Seorang gadis sedang duduk melamun di pojok sebuah kafe. Dia merenungi kejadian tadi siang saat sang kekasih mengajak bertemu dengan kedua orang tuanya. Begitu jelas penolakan yang dilakukan oleh calon mertuanya tersebut. Mungkin karena dia bukan dari keluarga kaya sehingga membuat mereka merendahkan dirinya. Hal itu membuat Andira 𝘪𝘯𝘴𝘦𝘤𝘶𝘳𝘦 pada dirinya sendiri.
Siang hari. “Memang apa yang gadis ini miliki sehingga pantas bersanding dengan kamu, Rand?” tanya seorang wanita yang berpenampilan elegan di depan Andira. “Mama bicara apa, sih? Andira memang bukan dari kalangan keluarga kaya, tetapi dia adalah wanita yang Randi cintai, Ma.” Randi berusaha membela sangat kekasih yang saat ini hanya diam menundukkan kepalanya. Dia tahu kalau gadis di sebelahnya itu pasti sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. “Mama tidak akan pernah merestui kalian berdua, begitupun dengan papamu.” Wanita itu berdiri dan mengajak sang suami pergi meninggalkan Restoran. "Ma, jangan seperti itu. Mama belum mengenal Andira, dia gadis yang baik." Randi berusaha meyakinkan orang tuanya. Dia menahan lengan sang mama. "Mama bilang tidak ya, tidak, Randi. Keputusan Mama sudah bulat, jangan pernah bawa perempuan itu lagi menemui mama." Perempuan paruh baya berpenampilan glamour itu menghempaskan tangan sang putra yang masih memegang lengannya. "Tapi, Ma—." Randi tidak ingin menyerah dengan mudah. Cintanya sudah tertambat sejak lama pada Andira, tidak mungkin dia bisa melepaskan gadis itu. "Sudah, Randi. Dengarkan perkataan Mamamu. Perempuan itu tidak sebanding dengan keluarga kita." Sang papa menghalangi putranya saat akan mengejar sang istri. Pria paruh baya itu kemudian meninggalkan Randi tanpa menoleh lagi pada putra sulungnya itu. Randi hanya bisa menatap kepergian kedua irang tuanya tanpa bisa membela sang kekasih lagi. Sepertinya hubungan mereka akan sangat sulit tanpa persetujuan dari kedua orang tuanya. "Sudah, Ran. Mungkin benar kata orang tuamu kalau aku ini memang tidak pantas dan tidak sebanding dengan kamu. Aku menyadari itu," ujar Andira setelah dia berjalan mendekati sang kekasih. Dia sedih, tentu saja, lelaki yang sangat dia cintai tidak akan mungkin bisa menjadi pendampingnya jika kedua orang tuang tidak merestui hubungan mereka. Andira sadar diri kalau dia bukanlah siapa-siapa. Tanpa sadar, air mata menetes dari kedua sudut mata, gadis cantik itu tidak bisa lagi membendung kesedihan yang dia rasakan saat ini. "Jangan menangis." Randi mengusap air mata yang membasahi pipi gadis yang sangat dicintainya itu. Dia memeluk tubuh Andira yang bergetar karena tangisnya. "Aku janji akan berusaha meyakinkan Papa dan Mama agar bisa menerimamu," lanjutnya. Sementara itu di tempat lain. "Tuan, waktunya bangun. Kalau tidak, kita bisa terlambat ke kantor." ucap sang asisten, setelah memastikan Bosnya bangun dia pun keluar dari kamar sang Bos. Edgar yang masih terpejam pun mengerjapkan mata dan mulai bangun menuruni ranjang untuk berjalan menuju kamar mandi. Setelah rapi dia keluar kamar dan berjalan menuruni anak tangga menuju meja makan. Di sana Aldi sang asisten tengah menunggu kedatangannya. "Aldi … kamu duduk, temani saya sarapan." ucap Edgar. Aldi pun menurut dan duduk di seberang Bosnya. Mereka makan dalam keheningan, hanya denting sendok yang terdengar. Selesai sarapan Edgar beranjak berdiri dan berjalan keluar rumah diikuti sang asisten. Aldi berjalan mendahului Edgar untuk membukakan pintu mobil, setelah sang Bos masuk dan duduk di kursi penumpang, Aldi pun mulai masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi. Aldi mulai menyalakan mesin dan menginjak pedal gas untuk mengendarai mobil itu keluar dari pagar rumah mewah milik sang Bos. Mobil yang mereka tumpangi pun