Seorang pria berdiri di dalam ruangan, tatapannya tertuju pada wanita yang melangkah masuk. Dia tidak tahu apa yang membuat suaminya terlihat begitu buruk: rahang yang mengeras dan mata yang memerah menatapnya dengan seksama dengan lembar kertas di tangannya.
"Apakah ini yang kau lakukan padaku selama ini, Abby?" Pertanyaan pria itu membuat wanita yang dipanggilnya Abby terbelalak. "A-apa yang kau bicarakan, Zac? Dan apa yang kau lakukan di ruang kerjaku?" "Jawab saja pertanyaanku!" "Zac, ada apa ini? Kita baik-baik saja, tidak ada yang terjadi pagi ini. Kita bahkan bercinta dan mencoba memperbaiki pernikahan kita. Lalu sekarang—apa yang terjadi, sayang?" Abby mengikis jarak antara dia dan Zac, mengelus rahangnya, dan menatap matanya. "Apakah ada seseorang yang mengatakan sesuatu padamu?" "Tidak ada yang memberitahuku tentang apa pun—bahkan kau. Aku baru saja mengetahui sendiri bahwa semua yang telah kita lalui hanyalah omong kosong bagimu. Kau menikah denganku untuk suatu tujuan." "Apa? Apa yang kau bicarakan, Zac? Apakah ayahmu? Atau ibumu yang mengatakannya padamu? Dia selalu membenciku, tidakkah kau ingat?" "Jangan pernah bicara tentangnya seperti itu!" Zac memberikan kertas di tangannya kepada Abby, dan dia membacanya dengan hati-hati untuk mendapatkan kejutan lain. "Apa ini?" "Kau yang katakan padaku. Omong kosong apa itu, Abby? Mengapa kertas itu ada di dalam lacimu? Apa kau berniat menipuku? Untuk mempermainkanku?" Abby menggelengkan kepala. Dadanya terasa sesak, seakan-akan ada sesuatu yang sangat besar yang mengimpit dan membuatnya sulit bernapas. Dia masih tidak bisa menjawab pertanyaan Zac, tapi menatap benda di tangannya. "Ini bukan—aku tidak tahu tentang ini. Ini bukan milikku." "Pembohong! Aku menemukannya di mejamu, dan kau masih saja berbohong untuk menipuku lagi? Bravo, Abigail! Bravo!" Zac mengarahkan telunjuknya ke wajah Abby. "Kau memang ratu drama." "Tapi aku mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak tahu dari mana asal kertas sialan ini! Kau harus percaya padaku." "Kenapa? Katakan padaku kenapa aku harus percaya pada wanita yang menipuku dan berpura-pura jatuh cinta padaku selama bertahun-tahun, padahal dia hanya pembohong!" "Itu tidak benar, sayang. Kau tahu itu." "Kalau begitu, katakan padaku apa itu!" Dia mengangkat tangan yang memegang pistol dan menodongkan ke arah istrinya. "Katakan padaku apa yang ada dalam file itu dan mengapa kau memiliki begitu banyak informasi tentang keluargaku? Katakan padaku, Abigail." "Ini hanya ... Zac, kumohon. Kita bisa membicarakannya dengan tenang. Turunkan senjatamu, sayang, please ...." Sebuah ketukan di pintu membuyarkan ketegangan antara suami istri, yang berpotensi menghancurkan pernikahan mereka. Abigail bertanya pada diri sendiri dari mana Zac mendapatkan kertas-kertas itu. Dia ingat pernah memindahkan semua berkas ke loker rahasia di pelabuhan. Tapi mengapa bisa ada padanya? Abigail berusaha mengikis jarak antara dia dan Zachary, tetapi sebelum mereka sempat menyadari, pintu terbuka, dan seseorang berdiri mengawasi mereka berdua. Dia terkejut dan menyerbu ke arah Zachary. Sesaat tertegun, Zachary tanpa sengaja menarik pelatuk. Sebutir proyektil melesat dan mengenai salah satu di antara dua orang di hadapan Zac yang tidak menyadari apa yang terjadi hingga salah satu dari mereka jatuh ke lantai dan bersimbah darah. *** Dua tahun sebelumnya. Sebuah mobil mewah berwarna perak berhenti tepat di depan sebuah bangunan yang sudah lama terbengkalai. Halaman depan rumah itu dipenuhi dedaunan kering. Pagarnya sudah berkarat dan tidak lagi berdiri tegak, menunjukkan betapa tuanya bangunan itu. Seorang