“Apa... apa yang kau lakukan?”
Darren tersenyum miring. “Aku hanya ingin bersenang-senang, sayang. Masuklah.” Nazharina menggigil, tetapi dengan tangan gemetar, ia membuka pintu rumahnya. Begitu masuk, Darren menutup pintu dan menguncinya. Ia memandang sekeliling. “Tempat yang nyaman. Sepertinya cocok untuk sedikit... permainan.” Nazharina mundur perlahan. “Darren, tolong. Jangan lakukan ini.” Darren mendekat, jemarinya yang dingin menyentuh wajahnya. “Sayang sekali kalau wajah cantik ini harus rusak. Tapi aku suka meninggalkan kenangan.” Ia mencengkeram bahu Nazharina dan mendorongnya ke sofa. Pisau itu masih di tangannya, tetapi sekarang ia mulai menarik kasar pakaian Nazharina. Nazharina menjerit, meronta, tetapi Darren lebih kuat. “Kau tahu,” gumamnya sambil merobek kancing blus Nazharina, “Aku suka melihat ketakutan di mata wanita. Mereka selalu terlihat lebih hidup saat ketakutan.” Nazharina menangis. Ia memukul, menendang, tetapi setiap perlawanan hanya membuat Darren tertawa. Saat itu, ia mulai kehilangan harapan. Namun, sebelum Darren bisa melangkah lebih jauh— **Brak!** Pintu belakang rumah terbuka dengan keras. Darren menoleh dengan gerakan refleks, dan dalam sekejap, seseorang menerjangnya. Lelaki itu tinggi dan berbadan kekar. Gerakannya cepat, seperti petir yang meledak dalam kegelapan. Ia menghantam Darren dengan satu pukulan keras, membuat pria itu terlempar ke lantai. Darren mengumpat, berusaha bangkit, tetapi lelaki itu menendang perutnya, membuatnya terbatuk kesakitan. Mata Nazharina kabur karena air mata. Ia melihat sosok itu menghajar Darren tanpa ampun, tetapi sebelum bisa melihat siapa penyelamatnya, semua menjadi gelap. Ia jatuh pingsan. * Nazharina terbangun dengan kepala berat. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, terutama di pipi dan bahu. Saat mencoba menggerakkan tangan, ia merasakan perih di pergelangan, seakan ada bekas cekalan keras di sana. Ia mengerjap, menyesuaikan diri dengan cahaya yang masuk melalui tirai jendelanya. Matanya menyapu sekeliling kamar—bersih, rapi, seolah tak ada sesuatu yang aneh. Namun, begitu ia melihat tubuhnya sendiri, jantungnya berdegup lebih kencang. Ia mengenakan baju tidur yang bersih. Bukan blus robek yang terakhir ia ingat sebelum semuanya gelap. Bagaimana mungkin? Napasnya tercekat. Ia dengan cepat meraba tubuhnya, mencari luka atau memar yang lebih parah, tetapi hanya ada rasa sakit samar di beberapa bagian. Tidak ada jejak kekerasan yang lebih dari sekadar lebam. Nazharina menyingkap selimut dan turun dari ranjang. Kakinya terasa lemas, tetapi ia memaksakan diri untuk berjalan keluar kamar. Begitu memasuki ruang tamu, ia semakin kebingungan. Semalam, rumahnya seharusnya berantakan. Sofa terjungkal, meja pecah, perkelahian itu pasti meninggalkan jejak kehancuran. Tetapi sekarang, semuanya tertata rapi seperti tidak pernah terjadi sesuatu pun. Tidak ada tanda-tanda Darren. Tidak ada bercak darah. Tidak ada bukti bahwa ia hampir menjadi korban kekejaman seorang pria sakit jiwa. Nazharina memegang kepalanya, mencoba mengingat dengan jelas. Ada seseorang yang datang, menyelamatkannya... Tetapi siapa? Apa yang terjadi setelah ia pingsan? Dan siapa yang menggantikan pakaiannya? Ia menggigit bibir, menekan rasa panik yang mulai menyeruak. Jika tidak ada bukti, bagaimana ia bisa yakin bahwa semua ini bukan sekadar mimpi buruk? Tapi rasa sakit di tubuhnya nyata. Dan yang lebih menakutkan—jika