Seorang wanita duduk di kursi kerjanya sejak pagi buta. Dia tak bisa memejamkan mata malam tadi. Berbagai pikiran berkecamuk mengganggunya. Dia masih berusaha mencari siapa pun yang menyebabkan seorang gadis kecil harus terpisah dari orang tuanya. Merenggut masa kecilnya yang terpaksa harus dia jalani tanpa kasih sayang orang tua.
Abby hanya bisa mendesah pasrah setiap kali mengingat kehidupannya yang berubah jadi mimpi buruk sejak kedatangan wanita yang mengaku mengandung anak dari ayahnya. Dia masih ingat potongan kejadian kala itu. Dia masih berusia 12 tahun, bahagia menanti kehadiran adik yang akan meramaikan rumahnya. Dia gembira karena akan memiliki teman bermain. Akan tetapi, kebahagiaan itu seketika musnah ketika wanita yang mengaku kekasih gelap ayahnya datang dengan membawa kabar mengejutkan. Saat itu ibunya menangis histeris, memukul dada ayahnya yang berusaha menjelaskan dan menenangkan wanita itu. Suara benda jatuh, dan benda pecah berkeping-keping tak henti menjadi musik pengiring hari itu. “Aku tidak menyangka kau tega mengkhianati pernikahan kita!” jerit wanita itu, yang sesekali sesenggukan sembari memegang perutnya. Ayah Abby tak menyerah untuk membuktikan bahwa perkataan wanita itu tidak benar. “Aku berani untuk melakukan tes DNA jika itu bisa membuatmu percaya.” Abigail percaya pada sang ayah. Dia masih terlalu kecil, tapi dia yakin akan perkataan pria itu. Ayahnya tak akan mungkin mengkhianati cinta yang telah mereka bangun selama ini. Dia tahu itu, karena sang ayah sering bercerita, betapa dia bangga dan bahagia karena memiliki Abby dan sang ibu. Terlebih calon adik dalam perut ibunya. Pria berusia empat puluh tahun itu sangat antusias menghias kamar bayi, membeli segala pernak-pernik dan membawanya pulang, menjadi sebuah kejutan untuk sang istri. Dan kini hanya karena ucapan seorang wanita, segalanya porak-poranda. “Apa konsekuensinya jika ternyata bayi itu adalah milikmu?” “Apa pun. Bahkan kau boleh membunuhku jika itu bisa membuat amarahmu mereda.” Perkataan itu bukan firasat, tapi yang terjadi berikutnya memanglah jauh lebih buruk dari itu. Hasil tes DNA membuktikan bayi itu milik ayahnya. Ibu Abby yang kala itu dalam kondisi tak menentu mulai menangis histeris, yang kemudian berubah menjadi tawa tak henti. “Suamiku pembohong ... ha ha ha ha ha ... Suamiku seorang pembohong ....” Abby kecil hanya menyaksikan dari kejauhan ketika beberapa orang berseragam putih membawa ibunya pergi. Sang ayah memeluknya agar tak perlu menyaksikan apa yang sedang terjadi, tapi tak mampu menghindari pertanyaan kritis dari gadis yang menginjak remaja itu. “Papa, mereka akan membawa Mama ke mana?” tanya Abby, polos. Pria itu menatap putrinya dengan wajah sendu, berusaha menjawab meski suaranya terdengar parau. Dia tak mampu menahan sakit yang ia rasakan saat ini melihat sang istri telah menjadi orang yang berbeda. “Mereka akan menyembuhkan Mama yang sedang sakit. Sekarang kau tidurlah, besok kita akan menengoknya di sana.” Gadis remaja itu mengangguk kemudian berlalu meninggalkan sang ayah yang tepekur seorang diri. Semenjak hari itu, pria itu menghabiskan waktu dengan mabuk-mabukan dan meratapi kehidupannya yang berubah drastis. Kebahagiaan yang dibayangkannya, musnah sudah. Beberapa kali ia mengunjungi sang istri di pusat rehabilitasi kejiwaan, berharap ada kemajuan pada kondisi istrinya, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Wanita itu semakin tak mengenalinya. Dia terlihat