Mama Tara terlihat kecewa, dia menunduk sambil mengaduk makanannya.Venca tidak ingin berbaik hati kepada mertuanya ini. Dia tahu, sekali memberinya angin, pasti akan membumbung tinggi prasangkanya.Mungkin Papa yang mengambil insiatif. "Apa kalian sengaja menundanya?" suara berat itu memecah keheningan yang beberapa detik tadi.Tara bingung harus jawab apa, dia menggeleng pada akhirnya. Venca juga serba salah, dalam hal ini, dia berpikir, Tara yang lebih mengenal Papa dan Mamanya, jadk, dia menutup mulut rapat."Venca, apa kamu ada masalah?" tanya Mama lagi.Mata bulat Caca menatap Mama. "Masalah apa, Ma?"Tara spontan menendang kaki Venca. Gadis itu aneh sendiri, meringis sendiri, Tara menendang kencang juga."Apa kamu sedang sakit? Atau baru-baru ini sakit parah? Apa kabar bulan madu kalian?"Tara tersedak. Venca serba salah, meminta pertolongan kepada Tara yang sedang menenggak air.Papa juga sepert
"Ca, masih di situ 'kan?" tanya Revan, di seberang telepon.Venca melihat Tara melangkah, dari dalam rumah. Wajah lelaki itu makin kencang. Entah ada apa lagi yang terjadi."Ya, ya, bisa, Pak," jawabnya, dia tidak mau pembicaraan ini jadi panjang."Oke, besok jam tujuh pagi.""Oke, Pak, saya datang." Venca buru-buru memutus sambungan telepon."Tar?" Lelaki itu berjalan melewati Venca. Gadis itu hanya bengong, tak mengerti apa yang terjadi dengan suami—sahnya itu.Hingga Tara masuk ke mobil. Venca mengikuti saja, duduk di jok penumpang."Kita mau pulang, Tar?" tanya Venca pelan.Tara membisu, entah apa yang terjadi dengannya. Venca ikut membisu, dia tidak ingin merusak suasana hati Tara.Mobil yang dikendarai suaminya itu memasuki kawasan indekos Venca. Hingga berhenti di depan gerbang."Turun!" titah Tara, suaranya datar dan tidak menatap Venca.Sekilas, gadis itu membuka kenop pintu. Namun sebelum
Revan pagi ini cukup gelisah, kedatangan Caca tentu saja yang dia tunggu.Saking gelisah, dia menyiapkan sarapan dua macam, bubur ayam dan pancake. Ada kopi, teh dan juga jus dalam kemasan.Pria itu menarik napas, laptopnya sudah siap untuk sambungan internasional.Tidak lama, bel apartemennya berdentang. Pria itu membeku, bukannya bahagian menyambut pujaan hati.Bel berdentang dua kali.Revan cepat-cepat ke depan pintu. Dia menarik napas, memasang senyum terbaik.Gadis cantik itu ada di ambang pintu. "Hai!" sapa pria itu.Tentu saja, membuat kesan yang baik, Caca menjawab dengan senyuman. Hari ini dia begitu bersinar dipandangan Revan. Lebih cantik."Assalamualaikum!" salam Caca, tentu saja.Revan sambil menggeser badan, agar gadis itu bisa masuk."Silakan, masuk dulu. Jangan takut, ada penjaga, jadi enggak mungkin aku berbuat macam-macam," ujar Revan lagi.Tanpa ragu gadis itu masuk ke apartemen Revan y
"Aku terima telepon ini dulu. Dari Ambu."Venca mengangguk, dengan senyuman. Dia melanjutkan membereskan laptop dan juga dokumen yang lain. Serta mencatat apa saja poin penting yang tadi dalam rapat.Revan melirik ke Venca yang sedikit sibuk membereskan aneka barang. Pria itu menutup pintu kamar."Hallo?""Assalamualaikum, Repan ..." Peringat Ambu di seberang sana."Iya, Ambu, maaf, assalamualaikum ...""Waalaikumsalam," jawab Ambu pada akhirnya."Ada apa, Bu?""Emang Ambu enggak boleh telepon anak sendiri?" canda Ambu terdengar segar pagi ini."Ya, boleh, Bu. Biasanya, Ambu telepon pas malem, atau enggak abis Re pulang kerja.""Iya, Ambu teh enggak sabar, kamu sebulan enggak pulang, Ambu kangen ..." rajuk wanita lanjut usia itu. Suaranya terdengar lirih."Iya, Re pulang, Mbu, Sabtu Minggu khusus waktu buat Ambu. Sekalian tengokin perusahaan di sana.""Eta perusahaan teh, lancar apa naon, Re? A
