Ingin sekali dia berteriak ataupun meronta.
Namun, dia tak melakukannya. Dia tahu usaha dan tenaganya akan sia-sia jika dia menuruti ego. Dia berusaha keras berpikir sambil matanya berkeliling seluruh ruangan. Ruangan dengan hiasan gaya eropa dengan lampu gantung kristal dimana-mana. Ruangan yang sangat luas dengan beberapa pengawal dan pelayan bersiap menerima perintah tuannya. “Wah, bagaimana kalau begini? Bagaimana caranya aku bisa kabur dari orang gila ini. Sepertinya dia benar-benar bukan orang biasa. Apa dia benar-benar seorang Miliarder atau Raja seperti pikiranku tadi?” Maureen sedikit gugup dengan pikirannya. Dia mulai ragu, apa benar dengan pikirannya tadi. "Semua sudah kau siapkan, Berto?" ucap Max menyapa salah seorang dengan pakaian koki. Mungkin dia kepala koki di rumah itu, pikiran Maureen berkeliaran kembali sambil melirik orang yang dipanggil Berto tadi. "Sudah, Tuan! Silahkan!" dia berkata sambil menunjukkan semua permintaan tuannya beberapa menit lalu saat dia ditelpon oleh Martin. Max hanya menganggukan kepalanya. Dia tak mengucapkan sepatah katapun lagi. Tanpa disadari oleh Maureen, Max sudah membawa dan terus memangku tubuhnya. "Kau mau makan yang mana dulu?" dia berkata dengan sangat lembut. Seolah berbisik di telinga Maureen membuatnya mendadak merinding. Getaran itu sedikit tidak biasa. Dan membuatnya sedikit tidak nyaman. "Em, apa sih?" dia bergidik. Mengangkat bahunya. "Ini makan malammu. Kau mau memakan yang mana dulu?" tanya Max kembali, segurat senyuman muncul dari wajahnya saat dia melihat Maureen bergidik. “Dia, benar-benar lucu dan menggemaskan! Apalagi pipi chubby yang seperti bakpao.” Batin Max. "Sudah aku bilang, aku tidak lapar!" sahutnya semasih ketus. "Kalau kau tidak makan, aku yang akan memakam mu lagi. Aku masih belum kenyang dan puas! Dan sesuai perkataanku tadi, kau harus men serviceku hingga puas!" kalimat yang masih membuatnya merinding. Dia bahkan tak menyangka akan mendapatkan ancaman tak terduga lagi dari Max. "Hah, enak saja. Kau pria gila! Kau anggap aku apa? Sudah seenaknya merebutnya, sekarang mau tambah. Memangnya aku restoran!” jawab Maureen ketus. Bibirnya terus berkerucut tanpa henti. "Ya sudah, kalau begitu cepat makan!" sahutnya singkat. Namun, tangannya bergentayangan kemanapun. "Ah, geli tau!" pekik Maureen saat tangan Max menggerayangi pahanya yang masih tak berkain segitiga. "Makanya cepat makan, kalau tidak aku tak segan-segan akan membuatnya basah lagi disini!" Maureen memalingkan wajah menatap Max yang menunjukkan senyum smirk di wajah tampannya itu. "Aku akan patahkan tanganmu kalau kau berani menyentuhku lagi!" ancam Maureen membuat tawa besar dari mulut Max memenuhi isi ruangan. Para pengawal, pelayan dan juga Martin langsung bergidik ngeri saat mendengar tawa tuannya. Mereka tidak pernah sekalipun mendengar tuannya bisa tertawa lepas seperti itu. Maureen menancapkan garpu pada daging yang sudah dipotong-potong kecil, dan dia memasukkan kedalam mulutnya sambil menatap wajahnya Max penuh dengan kemarahan. "Kau puas, aku sudah makan! Lihat jelas dengan matamu itu!" Maureen mendelikkan matanya dengan penuh dendam dengan saus yang belepotan di pinggir bibirnya. "Uhm, apa kau sedang menggodaku?" Max menarik wajah gadis itu agar bertatapan langsung lebih dekat dengannya. "Cih, mana sudi aku menggodamu. Kau memang tampan, tapi tidak setampan Nick pujaanku!" Maureen