tenang, tapi pandangannya kosong dan tak merespon siapa pun. Hal itu membuatnya semakin patah semangat. Beberapa kali dia berusaha mengakhiri hidup. Hingga suatu ketika wanita yang mengaku mengandung anaknya, datang kembali bersama seorang pria. Terjadi baku hantam antara ayah Abby dan pria tersebut. Abby tak tahu apa yang menyebabkan hal itu terjadi. Di depan matanya, pria itu menghajar ayahnya hingga tak sadarkan diri. Hanya seringai kemenangan yang kemudian pria jahat itu berikan, lalu pergi bersama wanita itu. Tentunya tidak dengan tangan kosong. Sejak saat itu, ayah Abby hanya mampu tergolek tak berdaya seperti mayat. Abby tersadar dari lamunan yang melayang ke masa lalu. Gegas, dia meraih mantel merah dari balik pintu kemudian memakai sembari melangkah tergesa keluar dari kantornya. Dia sudah membuat janji dengan salah satu detektif yang dia bayar untuk membicarakan misinya. Tidak, dia tidak mengatakan pada detektif itu detail tujuannya mencari tahu identitas rival bisnis ayahnya. Dia hanya akan menyampaikan alasan yang berhubungan dengan bisnis. Saat mobilnya tiba di halaman parkir L’Restaurante, sudah terlihat dari kejauhan sosok pria yang duduk di sudut ruangan dekat dengan jendela besar. Pria itu sudah memberi kabar lebih awal bahwa dia akan berada di tempat yang mempermudah dirinya mengawasi sekitar. Tak masalah bagi Abby, karena dia telah merogoh kocek cukup dalam untuk memperkerjakan pria itu. Sudah seharusnya dia melakukan segalanya sesuai keinginan. Abby melangkah masuk ke restaurant, beberapa pasang mata langsung tertuju padanya. Rambut hitam panjang terurai, tubuh padat berisi, serta proporsi wajah yang menawan menjadi daya tarik gadis itu. Gadis itu mengulas senyum tipis sembari tetap melangkah anggun. Dia segera duduk berhadapan dengan pria berjas coklat saat tiba di meja, dan memesan secangkir kopi untuknya. “Maaf membuatmu menunggu lama.” Gadis itu meletakkan tas tangan di sampingnya lalu membenarkan duduk agar lebih nyaman. “Kita mulai saja, jika kau tidak keberatan. Kau pasti punya kepentingan lain.” “Ah, baik, Nona Genovhia.” Pria itu terlihat gugup, mengeluarkan beberapa berkas data yang ia miliki. “Ini beberapa hal yang aku dapatkan tentang rival bisnis dari pemilik lahan, dan ... ada namamu juga sebagai pembeli sisa aset yang dimilikinya sejak kebakaran.” “Oh, ya, benar. Aku memang membelinya. Sayang saja jika lahan itu tidak dimanfaatkan. Sementara untuk membangun ulang sebuah perusahaan bukanlah hal mudah. Benar, kan?” “Benar, nona. Apakah pemilik saham ini adalah rivalmu?” selidik pria itu. Abby menyandarkan punggungnya. “Hmm ... bagaimana aku menjelaskannya, ya? Jadi, keluargaku memiliki saham di perusahaan tuan pria ini, dan ketika aku ingin mengambil alih saham tersebut, justru terjadi kejadian naas itu. Semua aset dan lainnya hangus sudah. Aku hanya sedang ingin membangun kembali usaha keluargaku, tetapi dengan cara yang benar.” Abby menghirup kopinya sejenak. “Aku harus tahu, segarang apa rival bisnis pria itu, agar aku bisa menyiasati perusahaanku tak mengalami nasib sama. Kau tahu, ‘kan, dunia bisnis sangat kejam?” Gadis itu menghentikan kalimat. Telunjuknya memainkan bibir cangkir yang masih berada di atas meja. Pria yang duduk di seberang mejanya memandangnya penuh tanya. Dia kemudian menoleh ke arah lain di mana beberapa pria masih tak alihkan pandangan mereka dari gadis anggun yang dengan tenang duduk di meja dan berbincang dengan pria nyaris paruh baya. “Sejak