Abby berjalan keluar ruangan demi menemui Zachary yang katanya sudah menunggu di lobi. Dia tak ingin tergesa dan sengaja membiarkan lelaki itu menunggu. Itu hukuman atas sikapnya yang telah memperolok dirinya atas kekalahannya di bursa saham.
Ketika tiba di hadapan Zac, lelaki itu seketika berdiri dan menatap Abby dengan tatapan yang tak mampu dia terjemahkan. Apakah itu salah satu bentuk pelecehan juga? Karena Abby tidak suka ditatap seperti itu. “Maaf jika membuatmu menunggu lama,” ujar Abby berusaha untuk tenang meski enggan berbasa-basi dengan lelaki itu. Tujuan utamanya adalah menghancurkan dengan menjadi musuh, bukan dengan menjadi teman apalagi menanggapi sikap genit lelaki player seperti Zac. “Apakah kau ingin kita bicara di ruanganku atau ...” “Tunggu. Apakah kau benar Abigail Genovhia yang berbicara denganku di telepon tadi?” “Menurutmu?” Zac tertawa pelan lalu merutuki kebodohan pertanyaannya. Tentu saja dia Abigail, siapa lagi? “Tidak, maksudku ... kau sangat berbeda. Beberapa jam lalu—“ “Aku tahu. Apakah aku terdengar ketus? Maafkan aku. Terlalu banyak pekerjaan dan aku tipikal orang yang tidak suka berbicara lewat telepon atau panggilan video. Jadi mungkin lain kali, lewat pesan singkat saja,” jawab Abby. “Atau datang langsung?” “Mungkin itu sedikit lebih baik jika memang pembicaraannya sedikit urgent. Aku akan luangkan waktu.” Abigail tersenyum simpul, tidak terlalu lebar, tetapi Zac bisa melihat cekungan di pipinya, yang artinya, dia memang sedang tersenyum. Zac suka tipikal wanita yang tidak terlalu murah senyum. Hanya saja, apakah dia yakin bisa mengatasi wanita seperti Abby? “Kurasa aku hanya sebentar. Karena kau tidak menyukai percakapan melalui telepon, aku datang langsung untuk mengundangmu makan malam. Apakah permintaanku terlalu sulit bagimu saat ini?” Abby tak segera menjawab melainkan mengatupkan bibir sembari berpikir. Dia harus meluangkan waktu dan menyisakan satu jadwal kosong untuk ini. Namun, apakah membuka peluang pada lelaki ini akan sepadan dengan rencananya? “Please ... aku hanya ingin menjadi teman. Tak masalah, kan, kalau berteman dengan rival?” “Ya, itu ide bagus, tentu saja. Kau bisa mengerti kelemahan lawanmu karena kau telah berubah menjadi seorang teman baginya.” Zac tertawa. “Apakah kau sedang menyindir?” “Terdengar seperti itu, ya? Tapi tidak. Aku tidak sedang menyindirmu, melainkan mengatakan sebuah fakta yang seharusnya kau ketahui di dunia bisnis. Pertanyaannya, apakah kau yakin ingin berteman dengan AKU, yang merupakan musuhmu?” Zac menatap Abby dengan intense setelah mendengar kalimat retorik yang baru saja dia lontarkan. “Sebagai tambahan, aku bisa saja mengetahui kelemahan serta seluk beluk yang mendetail tentangmu. Dan tentu saja, itu sangat berbahaya bagimu.” “Wah ... dugaanku benar. Kurasa aku tidak salah memilihmu untuk menjadi mentorku,” ujar Zac yang membuat Abby mengerutkan kening. “Mentor?” “Aku tidak ingin bertele-tele. Aku makan malamlah denganku dan aku akan mengatakan segalanya. Kau berhutang terima kasih padaku, anyway.” Zac mengutarakan tujuan kedatangannya dengan nada sedikit memaksa yang meski orang lain mungkin tak akan menyadari, tetapi Abby cukup kenyang dengan trik semacam ini. “Baiklah. L’Restaurante pukul tujuh. Aku tidak suka menunggu,” jawab Abby, kemudian siap untuk pergi. Namun, pertanyaan Zac membuatnya terhenti. “Kau ingin aku menjemputmu? Kita bisa