mulai memecah jalanan Ibukota, 30 menit berlalu mereka telah sampai di depan perusahaan E-Commerce nomor satu di negeri ini. Perusahaan yang Edgar rintis sendiri dari nol yang kini telah berkembang pesat sesuai perkembangan peminat pengguna internet. Aldi membukakan pintu dan Edgar pun keluar dari dalam mobil, lalu berjalan masuk ke dalam perusahaan diikuti oleh Aldi. Mereka memasuki lift, Aldi menekan tombol naik ke lantai 15 menuju ruangan sang Bos. Lift pun terbuka, mereka keluar dan berjalan memasuki ruangannya. "Aldi, apa saja jadwal saya hari ini?" tanya Edgar pada sang asisten. "Hari ini kita ada pertemuan dengan Investor, Tuan," jawab Aldi. "Baiklah, kau boleh kembali bekerja," ujarnya. "Baik, Tuan, saya permisi." pamitnya. Setelah asistennya keluar, Edgar mulai berkutat dengan laptop di meja kerjanya dan tumpukan dokumen yang harus ditandatangani olehnya. Cukup lama dia berkutat dengan laptopnya, hingga waktu menunjukkan saatnya jam makan siang. Lelaki itu menutup laptopnya dan keluar dari ruangannya, dia memasuki lift dan menekan tombol untuk turun ke lantai dasar. Sampai di lantai dasar Edgar keluar dari lift berjalan menuju tempat parkir mobil. Lelaki itu masuk ke dalam mobil dan mulai mengendarainya keluar dari perusahaan, 15 menit berkendara dia sampai pada sebuah kafe yang akhir-akhir ini menjadi tempat makan siang favoritnya. Edgar keluar dari mobilnya dan berjalan masuk ke dalam kafe tersebut sembari matanya mengamati sekitar mencari sosok wanita yang telah mengganggu pikirannya. Dia duduk di salah satu kursi sambil menunggu pelayan menghampirinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba karena wanita yang ia cari sedang berjalan ke arahnya. "Apa yang ingin Anda pesan, Tuan?" tanya pelayan wanita itu yang tak lain adalah Andira, wanita yang telah merebut hatinya. "Seperti biasa Dira, nasi bakar seafood dan orange juice," jawab Edgar tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah cantik Andira. "Baiklah, ada lagi yang ingin Anda pesan, Tuan?" "Ya, senyummu, aku ingin melihat senyummu itu setiap saat." jawab Edgar mulai mengeluarkan kata-kata manisnya. "Maaf, Tuan …." Belum sempat Andira melanjutkan kalimatnya, Edgar sudah memotong ucapannya. "Ayolah, Andira. Jangan memanggilku dengan sebutan, Tuan, lagi. Lupakan yang kukatakan tadi, jam berapa kau pulang kerja nanti? aku akan menjemputmu." tanyanya pada Andira. "Maaf, tapi itu tidak perlu, Tuan. Saya bisa pulang sendiri." Tanpa menunggu jawaban dari Edgar, Andira berbalik dan segera pergi menuju dapur untuk menyiapkan pesanan lelaki itu. Sementara itu Edgar memandangi punggung Andira hingga tubuhnya menghilang di balik tembok. Tak berselang lama Andira keluar dari pintu dapur dengan membawa nampan berisi pesanan yang diinginkan lelaki bertubuh tinggi itu. Gadis itu berjalan menuju meja Edgar berada, dia meletakkan makanan dan minuman di meja yang ditempati lelaki itu. "Selamat menikmati, Tuan." Tanpa menunggu jawaban dari lelaki itu dia segera pergi meninggalkan meja tersebut. Edgar hanya tersenyum melihat kekesalan Andira. Kemudian dia mulai memakan makanan yang ia pesan. Ponselnya berdering, menandakan ada telepon masuk. Edgar mengambil ponsel dari saku celana dan menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan tersebut. ["Hallo,"] jawab Edgar. ["Tuan, sebentar lagi kita akan menemui Investor. Kapan Anda kembali ke kantor? Dan Tuan besar akan datang juga,"] ucap sang asisten dari seberang panggilan. Raut ketidaknyamanan terpancar jelas di wajah lelaki tampan tersebut. ["Iya, aku kembali ke kantor sekarang."] Lelaki itu pun segera menyelesaikan makan siangnya, dia berjalan menuju kasir untuk membayar. Edgar berjalan keluar kafe ke tempat di mana mobilnya terparkir, lalu dia