Dua minggu berlalu sejak hari itu—hari di mana Pangeran dan Cantika memilih jalannya sendiri, menikah dalam kesederhanaan namun sarat dengan cinta dan harapan.
Mereka kini tinggal di rumah kecil milik Nenek Rukiyah. Tak ada pelayan, tak ada kemewahan, tak ada sopir pribadi seperti dulu yang biasa mengantar Pangeran ke rumah sakit. Tapi Pangeran tak mengeluh sedikit pun. Justru, ia merasa lebih hidup. “Pagi, Sayang,” sapa Cantika sambil menyuguhkan sarapan yang ia masak sendiri. Pangeran mencium kening istrinya dengan senyum hangat. “Pagi, istriku tercantik.” Setiap hari, Pangeran membantu Cantika menyapu halaman, mencuci pakaian, bahkan kadang memasak. Ia juga mulai membuka layanan kesehatan gratis untuk warga sekitar, menggunakan ilmunya demi kebaikan. Malam itu, setelah seharian bekerja dan mengajar anak-anak kampung tentang kebersihan, Pangeran dan Cantika duduk berdua di kamar. Suasana hening, lampu redup menemani. “Cantika…” bisik Pangeran, suaranya pelan namun penuh makna. Cantika menoleh dengan pipi yang memerah, mengerti arah pembicaraan suaminya. “Iya?” “Aku ingin lebih dekat denganmu… sebagai suamimu, sepenuhnya.” Cantika mengangguk pelan, meski wajahnya jelas menampakkan gugup. Tapi malam itu, keduanya memutuskan untuk menyerahkan diri sepenuhnya, dalam ikatan suci, tanpa keraguan. Namun, yang tak mereka duga… Keesokan paginya, Cantika terbangun dengan rasa mual luar biasa. Ia berlari ke kamar mandi, memuntahkan isi perutnya. Pangeran panik. “Sayang? Kamu kenapa?” Cantika duduk lemas di lantai kamar mandi, napasnya tersengal. “Aku… aku nggak tahu… sejak tadi malam perutku mual banget…” Mata Pangeran membesar. “Kamu… jangan-jangan… hamil?” Cantika menatapnya, masih tak percaya. Tapi tatapan Pangeran penuh haru dan senyum hangat. Ia mendekat, memeluk tubuh istrinya yang masih lemah. “Kalau benar… ini hadiah terindah dari Tuhan.” Dan hari itu, cinta mereka tumbuh lebih kuat—bukan hanya sebagai pasangan, tapi sebagai calon orang tua. --- Di rumah mewah keluarga Pangeran, suasana masih dingin dan penuh ketegangan. Sudah dua minggu berlalu sejak kepergian Pangeran, dan sang Ayah tetap bersikeras membungkam kabar apapun tentangnya. Ia bahkan melarang siapa pun di rumah menyebut nama anaknya itu. Tapi tidak dengan Ibu Pangeran. Sejak hari pertama Pangeran pergi, hatinya selalu gelisah. Ia tak pernah berhenti bertanya-tanya: Apakah anakku makan dengan cukup? Apakah dia tidur nyenyak? Apakah dia baik-baik saja bersama istrinya? Malam itu, saat sang suami tertidur dan rumah sudah sepi, Ibu Pangeran mengambil ponselnya dan diam-diam menekan nomor anaknya yang masih ia simpan. Tut… tut… Beberapa detik sunyi, lalu terdengar suara di seberang. “Halo?” suara Pangeran terdengar pelan, tapi hangat. Ibu Pangeran langsung menahan napas, menahan gejolak di dadanya. “Pangeran… Ini Ibu.” Suara itu membuat Pangeran terdiam beberapa saat. Lalu terdengar lirih, “Ibu…” Air mata langsung jatuh dari pipi wanita itu. “Kamu sehat, Nak? Kamu baik-baik saja, kan? Ibu… Ibu kangen… Ibu nggak bisa tidur kalau belum dengar suara kamu.” Pangeran tersenyum kecil, meski matanya berkaca. “Aku sehat, Bu. Aku bahagia di sini. Aku dan Cantika baik-baik saja.” “Ibu percaya,” ucap ibunya