sekalian mengobrol selama dalam perjalanan.” “Tidak perlu, Tuan Emerson. Kita bertemu di sana.” Tanpa menunggu jawaban Zac, Abby bergegas memutar tumit dan melangkah meninggalkan Zac yang masih memandangi punggungnya hingga menjauh sembari bergumam dalam hati bahwa Abby melebihi ekspektasinya sejauh ini. *** Abby telah bersiap dengan gaun yang telah dia kenakan dan membentuk lekuk tubuhnya yang padat dan sedikit berisi. Dia mematut penampilan di cermin yang ada di ruangan khusus di kantornya. Dia memutuskan untuk tidak pulang dan langsung bersiap karena jarak dari kantor ke rumah akan memakan waktu lebih lama sementara pekerjaannya baru saja selesai. Dia menilik ponsel yang sudah terdapat pesan berderet dari Zac, terlihat tak sabar untuk bertemu. Namun, Abby harus tetap tenang menghadapi lelaki seperti Zac yang belum dia kenal betul bagaimana watak dan karakternya. Bisa saja, Zac mendekatinya dengan tujuan untuk mencari tahu kelemahannya dan hal itu tak boleh terjadi. Jika menjadi musuh untuk menghancurkan Emerson tampak begitu sulit, maka dia tak masalah menjadi kawan keluarga Emerson dan mulai membuat rencana baru untuk itu. Abby menempuh perjalanan dua puluh menit di jalanan yang tampak lancar dan tiba di L’Restaurante di mana Zac mungkin sudah menunggunya. Dia membenarkan riasan dan pakaiannya sebelum kemudian meminta sopir untuk pulang dan kembali hanya jika dia menghubunginya. Dia mendapat ide cemerlang untuk memulai rencananya. Benar saja, Zac telah menunggu di meja VIP yang dia pesan dan seketika berdiri saat melihat kedatangan Abby. Ia menarik kursi untuknya dan duduk berhadapan. “Anggur di sini lezat sekali. Aku tidak menyangka kau juga selalu datang kemari,” ujar Zac memulai pembicaraan sembari menunggu makanan mereka. “Apakah kau terjebak macet? Aku tadi berpikir untuk menjemput, tetapi kau sudah mengatakan untuk bertemu di sini.” “Aku tidak suka merepotkan orang lain, Tuan Emerson, jadi seperti ini terasa lebih baik.” Abby menyesap anggurnya setelah menjawab perkataan Zac. “Kau sangat berbeda dengan gadis kebanyakan, Abby. Bolehkah aku memanggilmu demikian?” Abby memberi isyarat dengan anggukan, lalu kembali menyesap minumannya, menunggu Zac melanjutkan kalimat, tetapi sepertinya, justru Zac yang kini tengah menunggu reaksinya. “Gadis kebanyakan? Hmm ... menarik. Berapa banyak dari kata kebanyakan yang kau maksud? Apakah sama juga dengan kekasihmu? Maaf jika aku keluar dari topik, hanya menanggapi perkataanmu. Terlebih yang kutahu, kau memang cukup digandrungi di Saint Orleans. Wajar kalau kau mengira aku setipe dengan gadis-gadis yang kau kenal. Jadi, pertanyaannya, berapa banyak yang sudah kau kenal dan kau pikir aku salah satunya?” Zac tertawa lantas meletakkan gelas yang bahkan belum sempat dia sesap isinya. “You got me wrong. Rumor yang beredar tidak selalu benar, Abby. Bergantung dari sudut pandang mana kau melihatnya.” Abby hanya menaikkan sebelah alis, lalu menyunggingkan senyum di bibir berlipstik maroon. “Kenapa jadi membicarakanku? Aku sedang berusaha untuk mengenalmu, Abby.” “Baiklah. Maaf. Silakan tanyakan apa saja, aku akan berusaha menjawab. Namun, tidak jika itu tentang bisnis. Aku sudah cukup pusing memikirkan pekerjaan sepanjang hari dan, ayolah ... ini di luar kantor,” ujar Abby berusaha terdengar lebih santai dan usahanya berhasil karena dari gesturenya, Zac pun jadi terlihat lebih luwes bicara