“Aku pikir dia akan kembali.”
Reyan menyandarkan kepala ke dinding belakang rumah Adele. Suaranya tak keras, tak juga lemah. Tapi cukup jujur untuk melukai dirinya sendiri.“Aku pikir… kalau aku menunggu cukup lama, semuanya akan seperti semula.”Di depannya, Elena berdiri dengan tangan menyilang. Tidak ada amarah kali ini. Tidak ada sinis yang bersembunyi dalam nada suaranya. Hanya… lelah.“Kadang, bukan soal seberapa lama kau menunggu,” ucap Elena. “Tapi soal siapa yang kau tunggu.”Reyan menatap tanah. “Aku tidak tahu harus bagaimana.”“Kalau dia bahagia sekarang,” lanjut Elena pelan, “dan kau tidak menjadi bagian dari itu… apakah kau siap untuk melepaskannya sepenuhnya?”Reyan diam.Karena jawaban itu belum bisa ia ucapkan.Terlalu perih untuk disebut.Terlalu nyata untuk diingkari.**Di galeri, Lucas menyerahkan sketsa kasar kepada Jasmin. Tangan mereka tak sengaja bersentuhan. Tapi kaTangan Jasmin gemetar saat menekan tombol kirim. File naskah final novel keduanya meluncur ke inbox editor, tanpa revisi tambahan, tanpa keraguan seperti biasanya. Ia menatap layar lama, seolah memastikan semuanya sudah selesai. Tapi rasa lega tak kunjung datang. Hanya ada sunyi yang merayap di sela dada.Reyan masuk ke ruang kerja dengan napas sedikit memburu. “Kamu selesai?”Jasmin hanya mengangguk pelan, bibirnya tertarik dalam senyum tipis yang tidak benar-benar sampai ke mata.Reyan menghampiri, duduk di kursi seberang, memandangi wajah perempuan yang telah ia cintai dengan sabar. “Kenapa ekspresinya kayak orang baru kehilangan?”Jasmin menunduk, jari-jarinya memainkan ujung sweater. “Karena selesai berarti harus berpisah dari tokoh-tokohnya. Dari rasa yang mereka bawa.”Reyan mengangguk paham. Ia tahu betul bagaimana Jasmin menulis dengan seluruh tubuh dan jiwanya. Setiap kalimat adalah luka yang dikuliti perlahan. Setiap dialog ada
Kertas-kertas berserakan di lantai. Jasmin duduk bersila, mengumpulkan catatan sambil membaca ulang paragraf demi paragraf. Tangannya cekatan, tapi matanya tak bisa menyembunyikan rindu yang menumpuk perlahan.Suara notifikasi ponsel memecah keheningan. Ia meraih ponselnya dan melihat satu pesan baru di layar.“Gimana di sana? Kamu makan teratur, kan?”— ReyanIa mengetik cepat.“Aku makan tiga kali. Kadang empat, kalau kangen kamu.”— J.Tak lama kemudian, pesan balasan masuk.“Berarti aku harus bikin kamu kangen terus, biar kamu nggak kurus.”— R.Jasmin tertawa kecil. Lalu mengangkat ponsel ke depan wajahnya. Video call tersambung, dan wajah Reyan muncul di layar—lelah, tapi tetap dengan sorot mata yang lembut.“Rambutmu makin panjang,” ujar Reyan sambil mengernyit.“Kamu juga makin kumal,” balas Jasmin sambil menyipitkan mata.“Kumal karena kamu pergi.”“Alasa
Jasmin memandangi rak buku yang hampir penuh. Ia menarik satu per satu buku yang pernah ditulisnya, membolak-balik halaman, lalu tersenyum pelan setiap kali menemukan catatan kecil di dalamnya—post-it dari Reyan, komentar dari pembaca, atau sekadar coretan tangan sendiri yang menandai bagian favorit.Ia berhenti pada satu novel: naskah pertamanya yang dulu sempat ditolak belasan penerbit, sebelum akhirnya berhasil terbit dalam versi self-publish.“Ini buku yang kamu benci tapi nggak bisa kamu buang, ya?” suara Reyan muncul dari balik pintu.Jasmin mengangguk. “Buku ini… terlalu jujur. Waktu itu aku masih nyalahin semua orang. Jadi setiap halaman rasanya kayak teriakan.”“Dan sekarang?”“Sekarang, aku sadar… teriakan itu perlu. Karena dari situ aku belajar mendengar bisikan yang sebenarnya.”Reyan ikut duduk di lantai, bersandar pada rak buku.“Aku pernah berpikir kalau rasa sayang itu cukup buat menghapus semua kesalahan
