Pangeran baru saja memarkir mobilnya di halaman rumah besar bergaya kolonial milik keluarganya. Malam itu angin berhembus lembut, tapi pikirannya justru berkabut. Sejak pertemuannya dengan Cantika, hidupnya seakan dipenuhi tanda tanya.
Belum sempat membuka pintu, suara keras ayahnya terdengar dari ruang tamu. > “Kamu pulang juga akhirnya! Duduk, kita harus bicara.” Pangeran menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah masuk. Di ruang tamu, sang Ayah—duduk di kursi berlapis kulit mahal—menatapnya tajam. > “Aku ingin pernikahanmu dengan Zolanda dipercepat. Minggu depan, semua keluarga besar sudah kami undang.” Pangeran mendadak berdiri. “Apa?! Minggu depan? Ayah, aku belum menyetujui pernikahan itu!” > “Kamu tidak perlu menyetujui apa pun. Kamu hanya tinggal hadir dan menikahinya. Ayah sudah merencanakan semuanya.” > “Ayah pikir aku ini robot? Menikah tanpa cinta, tanpa suara, hanya karena Zolanda cocok menurut kalian?” > “Zolanda dari keluarga baik-baik, dia asisten kepercayaanmu di rumah sakit. Dia bisa mendampingi kamu—lebih dari sekadar perempuan manapun.” > “Termasuk Cantika, ya?” bentak Pangeran, tak bisa menahan lagi. Wajah ayahnya memerah. “Jangan bawa-bawa perempuan itu! Dia hanya gadis biasa, tidak punya masa depan, cucu seorang wanita tua! Ayah tidak akan membiarkan darah keluarga ini tercemar oleh perempuan kelas bawah!” Pangeran mengepalkan tangan. Hatinya terbakar. “Cinta tidak mengenal kelas, Ayah. Jika Ayah terus memaksa, aku yang akan pergi dari rumah ini. Aku bisa hidup sendiri!” Ayahnya berdiri, menatap tajam. “Kalau kamu keluar malam ini, jangan pernah kembali lagi!” Dan malam itu, Pangeran benar-benar keluar, meninggalkan rumah, meninggalkan tekanan, dan membawa cinta yang ingin ia perjuangkan… demi Cantika. --- Pangeran menginjak pedal gas lebih dalam, membiarkan mobilnya melaju menembus malam yang dingin. Suara pertengkaran dengan ayahnya masih terngiang-ngiang di kepala, seperti gema yang tak henti menampar kesadarannya. Tangannya menggenggam setir erat, sementara pikirannya hanya tertuju pada satu nama: Cantika. “Kalau Ayah membencinya, aku akan melindunginya. Kalau Ayah menganggapnya rendah, aku akan memuliakannya.” ucap Pangeran dalam hati. Ia berhenti di sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Lampu teras masih menyala, menandakan seseorang belum tidur. Ia turun, mengetuk pintu pelan tapi pasti. Tok. Tok. Tok. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Cantika berdiri di sana, mengenakan piyama dan jaket tipis. Rambutnya diikat seadanya. Matanya sedikit membesar melihat siapa yang berdiri di hadapannya. > “Dokter Pangeran? Ada apa malam-malam begini?” Pangeran tersenyum lelah, tapi sorot matanya penuh kehangatan. “Aku… aku nggak tahu harus ke mana. Aku cuma ingin ketemu kamu.” Cantika terdiam. Hatinya berdegup aneh. “Masuk, yuk. Nenek sudah tidur. Kita bisa bicara di teras.” Pangeran duduk di kursi kayu yang dingin, menatap langit, lalu mengalihkan pandangan ke Cantika. > “Aku bertengkar hebat dengan Ayah. Dia memaksa aku menikah dengan Zolanda. Minggu depan. Tapi aku tolak. Aku keluar dari rumah.” Cantika menelan ludah. “Kenapa kamu ke sini?” > “Karena kamu satu-satunya tempat aku merasa tenang. Tempat di mana aku nggak harus pura-pura kuat. Aku capek, Cantika. Tapi