dengannya. Makanan mereka datang, mereka menikmati sebentar sembari mengobrol hal ringan, seperti yang Abby inginkan. “Jadi kau tinggal seorang diri di Eastonville?” “Ya, orang tuaku memutuskan untuk tetap berada di Estern Shore, menikmati pemandangan pantai setiap saat. Setelah kita tua, apa lagi yang kita inginkan jika bukan ketenangan? Setidaknya mereka tidak memaksaku untuk tinggal dan mengabaikan pekerjaan.” “Menarik. Mungkin aku akan mampir sekali waktu. Tentu saja jika ada kau di sana.” “Silakan saja. Tapi kau harus tahu kalau ayahku sedikit ... aneh. Kau tahu, lah. Tipikal seorang ayah yang over protektif karena aku adalah putri satu-satunya.” Zac tak merespon melainkan hanya memandangi wanita di hadapannya yang segera menikmati kembali makanan di atas piringnya setelah bicara panjang lebar. Ia tak menduga Abby akan begitu mudah akrab dan membaur padahal majalah bisnis itu justru menyebutkan kalau Abby adalah salah satu wanita sukses yang tidak suka bergaul. Hal itu terlihat di pesta, tetapi Zac sepertinya terlalu bandel untuk begitu saja percaya kalau Abby memang sekaku itu. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lebih ketika mereka telah selesai menikmati seluruh hidangan hingga penutup. Akan tetapi, Zac sepertinya enggan pergi dan mulai merasa Abby adalah wanita yang cukup asyik untuk dia ajak berbincang sesekali. Keduanya telah berada di halaman parkir, tetapi Zac tak menemukan mobil Abby di tempat itu. Zac menatap lengan Abby yang terbuka dan melepaskan mantelnya untuk ia pasangkan di tubuh Abby. “Mobilmu tidak tampak. Apakah kau datang dengan taksi?” Abby cukup tercengang mendengar perkataan Zac yang dia harapkan sejak awal. Semua terjadi begitu saja seolah dunia sedang berpihak padanya. Dia pun sudah menyiapkan respon untuk menanggapi perkataan lelaki tersebut. “Kau mengenali mobilku?” tanya Abby dengan kening berkerut dan tatapan yang jelas tertuju pada Zac. Sebuah tatapan penuh tanya. “Kurasa kau sebaiknya menjadi seorang detektif ketimbang pengusaha, Tuan Emerson.” “Ah, itu ... aku memang tidak tertarik pada bisnis. Tapi aku juga tidak cocok menjadi detektif.” “Lantas? Apa sebutan bagi lelaki yang baru beberapa jam mengenal wanita, tetapi sudah begitu hafal dengan jenis mobil wanita itu?” Pertanyaan Abby membuat wajah Zac memerah. Dia tak ingin terlalu memperlihatkan dirinya tertarik pada wanita ini, tetapi bagaimana bisa Zac menahan diri? Dia sudah penasaran hingga nyaris gila sejak pertemuan pertama mereka di pesta. “Aku hanyalah seorang stalker. Atau mungkin pengagum rahasia.” Ia tertawa. Abby menepuk lengan kekar Zac pelan sembari tertawa. “Kau ternyata sangat humoris. Apakah kau seperti ini pada semua wanita yang menarik bagimu?” Zac terdiam seketika dan menoleh demi bisa menatap wajah cantik Abby lebih jelas. “Tidak juga. Aku hanya berusaha untuk terlihat tidak membosankan. Apakah malam ini cukup menyenangkan bagimu?” Abby mengangguk. “Kalau begitu biar aku mengantarmu. Aku harus memastikan kau selamat sampai di rumah.” “Tidak perlu, Tuan Emerson, aku baik-baik saja. Sopirku mungkin akan tiba sebentar lagi.” “Tidak, tidak. Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih karena kau bersedia menerima ajakan makan malam dariku.” “Bukankah makan malam ini sebagai ucapan terima kasih karena kau telah menyelamatkanku dari lelaki mabuk?” “Aku berubah pikiran. Kau boleh membalasnya nanti.” Abby setuju dan masuk ke dalam mobil yang tak berapa lama berhasil membawanya hingga tiba di kediamannya dengan selamat. Abby menyodorkan mantel Zac ketika ia sudah berada di luar. “Terima kasih atas kebaikanmu.” “Tidak. Akulah yang berterima kasih karena kau sudah berusaha menyenangkan meski aku tahu kau pasti skeptis akan ajakanku yang terlalu berani.” Zac tersenyum meski sejujurnya dia masih ingin berlama di sana. “Masuklah. Di luar sangat dingin. Selamat malam.” Kemudian ... bahkan sebelum Abby sempat melangkah masuk ke dalam rumah, ponselnya berbunyi dan ketika dia memeriksanya, satu pesan membuat ujung bibirnya tertarik lebar. [Nomor tak dikenal: Terima kasih untuk malam ini. Kuharap kau besok tidak keberatan jika kita bertemu lagi. Di apartemenku. Aku ingin menunjukkan sesuatu yang mungkin kau akan suka.]Abby dan pria berkumis tebal dengan jas kulit berwarna coklat membungkus tubuhnya, kini tengah duduk di tempat yang sama seperti beberapa hari sebelumnya. Pria itu tiba-tiba meminta untuk bertemu kembali, padahal baru dua hari lalu Abby menerima hasil kerjanya.Terlebih setelah kekalahan Abby dalam perang bisnis beberapa waktu lalu, pria itu kebetulan mengikuti juga perkembangan berita tersebut, membuatnya tak sabar untuk menyampaikan hasil investigasinya. Senyum terulas di sisi wajah Abby. Lipstik merah menyala yang terpoles di bibirnya menambah kesan dominan dan mungkin antagonis bagi sebagian besar orang yang tidak mengetahui latar belakang wanita itu. Pertemuan tak berlangsung lama, informasi yang dia dapat dari detektif itu cukup sebagai penunjuk arah baginya. Hanya tinggal menyusun rencana untuk langkah selanjutnya. Sepeninggal sang detektif, Abby mengambil ponsel, kemudian menekan sebaris nomor dan menunggu jawaban dari seberang. Dia membenarkan duduk, melipat kaki dengan
Seorang wanita duduk di kursi kerjanya sejak pagi buta. Dia tak bisa memejamkan mata malam tadi. Berbagai pikiran berkecamuk mengganggunya. Dia masih berusaha mencari siapa pun yang menyebabkan seorang gadis kecil harus terpisah dari orang tuanya. Merenggut masa kecilnya yang terpaksa harus dia jalani tanpa kasih sayang orang tua. Abby hanya bisa mendesah pasrah setiap kali mengingat kehidupannya yang berubah jadi mimpi buruk sejak kedatangan wanita yang mengaku mengandung anak dari ayahnya. Dia masih ingat potongan kejadian kala itu. Dia masih berusia 12 tahun, bahagia menanti kehadiran adik yang akan meramaikan rumahnya. Dia gembira karena akan memiliki teman bermain. Akan tetapi, kebahagiaan itu seketika musnah ketika wanita yang mengaku kekasih gelap ayahnya datang dengan membawa kabar mengejutkan. Saat itu ibunya menangis histeris, memukul dada ayahnya yang berusaha menjelaskan dan menenangkan wanita itu. Suara benda jatuh, dan benda pecah berkeping-keping tak henti menjadi mu
Abby berjalan keluar ruangan demi menemui Zachary yang katanya sudah menunggu di lobi. Dia tak ingin tergesa dan sengaja membiarkan lelaki itu menunggu. Itu hukuman atas sikapnya yang telah memperolok dirinya atas kekalahannya di bursa saham. Ketika tiba di hadapan Zac, lelaki itu seketika berdiri dan menatap Abby dengan tatapan yang tak mampu dia terjemahkan. Apakah itu salah satu bentuk pelecehan juga? Karena Abby tidak suka ditatap seperti itu. “Maaf jika membuatmu menunggu lama,” ujar Abby berusaha untuk tenang meski enggan berbasa-basi dengan lelaki itu. Tujuan utamanya adalah menghancurkan dengan menjadi musuh, bukan dengan menjadi teman apalagi menanggapi sikap genit lelaki player seperti Zac. “Apakah kau ingin kita bicara di ruanganku atau ...” “Tunggu. Apakah kau benar Abigail Genovhia yang berbicara denganku di telepon tadi?” “Menurutmu?” Zac tertawa pelan lalu merutuki kebodohan pertanyaannya. Tentu saja dia Abigail, siapa lagi? “Tidak, maksudku ... kau sangat berbed