tadi beberapa pasang mata itu tak lepas memerhatikanmu,” ucap pria itu kemudian menyeruput kopinya. Tegukan terakhir. Abby menoleh sedikit mengikuti arah yang ditunjukkan pria itu, senyum simpul tersungging di ujung bibirnya. Dia tak peduli berapa pasang mata pun yang memerhatikan, dia tidak tertarik. “Kau ingin pesan kopi lagi?” tawar pria itu pada Abby. Gadis itu menggeleng. “Aku cukup. Setelah ini harus kembali ke kantor. Kau sendiri?” “Ah, aku akan memulai pencarian saja. The day is still young, aku harus memanfaatkan dengan baik. Kau membayarku tidak sedikit untuk ini.” “Baguslah kalau begitu.” Abby menghirup minumannya terakhir kali sebelum kemudian bangkit. “Untuk selanjutnya jika ada informasi dan apa pun yang kau butuhkan bisa menghubungi nomorku. Aku permisi.” Abby mengambil selembar kertas dari tasnya kemudian meletakkan di atas meja, mengangguk pada pria itu, lalu memutar tubuh melangkah meninggalkan restaurant.Abby dan Gin tak saling bertegur sapa semenjak pertengkaran yang terjadi di antara keduanya. Mereka hanya melaksanakan tugas sebagai seorang rekan kerja dan percakapan antara mereka hanya mengenai segala hal yang berhubungan dengan bursa saham hari ini.Keduanya berada dalam satu ruangan bersama beberapa orang yang masuk dalam jajaran direksi, tetapi Zac tak tampak di sana.Abby tak masalah akan hal itu, karena meski perusahaannya dan Zac telah menjalin kerja sama, tetap saja, Zac membawa nama Emerson dan harus berdiri di depan untuk memimpin.Akan tetapi, Abby yakin kali ini, Zac akan mengalah padanya dan membiarkannya mendapatkan apa yang dia mau.“Jadi aku dan Gin sudah berunding. Aku akan membagi dana untuknya dan beberapa orang. Kalian akan mendapatkan kesempatan melakukan pembelian satu saham dan pastikan kalian melakukan pembelian terbaik atas nama JA Company dan tidak diperbolehkan melakukan pembelian secara pribadi. Apakah kalian sudah memikirkan perusahaan mana yang akan kal
“Sudah kukatakan untuk tidak datang, mengapa kau sangat nekat?” tanya Abby ketika dirinya dan Zac duduk-duduk di pesisir pantai sembari menikmati udara sore yang sejuk tetapi hangat. “Aku ingin menyendiri. Hubungan ini membuatku merasa berbeda.”“Apakah kau tidak menyukai hubungan kita?” desak Zac yang tak puas akan sikap Abby terhadapnya akhir-akhir ini. Abby terlihat berusaha memberi jarak dan dia harus tahu alasannya.Abby menggeleng. “Aku tak tahu, Zac. Kau seharusnya cukup memahamiku selama ini. Aku tak pernah memiliki hubungan yang intens dengan siapa pun. Hanya sahabat, tidak pernah laki-laki. Aku merasa sangat canggung.”“Maka dari itu mari kita biasakan. Abby, manusia pasti akan merasakan fase berbeda dalam hidupnya. Dan kita harus mengalami itu. Anggaplah ini fase kehidupanmu di mana kau harus menerima seseorang masuk ke dalam hidupmu.”“Apakah ini bentuk pemaksaan?”“Aku tidak memaksa. Hanya memberikan pandangan padamu agar kau tidak merasa hubungan kita sebagai beban.”“Du
Abigail menerima lamaran Zachary meski dalam batinnya tengah memikirkan banyak hal. Kepergian Ashton masih menyisakan luka dan tanya. Mengapa pria itu tidak bersedia sebentar saja menunggu sampai dia berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan?Memangnya apa yang Abigail inginkan?Apakah cukup hanya membuat Zachary begitu jatuh cinta, lalu mematahkan hatinya, kemudian selesai? Bagaimana dengan misi balas dendamnya yang tampak tak berkesudahan?Di mana sebenarnya akhir dari tujuannya ini? Dia sendiri bahkan tak tahu.“Abby, apakah kau yakin menerima lamaran si putra mahkota itu? Bukankah kau berniat untuk mematahkan hatinya?” tanya Alice yang cemas karena yang tampak di matanya bukan Zachary yang masuk ke dalam perangkap cinta Abigail, melainkan justru sebaliknya. Abigail tanpa sadar sudah terperosok ke dalam jurang.“Apakah kau tidak percaya padaku?” Abigail menoleh pada sahabatnya yang tampak cemas. “Kau jelas meragukanku.”“Aku tidak begitu. Apakah kau tidak tahu betapa aku mencemask