lirih. “Kamu selalu tahu apa yang kamu pilih. Ibu cuma... minta satu hal. Jangan lupa doakan Ibu, ya Nak.” “Selalu, Bu... selalu.” Suara tangis mereka menyatu, meski terhalang jarak dan restu yang belum sepenuhnya didapat. “Jangan bilang Ayah,” kata ibunya pelan. “Aku ngerti, Bu. Aku janji.” Malam itu, meski hanya lewat suara, rindu seorang ibu akhirnya menemukan jalan untuk sampai pada anaknya. Diam-diam, restu seorang ibu pun mulai tumbuh, perlahan tapi pasti. --- Beberapa hari setelah telepon diam-diam itu, Ibu Pangeran tak bisa menahan rindunya lagi. Ia mengambil inisiatif sendiri, berbohong pada suaminya bahwa ia hendak berkunjung ke rumah saudaranya di luar kota. Padahal, tujuan utamanya hanya satu: menemui anaknya. Dengan bantuan sopir kepercayaannya, ia menyusuri jalanan sempit menuju desa tempat Pangeran dan Cantika tinggal. Rumah kecil itu berdiri sederhana, penuh bunga-bunga di halaman depan. Tapi dari dalam, terdengar tawa bahagia. Ibu Pangeran menahan air mata sebelum mengetuk pintu. Tok tok tok. Tak lama, pintu terbuka. Cantika yang membukanya. Ia terkejut, langsung mematung. “I-Ibu?” Ibu Pangeran tersenyum hangat. “Boleh Ibu masuk?” Cantika segera mempersilakannya masuk. Suasana canggung terasa sebentar, hingga Pangeran muncul dari dalam, mata membelalak. “Ibu?” Pangeran langsung menghampiri dan memeluk ibunya erat. “Ibu beneran datang…” “Ibu nggak tahan… Ibu kangen kalian.” Tangis kecil mengalir dari mata Cantika yang berdiri di samping mereka. Setelah duduk di ruang tamu kecil, Ibu Pangeran memandang Cantika dengan lembut. “Kamu jaga anak Ibu baik-baik ya, Nak.” Cantika mengangguk cepat. “Saya akan jaga dia seumur hidup saya, Bu.” Lalu Pangeran menggenggam tangan istrinya dan berkata, “Bu, kami punya kejutan.” Ibu Pangeran mengangkat alis, penasaran. Cantika membuka tas kecilnya dan mengeluarkan test pack dengan dua garis merah yang mencolok. “Saya… kami… sedang menunggu anggota keluarga baru.” Ibu Pangeran menatap hasil itu, terdiam sejenak, lalu menutup mulutnya—tangis haru tak bisa ia tahan. “Ya Allah… cucu…” gumamnya. Ia langsung memeluk Cantika dan mencium perutnya. “Terima kasih, Nak. Kamu sudah bahagiakan Ibu…” Dan di rumah kecil yang dulu dianggap rendah, hari itu penuh dengan tawa dan tangis bahagia. Untuk pertama kalinya, keluarga kecil itu benar-benar merasa utuh… meski restu sang Ayah belum datang. --- Setelah air mata haru mengalir dan tawa menghiasi siang itu, Ibu Pangeran duduk santai di ruang tamu sambil memegangi tangan Cantika. “Kamu udah periksa ke bidan?” tanya beliau sambil tersenyum manis. Cantika mengangguk. “Sudah, Bu. Katanya ini baru minggu keempat.” Ibu Pangeran tersenyum makin lebar. “Masih kecil banget, ya... Tapi Ibu udah nggak sabar!” Ia lalu berdiri tiba-tiba, seperti teringat sesuatu. “Ayo, kita belanja!” Cantika melongo. “Lho, Bu? Belanja apa?” “Perlengkapan bayi dong!” sahut Ibu Pangeran antusias. “Kita cari baju bayi, bedak bayi, selimut kecil... lucu-lucu banget loh! Meski perutmu masih rata, cucuku udah harus disambut spesial.” Pangeran yang duduk di sebelah mereka tertawa kecil. “Ibu semangat banget.” “Tentu! Ibu nunggu cucu pertama selama ini!” balasnya dengan bangga. Akhirnya, mereka bertiga