Share

Terjebak Cinta Segitiga
Terjebak Cinta Segitiga
Penulis: Respaty legacy

Rei dan Venca

Gadis dua empat tahun itu tersenyum begitu gawainya berdering. Di jam setelah tahajud, pria itu selalu meneleponnya. Dipanggilnya, “Rei.” Nama yang singkat tetapi mampu membuat hati Caca kalang kabut. Berdetak kencang setiap kali diteleponnya. 

Seperti sekarang saat mengobrol dengan pria itu. Rei, mengaku anak petani miskin dari Cilacap. Entah, siapa pun dia, Caca tidak peduli, gadis berhijab itu setia menunggu suaranya, walau di jam orang masih terlelap. 

Freetalk. Adalah, layanan berbicara bebas—gratis selama satu bulan jika mengisi pulsa lima puluh ribu. Ini layanan khusus untuk pelanggan salah satu provider telekomunikasi. Jika masa berlangganan sudah lebih dari satu tahun. 

Layanan ini yang dimanfaatkan oleh Re dan Caca setiap malam untuk saling mengobrol—hingga sebelum fajar menjelang. Mengacak nomor telepon, yang membawa mereka saling kenal beberapa bulan terakhir ini.  

Suara Re, berat tetapi menenangkan, banyak bercerita, tahu tentang banyak hal. Musik, film, dan juga agama, ini yang penting untuk Caca. Sebagai gadis berkerudung dia perlu memilih calon imamnya kelak. 

“Rei, hari ini apa kabar?” tanya Caca malu-malu. Sebagai gadis bermartabat, seharusnya dia tidak melakukan hal ini. Namun apa daya, Rei, mampu melambungkan asa-nya melebihi tinggi angkasa. 

“Baik, Ca. Bapak berhasil panen. Alhamdulillah,” tutur pria yang mengaku berumur dua puluh delapan itu. “Caca enggak ngantuk?” tanyanya, malu-malu. 

“Tadi kan udah tidur, sekarang nungguin adzan Subuh.”

“Sambil ngobrol enggak apa-apa?” tanya Re, suaranya selalu terdengar riang. 

“Enggak apa-apa, Rei,” balasnya. Suara gadis itu terdengar halus, merdu. Siapa pun pasti betah berbicara lama-lama dengannya.

“Ca, boleh enggak Re minta sesuatu?”

“Apa, Rei?”

“Caca tunggu Re datang ke rumah ya, ketemu sama bapak ibu kamu. Tapi, sementara itu, Caca jangan terima cinta dari lelaki lain dulu. Boleh kan, Rei minta begitu?”

Bagi Caca, gadis baik-baik yang selama hidupnya tidak pernah berpacaran, permintaan Rei adalah hal yang bombastis, sanggup menggetarkan jiwa raganya. Dia terduduk lemas di tepi ranjang. 

“Gimana Re bisa yakin, kalo kita jodoh?” tanya Caca, hatinya menghangat tetapi juga diliputi keraguan. 

Belum pernah bertemu, bagaimana Re bisa bilang kalau mereka berjodoh? begitu pikir Caca dalam hati. 

Gadis itu mau saja percaya sepenuhnya kepada Re. Hanya saja, setiap kali dia bercerita tentang Re, kebanyakan tidak percaya pria itu ‘normal’. Apa lagi keluarganya.  

“Apa iya, kalau dia pria normal, bisa mengatakan cinta ke orang yang belum pernah dia temui sebelumnya? Pasti Re itu ada cacat, atau memang pria tua kesepian yang mencari mangsa untuk dia jadikan pelampias nafsu birahi.” Begitu kata mama Caca. 

Apa lagi, keluarga Caca termasuk keluarga terpandang, walau ayahnya membiarkan anak-anaknya berusaha sendiri. Kalau berjodoh dengan seorang petani, walau cerdas, rasanya, ayah Caca tidak memasukkan kriteria itu sebagai calon pendamping anaknya.  

Obrolan itu berlanjut, di seberang sana, Rei, menjawab dengan segenap memantapkan hati juga kalau Caca pilihan hatinya. “Rei, yakin. Sejak pertama kali kita kenalan, Caca baik banget.” Kata pria itu, percaya diri. 

“Masa, si, Rei? Di kampung memang enggak ada cewek yang disuka? Kan enak tuh, Re enggak perlu jauh-jauh mikirin Caca ada di Jakarta. Juga enggak perlu susulin ke sini.” Pancing Caca. “Ongkosnya mahal,” tambahnya lagi. 

Sekilas, Caca hanya berpikir kasihan, kalau Re harus menghabiskan ongkos ke Jakarta. Petani, pasti kehidupannya pun pas-pas-an. 

“Enggak ada yang Re suka. Cinta Re, buat Caca. Kita kan pernah tukaran foto, Re langsung jatuh cinta.”

Sukses membuat gadis itu tersipu malu. Hatinya mengembang, ringan. 

