Share

Kakak Licik

last update Last Updated: 2025-06-12 20:52:05

Maureen menarik napasnya perlahan. Dia perlu sedikit bernegosiasi.

"Tu-Tuan, apakah aku boleh pulang setelah ini?”  Maureen  memberanikan diri berkata dengan tubuh dan bibirnya yang terus bergetar.  

Tangan Max masih saja bebas menjamahnya. Masih meremas dua milik Maureen secara lembut dan intens.

“Uhm, aku belum puas denganmu. Bisakah kau tak merusak suasana hatiku!” 

Max berkata sambil menciumi punggung gadis itu.

“Aku harus pulang, Tuan. Jika aku tidak pulang malam ini, aku akan dihajar habis-habisan oleh ibu dan kakakku!” 

Maureen kembali membuka suaranya. 

Dia ingin laki-laki itu mengerti dengan kesulitan yang sedang dia rasakan.

“Dipukuli? Hah! Memangnya apa peduliku! Itu bukan urusanku!” cetus Max.

Dia malah kesal karena gadis itu terus merengek dan mengganggu kesenangannya.

Maureen bergeming, dia merasa usahanya akan tetap sia-sia. 

Max menarik wajah gadis itu dan memberikan satu kecupan yang sangat dalam. 

Bibir Max terus membelit dan memberikan hisapan. Benar-benar membuat Maureen terlena dan kehilangan akalnya.

“Mmm … ini benar-benar sangat manis dan tipis. Aku sangat menyukai dan tidak bosan!” cetus Max mengangumi sambil mengusap bibir Maureen dengan lembut.

Tatapannya seolah tergila-gila dengan bibir gadis itu.

Mungkin bagi Maureen, saat ini hanya itu yang dapat diandalkan. 

Mengandalkan tubuhnya untuk memenuhi keinginan me5um dan gila  laki-laki itu.

“Sabar Maureen, setelah kau berhasil keluar dari sini. Anggap saja seperti digigit anjing di jalan. Toh, kamu tidak akan bertemu lagi dengan laki-laki ini. Biarkan dia puas, kau harus bisa membuatnya melepaskanmu. Karena kamu lawan pun tetep percuma, semua toh sudah diambil olehnya!” Pikiran Maureen tak bisa dicegah. 

Dia, hanya bisa menahan semuanya. 

Saat ini pun jika memang laki-laki itu akan membayar mungkin Maureen akan menerimanya.

Satu jam berlalu. Max benar-benar hanya meminta gadis itu menemaninya mandi. 

Dia hanya memberikan kecupan dan meninggalkan stempelnya dimana-mana.

“Martin akan mengantarkanmu, jadi makanlah dulu!” ucap Max sambil memberikan satu paper bag pada Maureen yang masih duduk di pinggir ranjang.

Maureen menarik wajahnya dan menatapnya kecut.

"Aku tidak lapar! Aku hanya ingin pulang sekarang juga!" cetusnya. 

Gadis itu mengambil paper bag dan segera memakainya.

Untuk pertama kali seumur hidup Maureen dia tidak memiliki perasaan malu saat melepaskan handuk yang dipakainya.

“Aku pasti akan mencarimu lagi, jadi bersiaplah!” 

Max tidak memberikannya cek seperti yang ada dipikirkan. Dia malah memberikannya satu kartu hitam.

“Cih, kamu pikir aku masih mau bertemu  denganmu!” Umpatnya di hati.

Maureen kembali menatap Max. 

Namun, tak ada suara yang keluar dari mulutnya, “Limitnya satu milyar!” dia membelalakan mata dengan lebar.

“Bagaimana bisa ada seorang laki-laki yang dengan sengaja membuang uangnya begitu saja hanya untuk satu malam dengan perempuan yang tidak dia kenal.

“Kenapa? Apa masih kurang?” ucapnya sangat sombong sambil menyalakan pemantik dan menghidupkan rokoknya.

Bahkan ucapannya hanya membuat tenggorokan Maureen tertohok.

“Ti-tidak, Tuan! Terima kasih!” dia meraih kartu tadi dan menundukkan kepala memberi hormat pada Max.

“Cih, ternyata sama saja! Di dunia ini tidak ada seorang pun yang tidak menyukai uang!” umpat Max menyepelekan gadis itu.

Martin masuk setelah menerima tanda dari tuannya, “Antarkan, dia pulang!” perintah Max.

“Baik, Tuan! Mari, Nona!” ucap Martin. 

Maureen tanpa basa basi langsung berbalik dan meninggalkan laki-laki tadi. Mengekori Martin yang keluar lebih dulu dari kamar tuannya.