mulai mengendarai mobilnya meninggalkan kafe untuk kembali ke kantornya. Lima belas menit kemudian dia telah sampai di depan kantor, telah ada Aldi sang asisten yang menunggunya di pintu masuk, Edgar keluar dari mobil dan berpindah ke kursi belakang. Aldi masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi pengemudi, dia mulai menginjak pedal gas mengendarainya menuju tempat mereka melakukan janji dengan investor. Empat puluh menit berlalu mereka telah sampai di sebuah restoran. Edgar turun dari mobil dan berjalan memasuki restoran tersebut diikuti Aldi, dia diarahkan ke ruang VVIP restoran oleh seorang pelayan. Edgar duduk di tempat yang telah disediakan sembari menunggu Investor datang, tak berselang lama Investor itu pun datang, mereka mulai membahas rencana bisnis yang akan mereka sepakati. Hingga kesepakatan telah ditandatangani. "Terima kasih, Pak Adam atas kerjasama Anda," ucap Edgar sambil menjabat tangan rekan bisnisnya. "Saya juga berterima kasih atas kerjasama ini Pak Edgar, kalau begitu kami permisi dulu, Pak." ucap Pak Adam. Tak berselang lama, dari pintu masuk tampak seorang lelaki paruh baya sedang berjalan menuju kearah mereka. Edgar hanya menatap lelaki itu dengan ekspresi datar, dia tidak menyangka kalau papanya akan ikut campur dengan urusan bisnisnya. Sementara ditempat lain Andira sedang bersiap-siap untuk pulang karena jam kerjanya telah selesai. Dia berjalan keluar dari kafe dan menyusuri trotoar untuk menuju halte bus. Akan tetapi, perhatiannya teralihkan oleh sebuah mobil BMW hitam yang tiba-tiba berhenti di depannya.Edgar berlari menuju meja resepsionis. Lelaki itu terburu-buru menuju rumah sakit saat mendengar kabar Andira pingsan. “Sus, pasien atas nama Andira Hutama ada di mana?” tanya lelaki yang memiliki bibir tipis itu. Dia masih berusaha mengatur napas yang masih memburu setelah berlari. “Tunggu sebentar, Pak.” Suster melihat layar monitor di hadapannya. “Nyonya Andira Hutama masih di ruang IGD, Pak. Silakan lewat sebelah sana,” jelasnya menunjuk ke lorong yang terhubung dengan IGD. Edgar berlari melewati lorong tersebut menuju ke ruang IGD. Dia membuka satu persatu tirai mencari keberadaan sang istri. Saat melihat istrinya terbaring lemah, hatinya terasa sakit. Lelaki itu belum pernah melihat sang istri dalam keadaan selemah itu. Dia berjalan menghampiri wanita yang dicintainya. “Sayang ….” Tanpa terasa air mata menetes di pipi lelaki berambut hitam itu. Edgar menoleh pada asisten rumah tangganya yang saat ini berada di samping brankar sang istri. “Apa yang terjadi, Bi?”
Keesokan paginya, Edgar terbangun saat merasakan sentuhan di pipinya. Dia perlahan membuka mata, melihat sang istri menatapnya dengan raut khawatir tampak jelas di wajahnya. “Sudah bangun, Sayang. Apa yang kamu rasakan sekarang? Apa perlu memanggil dokter?” tanya Andira beruntun. Dia takut kalau sang suami masih merasa tidak nyaman pada tubuhnya. Edgar tersenyum melihat kekhawatiran sang istri. Dia tidak menyangka kalau wanita yang sempat membencinya ini bisa sekhawatir itu padanya. “Aku baik-baik saja, Sayang. Jangan terlalu khawatir, suamimu ini sangat kuat. Lihatlah otot yang melekat di perutku ini.” Edgar menarik tangan Andira dan menempelkan di bagian bawah perutnya. Andira membulatkan mata dengan kejahilan sang suami. Bagaimana bisa lelaki di depannya sesantai itu setelah apa yang dialaminya semalam. Andira mencubit otot liat di perut suaminya itu, dia kesal melihat tingkah kekanakan suaminya. Namun, tetap saja wanita cantik itu tidak bisa mengabaikan lelaki di
