Sore itu Ana terlihat bingung ketika ibunya meminta Arga untuk datang ke rumah dan ingin bicara dengan mereka. Namun, ia juga bahagia, berpikir mungkin saja jika ibunya kini berubah pikiran dan sudah bisa menerima hubungan keduanya juga berniat merestui mereka.
Ana berdandan secantik dan semanis mungkin, jika memang benar kalau mereka akan mendapat restu, tentu saja Ana harus dalam keadaan yang sempurna untuk menyambutnya.
Ana menyambut bahagia ketika Arga datang dan baru saja turun dari motor kesayangannya, pemuda itu tampak melepas helm yang ia kenakan kemudian mengulas senyum pada Ana yang sudah berdiri di sampingnya.
"Apa penampilanku sudah rapi?" tanya Arga pada kekasihnya itu.
Ana mengangguk, ia sedikit menepuk dan mengangsurkan tangannya di bagian depan kemeja Arga untuk sekedar merapikan pakaian yang dikenakan kekasihnya. "Sudah rapi."
Arga kembali mengulas senyum mendengar perkataan Ana, kemudian mereka masuk bersama. Orangtua Ana ternyata sudah menunggu kedatangan Arga.
Namun, kenyataan tak sesuai ekspektasi. Ana bisa melihat jelas air muka ibunya yang masih menatap tidak suka dan meremehkan pada Arga. Meski begitu ia tetap bersikap tenang dan biasa, agar sang kekasih juga tidak gugup.
"Kalian tahu maksud kami meminta kalian di sini?" tanya ibu Ana membuka percakapan.
Baik Ana maupun Arga menggelengkan kepala tidak tahu, yang mereka pikirkan sama. Sama-sama berpikir jika hubungan mereka akan direstui.
Ibu Ana melirik tangan putrinya yang tampak menggenggam telapak tangan Arga, wanita itu langsung terlihat emosi karena tidak senang.
"Mulai sekarang, kami minta akhiri hubungan kalian yang tidak jelas itu!!" perintah ayah Ana langsung.
Ana dan Arga terkejut, mereka langsung menatap kedua orangtua yang terlihat menatap tajam ke arah keduanya.
"Kenapa, Yah! Kami saling mencintai!"
Ana terlihat begitu terpukul dengan perintah ayahnya, angan-angan yang sudah ia bayangkan kini hancur berkeping-keping. Berpisah dengan Arga? Tidak mungkin!
"Cinta! Makan itu cinta! Kalian pikir dengan cinta bisa buat hidup kalian enak, hah! Salah!! Yang ada kalian akan menderita, memangnya cinta bisa menghidupi kalian, hah?!" hardik ibu Ana yang kini buka suara.
"Percuma kami kuliahin kamu kalau ternyata milih pasangan saja tidak becus! Memangnya apa yang bisa kamu andalkan dari dia?! Keluarga saja miskin, pendidikan saja sampai mana?! Pekerjaan saja cuman nyanyi, memangnya kamu mau tiap hari dikasih makan lagu, hah?!"
Ibunya menghina Arga terus menerus, membuat pemuda itu hanya menunduk dengan meremas kedua lututnya.
"Memang saya hanya seorang penyanyi biasa, mengais rezeki dari panggung satu ke panggung yang lain. Tapi, saya sangat mencintai Ana, bahkan saya bisa melakukan apapun untuk membahagiakannya," ujar pemuda itu membela diri.
"Cih ... cinta lagi! Memangnya kamu bisa apa? Kami minta mas kawin tinggi pun kamu pasti nggak bakal bisa kasih!" cibir ibu Ana lagi dengan sedikit mendecih-Meremehkan.
"Bu, kami sudah merencakan semua. Bahkan kami sudah menabung untuk pernikahan kami juga masa depan yang akan kami jalani nantinya. Jadi aku mohon sama Ayah dan Ibu, tolong mengerti tentang cinta kami dan restui hubungan kami," pinta Ana setelah menjelaskan apa yang menjadi rancangan keduanya.
Ana menggenggam telapak tangan Arga yang berada di atas lutut, membuat pemuda itu menoleh padanya dengan seutas senyum yang ia paksakan.
