Home / Romansa / Terjebak Cinta Sang Dokter / Bab 6 Pernikahan yang Dipaksakan

Share

Bab 6 Pernikahan yang Dipaksakan

Author: Tediber
last update Last Updated: 2025-04-16 20:08:08

Pangeran baru saja memarkir mobilnya di halaman rumah besar bergaya kolonial milik keluarganya. Malam itu angin berhembus lembut, tapi pikirannya justru berkabut. Sejak pertemuannya dengan Cantika, hidupnya seakan dipenuhi tanda tanya.

Belum sempat membuka pintu, suara keras ayahnya terdengar dari ruang tamu.

> “Kamu pulang juga akhirnya! Duduk, kita harus bicara.”

Pangeran menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah masuk. Di ruang tamu, sang Ayah—duduk di kursi berlapis kulit mahal—menatapnya tajam.

> “Aku ingin pernikahanmu dengan Zolanda dipercepat. Minggu depan, semua keluarga besar sudah kami undang.”

Pangeran mendadak berdiri. “Apa?! Minggu depan? Ayah, aku belum menyetujui pernikahan itu!”

> “Kamu tidak perlu menyetujui apa pun. Kamu hanya tinggal hadir dan menikahinya. Ayah sudah merencanakan semuanya.”

> “Ayah pikir aku ini robot? Menikah tanpa cinta, tanpa suara, hanya karena Zolanda cocok menurut kalian?”

> “Zolanda dari keluarga baik-baik, dia asisten kepercayaanmu di rumah sakit. Dia bisa mendampingi kamu—lebih dari sekadar perempuan manapun.”

> “Termasuk Cantika, ya?” bentak Pangeran, tak bisa menahan lagi.

Wajah ayahnya memerah. “Jangan bawa-bawa perempuan itu! Dia hanya gadis biasa, tidak punya masa depan, cucu seorang wanita tua! Ayah tidak akan membiarkan darah keluarga ini tercemar oleh perempuan kelas bawah!”

Pangeran mengepalkan tangan. Hatinya terbakar. “Cinta tidak mengenal kelas, Ayah. Jika Ayah terus memaksa, aku yang akan pergi dari rumah ini. Aku bisa hidup sendiri!”

Ayahnya berdiri, menatap tajam. “Kalau kamu keluar malam ini, jangan pernah kembali lagi!”

Dan malam itu, Pangeran benar-benar keluar, meninggalkan rumah, meninggalkan tekanan, dan membawa cinta yang ingin ia perjuangkan… demi Cantika.

---

Pangeran menginjak pedal gas lebih dalam, membiarkan mobilnya melaju menembus malam yang dingin. Suara pertengkaran dengan ayahnya masih terngiang-ngiang di kepala, seperti gema yang tak henti menampar kesadarannya.

Tangannya menggenggam setir erat, sementara pikirannya hanya tertuju pada satu nama: Cantika.

“Kalau Ayah membencinya, aku akan melindunginya. Kalau Ayah menganggapnya rendah, aku akan memuliakannya.” ucap Pangeran dalam hati.

Ia berhenti di sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Lampu teras masih menyala, menandakan seseorang belum tidur. Ia turun, mengetuk pintu pelan tapi pasti.

Tok. Tok. Tok.

Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Cantika berdiri di sana, mengenakan piyama dan jaket tipis. Rambutnya diikat seadanya. Matanya sedikit membesar melihat siapa yang berdiri di hadapannya.

> “Dokter Pangeran? Ada apa malam-malam begini?”

Pangeran tersenyum lelah, tapi sorot matanya penuh kehangatan. “Aku… aku nggak tahu harus ke mana. Aku cuma ingin ketemu kamu.”

Cantika terdiam. Hatinya berdegup aneh. “Masuk, yuk. Nenek sudah tidur. Kita bisa bicara di teras.”

Pangeran duduk di kursi kayu yang dingin, menatap langit, lalu mengalihkan pandangan ke Cantika.

> “Aku bertengkar hebat dengan Ayah. Dia memaksa aku menikah dengan Zolanda. Minggu depan. Tapi aku tolak. Aku keluar dari rumah.”

Cantika menelan ludah. “Kenapa kamu ke sini?”