pergi ke toko perlengkapan bayi di kota kecil terdekat. Ibu Pangeran menyusuri rak demi rak dengan mata berbinar—mengambil baju mungil berwarna kuning, kaos kaki kecil, dan topi bayi berbentuk beruang. Cantika merasa canggung awalnya, tapi senyum Ibu Pangeran menular. Mereka tertawa ketika memilih botol susu, saling berdiskusi soal popok kain atau sekali pakai, dan bahkan memilih satu mainan gantung berbentuk bintang. “Bu, kayaknya ini terlalu cepat…” bisik Cantika. “Nggak ada kata terlalu cepat buat bahagia, Nak,” jawab sang Ibu sambil menepuk pelan punggung menantunya. Hari itu, bukan hanya perlengkapan bayi yang mereka bawa pulang. Tapi juga kenangan, restu, dan kasih sayang yang makin menguatkan hubungan mereka bertiga. Dan tanpa mereka sadari, di balik senyum yang tulus itu… dari kejauhan, seseorang sedang memperhatikan mereka dengan penuh dendam. --- Hari itu benar-benar bahagia bagi keluarga kecil Pangeran dan Cantika. Setelah belanja perlengkapan bayi, mereka kembali ke rumah dengan hati yang ringan. Tawa Ibu Pangeran dan candaan kecil mereka membuat rumah sederhana itu seolah penuh cahaya. Namun, kebahagiaan itu ternyata tak luput dari mata yang mengintai. Di seberang jalan, dari dalam mobil hitam yang parkir diam-diam di bawah rindangnya pohon mangga, Zolanda duduk diam. Matanya tajam menatap ke arah rumah Cantika. Tangan Zolanda menggenggam erat kemudi, rahangnya mengeras. Ia melihat dengan jelas—Pangeran tertawa bahagia bersama istrinya dan ibu kandungnya. Cantika tampak memamerkan baju bayi kecil yang baru mereka beli. “Jadi... sekarang dia milik perempuan kampung itu?” gumamnya lirih, nyaris berbisik. Ia menyipitkan mata, lalu tersenyum miring. “Menarik... Sangat menarik...” Zolanda bukan perempuan yang mudah menerima kekalahan. Apalagi kalau lawannya adalah seseorang yang dulu ia anggap tak sebanding. Dan kini, Pangeran—dokter muda yang selama ini ia incar—telah memilih wanita lain, dan bahkan akan memiliki anak dengannya? Tidak. Bagi Zolanda, ini belum berakhir. “Nikmati kebahagiaan kalian... selagi bisa…” bisiknya sebelum mobilnya melaju perlahan, menghilang di ujung jalan. Tanpa mereka sadari, badai mulai mendekat perlahan… --- Hari mulai senja ketika Pangeran dan Cantika bersama Ibu-nya kembali dari belanja. Tawa mereka masih terdengar dari balik pagar rumah, hangat dan bahagia. Dari luar, siapa pun bisa melihat ini adalah keluarga kecil yang utuh—meski sederhana, tapi penuh cinta. Namun di sisi lain jalan, tak jauh dari tempat Zolanda sebelumnya berdiri, ada satu sosok lain yang juga memperhatikan mereka diam-diam. Marsel. Pria muda yang dikenal sebagai sahabat lama Cantika, berdiri di balik kios kosong yang sudah lama tak terpakai. Mata Marsel menatap lekat ke arah mereka, tepatnya pada Pangeran. Wajahnya menyimpan amarah yang nyaris mendidih. “Dia bukan buat kamu…” gumam Marsel lirih, penuh emosi. “Cantika seharusnya jadi milikku…” Sejak dulu, Marsel selalu ada untuk Cantika—menemani, melindungi, bahkan diam-diam mencintai. Tapi kehadiran Pangeran menghancurkan segalanya. Dalam waktu singkat, Cantika jatuh hati, lalu kawin lari, dan kini sedang mengandung anak dari pria yang bahkan baru dikenalnya. Marsel mengepalkan tangan. “Kamu