wanita muda dengan setelan jas hitam turun dan berjalan masuk ke halaman rumah, dikawal oleh dua pria dengan pakaian serupa. Salah satu dari mereka membuka pagar, mempersilakan wanita itu berjalan di depan. Ketika sampai di ambang pintu, seorang wanita paruh baya buru-buru menyambutnya. "Silakan masuk, Abby," kata wanita itu. Wanita muda yang dipanggil Abby, mengangguk dan kemudian melangkah perlahan, melihat sekilas seluruh ruangan yang dilaluinya. Ruangan itu masih sama seperti sebelumnya, delapan belas tahun yang lalu. Rasanya kosong. Hanya tatapan dingin yang terpancar dari matanya yang berkaca-kaca. Di sudut ruangan terdapat piano kesayangannya—hadiah ulang tahun dari sang ayah. Mereka biasa memainkannya bersama setiap sore. Mereka memainkan dan berdansa bersama pada waktu yang sama dengan saat ini. Kenangan itu terus terngiang di benaknya, seperti musik yang selalu dia mainkan. "Ada apa, Nona?" tanya salah satu pria bertubuh gempal yang menjadi pengawalnya dan selama ini menemaninya. Abby menggelengkan kepalanya. "Rumah ini terasa begitu kosong dan hampa," jawabnya lirih. Dia masih melihat sekeliling sambil mengumpulkan kenangan yang berserakan. Tidak ada komentar yang keluar dari mulut para pengawalnya. Tak satu pun dari mereka yang mengetahui asal-usul bos mereka. Abby juga tidak mengatakan apapun tentangnya pada siapa pun. Abby terus berjalan hingga sampai di sebuah ruangan yang gelap. Hanya secercah cahaya matahari masuk melalui celah tirai. Seorang pria terbaring di tempat tidur, menatap kosong ke langit-langit. Abby mendekat dan menyentuh lengan kokoh yang kini tinggal tulang belulang itu. Dia menatapnya dengan ujung mata meluruh. "Aku pulang, Papa." Bibirnya yang merah mencoba untuk tersenyum. Matanya tidak bisa berbohong, ingin sekali menumpahkan jutaan bulir bening yang menumpuk di balik kelopak matanya, tapi ia menahan sekuat tenaga. Pria itu tetap tidak bergerak, membuat Abby menelan kepahitan. Dia menelan rasa sakit yang kini menjalari hatinya. Pria yang sangat ia cintai—cinta pertamanya—sekarang terbaring seperti mayat hidup. Tidak ada yang bisa menolongnya. Mesin yang terhubung dengan selang yang menopang kehidupan pria itu terus berbunyi, mengiringi keheningan dua orang yang benar-benar saling mencintai. "Papa ...." dia memanggil lagi, lirih. Hatinya terasa perih seperti tersayat-sayat oleh pisau saat melihat kondisi ayah tercintanya. Dia berbalik dan bergegas keluar dari kamar. Menutup pintu perlahan, Abby menitikkan air mata yang sedari tadi ditahannya. "Aku akan menepati janjiku, Papa. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka hidup dengan tenang," katanya, bermonolog sebelum melangkah pergi meninggalkan tempat yang telah membawa jutaan kenangan dalam hidupnya. Kenangan itu tidak akan pernah mati, bahkan jika tanah mengubur tubuhnya suatu hari nanti. Dia menyeka air mata di pipinya. Yang dia inginkan hanyalah mencari keadilan untuk ayahnya yang sedang sekarat. Dia tidak akan tinggal diam. Apapun yang terjadi, dia akan membalaskan dendam kepada orang yang telah membawa penderitaan bagi keluarganya. *** Abby melangkah masuk ke dalam gedung kantor. Beberapa karyawan menyapa dan menyambut. Salah satu karyawan berlari kecil mengejarnya. Dia membalikkan badan untuk melihat siapa yang tampaknya datang dengan terburu-buru. Wanita itu menarik napas sebelum menyampaikan sebuah kabar kepada atasannya. Dia menyerahkan dua buah amplop coklat, yang salah satunya berisi undangan. "Amplop coklat ini baru saja diantarkan oleh detektif yang Anda sewa, dan undangannya—" "Aku bisa membacanya. Terima kasih. Kau bisa melanjutkan pekerjaanmu. Oh, ya, tolong