Melihat keduanya malah memperlihatkan kemesraan, tentu saja membuat ibu Ana semakin geram, ia lantas berdiri dan menarik tangan Ana, membuat gadis itu berdiri kemudian menjauhkannya dari Arga yang terkejut dan secara impulsif ikut bangkit.
"BU!" seru Ana yang tangannya masih digenggam erat oleh ibunya.
"Diam kamu!" bentak ibunya.
Wanita itu benar-benar marah, sorot matanya penuh kilatan yang siap menyambar apapun yang ia tatap. Ana tertunduk menahan buliran kristal bening agar tidak luruh dari kelopak matanya.
"Kamu!" seru ibu Ana seraya menunjuk pada Arga.
"Keluar dari sini! Setelah ini jangan pernah lagi menemui Ana!!" usir wanita itu dengan nada suara yang begitu tinggi seraya menunjuk ke arah pintu utama.
Arga terlihat mengepalkan kedua telapak tangannya di sisi tubuh, ia bertukar tatapan dengan Ana, pemuda itu bisa melihat jelas kelopak mata kekasihnya itu sudah menggenang. Namun, sekali lagi dia berpikir, siapalah dia? Hanya seorang pemuda biasa, meski ingin rasanya membawa Ana pergi, tapi ia masih tidak memiliki hak untuk melakukannya.
Akhirnya Arga sedikit membungkukan badan untuk memberi hormat kepada kedua orangtua Ana, ia kemudian pamit pergi dari rumah itu.
"ARGA!!" teriak Ana memanggil kekasihnya yang sudah melangkahkan kaki keluar dari pintu utama rumahnya, ia berusaha melepas tangannya dari gengaman sang ibu tapi sia-sia.
"Bu! Ibu kok gitu?!"
Ana menangis karena semua harapannya sirna setelah ibunya mengusir Arga dari sana, terlebih ketika mendengar bagaimana ibunya menghina dan mencemooh pemuda itu.
"Pokoknya mulai sekarang kamu harus putus dengannya, An! Apa kamu dengar?!" tandas ibunya seraya melepas kasar tangan Ana.
"Kenapa sih, Bu? Apa salah kalau kami saling mencintai? Harta bisa dicari, kami yakin bisa menghadapi semuanya bersama," rengek Ana yang diselingi suara isakan.
"Cinta! Cinta! Cinta terus! Dengar ya, An! Ini sudah menjadi keputusan ayah dan ibu, jika kamu masih tidak mau berpisah dengannya. Maka, Ibu bisa pastikan jika pemuda itu akan kehilangan pekerjaannya!" ancam ibunya yang membuat Ana membeliak tak percaya.
"Sekarang pilih, pisah atau dia kehilangan pekerjaan!"
Kedua orangtua Ana meninggalkan gadis itu di ruang tamu. Kaki Ana terasa lemas mendengar perkataan wanita yang sudah melahirkannya itu, ia luruh di lantai. Kedua telapak tangan menangkup wajahnya, menutupi kesedihan dan air mata yang terus mengalir tanpa henti.
_
_
_
Malam harinya, Arga termenung menatap langit-langit kamar, tak terasa air mata menetes dari sudut matanya. Setegar-tegarnya seorang lelaki, tetap saja Ia adalah manusia biasa. Penghinaan yang dia dapat dari orangtua Ana benar-benar membuatnya sakit hati. Begitu juga dengan Ana, Ia mengurung dirinya di kamar setelah Arga pulang. Ia memikirkan begaimana perasaan kekasih hatinya itu sekarang.
"Arga!"
"Ana!"
Lirih keduanya di dua tempat yang berbeda.