berkata dengan terus terang. Dia masih mengunyah makanannya saat Max mencengkam wajah dengan kasar. Apalagi saat mendengar Maureen menyebutkan nama laki-laki lain di hadapannya. "Kau!" "Apa kau, kau? Kau, pikir aku takut denganmu, hah!" gadis itu tak mau kalah masalah persaingan adu mulut dengan siapapun. Meski dia selalu dicap pendiam dan penurut oleh keluarga. Jika, dia ditindas seperti ini, Maureen pun akan melawan. Dia merasa sudah belajar cukup untuk membalas ketika seseorang mulai menindas atau menyakitinya. Dia juga harus menjadi lebih kuat. Apalagi bayangan yang terlintas di pelupuk mata, ibunya masih terbaring dengan sangat lemah. "Berani sekali kau menyebutkan nama laki-laki lain saat kau berada di atas tubuhku!" cetus Max. Akhirnya dia berang. Dia tidak sabar mengutamakan isi hati yang terpendam. "Argh! Sakit. Lepas!" pekik Maureen. Tangan besar laki-laki itu menambah cengkraman di mulutnya. "Cepat makan! Aku sudah sangat kelaparan denganmu!" Max tidak sampai hati dan melepaskan cengkraman tangannya. Dia, merasa sudah benar-benar tertarik oleh gadis itu. “Sudah tahu kelaparan. Kenapa tidak makan saja. Malah komplain padaku.” Dengus Maureen mencibir di dalam hati. Maureen tak mau mendengarkan lagi ucapan Max. Dia hanya fokus menghabiskan makanannya. Dan, Max menatap wajah gadis itu lekat-lekat sambil sesekali tersenyum dan mencubiti pipi gadis itu. "Jangan ganggu, aku sedang makan!" pekik Maureen kesal dengan laki-laki yang mencoba akrab dengannya. "Uhm!" Max menjadi patuh. Dan menuruti semua ucapan Maureen. Maureen meletakkan sendok dan garpunya. Dia sudah tidak nyaman duduk dalam pangkuan. "Aku sudah selesai makan, bolehkah aku turun," ucapnya, tapi Maureen sangat hati-hati saat menggerakkan tubuhnya. Dia tidak ingin terlampau mengusik sesuatu dibawah sana. Kalau sampai terusik, pasti kacau. "Aku masih sangat ingin seperti tadi!" Max berbisik lirih di telinga. Maureen membalikkan wajah dan tepat saat wajah mereka saling berhadapan. "Arrrggghhh, aku kan tadi bilang. Kalau kau berani menyentuhku lagi, akan kupatahkan tanganmu!" delik Maureen. Matanya membulat dengan lebar saat menatap Max. "Kau lupa ucapanku tadi, aku sudah bilang akan membayarmu double. Jadi, service aku hingga puas, heum!" dia tak mau kalah dengan gadis itu. Apalagi jiwanya mulai kembali membara saat melihat tingkah Maureen yang menurutnya menggemaskan. Maureen bangkit dari pangkuan, dia mendorong kasar tubuh Max. Martin dan semua orang yang menyaksikan membulatkan mata dengan lebar. "Ayolah, Tuan, antarkan aku pulang!" kakinya menghentak di lantai seperti anak kecil yang sedang meminta permen. Maureen terkejut saat Max menggebrak meja dan berdiri. "Ahh, kau benar-benar membuatku gila!" Max yang sudah kembali dihinggapi rasa panasi mengangkat tubuh Maureen. "Berto, siapkan lagi hidangan yang baru dan bawa ke kamarku! Aku akan mandi dulu!" dia membawa tubuh Maureen secara paksa. Walaupun, dia meronta tetap tidak diindahkan oleh Max. "Kau gila, Tuan!" pekiknya saat tubuhnya di turunkan dalam bathtub berukuran besar. Max langsung menyalahkan airnya. Tidak lupa Max meraih sabun dan menuangkan di dalamnya, bahkan aromaterapi sudah dinyalakan membuat pikiran mereka relex. "Temani aku mandi, oke? Aku berjanji hanya menemani!" pintanya tanpa ragu melepaskan semua kembali atribut yang dipakai lalu melemparkan sembarang di lantai. "Ti-tidak! Aku tidak mau! Aku