Belum pukul lima bahkan, tetapi Zachary sudah berada di ruangan Abigail sekarang. Duduk dengan manis memperhatikan gadis yang akan segera menjadi kekasihnya kini tengah bergulat dengan setumpuk berkas. Belum lagi beberapa map yang dia bawa sore ini.“Seriously, you gonna be killing me, Zac! Berkas ini … file bulan lalu, kan? Mengapa baru kau serahkan hari ini?” tanya Abigail, sembari menatap pria di hadapannya dengan sorot tajam.“Sidney yang menyimpannya. Kupikir dia telah menyerahkan padamu. Sepertinya dia memang tak ingin jika aku bertemu denganmu, karena itu dia menyembunyikan semua berkas,” terang Zac, berharap mendapat pemakluman dari Abby.“Gadis itu cukup berbahaya. Aku jadi takut berurusan dengannya.”Zachary bangkit dari tempatnya menuju ke tempat di mana Abigail duduk, dia kemudian berjongkok dan meraih jemarinya untuk dia remas dengan lembut.“Sekarang dia tak akan ada di sekeliling kita lagi, Abby. Hanya ada aku dan kau.”“Ke mana lainnya?” tanya Abigail, menggoda Zac, se
Abigail duduk di depan meja kerjanya, menghadap pada tumpukan berkas dan laptop yang masih menyala. Kemarin dia tak langsung datang pada Zachary meski demi mengabarkan tentang berakhirnya hubungan dirinya dan Ashton.Seperti yang selalu dia katakan, dia hanya ingin melampiaskan dendam pada keluarga Emerson, jadi apa pun yang terjadi pada Zachary, tak akan pernah penting bagi Abby.Satu pria yang dia cintai, hanyalah Ashton. Dia tak pernah memikirkan pria lain. Meski terkadang ada desir aneh muncul di hatinya setiap memikirkan Zachary, dengan cepat dan mudah saja dia singkirkan perasaan itu.Zachary hanyalah sarana baginya dan hal itu tak akan pernah berubah sampai kapan pun.Meski Abby sadar, Zac tak bersalah dalam hal ini, tetapi tetap saja menjadi salah ketika dia terlahir dari keluarga Emerson. Terlebih dia merupakan putra dari Garry Emerson, pria yang telah menghancurkan kebahagiaan keluarganya.Pria yang telah membuat dirinya dan Gin menjadi yatim piatu serta memisahkan dirinya d
Abigail berlari sekuat yang dia mampu demi mengejar Ashton yang mungkin saja sudah naik ke pesawat. Dia masih berharap pria itu sedang menanti di lounge, menunggu kedatangannya, setidaknya untuk sekadar ciuman selamat tinggal.Akan tetapi, ketika tiba di bandara, dia hanya mendulang kekecewaan lantaran tak menemukan Ashton di mana pun. Dia nyaris meninggalkan bandara saat kemudian pria itu berdiri tepat di hadapannya."Abby-bear ... apa yang kau lakukan di sini? Apakah kau ingin ikut—"Abigail menggeleng cepat, lalu menghambur ke dalam dekapan hangat sang kekasih. "Aku sangat ingin ikut bersamamu, Ash. Percayalah. Namun, kau tahu kalau aku masih memiliki tanggung jawab atas apa yang telah kumulai?""Kau benar." Ashton mengangguk sembari mengulas senyum pedih. Membalas pelukan Abby untuk yang terakhir.Ini sungguh perpisahan terpahit yang pernah dia rasakan. Dia tak menyangka jika dirinya harus berakhir sendiri lagi, meninggalkan Abigail dengan mimpi yang tak pernah terwujud. Mimpinya