Beberapa hari setelah kedua orangtua Ana meminta agar gadis itu harus berpisah dengan Arga, mereka mulai membatasi kegiatan Ana. Bahkan gadis itu diantar dan jemput saat bekerja, dimaksudkan agar Ana tidak punya waktu untuk bertemu dengan kekasihnya.Malam itu, Ana sedang berada di kamarnya. Ia sedang berbalas pesan dengan Arga yang kala itu sedang manggung di kafe milik orangtuanya. Gadis itu meminta maaf karena tidak bisa datang, mengingat jika kedua orangtua maupun kakaknya masih mengawasi dirinya serta tidak membiarkannya pergi ke mana pun selain bekerja."An!"Ibu Ana sudah berada di kamar gadis itu, membuat Ana yang sedang berbaring dengan posisi telungkup terkejut dan langsung bangun menatap ibunya."Minggu depan, Zidan akan membawa lamaran ke sini. Jadi, kamu harus bersiap-siap untuk meyambutnya," kata ibunya menjelaskan, wanita itu sudah menerima lamaran Zidan secara lisan dan tinggal menunggu prosesi resmi
Hari di mana diadakannya lamaran pun datang. Kala itu Ana benar-benar berpikir untuk kabur, sudah satu minggu setelah tragedi di mana Aditya menghajar Arga, Ana dikurung di kamarnya dan tidak diizinkan keluar ataupun bekerja.“Mbak, tolong rias dia secantik mungkin!” pinta ibu Ana kepada perias yang ia sewa untuk mendandani putrinya.Ana hanya melirik dengan wajah datar, ia benar-benar merasa tertekan dengan keadaan yang sedang ia alami. Kini dirinya hanya bisa pasrah, membiarkan para perias itu mendandani dirinya, memoles dan membubuhkan aneka make up ke wajahnya.___Keluarga Zidan sudah tiba di rumah Ana dengan berbagai hadiah yang sudah dipersiapkan. Ayah Zidan tidak ikut mengingat kondisinya yang tidak memungkinkan untuk diajak. Hanya ada dua adiknya dan juga beberapa kerabat terdekat yang akan mengikuti dan menyaksikan prosesi lamarannya.Mereka sudah duduk di tempat y
Ana terlihat duduk dengan peluh yang bermanik di kening dan pelipisnya, wajahnya terlihat pucat tidak secerah biasanya. Sudah hampir dua bulan setelah pertunangan dirinya dengan Zidan, Ana tidak diperbolehkan keluar rumah, dia pun dipaksa berhenti dari pekerjaannya.Hari ini ia bisa keluar atas izin orangtuanya. Namun, ia juga memiliki peraturan dan syarat yang harus dilakukan. Ana terus ditekan untuk segera meninggalkan Arga mengingat jika pernikahannya sudah tinggal sebulan.Arga menatap Ana yang terus menunduk dengan wajah pucat, gadis itu juga terlihat terus meremas jemarinya.“An!” panggil Arga.“Arga aku ingin hubungan kita berakhir!” Ana langsung mengutarakan maksud kedatangannya pada Arga, gadis itu tidak berani menatap wajah kekasihnya.Ana diperbolehkan keluar hanya untuk memutuskan hubungannya dengan Arga, orangtuanya tidak ingin jika Ana masih menjalin hubungan dengan pemuda itu. Bahkan,
Pernikahan yang sejatinya penuh kebahagiaan dan doa terbaik untuk melangkah menuju masa depan tidak berlaku bagi Ana. Meski para tamu dan keluarga berpesta menyambut suka cita pernikahan itu, nyatanya Ana sama sekali tidak bahagia.Sehari setelah pernikahan Ana dan Zidan, gadis yang kini sudah resmi menjadi milik Zidan itu sedang sibuk berkemas. Zidan mengatakan jika ingin mengajak Ana segera pindah ke rumahnya karena dia tidak bisa meninggalkan ayahnya yang sakit terlalu lama.“Ingat An! Kamu sudah jadi istri Zidan, jangan berbuat sesuatu yang bisa mempermalukan keluarga kita, apa kamu paham?” Ibu Ana menasehati gadis itu dengan sedikit penekanan.Ana sedang berkemas, ia akan pindah ke rumah Zidan hari ini. Sebagai seorang ibu, wanita itu benar-benar seakan sedang mengorbankan kebahagiaan putrinya sendiri.Ana tidak menanggapi perkataan ibunya, ia fokus memasukan pakaiannya ke koper. Dalam hati ia merasa mungkin ke