> “Karena kamu satu-satunya tempat aku merasa tenang. Tempat di mana aku nggak harus pura-pura kuat. Aku capek, Cantika. Tapi aku sadar, aku nggak bisa lagi terus pura-pura nggak sayang kamu…”

Suasana hening sesaat. Hanya suara jangkrik malam menemani.

Cantika menunduk, merasa sesak sekaligus bahagia. “Kamu yakin? Aku bukan siapa-siapa…”

Pangeran memegang tangan Cantika lembut. “Justru karena kamu jadi dirimu sendiri, aku jatuh cinta.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, dua hati yang saling mencari akhirnya menemukan tempat yang tepat.

---

Angin malam mulai terasa dingin menusuk, tapi terasa hangat di hati Pangeran dan Cantika yang masih duduk berdampingan di teras.

Cantika masih menggenggam cangkir teh hangat buatan neneknya, sementara Pangeran menatapnya dalam-dalam, seolah sedang mengumpulkan keberanian.

> “Cantika…” suara Pangeran terdengar lebih berat, penuh keyakinan. “Kalau aku nggak bisa lawan keluargaku dengan cara biasa… kalau mereka terus memaksakan pernikahan itu… aku akan ambil jalan terakhir.”

Cantika mengerutkan kening. “Jalan terakhir?”

Pangeran menatap lurus ke matanya. “Kawin lari. Sama kamu.”

Cangkir di tangan Cantika nyaris terlepas. “K-kamu serius?”

> “Serius. Aku sudah terlalu lama hidup dalam bayang-bayang keputusan Ayah. Sekarang aku ingin menjalani hidupku sendiri. Sama kamu.”

Sebelum Cantika sempat menjawab, suara batuk kecil terdengar dari balik pintu. Nenek Rukiyah berdiri di ambang pintu, berselendang tipis, dengan tatapan penuh arti.

> “Nek?” seru Cantika, terkejut.

Nenek tersenyum lembut. “Nenek nggak tidur… Nenek dengar semua. Kalau kamu yakin dengan niatmu, Cantika, Nenek akan restui. Asal kamu bahagia, Nenek ikut bahagia.”

Cantika langsung bangkit dan memeluk neneknya. Air mata mengalir di pipinya.

> “Tapi kamu harus siap, Nak,” sambung Nenek, menatap Pangeran. “Kamu bukan hanya akan meninggalkan rumah. Kamu akan melawan dunia.”

Pangeran mengangguk mantap. “Asal aku bisa bersama Cantika, aku siap melawan apa pun.”

Dan malam itu, di bawah langit yang sepi, dua insan membuat janji gila namun penuh cinta: mereka akan pergi. Melawan arus. Melawan takdir yang ditentukan orang lain.

Untuk cinta. Untuk kebebasan.

---

Pagi itu, sinar matahari menyusup malu-malu ke sela genteng rumah. Di ruang tamu kecil itu, suasana terasa berbeda. Nenek Rukiyah duduk dengan senyum hangat, mengenakan kebaya sederhana berwarna krem muda. Cantika berdiri gugup di depan cermin, memakai gaun putih sederhana milik mendiang ibunya—yang disimpan rapi bertahun-tahun oleh sang Nenek.

Pangeran datang mengenakan baju koko putih dan sarung tenun. Di tangannya, ia membawa sebuket bunga melati yang ia beli di pinggir jalan tadi pagi.

> “Kamu cantik sekali,” bisiknya saat mereka bertemu di depan pintu.

Cantika hanya tersenyum malu-malu. Tangannya dingin, tapi hatinya hangat.

Di teras rumah yang disulap menjadi tempat akad kecil, duduk seorang penghulu—teman lama Nenek—bersama dua saksi dari warga sekitar.

Tak ada dekorasi mewah, tak ada fotografer profesional. Hanya bunga-bunga kertas hasil kerajinan Cantika, kursi plastik, dan meja kayu tua yang ditutupi taplak renda.

> “Saya nikahkan engkau, Pangeran, dengan Cantika binti almarhum Bapak Haris, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan cincin emas 3 gram dibayar tunai.”

> “Saya terima nikahnya….”

Suara Pangeran begitu mantap. Saksi mengangguk, penghulu tersenyum. Doa dipanjatkan.