“Hei, dimana tas dan ponselku? Apa aku sudah bisa menelpon sekarang?” Maureen berbicara sambil berjalan mengikuti langkah kaki Martin yang besar-besar.

Martin menghentikan jejaknya sesaat menoleh ke arah gadis itu.

“Gadis ini sungguh berani. Bahkan dia tidak takut sama sekali dengan tuan.”

Dia tak berkata, hanya memandangi wajah gadis itu sampai kaki lalu kembali melangkah.

“Hiii!! Menyebalkan banget sih. Apa-apaan dia. Dia benar-benar sama dengan tuannya yang arogan itu.”

“Akulah yang dirugikan disini tahu! Ya ... memang aku mendapatkan bayaran, tapi tetap saja, ini kan bukan keinginanku.” Omel Maureen dalam hati.

"Ini tas dan ponsel anda, Nona Maureen Angelia Aditama. Saya sudah memasukkan akses jaringan kami dan nomor pribadi tuan. Jadi, anda sebaiknya jangan pernah mencoba bermain-main dengan tuan!" ucap Martin penuh penegasan.

Maureen sedikit mengerutkan dahi mendengar ucapan Martin.

Hanya karena Maureen ingin semuanya cepat berakhir, dia hanya manggut-manggut saat menerima tas dan ponselnya. 

Maureen tidak pernah peduli sama sekali dengan ucapan yang keluar dari mulut laki-laki sombong dihadapannya.

"Terima kasih, tapi bisakah kau antarkan aku pulang sekarang!" pintanya. Sudah tak ingin berlama-lama di tempat itu.

Martin tanpa berkata, dia membukakan pintu untuk Maureen dan gadis itu bergegas masuk kedalam.

Sementara yang tak diketahui gadis itu, Max tengah memperhatikan gadis itu sambil membaca laporan yang diberikan oleh Martin.

"Pantas saja dia tidak terlalu terkejut dengan uang yang kuberikan.  Rupanya dia seorang nona di keluarga Aditama!”

“Sungguh menarik, sepertinya aku tidak akan puas jika hanya bertemu satu kali denganmu, Maureen Angelia!" senyuman smirk mengulum pasti dari sudut bibir Max.

Sudah pagi saat Maureen tiba di kediamannya. 

Dia bergegas turun dari mobil Martin dan segera membuka pagar rumahnya.

“Eh, darimana dia tahu rumahku?”

Maureen yang baru sadar tanpa dia memberitahukan alamat, dia sudah sampai di rumah.

Baru saja Maureen melangkah masuk kedalam ruangan. Dia sudah dikejutkan dengan satu koper yang dilemparkan. 

Koper itu tepat jatuh di kakinya dan isinya berhamburan.

Lalu satu tamparan mendarat di wajahnya. 

Terasa perih dan pedih dia rasakan.

"Kau masih berani pulang?" seorang wanita berkata dengan sangat angkuh setelah dia mendapatkan tamparan keras tadi di wajah Maureen.

Maureen memegangi wajahnya.

Kemudian menatap Sasha, kakak yang semalam meninggalkan dirinya sendiri di pub dan dia terlihat dengan balutan perban di kepalanya.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” Dia, berkata dalam hatinya. 

Masih belum mengerti dengan drama yang dibuat oleh sang kakak licik.

"Sudahlah Ma … Mama jangan marah lagi. Ini semua bukan kesalahan Maureen. Aku yang salah, aku memang berpisah dengannya semalam!" 

Sasha berkata dengan isak tangis dan menghampiri Maureen. 

Dia mencoba menjadi pembela untuk adiknya.

"Ada apa sebenarnya? Aku tidak mengerti sama sekali dengan ini?" ucap Maureen.

Maureen masih mencoba membaca situasi. Dia benar-benar tidak mengerti dengan ucapan Sasha.

"Dasar anak tidak tahu diri, tidak tau terimakasih. Aku sudah merawatmu, tapi inikah balasannya? Kau mencelakai kakakmu, hah!" tudingnya dengan penuh kemarahan.

"Mencelakai? Apa maksudnya, kak?" Maureen melayangkan pandangannya pada kakak liciknya itu.

"Sasha bilang, kamu meninggalkannya dengan teman-teman lelakimu. Dia hampir saja dikerjai mereka kalau dia tak menyelamatkan diri!" ucap Ibu tiri Maureen.

Maureen seperti disambar petir di pagi hari yang terang benderang. 

Dia tidak menyangka kakaknya akan membalikkan keadaan. 

Jika dia sekarang memberikan pembelaan pun pasti tidak ada yang percaya. 