rampas semuanya, Pangeran…” Tak seperti Zolanda yang menyusun rencana dari ambisi dan luka, Marsel menyimpan rasa sakit dari cinta yang tak pernah terbalas. Dan rasa sakit itu, kini berubah menjadi dendam. “Kamu pikir kamu menang? Aku belum selesai, Cantika… Aku belum selesai…” Dan senja pun menutup hari itu dengan janji kelam dari dua arah. Tanpa disadari, kebahagiaan Cantika dan Pangeran sedang dikepung dua ancaman dari masa lalu… ---Langit senja mulai berubah kelabu ketika rombongan mobil hitam itu melaju kencang di jalur pegunungan yang sunyi. Suara ranting patah di bawah ban, serta kabut tipis yang menggantung di udara, menambah aura ketegangan yang tak bisa dihindari.Cantika duduk memeluk Putri di dalam mobil, sementara Caca menggenggam tangan kecil Mario erat-erat. Di mobil lain, Marsel dan Caca bergantian menatap ke belakang, memastikan tak ada kendaraan asing yang mengikuti mereka.Pangeran berada di depan, menyetir bersama Reno, dan putra menuntun jalan menuju tempat persembunyian baru yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Lokasinya jauh dari kota, dikelilingi tebing curam dan hutan lebat. Tak terjangkau sinyal, tak terdeteksi drone, dan tak tercatat di peta.“Kau yakin ini tempatnya?” tanya Reno, menahan degup jantung yang masih kacau pasca-teror terakhir dari Zolanda.“Yakin,” jawab Pangeran mantap. “Ini tempat terakhir yang bahkan aku sembunyikan dari semua dokumen pribadi. Bahkan pasukan kita pu
Petir menyambar langit seperti dentuman perang, seolah alam pun ikut merasakan teror yang menyelimuti keluarga Pangeran. Mobil-mobil hitam berderet keluar dari gerbang besar rumah mereka, melaju membelah malam menuju tempat yang hanya diketahui oleh Pangeran, Reno, dan Marsel sebuah rumah persembunyian lama yang terletak di tengah pegunungan, jauh dari jangkauan siapa pun… atau setidaknya mereka kira begitu. Cantika memeluk Mario erat, sedangkan Putra dan Putri duduk di kursi belakang sambil terus menoleh ke jendela. Caca menggenggam tangan Marsel dengan erat. Ketegangan tak bisa disembunyikan dari wajah siapa pun malam itu. “Aku merasa kita tak benar-benar aman. Zolanda terlalu licik,” bisik Reno dari kursi depan. Pangeran mengangguk pelan. “Tapi ini pilihan terbaik. Kita harus jaga jarak, dan di tempat tinggi ini, lebih mudah mengendalikan titik masuk.” Namun tak seorang pun menyadari... bahwa tepat di belakang konvoi mobil itu, sebuah kendaraan kecil dengan lampu mati mengunti
Pagi harinya, suasana rumah Pangeran tampak biasa saja. Burung-burung bernyanyi, matahari menembus tirai tipis ruang keluarga, dan aroma teh jahe buatan Cantika menguar di udara. Putri duduk di dekat jendela sambil memainkan rambut adiknya, Mario, yang masih menguap ngantuk. Putra tampak sibuk merakit puzzle besar di meja tengah. Caca dan Naila sedang di dapur, tertawa pelan membicarakan resep kue baru.Namun tak ada yang tahu, ancaman perlahan menyusup, nyaris tak terdengar... nyaris tak terlihat.Di kamar belakang, Pangeran dan Reno duduk di depan layar laptop yang terhubung ke jaringan keamanan rumah. Marsel berdiri di samping, memantau aktivitas dari kamera tersembunyi.“CCTV utara sudah dicek. Semua aman,” ujar Reno.“Dan perimeter belakang juga steril,” tambah Marsel.Pangeran mengetuk ngetuk meja. “Tapi tetap ada yang mengganjal. Setelah insiden si Cebol semalam, kenapa Zolanda belum mengirim serangan lanjutan?”“Karena itu bukan caranya kali ini,” gumam Reno. “Dia sudah tahu k