aku sadar, aku nggak bisa lagi terus pura-pura nggak sayang kamu…” Suasana hening sesaat. Hanya suara jangkrik malam menemani. Cantika menunduk, merasa sesak sekaligus bahagia. “Kamu yakin? Aku bukan siapa-siapa…” Pangeran memegang tangan Cantika lembut. “Justru karena kamu jadi dirimu sendiri, aku jatuh cinta.” Dan malam itu, untuk pertama kalinya, dua hati yang saling mencari akhirnya menemukan tempat yang tepat. --- Angin malam mulai terasa dingin menusuk, tapi terasa hangat di hati Pangeran dan Cantika yang masih duduk berdampingan di teras. Cantika masih menggenggam cangkir teh hangat buatan neneknya, sementara Pangeran menatapnya dalam-dalam, seolah sedang mengumpulkan keberanian. > “Cantika…” suara Pangeran terdengar lebih berat, penuh keyakinan. “Kalau aku nggak bisa lawan keluargaku dengan cara biasa… kalau mereka terus memaksakan pernikahan itu… aku akan ambil jalan terakhir.” Cantika mengerutkan kening. “Jalan terakhir?” Pangeran menatap lurus ke matanya. “Kawin lari. Sama kamu.” Cangkir di tangan Cantika nyaris terlepas. “K-kamu serius?” > “Serius. Aku sudah terlalu lama hidup dalam bayang-bayang keputusan Ayah. Sekarang aku ingin menjalani hidupku sendiri. Sama kamu.” Sebelum Cantika sempat menjawab, suara batuk kecil terdengar dari balik pintu. Nenek Rukiyah berdiri di ambang pintu, berselendang tipis, dengan tatapan penuh arti. > “Nek?” seru Cantika, terkejut. Nenek tersenyum lembut. “Nenek nggak tidur… Nenek dengar semua. Kalau kamu yakin dengan niatmu, Cantika, Nenek akan restui. Asal kamu bahagia, Nenek ikut bahagia.” Cantika langsung bangkit dan memeluk neneknya. Air mata mengalir di pipinya. > “Tapi kamu harus siap, Nak,” sambung Nenek, menatap Pangeran. “Kamu bukan hanya akan meninggalkan rumah. Kamu akan melawan dunia.” Pangeran mengangguk mantap. “Asal aku bisa bersama Cantika, aku siap melawan apa pun.” Dan malam itu, di bawah langit yang sepi, dua insan membuat janji gila namun penuh cinta: mereka akan pergi. Melawan arus. Melawan takdir yang ditentukan orang lain. Untuk cinta. Untuk kebebasan. --- Pagi itu, sinar matahari menyusup malu-malu ke sela genteng rumah. Di ruang tamu kecil itu, suasana terasa berbeda. Nenek Rukiyah duduk dengan senyum hangat, mengenakan kebaya sederhana berwarna krem muda. Cantika berdiri gugup di depan cermin, memakai gaun putih sederhana milik mendiang ibunya—yang disimpan rapi bertahun-tahun oleh sang Nenek. Pangeran datang mengenakan baju koko putih dan sarung tenun. Di tangannya, ia membawa sebuket bunga melati yang ia beli di pinggir jalan tadi pagi. > “Kamu cantik sekali,” bisiknya saat mereka bertemu di depan pintu. Cantika hanya tersenyum malu-malu. Tangannya dingin, tapi hatinya hangat. Di teras rumah yang disulap menjadi tempat akad kecil, duduk seorang penghulu—teman lama Nenek—bersama dua saksi dari warga sekitar. Tak ada dekorasi mewah, tak ada fotografer profesional. Hanya bunga-bunga kertas hasil kerajinan Cantika, kursi plastik, dan meja kayu tua yang ditutupi taplak renda. > “Saya nikahkan engkau, Pangeran, dengan Cantika binti almarhum Bapak Haris, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan cincin emas 3 gram dibayar tunai.” > “Saya terima nikahnya….” Suara Pangeran begitu mantap. Saksi mengangguk, penghulu tersenyum. Doa dipanjatkan. Air