Share

Membatalkan Perjanjian

Dean mengerutkan wajahnya mendengar ucapan itu. Dipercepat? Haha, mimpikah? Atau ... ada hal yang ingin Kanayya lakukan makanya dia menginginkan perpisahan secepatnya?

"Kenapa? Kau menginginkan perceraian dengan cepat agar bisa menikah dengan satpam itu?" tanyanya datar membuat Kannaya mengerutkan dahinya tak paham.

"Satpam? Satpam mana, Mas?" tanyanya membuat Dean mendengus.

Pria itu melipat tangannya di dada. "Pura-pura polos, ya?"

Kannaya menghela napas. "Aku benar-benar tidak tahu siapa, Mas. Kamu mungkin bisa katakan siapa, agar aku bisa ingat siapa yang kamu maksud," ujarnya pelan membuat Dean menarik napas dalam-dalam.

Dia menatap wajah Kannaya yang tampak benar-benar sungguhan. Seolah dia benar-benar tidak tahu siapa yang Dean maksudkan. Namun, itu malah bagus. Artinya pria itu tidak ada didalam hati gadis ini.

"Kembali ke pembahasan awal soal perceraian. Sepertinya aku mau mengubah surat kesepakatan," ujarnya datar membuat Kannaya menaikkan alisnya.

"Bagaimana, Mas?"

"Seperti yang tercatat di poin satu, aku sebagai pihak pertama bebas mau mengubah isi perjanjian. Aku tidak akan menjatuhkan perceraian setelah empat belas bulan. Aku ingin menjadikan kamu sebagai milikku sendiri. Kamu tidak bisa membantah atau harus menambah ganti rugi," ucap Dean santai membuat Kannaya membulatkan mata.

"Kenapa? Maksudnya, kenapa peraturannya berubah tiba-tiba? Ini tidak sesuai kesepakatan, Mas," ujarnya tak terima membuat Dean tersenyum santai.

"Ya, aku tahu. Namun, setelah kupikirkan. Kamu hanya anak yatim piatu, tidak punya orang tua lagi, tidak ada tujuan hidup lagi. Jadi, jika bersamaku maka kamu juga tidak akan menyesal, 'kan?"

Kannaya berkedip beberapa kali. "Mas ... aku masih punya tujuan dan keinginan sendiri. Kenapa harus dengan kamu? Aku juga bisa mencari jalan hidup sendiri kalau sudah bercerai dan lulus nantinya. Kita menikah tanpa cinta, kenapa kamu mau hidup denganku yang bahkan tak membawa manfaat apapun padamu?" tanyanya tak terima membuat Dean tersenyum.

"Aku tidak peduli mau kamu terima atau tidak. Intinya aku sudah memutuskan dan aku tidak akan pernah kata-kataku yang ini." Dean bangkit, melangkah ke dekatnya dan berdiri di hadapan Kannaya sebelum menunduk dan mendekati wajah gadis itu. "Aku sudah membuat keputusan, apapun yang akan kamu lakukan kedepannya maka semuanya atas persetujuan dariku. Aku suamimu, kamu ingat, 'kan?"

Tubuh Kannaya merinding mendengar suara suaminya yang terasa begitu mengintimidasi. Dia mendongak, menatap wajah Dean hingga tatapan mereka beradu.

"Mas ... kenapa jadi begini? Atas dasar apa sampai harus begini?" tanyanya tak paham dengan matanya yang tampak mulai tertekan dan sedih. "Mau sampai kapan aku harus menjadi istri Mas? Ah, istri berkedok pelayan Mas? Aku juga punya cita-cita, aku ingin mewujudkannya setelah lulus kuliah. Bagaimana bisa Mas malah menahanku begini?" tanyanya dengan air matanya yang mulai jatuh.

Apakah karena tadi malam makanya Dean mulai bersikap seenaknya begini? Namun, kenapa harus menyulitkannya? Bukankah Kannaya juga tak meminta pertanggungjawabannya? Kenapa Dean malah menginginkannya lebih lama menjadi seorang istri?

"Cita-citamu bisa kamu lanjutkan dengan tetap bersama denganku, aku tidak akan melarang. Satu hal yang tak bisa kamu lakukan, yaitu membantah ucapanku." Dean berkata dengan wajahnya yang santai dan menegakkan tubuhnya.

Kannaya menyeka air matanya sendiri dan ikut bangkit hingga tubuhnya dan Dean tak berjarak dan dia menatap wajah suaminya itu.