pesan gaun terbaik di butik langgananku. Kau tahu bagaimana seleraku." Abby memberi titah kemudian berjalan ke ruangan. Sesampai di ruang kerja, dia membuka amplop coklat yang berasal dari detektif sewaannya. Ada beberapa nama saingan bisnis yang ternyata memiliki saham di perusahaan lama ayahnya. Sayangnya, perusahaan tersebut hanya menyisakan puing-puing saat itu karena ulahnya. Mengingat hal itu, Abby tersenyum sinis. Dia meletakkan amplop tersebut di atas mejanya, lalu meraih amplop lain yang beraksen emas. Peresmian CEO baru di Zacamers Corp. Dia baru saja mendengar tentang perusahaan itu. Bisa jadi perusahaan yang baru atau sedang berkembang. Tidak sesukses perusahaan miliknya, tentu saja. Abby melemparkan undangan itu ke atas meja, mengangkat telepon kantor dan menekan tombol telepon yang terhubung langsung ke asistennya untuk menanyakan tentang gaun yang telah dia pesan. Dia menutup telepon dan bergegas ke salon seperti yang telah dia rencanakan. Acara peresmian bisa menjadi kesempatan bagus. Ini adalah kesempatan untuk menjalin hubungan bisnis dengan perusahaan baru, serta bertemu dan berkenalan dengan salah satu saingan bisnis sang. Abby tentu tidak akan melewatkan momen itu untuk mewujudkan rencananya. Pertemuan yang dia harapkan, ada di depan mata.Abby dan Gin tak saling bertegur sapa semenjak pertengkaran yang terjadi di antara keduanya. Mereka hanya melaksanakan tugas sebagai seorang rekan kerja dan percakapan antara mereka hanya mengenai segala hal yang berhubungan dengan bursa saham hari ini.Keduanya berada dalam satu ruangan bersama beberapa orang yang masuk dalam jajaran direksi, tetapi Zac tak tampak di sana.Abby tak masalah akan hal itu, karena meski perusahaannya dan Zac telah menjalin kerja sama, tetap saja, Zac membawa nama Emerson dan harus berdiri di depan untuk memimpin.Akan tetapi, Abby yakin kali ini, Zac akan mengalah padanya dan membiarkannya mendapatkan apa yang dia mau.“Jadi aku dan Gin sudah berunding. Aku akan membagi dana untuknya dan beberapa orang. Kalian akan mendapatkan kesempatan melakukan pembelian satu saham dan pastikan kalian melakukan pembelian terbaik atas nama JA Company dan tidak diperbolehkan melakukan pembelian secara pribadi. Apakah kalian sudah memikirkan perusahaan mana yang akan kal
“Sudah kukatakan untuk tidak datang, mengapa kau sangat nekat?” tanya Abby ketika dirinya dan Zac duduk-duduk di pesisir pantai sembari menikmati udara sore yang sejuk tetapi hangat. “Aku ingin menyendiri. Hubungan ini membuatku merasa berbeda.”“Apakah kau tidak menyukai hubungan kita?” desak Zac yang tak puas akan sikap Abby terhadapnya akhir-akhir ini. Abby terlihat berusaha memberi jarak dan dia harus tahu alasannya.Abby menggeleng. “Aku tak tahu, Zac. Kau seharusnya cukup memahamiku selama ini. Aku tak pernah memiliki hubungan yang intens dengan siapa pun. Hanya sahabat, tidak pernah laki-laki. Aku merasa sangat canggung.”“Maka dari itu mari kita biasakan. Abby, manusia pasti akan merasakan fase berbeda dalam hidupnya. Dan kita harus mengalami itu. Anggaplah ini fase kehidupanmu di mana kau harus menerima seseorang masuk ke dalam hidupmu.”“Apakah ini bentuk pemaksaan?”“Aku tidak memaksa. Hanya memberikan pandangan padamu agar kau tidak merasa hubungan kita sebagai beban.”“Du