mata Cantika mengalir. Ia tidak pernah membayangkan menikah tanpa keluarga lengkap, tanpa pesta, tanpa gaun mewah. Tapi inilah hari paling indah dalam hidupnya. Nenek Rukiyah menghampiri mereka setelah akad. Ia memeluk Pangeran erat. > “Jaga cucu nenek baik-baik, ya Nak.” > “Demi Allah, saya akan jaga dia sampai akhir hayat saya, Nek.” Dan di rumah mungil itulah, cinta mereka resmi disatukan. Bukan oleh kemewahan, tapi oleh keberanian. Bukan oleh pesta besar, tapi oleh ketulusan. Mereka tidak tahu apa yang menanti esok. Tapi hari itu, mereka menang… atas cinta yang tak pernah menyerah. ---Langit senja mulai berubah kelabu ketika rombongan mobil hitam itu melaju kencang di jalur pegunungan yang sunyi. Suara ranting patah di bawah ban, serta kabut tipis yang menggantung di udara, menambah aura ketegangan yang tak bisa dihindari.Cantika duduk memeluk Putri di dalam mobil, sementara Caca menggenggam tangan kecil Mario erat-erat. Di mobil lain, Marsel dan Caca bergantian menatap ke belakang, memastikan tak ada kendaraan asing yang mengikuti mereka.Pangeran berada di depan, menyetir bersama Reno, dan putra menuntun jalan menuju tempat persembunyian baru yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Lokasinya jauh dari kota, dikelilingi tebing curam dan hutan lebat. Tak terjangkau sinyal, tak terdeteksi drone, dan tak tercatat di peta.“Kau yakin ini tempatnya?” tanya Reno, menahan degup jantung yang masih kacau pasca-teror terakhir dari Zolanda.“Yakin,” jawab Pangeran mantap. “Ini tempat terakhir yang bahkan aku sembunyikan dari semua dokumen pribadi. Bahkan pasukan kita pu
Petir menyambar langit seperti dentuman perang, seolah alam pun ikut merasakan teror yang menyelimuti keluarga Pangeran. Mobil-mobil hitam berderet keluar dari gerbang besar rumah mereka, melaju membelah malam menuju tempat yang hanya diketahui oleh Pangeran, Reno, dan Marsel sebuah rumah persembunyian lama yang terletak di tengah pegunungan, jauh dari jangkauan siapa pun… atau setidaknya mereka kira begitu. Cantika memeluk Mario erat, sedangkan Putra dan Putri duduk di kursi belakang sambil terus menoleh ke jendela. Caca menggenggam tangan Marsel dengan erat. Ketegangan tak bisa disembunyikan dari wajah siapa pun malam itu. “Aku merasa kita tak benar-benar aman. Zolanda terlalu licik,” bisik Reno dari kursi depan. Pangeran mengangguk pelan. “Tapi ini pilihan terbaik. Kita harus jaga jarak, dan di tempat tinggi ini, lebih mudah mengendalikan titik masuk.” Namun tak seorang pun menyadari... bahwa tepat di belakang konvoi mobil itu, sebuah kendaraan kecil dengan lampu mati mengunti
Pagi harinya, suasana rumah Pangeran tampak biasa saja. Burung-burung bernyanyi, matahari menembus tirai tipis ruang keluarga, dan aroma teh jahe buatan Cantika menguar di udara. Putri duduk di dekat jendela sambil memainkan rambut adiknya, Mario, yang masih menguap ngantuk. Putra tampak sibuk merakit puzzle besar di meja tengah. Caca dan Naila sedang di dapur, tertawa pelan membicarakan resep kue baru.Namun tak ada yang tahu, ancaman perlahan menyusup, nyaris tak terdengar... nyaris tak terlihat.Di kamar belakang, Pangeran dan Reno duduk di depan layar laptop yang terhubung ke jaringan keamanan rumah. Marsel berdiri di samping, memantau aktivitas dari kamera tersembunyi.“CCTV utara sudah dicek. Semua aman,” ujar Reno.“Dan perimeter belakang juga steril,” tambah Marsel.Pangeran mengetuk ngetuk meja. “Tapi tetap ada yang mengganjal. Setelah insiden si Cebol semalam, kenapa Zolanda belum mengirim serangan lanjutan?”“Karena itu bukan caranya kali ini,” gumam Reno. “Dia sudah tahu k