Ataupun berbicara soal fakta bahwa kakaknya lah yang telah meninggalkan dirinya.

"Apa benar kak? Kakak ditinggalkan olehku semalam?" 

Maureen mengepalkan tangan menatapnya dengan penuh amarah. 

Dia berharap kakaknya kali ini memiliki hati nurani.

"A-aku sudah bilang Ma, ini salah paham. Kami, tidak sengaja terpisah, bukan Maureen yang meninggalkanku!" Sasha tetap berkelit dan memberikan pembelaan diri.

"Hei, kau lihat sendiri betapa baiknya anakku ini. Dia sangat baik hati dan polos. Kau meninggalkannya pun masih tetap dia bela!" 

Ibu tiri Maureen merangkul anaknya dan mengusap punggung anaknya, seolah-olah anaknya lah yang tersakiti.

“Astaga … sampai kapan aku harus menjalani sandiwara ibu dan anak yang munafik ini. Tak ada seseorang pun yang membelaku.”

Maureen tetap diam, dia kemudian berjongkok dan memberesi isi koper yang berhamburan tadi.

"Sebaiknya kau introspeksi dan jangan kembali sebelum kau memperbaiki diri!" usir ibu tiri Maureen.

Maureen menatap mereka dengan perasaan iba.

"Tapi, kemana aku harus pergi, Ma?" 

Padahal dia berniat akan beristirahat karena tubuhnya terasa sakit semua.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Cinta Tuan Arogan    Ciuman Pertama

    “Argh! Ma–maafkan, Aku. Aku tidak bermaksud melarangmu. Tapi, seharusnya kau tidak ingkar janji!”Meski takut-takut Lola memberanikan berbicara pada Martin.Wajahnya tetap ketus, kaku dan dingin.Dia benar-benar terlihat seperti tidak suka dengan ucapan Lola.“Rupanya … seperti ini menggoda seseorang. Menyenangkan juga!” sahut Martin di hati.Namun, tatapannya tetap tidak dapat terbaca oleh Lola.Martin mengambil ponselnya dengan tangan lain dan menaruhnya di meja. Lola terus mengikuti gerakan tangannya.Dia tidak sadar kini lengannya yang sudah dicengkeram oleh Martin.Lola menghela napas karena sudah merasa lega. Dia berpikir, ancaman tadi akan dijalankan oleh Martin.“Nah seperti itu dong. Kau ini laki-laki harus menepati janji. Kalau seperti ini baru bisa dibilang adil. Ini dokumennya,” tanpa ragu Lola menurunkan tas yang sedang berada di bahu kirinya. Memberikan tas tadi yang berisi berkas miliknya.Martin menerima dan meletakkan di meja, dekat ponselnya.Lola menghela napas lag

  • Terjebak Cinta Tuan Arogan    Digempur

    Perjalanan pulang kali ini mereka tidak memakai heli. Max tidak ingin istrinya kembali muntah akibat mabuk perjalanan.Dia memilih pesawat pribadi yang lebih nyaman dan bisa beristirahat.Max menariknya ke ranjang yang disediakannya dalam pesawat pribadi itu.“Kemarilah!” Max sudah melepaskan ikat pinggang dan mengeluarkan benda bersarang miliknya.Benda itu terlihat sudah mengeras dan tegak sepertinya sudah sangat ingin dimanjakan oleh istrinya.“Max kau yakin ingin melakukannya disini?” Maureen sedikit menoleh kanan dan kiri.Dia hanya takut suaranya nanti terdengar oleh Martin, ada satu pramugari dan dua pilot khusus.“Tenanglah, jika memang Martin mendengar dan menginginkan nya, disana masih ada satu pramugari!” jawabnya tidak peduli, menarik istrinya duduk di pangkuan, sebelum itu Max menurunkan kain penghalang milik istrinya.“Max, apa kau tidak punya malu sama sekali?” meskipun berkata seperti itu, kedua tangan istrinya bertumpu pada bahu dan mulai mengangkat bokongnya.Max sud