mohon, Tuan! Kau pasti berbohong padaku!" tubuh Maureen bergetar. Dia benar-benar ketakutan. Namun, Max tak memperdulikannya, dia malah melucuti semua pakaian Maureen yang sudah basah tersiram air diatas kepalanya. Dia menarik paksa Maureen agar duduk diantara pangkal pahanya, "Ssstt, diamlah sebentar. Semakin kau banyak bergerak kau sendiri yang akan menanggung akibatnya!" Max menyibakkan rambut dan berbisik penuh penekanan. Kali ini dia benar-benar serius dengan ucapannya. "Sungguh kau benar-benar harus berjanji tidak akan melakukannya lagi. Aku mohon, Tuan!" dia menoleh dan lagi saling bertatapan kembali. "Tergantung usahamu! Jika kau terus menggodaku sambil menunjukkan wajahmu itu, aku pun tidak akan tahan!" goda Max. Dia memang hanya ingin menggoda gadis itu. Max berharap gadis itu mengerti kemauannya dan tak membuatnya semakin marah.“Argh! Ma–maafkan, Aku. Aku tidak bermaksud melarangmu. Tapi, seharusnya kau tidak ingkar janji!”Meski takut-takut Lola memberanikan berbicara pada Martin.Wajahnya tetap ketus, kaku dan dingin.Dia benar-benar terlihat seperti tidak suka dengan ucapan Lola.“Rupanya … seperti ini menggoda seseorang. Menyenangkan juga!” sahut Martin di hati.Namun, tatapannya tetap tidak dapat terbaca oleh Lola.Martin mengambil ponselnya dengan tangan lain dan menaruhnya di meja. Lola terus mengikuti gerakan tangannya.Dia tidak sadar kini lengannya yang sudah dicengkeram oleh Martin.Lola menghela napas karena sudah merasa lega. Dia berpikir, ancaman tadi akan dijalankan oleh Martin.“Nah seperti itu dong. Kau ini laki-laki harus menepati janji. Kalau seperti ini baru bisa dibilang adil. Ini dokumennya,” tanpa ragu Lola menurunkan tas yang sedang berada di bahu kirinya. Memberikan tas tadi yang berisi berkas miliknya.Martin menerima dan meletakkan di meja, dekat ponselnya.Lola menghela napas lag
Perjalanan pulang kali ini mereka tidak memakai heli. Max tidak ingin istrinya kembali muntah akibat mabuk perjalanan.Dia memilih pesawat pribadi yang lebih nyaman dan bisa beristirahat.Max menariknya ke ranjang yang disediakannya dalam pesawat pribadi itu.“Kemarilah!” Max sudah melepaskan ikat pinggang dan mengeluarkan benda bersarang miliknya.Benda itu terlihat sudah mengeras dan tegak sepertinya sudah sangat ingin dimanjakan oleh istrinya.“Max kau yakin ingin melakukannya disini?” Maureen sedikit menoleh kanan dan kiri.Dia hanya takut suaranya nanti terdengar oleh Martin, ada satu pramugari dan dua pilot khusus.“Tenanglah, jika memang Martin mendengar dan menginginkan nya, disana masih ada satu pramugari!” jawabnya tidak peduli, menarik istrinya duduk di pangkuan, sebelum itu Max menurunkan kain penghalang milik istrinya.“Max, apa kau tidak punya malu sama sekali?” meskipun berkata seperti itu, kedua tangan istrinya bertumpu pada bahu dan mulai mengangkat bokongnya.Max sud
“Benarkah, kau tidak sedang membohongiku kan? Aku benar-benar berharap mama bisa selamat. Setelah aku tahu mama begitu menderita saat bercerita tadi, aku sudah memutuskan jangan sampai dia menderita lagi.”“Selama ini aku selalu menerima dan sabar ketika papa, ibu dan kakak tiriku berbuat semaunya. Karena semua alasanku tetap bersabar adalah mamaku.”“Aku terus bertahan dan akhirnya sampai hari ini tiba, aku benar-benar tidak ingin mama ikut menderita lagi. Aku akan melindunginya dengan sangat baik.“Max menatap wajahnya , dia geram mendengar curahan hati istrinya. “Apakah Kau perlu aku membalaskan dendam pada mereka?”Andaikan Max mendapatkan izin, dia tidak akan ragu untuk menghancurkan semua. “Selama mereka tidak menyakiti mama lagi dan mengusikku, aku anggap tidak pernah ada kejadian apapun.”“Apa yang sudah aku alami dulu, Aku akan anggap sebagai suatu pelatihan pertahanan diriku. Kalau bukan mereka melakukan ini semua padaku, mungkin aku yang sekarang tidak ada.”Maureen m