Sudah genap seminggu Ana menikah dengan Zidan. Gadis itu tidak diperbolehkan bekerja oleh Zidan karena memang pemuda itu menginginkan agar Ana di rumah dan membantu perawat mengurus ayahnya.Ana sendiri sebenarnya ingin sekali bekerja, tapi apalah dayanya jika sudah dilarang, terlebih Zidan berjanji akan menjamin hidup Ana, mencukupi segala kebutuhan gadis yang kini jadi istrinya, melakukan kewajiban sebagai seorang suami dan meminta Ana melakukan kewajiban sebagai seorang istri-mengurus keluarganya.Sore itu setelah selesai mengurus ayah Zidan dan memastikan jika pria itu beristirahat, Ana pun pergi membersihkan diri. Ternyata merawat orang sakit lebih sulit dari bekerja, itulah yang dirasakan Ana sekarang.Gadis itu begitu terkejut ketika baru saja keluar dari kamar mandi dan mendapati Zidan ternyata sudah pulang, Ana hanya memakai bathrobe dan begitu polos di dalam, membuat gadis itu salah tingkah.Zidan yang bar
Pagi itu Ana dan pembantu rumah Zidan sedang menyiapkan sarapan untuk pria yang kini jadi suaminya juga kedua adik yang harus pergi menimba ilmu.Beberapa menu masakan sudah tersaji di meja makan, meski Ana tidak terlalu biasa dengan dapur, tapi karena kini dia sudah menikah dan memiliki tanggung jawab, membuatnya sebisa mungkin untuk belajar.“Pagi, Kak!” sapa Alisya yang langsung duduk di kursi meja makan, gadis itu sudah memakai seragam SMA.Mikaila juga langsung duduk di sebelah Alisya, tapi gadis itu masih tidak mau bicara atau sekedar berbasa-basi menyapa dengan istri kakaknya.Zidan yang baru sampai di ruang makan langsung menghampiri Ana yang sibuk menata piring dan alat makan. Tanpa Ana sadari, Zidan langsung mengecup sisi wajah Ana membuat wanita itu terkesiap dan menatap Zidan.“Pagi, sayang!” sapanya dan langsung duduk di kursi.Alisya terlihat senyum-senyum sendiri meli
Ana pergi ke dapur, ia ingin menyeduh kopi untuk Zidan agar selepas mandi, pria itu bisa menikmati kopi yang bisa membuat tubuhnya kembali segar.Ana membawa secangkir kopi yang baru ia seduh menuju kamar mereka, hingga tanpa sengaja Ana menabrak Mikaila, atau lebih tepatnya, Mikaila yang sengaja menabrak lengan Ana, membuat kopi yang berada di cangkir tumpah dan menyiram kulit Ana.“Aghh!!” Ana memekik dan tanpa sadar melepaskan cangkir yang ia pegang, membuat benda itu jatuh ke lantai serta menciptakan suara yang nyaring menggema di seluruh ruangan.“Hei! Jalan pakai mata! Memang kamu pikir ini rumahmu, asal jalan nggak lihat-lihat! Bajuku jadi terkena cipratan kopi, 'kan!” umpat Mikaila menatap benci Ana dengan tangan mengibaskan bagian bawah gaunnya yang terkena noda kopi.Ana terdiam, ia merasakan panas di kulit yang terkena kopi. Zidan dan Alisya yang mendengar suara pecah pun langsung keluar, mereka melihat A
Ana baru saja selesai menyuapi ayah mertuanya, ia membersihkan kamar itu baru kemudian pergi untuk membersihkan dirinya. Meski Ana kesal dengan sikap Zidan, tapi ia masih berusaha bersabar dengan tetap mengurus ayah mertuanya.Saat Ana baru keluar dari kamar mertuanya, Zidan juga baru saja masuk rumah. Ana tidak tersenyum atau menyapa, ia hanya mengeluarkan ekpresi datar.Zidan menghampiri Ana, ia kemudian mengecup kening istrinya. Ana masih mengeluarkan ekspresi datar, ia tidak menyambut atau sekedar berbasa-basi mengucapkan sesuatu.“Gimana kabar ayah?” tanya Zidan menatap Ana.“Baik, kenapa tidak lihat saja sendiri?” Jawab dan tanya Ana.Ana langsung berjalan meninggalkan Zidan, membuat pria itu sedikit merasa aneh. Zidan pun menyusul Ana yang ternyata masuk ke kamar. Istrinya itu langsung masuk ke kamar mandi sebelum Zidan menghampiri dirinya lagi.Selama Ana mandi, Zidan tampak