“Tuan, para tamu undangan sudah datang. Mereka sedang mencari Anda di luar,” ucap pria bertubuh ceking itu. Pria itu tak lain adalah asisten Roni, sebenarnya dari tadi dia sudah memperhatikan apa yang dilakukan atasannya itu. Akan tetapi, ragu untuk menghentikan tindakan mesum atasannya itu. Namun, saat dia melihat pria bertubuh tambun itu mulai melancarkan aksinya, hati kecilnya menjerit dan menuntunnya untuk menghentikan kelakuan mesum atasannya itu. “Sialan! Mereka mengganggu kesenanganku saja.” Roni menoleh ke arah Cindy. “Tunggu aku cantik, kita akan bersenang-senang nanti,” ucap pria itu sebelum dia pergi meninggalkan wanita cantik di depannya. Roni masih sempat mencuri ciuman di bibir wanita cantik di depannya. Cindy mengepalkan tangan, dia jijik karena sudah disentuh pria tua seperti Roni. Dia sama sekali tidak tertarik dengan pria tua bertubuh gemuk seperti pria mesum itu. Wanita bergidik ngeri membayangkan jika dirinya harus berhubungan intim dengan pria itu. Wani
Satu jam sebelum pesta dimulai. Terlihat seorang wanita cantik mengenakan gaun berwarna merah, berjalan masuk ke sebuah rumah mewah di Taman Indah Kapuk daerah Cengkareng, Jakarta Barat. Tempat itu memang terkenal dengan hiburan malamnya yang populer karena terletak di pesisir pantai. Banyak wisatawan yang mengunjungi tempat itu hanya untuk bisa menikmati suasana keindahan langit malam. Akan tetapi, niatnya kali ini bukanlah untuk menikmati keindahan malam di tempat itu, melainkan untuk menjalankan rencana yang sudah disusun dengan matang. Sayangnya, wanita itu tidak menyadari bahwa selama ini gerak-geriknya sudah diawasi. Wanita itu berjalan masuk ke dalam rumah mewah itu tanpa menimbulkan kecurigaan bagi orang-orang yang berlalu-lalang di sana. Dia menghampiri seorang pelayanan yang sedang sendirian dan sibuk meletakkan gelas di meja. “Maaf, apa kami bisa membantuku?” tanya wanita berambut pendek sebahu itu. Dia mengeluarkan sebuah amplop coklat tebal dari dalam tas
“Aldi, bereskan semua kekacauan ini. Jangan biarkan seorang pun tahu masalah ini,” perintah Edgar pada asistennya. Aldi meminta para pengawal membawa pria yang sudah babak belur di lantai ke markas mereka. Dia yakin ini adalah ulah seseorang yang sengaja ingin merusak reputasi istri atasannya. Hanya satu orang yang saat ini Aldi curigai. “Saya permisi dulu, Tuan. Kami akan menunggu Anda di luar.” Aldi menundukkan badan, kemudian keluar dari tempat itu. “Sayang, ini aku. Buka matamu.” Edgar perlahan menurunkan tangan sang istri dari wajahnya. Dia melihat sang istri masih ketakutan dengan tubuh yang bergetar. Dia tidak akan melepaskan siapa pun yang sudah mengganggu sang istri. Bukan Edgar namanya jika dia tidak bisa menemukan pelaku utama yang mendalangi semua ini. Perlahan Andira membuka mata, melihat sang suami berada di hadapannya. Sontak wanita cantik itu langsung memeluk lelaki di hadapannya. Dia menangis tersedu di pelukan sang suami. “Ede, maaf. Pria jahat itu—,
Edgar baru saja memasuki sebuah rumah mewah milik Roni Ankara, pemilik Ankara group. Pesta itu diadakan di rumah utama pemilik Ankara group itu. Pesta itu bernuansa outdoor, terletak di taman samping rumah mewah bergaya Eropa. Tampak sudah banyak para tamu undangan yang datang. Roni berjalan menghampiri Edgar yang terlihat baru datang bersama seorang wanita cantik dan asistennya. Lelaki bertubuh tambun itu terpana melihat kecantikan Andira. “Selamat datang Tuan Edgar. Rupanya Anda yang dikenal tidak pernah menjalin hubungan dengan seorang wanita, tiba-tiba bisa tertarik dengan wanita cantik ini.” Roni menjabat tangan Edgar, kemudian beralih pada Andira. Namun, saat tangannya berusaha menyentuh tangan Andira, Edgar buru-buru menepisnya. “Maaf, Tuan Roni. Wanita cantik ini adalah istri saya,” ucap Edgar singkat. Dia melingkarkan lengannya di pinggang Andira, ingin menunjukkan pada semua orang bahwa dirinya sudah memiliki istri. Semua itu dia lakukan agar para rekan bisnisn