  • Terjebak Cinta Tuan Arogan    Penurut dan Patuh

    “Benarkah, kau tidak sedang membohongiku kan? Aku benar-benar berharap mama bisa selamat. Setelah aku tahu mama begitu menderita saat bercerita tadi, aku sudah memutuskan jangan sampai dia menderita lagi.”“Selama ini aku selalu menerima dan sabar ketika papa, ibu dan kakak tiriku berbuat semaunya. Karena semua alasanku tetap bersabar adalah mamaku.”“Aku terus bertahan dan akhirnya sampai hari ini tiba, aku benar-benar tidak ingin mama ikut menderita lagi. Aku akan melindunginya dengan sangat baik.“Max menatap wajahnya , dia geram mendengar curahan hati istrinya. “Apakah Kau perlu aku membalaskan dendam pada mereka?”Andaikan Max mendapatkan izin, dia tidak akan ragu untuk menghancurkan semua. “Selama mereka tidak menyakiti mama lagi dan mengusikku, aku anggap tidak pernah ada kejadian apapun.”“Apa yang sudah aku alami dulu, Aku akan anggap sebagai suatu pelatihan pertahanan diriku. Kalau bukan mereka melakukan ini semua padaku, mungkin aku yang sekarang tidak ada.”Maureen m

  • Terjebak Cinta Tuan Arogan    Aku benar-benar beruntung

    “Baiklah Max, Aku mempercayakan sepenuhnya putriku padamu. Tolong jaga dan jangan buat dia menangis!” pesannya sambil mengusap tangan Max.Perasaan hangat yang tidak pernah Max dapatkan. Dia juga kehilangan kasih sayang orang tua akibat kecelakaan.Dia tumbuh besar dalam pengawasan kakeknya. Lalu kakek nya pun meninggalkan dirinya.Jadi, pesan ini sangatlah berarti.“Ayo, kita makan malam dulu, Tante!” ucap Max mencoba menjadi menantu yang berbakti.“Uhm, sebaiknya Kau juga mulai membiasakan diri untuk mengubah cara memanggilku,” ucap ibu Maureen beranjak dari duduk dan Maureen menggandeng tangannya.Kali ini Max tidak boleh cemburu. Itu adalah ikatan kasih sayang orang tua.Max mengangkat wajahnya, dia tidak menyangka kalau restu itu langsung dia dapatkan.“Ayo, sayang, Aku sudah lapar!” ucap Maureen berbalik, memanggil suaminya yang masih tertegun.“Dia benar-benar jadi bodoh setelah menjadi seorang suami. Dasar laki-laki tidak berguna!” ejek Adolf di hatinya.“Rupanya kalau benar-b

  • Terjebak Cinta Tuan Arogan    Meminta Restu

    Di depan pintu dua pengawal memberi hormat dan membuka pintu tersebut perlahan.Itu adalah sinar matahari terbenam berwarna oranye saat pintu itu terbuka.Maureen melihat seseorang sedang duduk di kursi memandangi pantai dari beranda kamarnya.Pemandangan asing yang membuat jantungnya tiba-tiba bergetar.Dia perlahan melangkah masuk dan langkah kakinya yang semakin mendekat membuat detak jantungnya kian berdebar.“Apa ini yang Max siapkan? Kejutan? Apa yang sedang direncanakan?”Saat hatinya masih bertanya-tanya, seseorang itu berbalik.Mata kami berhenti sejenak.Ada gelombang yang tidak bisa aku lukiskan.Air mataku tiba-tiba saja mengalir keluar.“Mama ….”Maureen berlari ke pelukan dan menangis dengan kuat.Rasa rindunya, selama bertahun-tahun ini terwujud. Dia masih bisa melihat ibunya berdiri menyambut nya datang.“Mama … Kau sudah sembuh, Ma …”Tangan lembut gadis itu menyapu wajahnya yang tetap cantik meskipun sudah bertambah dengan usia.Air matanya juga tidak bisa dibendung.

  • Terjebak Cinta Tuan Arogan    Kejutan

    "Martin, buang dan bakar rongsokan itu. Benar-benar benda merepotkan. Berani sekali benda itu membuat istriku seperti ini!" Alhasil dari pada dia memarahi istrinya. Dia Lebih baik melimpahkan kesalahan pada heli yang di tumpangi.Melihat wajahnya istrinya sudah pucat, lemas karena muntah terus dia menjadi tidak tega."Hei, Kau gila. Mana ada orang gila sepertimu. Membicarakan membuang heli seperti benar-benar membuang sampah!" Walaupun senang menahan perutnya yang mual akibat perjalanan. Irene tidak ingin juga karena kesalahannya muntah, Max membuang dan membakar heli yang menurut kasat mata nilainya cukup tinggi."Aku tidak peduli. Kita kembali akan menggunakan transportasi lain. Martin akan membakar benda itu setelah kita pergi!" Mata Irene semakin mendelik."Kau gila. Benar-benar kingkong jelek. Dengarkan Aku, sampai Kau berani membakarnya. Aku berani menjamin 100% ... belut listrik-mu itu tidak akan bisa berfungsi dengan baik.”“Aku akan memotong-motongnya dengan gunting lalu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status