Air mata Cantika mengalir. Ia tidak pernah membayangkan menikah tanpa keluarga lengkap, tanpa pesta, tanpa gaun mewah. Tapi inilah hari paling indah dalam hidupnya.

Nenek Rukiyah menghampiri mereka setelah akad. Ia memeluk Pangeran erat.

> “Jaga cucu nenek baik-baik, ya Nak.”

> “Demi Allah, saya akan jaga dia sampai akhir hayat saya, Nek.”

Dan di rumah mungil itulah, cinta mereka resmi disatukan. Bukan oleh kemewahan, tapi oleh keberanian. Bukan oleh pesta besar, tapi oleh ketulusan.

Mereka tidak tahu apa yang menanti esok. Tapi hari itu, mereka menang… atas cinta yang tak pernah menyerah.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Cinta Sang Dokter    Bab 22: Bayangan di Balik Jeruji

    Hujan turun deras malam itu, mengetuk-ngetuk jeruji besi penjara di mana Zolanda ditahan. Cahaya lampu redup tak berdaya menembus kegelapan wajahnya yang bersandar pada dinding lembab. Tapi, matanya masih tajam. Lengkap rencana.Tiba-tiba, ponsel kecil tersembunyi di balik dinding toilet rusak bergetar perlahan."Zolanda."Suara di seberang terdengar tenang. Tapi jelas. mengandung bahaya."Tiga orangku gagal. Mereka ditangkap Pangeran dan Reno."Zolanda tak menjawab. Dia hanya menarik napas dalam-dalam. Lalu, senyumnya muncul pelan-pelan."Jadi… akhirnya mereka menemukan bagian atas dari gunung es."Misteri suaranya kembali berkata. Sekarang lebih lambat, lebih bisu."Tapi mereka belum tahu siapa aku. Aku masih di dalam sistem. Tak ada yang curiga."Zolanda tersenyum lembut. "Kau adalah kartu truf-ku… Si Bayangan."Dia melihat ke selembar kertas di tangannya, peta struktur rumah sakit dan jadwal keamanan terbaru."Kita perubahan permainan. Jika mereka memulai menyerang, kita membuat m

  • Terjebak Cinta Sang Dokter    Bab 21: Penyusupan Tanpa Nama

    Pagi yang tampak biasa… tapi ada yang berbeda di koridor lantai dua rumah sakit. Seorang perempuan berambut dikuncir rendah berjalan cepat, mengenakan seragam perawat baru dengan ID card bernama “Nadia”. Tak ada yang curiga, bahkan kepala perawat menyambutnya dengan senyum ramah.Padahal, "Nadia" adalah Caca — kembaran Cantika — yang kini menjalankan peran barunya sebagai mata Marsel di dalam.Dengan langkah tenang, Caca menyapu ruangan demi ruangan. Ia mencatat semua hal kecil: siapa yang mondar-mandir di luar shift, siapa yang terlalu sering mendekati ruang Putri dan Putra, siapa yang membawa alat-alat tanpa ijin.Sementara itu, lewat earpiece kecil tersembunyi di balik rambutnya, Marsel terus memberi instruksi.“Fokus ke ruang penyimpanan data. CCTV rumah sakit pernah mati selama 17 menit. Kita yakin itu bukan kebetulan.”Caca merespons cepat. “Akan kuperiksa jalur kabelnya.”**Di ruang CCTV, Caca berpura-pura membantu staf yang kelelahan. Diam-diam, ia mengakses rekaman cadangan

  • Terjebak Cinta Sang Dokter    Bab 20: Dalam Sunyi, Ada Bahaya

    Matahari pagi menyinari perlahan jendela kamar rawat itu. Di dalamnya, Putra mulai bisa duduk sendiri, walau masih dibantu sandaran. Wajahnya belum sepenuhnya pulih, tapi semangat hidupnya… sudah kembali. Putri duduk di samping tempat tidur, memegang buku cerita yang dulu sering mereka baca berdua. “Kau masih ingat ini?” tanya Putri pelan. Putra mengangguk kecil. “Kita dulu suka tiru suara tokohnya…” Putri tersenyum, lalu mencoba menirukan suara tokoh si kucing pintar. “‘Aku tahu jalannya! Ikuti aku, miaw!’” Putra tertawa kecil. Tawa yang sudah lama tak terdengar. Namun di balik kehangatan itu, ada ketegangan yang tak mereka pahami sepenuhnya. Mereka merasa diawasi. Setiap kali suster baru masuk, Putri akan menatapnya lama. Dan Putra—meski belum berkata banyak—bisa merasakan perubahan itu. “Mereka semua… takut,” bisik Putra. Putri menoleh. “Siapa?” Putra menatap langit-langit. “Orang-orang besar… Ayah, Pangeran, Om Marsel… mereka sembunyikan sesuatu.” Putri menund