Jasmin menatap layar laptopnya yang terbuka, namun tak satu pun kata berhasil ia ketik. Kursornya berkedip di halaman kosong. Entah mengapa, cerita yang biasanya mengalir begitu mudah kini terasa tumpul.Ia meraih mug tehnya, menyesap sedikit, lalu menyandarkan kepala ke kursi. Pandangannya mengarah ke jendela yang dipenuhi rintik hujan. Tapi pikirannya jauh, ke arah yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Suara langkah Reyan terdengar dari arah dapur. Ia masuk sambil membawa dua potong croissant hangat di piring kecil.“Kamu belum nulis?” tanyanya, sambil meletakkan piring di samping laptop Jasmin.“Aku nggak tahu mau mulai dari mana,” gumam Jasmin. “Cerita di kepalaku terlalu… diam.”“Diam bukan berarti kosong,” kata Reyan sambil duduk di kursi seberang. “Kadang diam justru penuh. Kamu cuma perlu sedikit ruang buat mendengarkannya.”Jasmin menatapnya. “Aku takut kehilangan suara yang dulu membuat aku yakin.”“Yakin
“Menurut kamu… kita bakal seperti ini terus?” tanya Jasmin, matanya menatap langit-langit kamar.Reyan tak langsung menjawab. Ia menggeser badannya, menatap sisi wajah Jasmin yang begitu dekat dalam keheningan. Tangan mereka bertaut di bawah selimut, hangat dan tenang.“Seperti ini gimana maksudnya?” tanyanya pelan.“Tenang. Damai. Kayak nggak ada yang perlu dikhawatirin.”Reyan menghembuskan napas, pelan. “Mungkin nggak. Dunia berubah. Kita juga. Tapi aku harap… hati kita tetap tahu cara saling pulang.”Jasmin diam sesaat. “Kamu percaya cinta bisa bertahan kalau dunia nggak lagi berpihak?”Reyan tersenyum tipis. “Cinta yang kita punya… bukan soal dunia berpihak atau enggak. Tapi soal kita yang terus memilih—bahkan saat segalanya nggak mudah.”Hening sejenak, hanya terdengar suara napas mereka. Lalu Reyan menambahkan, “Dan kalau kamu tanya aku, ya, aku akan tetap di sini. Sekacau apa pun nanti.”•Jasmi
Langit di luar tertutup kabut tipis. Tapi di dalam rumah kayu itu, kehangatan terasa seperti tak pernah pudar. Jasmin duduk di lantai, menggulung lututnya, selimut abu-abu membungkus tubuhnya setengah. Di sampingnya, Reyan baru selesai menyeduh teh, aroma melati memenuhi udara.Ia menyerahkan cangkir itu pada Jasmin tanpa kata. Tatapan mereka bertemu. Tak ada senyum besar atau gestur yang dibuat-buat. Tapi terasa seperti dunia berhenti hanya untuk menyaksikan mereka saling diam.“Tehnya kebanyakan gula ya?” tanya Reyan tiba-tiba.Jasmin mencicipinya. “Pas.”“Berarti kamu yang manis.”Jasmin menggeleng sambil terkekeh pelan, wajahnya menghangat. “Kamu sudah mulai lagi, ya?”“Aku harus latihan. Biar nanti kalau kamu lagi stres nulis, aku punya cara buat bikin kamu senyum.”Ia meletakkan cangkirnya, kemudian memeluk lutut seperti Jasmin. Bahu mereka bersentuhan.“Aku pernah takut,” bisik Jasmin. “Kalau hubungan kit