"Mama Papa Sabtu besok mau nginep, lho. Gantian ama ortu lo, inget kan?" Tara berucap kepada Caca. Sore ini, lelaki itu ngotot mau menjemput istri—sahnya di kantor.Bukannya tanpa usaha, Venca menolak sekeras mungkin ketika Tara telepon. Namun, tetiba saja dia melihat mobil Tara melintas di teras lobi gedung kantornya."Apaan? Kan gue bilang ada tugas ke Bandung!" hardik Caca lagi, dia mendengkus pelan. "Lagian sore ini lo semena-mena muncul di teras kantor, padahal enggak ada janji sama sekali. Apa lo enggak pikirin perasaan Rani?"Pertanyaan Caca tepat menohon jantung Tara."Gue 'kan suami lo. Wajar dong, kalo jemput walau dadakan!" sentak Tara lagi, kabin mobil itu serasa menegangkan sekarang, ditambah penghabisa udara panas sore hari, makin membuat hati mereka geram. "Lagi pula, rencana lo keluar kota, emang udah gue bilang setuju?" Tara menyentak tanpa melihat istrinya itu. Tangannya sibuk memutar setir. Wajahnya tiada raut, teg
Malam ini rasanya sulit untuk Tara lewati. Matanya masih mengawasi pintu gerbang indekos Venca dari mobil. Dengan perasaan yang tidam bisa dia jelaskan dengan kata. Beberapa jam berlalu menunggu, gadis itu belum terlihat sama sekali. Dan, lelaki itu mulai kesal, menggeram tak tentu.Dalam hatinya bertarung, buat apa dia menunggu di sini? Sungguh sangat tidak penting. Mengapa tidak telepon saja?Ya, itu telepon. Lelaki itu cepat-cepat keluarkan ponsel.dari saku celana.Namun, Tara lupa, beberapa kali dia coba tidak diangkat, akhirnya tersambung dengan kotak suara. Dari tadi pun sudah begitu. Lagi pula, dia hanya ingin meminta maaf, itu saja.Tidak lama, ponselnya malah berdering.Nama yang muncul, Rani.Tara setenguah mati mengawasi tempat dia berada, jangan sampai Rani tahu dia ada do drpan indekos Venca."Hallo, Ran?" sapa Tara."Sayang, kamu ke mana? Apa nginep di rumah ..."Suara Rani terputus, sebenarnya
“Emang, teteh bener-bener suka sama Bang Re?”Malam itu Safia bertanya dengan lugu ke Venca. Tentu saja, gadis itu melarikan diri sejenak dari Jakarta. Revan mengantarnya ke Bandung. Alih-alih, pria itu minta Venca mengurusi perusahaannya yang akan segera dia tutup di Bandung. Safia menemani Venca menginap di hotel dekat rumah mereka. Sementara Revan, tidur di rumah orang tuanya. Pria itu tentu saja khawatir, dia tahu hancurnya Venca ketika di Jakarta, dan juga membiarkan malam yang penuh pertanyaan dari Revan, lewat begitu saja. Alias, Venca belum mengatakan apa pun!Terang saja, gadis berhijab itu serba salah ditanya begitu. Ada rasa hangat sekaligus dingin menjalari dalam hati. Dan dia tidak tahu apa itu namanya.“Pak Revan,” ujar Venca, suaranya tersendat sambil menatap Safia yang berbaring di sampingnya. “Halah, pake bapak segala,” sangkal Safia dengan riangnya. Gadis itu baru saja mengajak Ven
Sementara, Tara di Jakarta masih kebingungan, perihal Venca yang masih belum bisa ditemukan. Ke mana dia?Juga, dia harus memberikan jawaban kepada orang tua Venca yang tadi menanyakan anaknya itu.Malam ini pun masih sama seperti kemarin, pikirannya melayang, ponsel istri sah—nya itu aktif, namun tak satu pun pesan dibalas, atau teleponnya diangkat. Kesal sebenarnya, Mama dan Papa ngotot supaya Tara dan Venca tinggal di rumah mereka. Kepalanya tetiba pusing, mau pecah rasanya. Venca sengaja menyetel diam ponselnya. Dia tak ingin diganggu dulu oleh siapa pun!Rani yang sedang menonton tivi di sampig Tara merasakan kegelisahan suaminya itu. Tentu saja, suaminya tak pernah bercerita apa pun, apalagi soal malam itu. Ketika Venca tetiba menghilang.Tara tidak tinggal diam sebenarnya, dia juga mencari ke indekos Venca. Bertanya ke satpam yang mejaga. Keterangan satpam itu, Venca tidak pulang sejak kemarin malam.Ternyata, Venca mengi