  • Terjebak Cinta Sang Dokter    bab 19 Jejak dalam Sunyi

    Langit sore itu mendung, seolah menyimpan sesuatu yang akan pecah dalam waktu dekat. Rumah sakit tampak tenang di permukaan, tapi di dalamnya, ketegangan merayap seperti kabut — tak terlihat, tapi terasa. Marsel sedang duduk di kursi ruang tunggu, menatap layar ponselnya yang kosong. Ia hanya berniat menjaga suasana, menemani Pangeran dan Reno yang masih rapat dengan tim keamanan. Tapi nalurinya sebagai mantan intel tak pernah tidur. Saat itulah, matanya menangkap gerakan kecil yang tidak biasa di ujung lorong. Seorang pria dengan jaket hitam, wajah tertutup masker dan topi, tampak berdiri agak lama di depan ruang perawatan Putri. Ia tidak masuk, hanya memandang ke dalam dari balik kaca. Tapi ada sesuatu dari caranya berdiri… seperti sedang menghitung… atau mencatat. Marsel menyipitkan mata. "Siapa lo..." bisiknya pelan. Ia bangkit dari kursinya, berjalan pelan namun mantap ke arah pria itu. Tapi saat ia makin dekat, pria tersebut langsung berbalik dan berjalan cepat menjauh. “

  • Terjebak Cinta Sang Dokter    bab 18 Percakapan di Balik Jeruji

    Pagi itu langit mendung, seolah mencerminkan suasana hati Reno yang dipenuhi amarah dan kegelisahan. Mobil hitamnya berhenti tepat di depan pintu penjara — tempat Zolanda dikurung, namun tetap bisa mengendalikan ancaman dari balik jeruji.Reno berjalan pelan memasuki ruang kunjungan. Tatapannya tajam, rahangnya mengeras menahan emosi. Di balik kaca pemisah, Zolanda duduk santai dengan senyum tipis yang seolah mengejek.“Lama tak jumpa, Reno,” ucap Zolanda, nada suaranya dingin tapi santai. “Bagaimana kabar Cantika... dan Putri?”Reno menahan diri agar tidak meledak di tempat. Tangannya mengepal di atas meja.“Jangan main-main, Zolanda,” suaranya berat, penuh tekanan. “Orangmu nyaris mencelakai Cantika di parkiran. Apa tujuannya? Mau bikin kami takut?”Zolanda mengangkat alis, pura-pura polos.“Cantika wanita cerdas, dia pasti tahu hidup di dunia ini tidak pernah aman, Ren. Lagipula... aku hanya tahanan, apa mungkin aku bisa atur semua itu?”Ia terkekeh pelan, seolah tak merasa bersala

  • Terjebak Cinta Sang Dokter    Bab 17: Luka yang Perlahan Pulih

    Hari-hari di rumah sakit berjalan lambat, tapi penuh kehangatan. Setelah melewati masa kritis, Putra mulai bisa duduk di ranjangnya, meski tubuhnya masih lemah dan langkah kakinya belum sanggup menopang. Sedangkan Putri, walau memar di tubuhnya perlahan memudar, masih tetap setia berada di sisi sahabat kecilnya itu.Setiap pagi, suster datang membawa sarapan ringan, dan setiap kali Putra kesulitan menggenggam sendok, Putri yang tanpa banyak bicara akan mengambil alih, menyuapinya dengan hati-hati.“Pelan-pelan ya, biar nggak tersedak,” ucap Putri sambil tersenyum, meski dirinya sendiri kadang menahan nyeri di lengan yang belum pulih sempurna.Putra menatap Putri dalam diam, ada rasa haru yang sulit ia ungkapkan.“Kenapa kamu nggak istirahat aja, Putri?” bisiknya pelan.Putri menggeleng, tatapannya penuh keyakinan.“Karena kamu butuh aku. Sahabat nggak ninggalin sahabat, kan?”Ucapan sederhana itu selalu jadi obat paling mujarab bagi Putra. Bukan infus, bukan obat-obatan dari dokter —