Abby masih memusatkan konsentrasi di depan layar besar di mana tampak tampilan diagram dan grafik yang menunjukkan jumlah dan besaran saham yang sudah terdaftar dalam bursa saham. Dia tak akan melewatkan kesempatan untuk memperluas kekuasaannya di dunia bisnis dan hal itu harus dia lakukan dengan komitmen yang kuat. Terlebih saat ini, dia memiliki rival baru. Sementara itu, pegawai lainnya akan secara bersamaan melakukan hal yang sama dan ketika nantinya ada salah satu saham yang memiliki prospek bagus, mereka akan dengan segera menghubungi Abby dan melakukan pembelian setelah mendapat persetujuannya. Kali ini, musuhnya bukanlah generasi tua Emerson yang bahkan sudah tak mampu mengangkat kaki tanpa bantuan tongkat, melainkan sang putra mahkota. Zachary Emerson. Meski baginya, Zachary tergolong baru di bidang saham, tetapi Abby tak boleh meremehkannya. “Nona Genovhia, saham di bidang pertambangan telah dimunculkan. Perusahaan mana yang kau incar?” tanya salah satu pegawai melalui s
Abby mematut tubuh di depan cermin yang ada di ruangannya. Dia memutuskan untuk tidak pulang, melainkan langsung bersiap di kantor karena tak ingin membuang waktu. Dia tak boleh terlambat karena rencananya dimulai dari acara ini. Dia melangkah dengan gemulai memasuki ballroom. Ratusan tamu undangan telah berada di sana, berbaur dan percakapan mereka pastilah tak jauh dari bisnis. Abby bosan membicarakan bisnis di acara pesta. Kecuali hari ini. Karena dia akan menebar jaring mulai dari sini. Jika suasana hatinya sedang bagus, mungkin tak masalah jika dia berbincang dengan beberapa orang. Hanya beberapa orang penting saja. Lainnya tidak. Akan tetapi, tiba-tiba dia tidak ingin berbaur dengan siapa pun. Kecuali putra mahkota keluarga Emerson. Dia lantas memilih tempat di sudut ruangan, sengaja agar tak terlihat karena dia tidak suka jika orang-orang dengan otak bisnis yang kotor lantas mendekat padanya. Siapa yang tidak mengenalnya? Seorang pebisnis wanita yang menjadi salah satu kand
Seorang pria berdiri di dalam ruangan, tatapannya tertuju pada wanita yang melangkah masuk. Dia tidak tahu apa yang membuat suaminya terlihat begitu buruk: rahang yang mengeras dan mata yang memerah menatapnya dengan seksama dengan lembar kertas di tangannya. "Apakah ini yang kau lakukan padaku selama ini, Abby?" Pertanyaan pria itu membuat wanita yang dipanggilnya Abby terbelalak. "A-apa yang kau bicarakan, Zac? Dan apa yang kau lakukan di kamarku?" "Jawab saja pertanyaanku!" "Zac, ada apa ini? Kita baik-baik saja, tidak ada yang terjadi pagi ini. Kita bahkan bercinta dan mencoba memperbaiki pernikahan kita. Lalu sekarang—apa yang terjadi, sayang?" Abby mengikis jarak antara dia dan Zac, mengelus rahangnya, dan menatap matanya. "Apakah ada seseorang yang mengatakan sesuatu padamu?" "Tidak ada yang memberitahuku tentang apa pun—bahkan kau. Aku baru saja mengetahui sendiri bahwa semua yang telah kita lalui hanyalah omong kosong bagimu. Kau menikah denganku untuk suatu tujuan." "A