“Baiklah Max, Aku mempercayakan sepenuhnya putriku padamu. Tolong jaga dan jangan buat dia menangis!” pesannya sambil mengusap tangan Max.Perasaan hangat yang tidak pernah Max dapatkan. Dia juga kehilangan kasih sayang orang tua akibat kecelakaan.Dia tumbuh besar dalam pengawasan kakeknya. Lalu kakek nya pun meninggalkan dirinya.Jadi, pesan ini sangatlah berarti.“Ayo, kita makan malam dulu, Tante!” ucap Max mencoba menjadi menantu yang berbakti.“Uhm, sebaiknya Kau juga mulai membiasakan diri untuk mengubah cara memanggilku,” ucap ibu Maureen beranjak dari duduk dan Maureen menggandeng tangannya.Kali ini Max tidak boleh cemburu. Itu adalah ikatan kasih sayang orang tua.Max mengangkat wajahnya, dia tidak menyangka kalau restu itu langsung dia dapatkan.“Ayo, sayang, Aku sudah lapar!” ucap Maureen berbalik, memanggil suaminya yang masih tertegun.“Dia benar-benar jadi bodoh setelah menjadi seorang suami. Dasar laki-laki tidak berguna!” ejek Adolf di hatinya.“Rupanya kalau benar-b
Di depan pintu dua pengawal memberi hormat dan membuka pintu tersebut perlahan.Itu adalah sinar matahari terbenam berwarna oranye saat pintu itu terbuka.Maureen melihat seseorang sedang duduk di kursi memandangi pantai dari beranda kamarnya.Pemandangan asing yang membuat jantungnya tiba-tiba bergetar.Dia perlahan melangkah masuk dan langkah kakinya yang semakin mendekat membuat detak jantungnya kian berdebar.“Apa ini yang Max siapkan? Kejutan? Apa yang sedang direncanakan?”Saat hatinya masih bertanya-tanya, seseorang itu berbalik.Mata kami berhenti sejenak.Ada gelombang yang tidak bisa aku lukiskan.Air mataku tiba-tiba saja mengalir keluar.“Mama ….”Maureen berlari ke pelukan dan menangis dengan kuat.Rasa rindunya, selama bertahun-tahun ini terwujud. Dia masih bisa melihat ibunya berdiri menyambut nya datang.“Mama … Kau sudah sembuh, Ma …”Tangan lembut gadis itu menyapu wajahnya yang tetap cantik meskipun sudah bertambah dengan usia.Air matanya juga tidak bisa dibendung.
"Martin, buang dan bakar rongsokan itu. Benar-benar benda merepotkan. Berani sekali benda itu membuat istriku seperti ini!" Alhasil dari pada dia memarahi istrinya. Dia Lebih baik melimpahkan kesalahan pada heli yang di tumpangi.Melihat wajahnya istrinya sudah pucat, lemas karena muntah terus dia menjadi tidak tega."Hei, Kau gila. Mana ada orang gila sepertimu. Membicarakan membuang heli seperti benar-benar membuang sampah!" Walaupun senang menahan perutnya yang mual akibat perjalanan. Irene tidak ingin juga karena kesalahannya muntah, Max membuang dan membakar heli yang menurut kasat mata nilainya cukup tinggi."Aku tidak peduli. Kita kembali akan menggunakan transportasi lain. Martin akan membakar benda itu setelah kita pergi!" Mata Irene semakin mendelik."Kau gila. Benar-benar kingkong jelek. Dengarkan Aku, sampai Kau berani membakarnya. Aku berani menjamin 100% ... belut listrik-mu itu tidak akan bisa berfungsi dengan baik.”“Aku akan memotong-motongnya dengan gunting lalu