  • Terjebak Cinta Sang Dokter    Bab 16: Tertatih Menuju Cahaya

    Malam mulai turun perlahan, menyelimuti rumah sakit dengan bayangan kelabu yang sunyi. Di ruang perawatan anak, Putri terbangun dari tidurnya dengan nafas berat. Memar di lengan dan kakinya masih jelas terlihat, dan dadanya terasa sesak setiap kali mencoba bangun.Tapi ada satu suara dalam hatinya yang memanggil…“Putra…”Dengan susah payah, Putri turun dari tempat tidurnya. Kakinya masih gemetar, namun mata kecilnya bersinar penuh tekad. Dia tahu Putra sedang kesakitan. Dia tahu, sahabat kecilnya itu butuh dirinya.Tangannya meraba dinding untuk bertahan agar tidak jatuh. Suster jaga malam itu tertidur di meja, membuat jalan menuju ruang ICU sepi… terlalu sepi.Setiap langkah terasa seperti membawa beban seribu kilo. Rasa sakitnya belum sembuh. Tapi hatinya terlalu kuat untuk berhenti.“Sabar ya, Putra… Putri datang…”**Sementara itu, di ruang keluarga rumah sakit, Cantika bersandar di bahu Pangeran. Reno dan Marsel tengah berdiskusi di meja seberang, membicarakan rencana pelacakan

  • Terjebak Cinta Sang Dokter    Bab 15 – Jejak yang Menghilang

    Reno berdiri di balkon lantai dua rumahnya, tatapannya kosong menatap langit subuh yang mulai membiru. Angin dingin menusuk hingga ke tulang, namun pikirannya jauh lebih dingin—membeku dalam kecemasan yang tak kunjung mereda.Sudah empat hari Putri menghilang. Sudah empat malam pula Reno tak tidur. Semua CCTV, saksi mata, hingga jaringan bawah tanah yang ia miliki telah dikerahkan, namun nihil. Seolah Putri benar-benar menghilang dari muka bumi.“Kamu harus makan, Ren…” suara Pangeran yang berdiri di ambang pintu, berusaha terdengar tenang.Reno menggeleng, tatapannya tetap kosong. “Aku CEO, aku bisa lacak orang sejauh benua… tapi untuk menemukan anakku sendiri, aku gagal…”Pangeran menepuk bahu Reno. “Kamu ayah, bukan Tuhan. Kita akan temukan dia. Bersama.”Di ruang tengah, Cantika duduk memeluk Putra yang mulai membaik, namun tetap murung tanpa kehadiran Putri. Sementara Caca dan Marsel bolak-balik membawa makanan, minuman, dan laporan pencarian yang tak pernah ada kabar cerahnya.R

  • Terjebak Cinta Sang Dokter    Bab 14 Teror yang Kembali

    Hari itu mentari bersinar lembut. Putra dan Putri berlarian di halaman rumah, mengenakan seragam SD mereka yang baru. Usia mereka genap 6 tahun. Tawa ceria menghiasi udara, tak ada yang menyangka… badai akan segera datang.Di dalam rumah, Cantika dan Pangeran sedang membereskan bekal anak-anak, sementara Reno membaca koran di teras belakang. Caca dan Marsel sibuk bercanda soal siapa nanti yang akan antar jemput sekolah.Tiba-tiba… sebuah amplop cokelat tergelincir lewat celah pintu pagar.Marsel yang melihatnya pertama kali, segera memanggil, “Pangeran! Ini... kayaknya bukan surat biasa!”Pangeran buru-buru mengambil dan membukanya. Di dalamnya hanya ada satu foto—foto Putra dan Putri sedang tertidur di kamar.Cantika langsung pucat.“Astaga… ini foto semalam…”---Di balik foto itu, tertera tulisan tangan miring yang dikenali semua orang:> “Kalian pikir aku tak akan kembali? Tunggu saja… aku akan menghancurkan ketenangan kalian seperti kalian menghancurkan hidupku. – Z”Pangeran men

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status