Tawa terdengar dari ruang keluarga sore itu. Matahari menyorot lembut melalui celah tirai, membasuh wajah wajah hangat keluarga yang kini berkumpul kembali. Cantika sedang menyisir rambut Putri yang kini tumbuh menjadi gadis remaja cantik nan ceria. Di sisi lain, Pangeran dan Reno duduk sambil menyeruput teh sembari melihat Mario dan Putra bermain lempar bola di taman kecil belakang rumah.“Lihat itu, Mario makin gesit. Baru lima tahun udah kayak ninja!” kata Marsel sambil tertawa, bahunya sedikit berguncang.“Awas lo, Mas! Jangan salah lempar ke jendela kayak waktu itu!” sahut Caca dari dapur sambil membawa sepiring kue.Mereka tertawa bersama. Tak ada satu pun dari mereka ingin mengusik damai ini. Mereka tahu betapa sulitnya mendapatkan ketenangan setelah bertahun tahun hidup dalam ketakutan dan pelarian. Tapi justru karena itu, mereka sangat menghargai detik-detik ini.Putra duduk di samping pangeran. “Ayah, apa semua akan baik-baik saja sekarang?”pangeran menatap mata putranya, l
Matahari sudah mulai naik ketika mobil hitam yang dikendarai Reno berhenti di tengah sebuah jembatan tua yang sepi di pinggiran kota. Di bagasi belakang, terdengar suara gerutuan… lalu lolongan kecil seperti rubah masuk angin.“Awwwkkk... lepasin Aku! Aku nggak salah apa-apa!” suara serak itu berasal dari makhluk mungil bernama Talo si cebol yang semalam nyaris bikin jantung mereka copot.Marsel menatapnya sambil tertawa geli. “Apa kamu bilang nggak salah denger? kamu lempar bom asap ke dalam mobil, terus nyaris gigit paha Aku! kau bilangnggak salah?”Pangeran membuka bagasi. Talo kini sudah dalam kondisi terikat, bajunya kotor, rambutnya berdiri seperti rambut sapu ijuk habis nyangkut di kipas angin.“saya cuma… disuruh!” Talo merengek. “Zolanda tuh galak banget! Kalo Aku nolak, pasti bakal di buat daging cincang dan di masak pakai kecap!”Reno ngakak. “Zolanda ngancem lu pake kecap?! Ini agen musuh apa kuli nasi goreng sih?”Mereka bertiga sudah kehilangan keseriusan. Bahkan Panger
Malam menyelimuti kota dengan kelam yang pekat. Di sudut terpencil sebuah gudang tua yang tampak tak berpenghuni, dua sosok pria bersembunyi di balik tumpukan kayu. Pangeran dan Marsel, berpakaian hitam-hitam lengkap dengan earpiece komunikasi dan rompi pelindung tipis.“Aku bilang juga apa, kalau pakai rompi ini perut Aku makin buncit keliatannya,” gumam Marsel pelan sambil menarik-narik rompinya.Pangeran menyipitkan mata. “Fokus, Sel. Kita nyusup, bukan catwalk.”Marsel memutar bola mata. “Iya, iya. Tapi lu gak bisa nyalahin Aku kalau rompi ini bikin gerak Aku kayak kangkung dibungkus plastik.”Sinyal masuk di earpiece mereka. Reno dari jarak jauh memantau lewat satelit kecil.“Target bergerak ke arah barat. Ada dua penjaga di dekat pintu masuk belakang. Awas, kamera di pojok kiri atas,” suara Reno terdengar serius.Pangeran memberi isyarat tangan pada Marsel. Dengan hati-hati mereka merayap mendekati tembok samping bangunan. Suara jangkrik mengiringi langkah pelan mereka, sementar