Tawa terdengar dari ruang keluarga sore itu. Matahari menyorot lembut melalui celah tirai, membasuh wajah wajah hangat keluarga yang kini berkumpul kembali. Cantika sedang menyisir rambut Putri yang kini tumbuh menjadi gadis remaja cantik nan ceria. Di sisi lain, Pangeran dan Reno duduk sambil menyeruput teh sembari melihat Mario dan Putra bermain lempar bola di taman kecil belakang rumah.“Lihat itu, Mario makin gesit. Baru lima tahun udah kayak ninja!” kata Marsel sambil tertawa, bahunya sedikit berguncang.“Awas lo, Mas! Jangan salah lempar ke jendela kayak waktu itu!” sahut Caca dari dapur sambil membawa sepiring kue.Mereka tertawa bersama. Tak ada satu pun dari mereka ingin mengusik damai ini. Mereka tahu betapa sulitnya mendapatkan ketenangan setelah bertahun tahun hidup dalam ketakutan dan pelarian. Tapi justru karena itu, mereka sangat menghargai detik-detik ini.Putra duduk di samping pangeran. “Ayah, apa semua akan baik-baik saja sekarang?”pangeran menatap mata putranya, l
Matahari sudah mulai naik ketika mobil hitam yang dikendarai Reno berhenti di tengah sebuah jembatan tua yang sepi di pinggiran kota. Di bagasi belakang, terdengar suara gerutuan… lalu lolongan kecil seperti rubah masuk angin.“Awwwkkk... lepasin Aku! Aku nggak salah apa-apa!” suara serak itu berasal dari makhluk mungil bernama Talo si cebol yang semalam nyaris bikin jantung mereka copot.Marsel menatapnya sambil tertawa geli. “Apa kamu bilang nggak salah denger? kamu lempar bom asap ke dalam mobil, terus nyaris gigit paha Aku! kau bilangnggak salah?”Pangeran membuka bagasi. Talo kini sudah dalam kondisi terikat, bajunya kotor, rambutnya berdiri seperti rambut sapu ijuk habis nyangkut di kipas angin.“saya cuma… disuruh!” Talo merengek. “Zolanda tuh galak banget! Kalo Aku nolak, pasti bakal di buat daging cincang dan di masak pakai kecap!”Reno ngakak. “Zolanda ngancem lu pake kecap?! Ini agen musuh apa kuli nasi goreng sih?”Mereka bertiga sudah kehilangan keseriusan. Bahkan Panger
Malam menyelimuti kota dengan kelam yang pekat. Di sudut terpencil sebuah gudang tua yang tampak tak berpenghuni, dua sosok pria bersembunyi di balik tumpukan kayu. Pangeran dan Marsel, berpakaian hitam-hitam lengkap dengan earpiece komunikasi dan rompi pelindung tipis.“Aku bilang juga apa, kalau pakai rompi ini perut Aku makin buncit keliatannya,” gumam Marsel pelan sambil menarik-narik rompinya.Pangeran menyipitkan mata. “Fokus, Sel. Kita nyusup, bukan catwalk.”Marsel memutar bola mata. “Iya, iya. Tapi lu gak bisa nyalahin Aku kalau rompi ini bikin gerak Aku kayak kangkung dibungkus plastik.”Sinyal masuk di earpiece mereka. Reno dari jarak jauh memantau lewat satelit kecil.“Target bergerak ke arah barat. Ada dua penjaga di dekat pintu masuk belakang. Awas, kamera di pojok kiri atas,” suara Reno terdengar serius.Pangeran memberi isyarat tangan pada Marsel. Dengan hati-hati mereka merayap mendekati tembok samping bangunan. Suara jangkrik mengiringi langkah pelan mereka, sementar