku dari hal-hal yang agak liar. Kualihkan perhatianku pada makanan yang kupesan, kutata di meja agar Mala bisa makan dengan nyaman. Buah-buah iris yang tampak segar, aneka berry warna-warni, serta ada saus youghurt. Ada susu steril yang sengaja kupesan khusus untuk Mala, berharap dengan itu dapat membantu mempercepat penyembuhannya. Bubur abalone dan sup ayam gingseng. Sementara untukku sendiri, aku memesan steak wagyu, asparagus panggang
POV : SAM“Kenapa melotot begitu padaku?” tanyaku, seraya menghampiri Mala dan duduk di tepi ranjang, yang tiba-tiba Mala bangkit, dia terlihat panik dan loncat dari ranjang bahkan menjauh dariku.Dia menyenderkan tubuhnya pada dinding dengan wajah pucat yang terlihat jelas diliputi kekhawatiran yang tampak nyata. Aku mengerti apa yang dipikirkan Mala, namun aku tak peduli. Saat ini aku ingin menjadi Sam yang menyukai Mala sejak SMA, bukan menjadi Sam yang adalah seorang CEO yang tengah menghadapi karyawannya.“Kenapa?” tanyaku lagi, dengan dahi berkerut heran.“Nia mana?” tanya Mala.Seperti tertampar oleh pertanyaan Mala, kesadaranku muncul menimbulkan rasa sakit yang berdenyut aktif di dada, aku terdiam menahan diri untuk sejenak mengatur napas berusaha melonggarkan dadaku dari rasa sesak yang mendera. Kemudian aku hanya mengendikkan bahu, aku memang tidak tahu Nia dimana.“Pak Sam sebaiknya keluar. Apa yang akan Nia katakan jika melihat kita hanya berdua di dalam kamar?” tanya Mal
Hari mulai gelap, aku keluar dari ruang kerja pribadiku di salah satu hotel besar di Bali, di ruangan paling atas dari hotel ini yang sengaja kusiapkan khusus untukku. Beberapa karyawan hotel yang kebetulan berpapasan denganku saat aku bergerak turun, mengangguk hormat seraya tersenyum ramah, seolah aku hanyalah sekadar tamu hotel VVIP mereka.Memang tak ada yang tahu, bahwa hotel ini adalah milikku dan merupakan salah satu usaha yang kurintis secara diam-diam. Aku hanya menempatkan satu orang kepercayaanku di setiap hotel yang kudirikan, untuk mengelolanya sebagai manajemen professional serta menjadi wajahku untuk mengatur pekerja. Meski begitu secara sistem, kinerja, pengambilan keputusan, aku sendiri yang meninjau dan memutuskan melalui orang kepercayaanku itu yang selalu memberikan laporan di setiap harinya. Sampai hari ini, semua berjalan lancar dan terkendali. Bahkan beberapa cabang hotelku bekembang pesat melebihi ekspektasi, tersebar di beberapa kota besar di Indonesia, dan ad
Handphoneku bergetar tepat saat aku keluar dari bandara. Nama Nia tertera di layar handphone, segera aku mengangkat panggilannya.“Hallo Nai?” sapaku setengah berseru.“Dimana?” tanya Nia.“Baru sampai, ini baru keluar bandara.”“Syukurlah, aku khawatir kamu masih di Jakarta.”“Maaf, aku tadi terlambat sampai bandara. Dan maaf, karenanya aku jadi tertinggal pesawat. Maaf juga kamu jadi harus terbang sendiri.” ujarku merasa bersalah."Banyak banget minta maafnya. Tidak apa-apa, aman kok. Lagian itu kan bukan kemauan kamu juga tiba-tiba ada masalah pagi-pagi, tepat saat kamu harus segera berangkat ke bandara." kata Nia, sejenak dia terdiam. "Maaf juga aku tidak nunggu kamu tadi. Oh iya, kamu tiketnya bagaimana? Jadi harus beli sendiri, maaf ya."Aku termangu, tak tahu harus bilang apa. Tak mungkin kuceritakan bahwa aku terbang bersama Sam, dan dia juga yang mengatur tiket serta penerbanganku, sementara aku hanya mengikutinya saja."Mal?”“Ah, iya sorry. Ini sambil jalan neleponnya. Tida
Dan di sinilah aku sekarang, terduduk di salah satu kursi pesawat kelas bisnis bersama Sam yang duduk santai di sebelahku dengan wajah sumringah. Aku masih belum bisa mencerna apa yang benar-benar terjadi padaku sejak pagi sampai aku berakhir bersama Sam saat ini! Dan untuk membicarakannya dengan Sam rasanya bahkan tak nyaman, aku juga tak tahu bagaimana harus memulainya. Sampai kemudian segala kebingungan dalam kepalaku akhirnya hanya bisa kutelan sendiri saja.“Kenapa?” Tanya Sam khawatir. “Kamu terlihat gelisah.”“Tidak apa.” Jawabku sekenanya, karena memang aku tak tahu apa yang bisa kukatakan padanya sekarang.“Rileks, Mal. Tidak perlu memikirkan hal rumit apapun saat ini, setidaknya saat bersamaku! Cukup nikmati saja waktumu dan berbahagialah” mohon Sam, seraya memencet tombol untuk menggerakkan kursi yang tengah kududuki demi mengatur posisinya agar kemudian bisa digunakan untuk merebahkan tubuh dengan nyaman.Aku sedikit terkejut saat merasakan pergerakan dari kursi yang kudud
Aku sedikit terlonjak karena terkejut, pun dengan Sam. Lelehan kejunya lantas mengotori pipi dan sekitar mulut Sam, bahkan cipratannya juga mengotori kameja putih yang Sam kenakan. Melihatnya, refleks aku menarik tisu dan mengelap mulut serta pipi Sam, juga mengusap-usap noda kuning itu di kemeja Sam. Membuat laki-laki itu terkejut dan bahkan menghentikan mobilnya. Aku terus saja sibuk membersihkan lelehan keju di pipi dan mulut Sam, tak menyadari bahwa laki-laki itu kini tercenung diam dan menatapku lekat, sementara mulutnya penuh sosis yang belum juga dikunyahnya. Sampai tiba-tiba dia memegang lenganku dan menghentikanku. Genggamannya yang erat dan terasa hangat seketika menarik kesadaranku."Maaf." seruku panik, seraya menepiskan lengan Sam dan menegakkan tubuh serta memperbaiki posisi dudukku lalu fokus melihat ke depan. Sementara Sam kemudian mengunyah sosisnya dengan ekspresi seperti menahan tawa."Kok mobilnya berhenti Pak?" tanyaku baru sadar."Kita sudah sampai di bandara." k