 “Rei, pinter banget ngerayu,” ucap Caca, sambil menundukkan kepala, bergerak serba salah. 

“Enggak merayu. Rei ngomong beneran, jujur dari hati yang paling dalam.”

“Apa iya, Re, kita berjodoh? Kita belum pernah ketemu. Kenalan aja ngacak nomor telepon, Rei. untung-untungan. Untung ketemunya sama Rei, bukan lelaki mesum atau jahat.”

“Caca, kan sholat, masa iya enggak percaya jodoh di tangan Tuhan? Ini cara Tuhan mempertemukan kita, Ca.”

Gadis itu hanya berasumsi, apa yang dikatakan Re itu benar. Dia hanya manggut-manngut terdiam sejenak. Hening. Hingga pria itu memanggilnya. 

“Caca tidur ya?” 

“Eng, enggak, kok, Re.”

“Pasti mau siap-siap kerja, ya?”

“Iya, Re. Caca putus ya, teleponnya.” Pamitnya.

“Iya, Ca. Sampai nanti lagi ya, kabarin kalo udah sampe kantor.”

“Iya, Re. Makasih,” balas Caca. 

Gadis itu menghela napas, menatap ponselnya yang sekarang dia letakkan di atas nakas. Sesaat perasaannya bahagia, Rei menyatakan perasaannya tadi. Walau bagaimana juga, gadis semampai itu berjanji akan menunggu kekasih hatinya. 

Dalam angannya selalu ada Re. Pandangannya beralih ke bingkai kecil yang ada di nakas. Foto Rei, yang sedang memakai celana hitam, kaus putih dan topi caping, khas petani. Hasil bertukar foto beberapa waktu lalu.  

Mukanya, bolehlah. Gadis itu tak karuan hatinya, tersenyum, gemas. Hatinya tergores nama Re sekarang. Tinggi juga, terus, dia rajin sholat. Apa lagi yang dicari dari Re? gumamnya sendiri. Mungkin nanti tinggal bilang sama ayah. Eh, tapi, kapan Re ke rumahnya? batinnya berdiskusi. Kenapa tadi enggak tanya, ya? Nanti aja, ngomongnya, deh. 

Sebelum berangkat dan melakukan aktivitas lain. Keluarga Hadipranoto, berkumpul bersama di meja makan, sarapan. Ruangan ini hanya ramai oleh para penghuni rumah hanya sarapan dan makan malam. 

Venca Hadipranoto atau Caca, sudah ada di kursi tempat dia duduk di meja persegi panjang itu. nasi kuning langganan Mpok Dewi, adalah menu favoritnya. Disusul kakak pertamanya, Rani yang tergesa, hanya mengambil selembar roti tawar lalu menjejal mulutnya, sambil berjalan keluar.

“Eh, Kak!” panggil Caca, “bareng!”

Kakaknya itu menghentikan langkah, menoleh ke belakang. “Buruan!”

Lalu ada adik paling kecil, masih kuliah di tingkat akhir. Raden Hadipranoto. 

“Kak, gue juga!”

Muncul Ibu tetiba dari dapur. 

“Astaga, kalian ini. Kenapa semua cepat-cepat?!”

Ketiga anak itu urung melangkah. Menghambur ke arah wanita lima puluhan, hanya untuk salam takzim.  

“Eh, eh, pelan-pelan!” Rasanya ibu itu kewalahan menahan anak-anak yang terlalu antusias. Sementara, tubuhnya sudah terlalu tua, hingga limbung, lalu terduduk di kursi meja makan. 

“Pergi dulu, Bu!” pekik Raden yang terakhir kali keluar melangkah ke garasi mobil. 

Wanita itu sudah tidak mampu menjawab lagi. Hanya menangguk. 

“Assalamualaikum!” Itu ayah, kepala keluarga ini. Dicium kening istrinya itu.

“Anak-anak udah pergi semua, Bu?”

“Sudah, Pak.”

“Jangan lupa lho, Bu, rencana menjodohkan anak kita. Adikku itu sudah bertanya, kapan mereka akan saling bertemu.”

“Oh, yang sama teman semasa kecil itu ya? Waktu di kampung dulu?” tanya Ibu dengan suara lembut. 

“Nah, kau ingat itu, ‘kan?”

“Iya, aku ingat, Mas. Nanti sore kalau Caca pulang, aku akan ajak ke rumah Dik Amir.”

Ayah, meminum kopinya di cangkir, lalu menaruhnya lagi di meja makan yang terbuat dari trembesi itu.  Melirik arloji di pergelangan kirinya. “Saya berangkat dulu, Bu.”

Lelaki setengah abad itu mencium kening istrinya sekali lagi. “Hati-hati di jalan, Mas.”

“Pasti,” jawabnya sambil mengerling.

“Ih, centil!” 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
riwidy
kerennn smoga complicatednya ga bikin puyeng yeah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status