Abigail menerima lamaran Zachary meski dalam batinnya tengah memikirkan banyak hal. Kepergian Ashton masih menyisakan luka dan tanya. Mengapa pria itu tidak bersedia sebentar saja menunggu sampai dia berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan?Memangnya apa yang Abigail inginkan?Apakah cukup hanya membuat Zachary begitu jatuh cinta, lalu mematahkan hatinya, kemudian selesai? Bagaimana dengan misi balas dendamnya yang tampak tak berkesudahan?Di mana sebenarnya akhir dari tujuannya ini? Dia sendiri bahkan tak tahu.“Abby, apakah kau yakin menerima lamaran si putra mahkota itu? Bukankah kau berniat untuk mematahkan hatinya?” tanya Alice yang cemas karena yang tampak di matanya bukan Zachary yang masuk ke dalam perangkap cinta Abigail, melainkan justru sebaliknya. Abigail tanpa sadar sudah terperosok ke dalam jurang.“Apakah kau tidak percaya padaku?” Abigail menoleh pada sahabatnya yang tampak cemas. “Kau jelas meragukanku.”“Aku tidak begitu. Apakah kau tidak tahu betapa aku mencemask
Belum pukul lima bahkan, tetapi Zachary sudah berada di ruangan Abigail sekarang. Duduk dengan manis memperhatikan gadis yang akan segera menjadi kekasihnya kini tengah bergulat dengan setumpuk berkas. Belum lagi beberapa map yang dia bawa sore ini.“Seriously, you gonna be killing me, Zac! Berkas ini … file bulan lalu, kan? Mengapa baru kau serahkan hari ini?” tanya Abigail, sembari menatap pria di hadapannya dengan sorot tajam.“Sidney yang menyimpannya. Kupikir dia telah menyerahkan padamu. Sepertinya dia memang tak ingin jika aku bertemu denganmu, karena itu dia menyembunyikan semua berkas,” terang Zac, berharap mendapat pemakluman dari Abby.“Gadis itu cukup berbahaya. Aku jadi takut berurusan dengannya.”Zachary bangkit dari tempatnya menuju ke tempat di mana Abigail duduk, dia kemudian berjongkok dan meraih jemarinya untuk dia remas dengan lembut.“Sekarang dia tak akan ada di sekeliling kita lagi, Abby. Hanya ada aku dan kau.”“Ke mana lainnya?” tanya Abigail, menggoda Zac, se
Abigail duduk di depan meja kerjanya, menghadap pada tumpukan berkas dan laptop yang masih menyala. Kemarin dia tak langsung datang pada Zachary meski demi mengabarkan tentang berakhirnya hubungan dirinya dan Ashton.Seperti yang selalu dia katakan, dia hanya ingin melampiaskan dendam pada keluarga Emerson, jadi apa pun yang terjadi pada Zachary, tak akan pernah penting bagi Abby.Satu pria yang dia cintai, hanyalah Ashton. Dia tak pernah memikirkan pria lain. Meski terkadang ada desir aneh muncul di hatinya setiap memikirkan Zachary, dengan cepat dan mudah saja dia singkirkan perasaan itu.Zachary hanyalah sarana baginya dan hal itu tak akan pernah berubah sampai kapan pun.Meski Abby sadar, Zac tak bersalah dalam hal ini, tetapi tetap saja menjadi salah ketika dia terlahir dari keluarga Emerson. Terlebih dia merupakan putra dari Garry Emerson, pria yang telah menghancurkan kebahagiaan keluarganya.Pria yang telah membuat dirinya dan Gin menjadi yatim piatu serta memisahkan dirinya d
Abigail berlari sekuat yang dia mampu demi mengejar Ashton yang mungkin saja sudah naik ke pesawat. Dia masih berharap pria itu sedang menanti di lounge, menunggu kedatangannya, setidaknya untuk sekadar ciuman selamat tinggal.Akan tetapi, ketika tiba di bandara, dia hanya mendulang kekecewaan lantaran tak menemukan Ashton di mana pun. Dia nyaris meninggalkan bandara saat kemudian pria itu berdiri tepat di hadapannya."Abby-bear ... apa yang kau lakukan di sini? Apakah kau ingin ikut—"Abigail menggeleng cepat, lalu menghambur ke dalam dekapan hangat sang kekasih. "Aku sangat ingin ikut bersamamu, Ash. Percayalah. Namun, kau tahu kalau aku masih memiliki tanggung jawab atas apa yang telah kumulai?""Kau benar." Ashton mengangguk sembari mengulas senyum pedih. Membalas pelukan Abby untuk yang terakhir.Ini sungguh perpisahan terpahit yang pernah dia rasakan. Dia tak menyangka jika dirinya harus berakhir sendiri lagi, meninggalkan Abigail dengan mimpi yang tak pernah terwujud. Mimpinya