"Mas ..." panggilnya membuat Dean menaikkan alisnya. "Kamu sadar dengan apa yang terjadi tadi malam?"

Deg!

Dean sudah senang saat Kannaya tak mengungkit kejadian malam tadi hanya untuk membuat kalau niatannya ingin melakukan semua ini tercium. Hanya saja, Kannaya malah mengungkitnya dan itu dengan tatapan yang masih berkaca-kaca dan menangis.

"Aku tidak minta pertanggungjawaban, sama sekali tidak. Aku bahkan tidak berani, Mas. Aku mohon jangan mempersulit dirimu sendiri. Kamu tidak mencintaiku, begitupun aku. Kejadian tadi malam lupakan saja, fokus pada satu hal yang akan kita lakukan kedepannya. Kurang lebih setahun lagi kita akan bercerai dan hidup masing-masing. Tidak ada yang harus diubah, aku tidak bisa-"

"Sayangnya aku juga tidak bisa!" Dean berkata seraya memegang lengan Kannaya dan menatap wajah cantik gadisnya itu dengan tatapan dalam hingga Kannaya menelan ludah dengan wajahnya yang tampak mulai takut. "Aku tidak bisa, Kannaya. Perasaanku rumit, kalau kukatakan padamu juga akan sia-sia dan sulit. Jadi, aku hanya ingin menjalaninya saja dan memahami perasaanku. Kamu tidak bisa menolak atau aku tidak akan segan."

Kannaya tampak menarik napasnya dengan air matanya yang lolos lagi dari kelopak mata. "Mas ..."

"Ssttt ..." Dean berdesis dengan wajahnya yang hangat dan lembut. "Biarkan aku memahami perasaanku dulu. Aku akan berangkat bekerja, kuantar kamu ke kampus."

"Tidak." Kannaya menggeleng lalu memalingkan wajahnya. "Aku ... aku ada pekerjaan lain yang harus diselesaikan, masih harus ke fotocopy untuk memprint tugas semalam. Kamu berangkat duluan saja, aku akan naik sepeda listrik saja," ujarnya menahan air matanya sendiri, juga menahan isakannya.

Entah kenapa, ucapan Dean sakit sekali saat didengar. Kannaya sungguhan tak mau ada disini, diposisi ini, menjadi istri dari pria misterius, dingin dan angkuh dari Dean yang selama ini selalu kasar dan bersikap tegas. Kannaya sungguhan tidak mau, dia benar-benar tak sanggup bila membayangkannya.

"Baiklah, aku pergi dulu." Dean berkata seraya melepaskan tangannya dari Kannaya. "Semua yang kau butuhkan bisa gunakan kartu yang kuberikan."

Dean melangkah pergi usai bicara, sengaja meninggalkan Kannaya dan tak memaksanya karena hanya akan membuat perasaan keduanya berantakan bila dipaksakan. Dia ingin menggali perasaannya sendiri, tentang apa sebenarnya yang dia rasakan pada Kannaya. Juga dia ingin membiarkan Kannaya menjernihkan hatinya sendiri dan mau menerima ini semua.

"Halo? Ya, temui aku di kantor. Ada yang harus kau lakukan."

"Baik, Tuan."

Dean melangkah ke arah lift, masuk dan menyandar di sana usai menekan tombol untuk ke lantai bawah.

"Selama tiga bulan dia sudah membuatku begini. Dua bulan ... bagaimana dengan dua belas bulan lagi? Aku tak mau menyesal, selama ini dekat dengan wanita juga aku merasa malas. Jika dia memang benar-benar gadis yang tepat, apa salahnya?" gumamnya seraya memejamkan mata.

Kedua orang tuanya sudah begitu tua, mereka hanya mengerjakan apa yang mereka sukai dan membebaskan Dean yang berubah drastis akibat kematian kakaknya untuk melakukan apapun. Dean tak mudah dekat dengan orang lain tapi saat bersama Kannaya dan pertama kali melihat wajah gadis itu, dia tak merasa ada yang salah dengannya hingga bahkan mengikatnya dengan pernikahan padahal hanya untuk ganti rugi sebuah jasnya yang robek.

"Berpikir lagi ... dia pastinya bukan gadis biasa. Aku tidak merasa ada yang salah dengannya hingga bisa melakukan semua itu. Kau harus benar-benar memahami perasaanmu, Dean, sebelum terlambat dan kehilangannya."

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ta Ta
Agak menegangkan ...
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status