Darren tidak ada di sini, lalu di mana dia sekarang? Nazharina kembali tertegun saat matanya terpaku pada meja makan kecil di sudut ruangan. Di sana, sebuah nampan berisi semangkuk sup hangat, segelas air, dan beberapa butir obat tertata rapi. Di sebelahnya, ada secarik kertas. Dengan langkah pelan, ia mendekat. Jantungnya berdetak cepat, entah karena penasaran atau ketakutan. Tangannya terulur, meraih kertas itu. [ Lain kali, jangan ceroboh dengan terlalu percaya pada orang yang baru dikenal. Berhati-hatilah. Jangan sampai terjadi sesuatu yang lebih buruk padamu. ] Nazharina menahan napas. Tulisan itu… ia merasa mengenalnya. Goresan tinta yang tegas, sedikit miring ke kanan, dengan tekanan yang kuat di setiap huruf. Ia mengernyit, mencoba mengingat. Ada perasaan familier yang menggelitik benaknya, tetapi jawaban itu tetap menghindarinya. Siapa yang menulis ini? Dan siapa yang menyelamatkannya semalam? Ia menatap kertas itu lama, seakan berharap jawaban akan muncul begitu saja. Tapi yang ada hanya kekosongan, misteri yang semakin dalam. Namun satu hal yang pasti—seseorang ada di sana. Menjaganya. Dan orang itu mengenalnya jauh lebih baik daripada yang ia sadari. Di Tempat Lain Darren mengerang pelan, matanya mengerjap sebelum akhirnya terbuka sepenuhnya. Yang pertama ia rasakan adalah dingin. Yang kedua adalah sakit luar biasa di seluruh tubuh. Begitu kesadarannya pulih, ia menyadari kondisinya—setengah telanjang, tubuhnya hanya diselimuti luka dan memar. Tangan dan kakinya diikat erat ke kursi kayu dengan tali kasar yang menggigit kulit. Ruangan ini gelap, hanya diterangi satu lampu redup yang menggantung rendah, menciptakan bayangan samar di sekelilingnya. Bau lembap dan logam menyeruak di udara. Ia mencoba bergerak, tetapi setiap tarikan hanya membuatnya lebih kesakitan. Sial. Apa yang terjadi? Memori semalam berkelebat dalam pikiran Darren—Nazharina, ketakutan di matanya, tubuh yang bergetar di bawahnya. Darren mendesis senang saat mengingat ekspresi itu, tapi detik berikutnya, ia mengingat sesuatu yang lebih buruk. Seseorang masuk. Seseorang menghajarnya habis-habisan. Dan sekarang ia terjebak di sini. Darren mencoba mengatur napas, mencari akal untuk meloloskan diri, tetapi suara langkah kaki membuatnya menegang. Seseorang ada di sini. Suara gesekan sepatu menyentuh lantai beton yang dingin, mendekat perlahan seperti predator yang sedang menikmati ketakutan mangsanya. Lalu, dari kegelapan, seorang pria muncul. Darren mengerjap, mencoba memfokuskan pandangannya. Begitu sosok itu semakin jelas, mendadak tubuhnya terasa kaku. Lelaki itu tinggi, mengenakan jas hitam rapi. Tampan, tetapi ada sesuatu yang begitu berbahaya dalam tatapan matanya. Dingin. Mematikan. Dan yang paling mengerikan—marah. Pria itu adalah Arian yang kini mendekat, berhenti tepat di hadapan Darren, lalu menatapnya seolah ia bukan manusia, melainkan serangga menjijikkan yang siap dihancurkan. Kemudian, dengan suara rendah yang dipenuhi amarah terpendam, ia berbicara. "Berani-beraninya kau melakukan hal seperti itu pada istriku." Darren membelalak. Istriku? Ia tersentak ketika pria itu tiba-tiba meraih lehernya, menarik wajahnya lebih dekat. Nafas pria itu dingin, hingga Darren bisa merasakan intensitas kemarahannya. "T-tunggu," Darren tergagap, mencoba menenangkan situasi. "Ada kesalahpahaman di sini—" Tinju keras mendarat di wajahnya sebelum ia bisa menyelesaikan kalimat. Darren terjatuh dengan tubuh yang masih terikat erat di kursi, darah mengalir dari hidungnya. Rasa sakit terasa menyengat berkali lipat. Arian menarik napas panjang, seakan menahan diri agar tidak membunuhnya di tempat. "Lalu katakan padaku," suaranya tetap rendah, tetapi mengandung ancaman yang jelas. "Apa yang harus kulakukan padamu sekarang?" Darren menelan ludah, kesadarannya menangkap fakta baru—ia sedang berhadapan dengan seseorang yang lebih berbahaya dari dirinya sendiri. Tubuhnya sudah terlalu sakit untuk meronta, tetapi naluri bertahannya berteriak agar ia melakukan sesuatu. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Pria di depannya tidak menunjukkan emosi selain kemarahan yang terkontrol dengan sempurna. Bahkan tatapannya lebih menakutkan daripada pukulan yang baru saja ia terima. Darren merasakan tubuhnya gemetar tanpa ia sadari. Ia mencoba membuka mulut, tetapi tidak ada suara yang keluar. Arian melepaskan genggamannya di leher Darren, membiarkan pria itu terjatuh lagi. Ia menatapnya sejenak—sebuah tatapan penuh perhitungan, seakan sedang memutuskan apakah Darren pantas bernapas lebih lama di dunia ini atau tidak."Kau beruntung," gumam Arian akhirnya. "Aku bisa saja membunuhmu di sini dan menghilangkan jejakmu tanpa ada yang tahu."Darren menahan napas, ngeri dengan ketenangan yang menyelimuti suara itu."Tapi aku tidak akan melakukannya," lanjut Arian. "Karena kau tidak sebanding dengan risikonya. Aku tidak akan mengotori tanganku untuk sampah sepertimu."Arian berjongkok, menyamakan tinggi mereka, lalu menepuk pipi Darren dengan ringan—hampir seperti seorang teman lama yang sedang berbincang."Tapi dengarkan aku baik-baik, Darren," katanya, suaranya lebih pelan, lebih dingin. "Jika kau berani muncul lagi dalam hidup Nazharina… jika kau bahkan mencoba mendekatinya satu langkah saja… aku akan menemukanmu."Darren merasakan bulu kuduknya berdiri."Aku akan menghancurkan hidupmu," lanjut Arian, tatapannya gelap dan tanpa belas kasihan. "Aku akan memastikan kau tidak bisa melarikan diri ke mana pun. Dan kalau itu belum cukup…" Ia menyeringai kecil, ekspresi yang le
Butik mewah itu tak pernah sepi dari perbincangan, terlebih jika ada sesuatu yang menarik untuk digunjingkan.Pagi ini, di sudut ruang staf, beberapa karyawan berkumpul dengan wajah penuh antusiasme. Bisikan mereka terdengar samar, namun sesekali diiringi tawa cekikikan."Aku melihatnya kemarin sore," ujar seorang wanita berambut sebahu, Nadya, dengan nada penuh arti. "Dia duduk berdua dengan pria itu di kafe dekat butik. Ngobrol intens setelah pulang kerja. Aku yakin, salah satu dari mereka akan diajak singgah ke rumah."Shelby, yang sedang merapikan kuku dengan ekspresi malas, menoleh dengan ketertarikan. "Dia? Maksudmu, si wajah polos itu? Nazharina?""Iya." Nadya mengangguk, matanya berbinar penuh gosip. "Yang lebih menarik, dia bahkan tak masuk kerja hari ini. Sakit, katanya. Tapi siapa yang percaya?"Seorang lagi, Emma, menimpali dengan suara dramatis, "Aku yakin dia tak bisa bangun dari tempat tidur."Tawa cekikikan pecah di antara mereka."
“Tolong bujuk Nazharina untuk pulang sekarang juga. Kami akan memakamkan ibunya pagi ini,” ucapnya pilu. Alicia menoleh ke belakang, tepat di mana siswi yang dimaksud sedang mencoret-coret kertas ujian sambil merebahkan kepala di atas meja. “Ibunya meninggal?” tanyanya memastikan. Antara terkejut dan ikut berduka. “Iya, kecelakaan tadi pagi saat pergi ke pasar untuk bekerja menjual sayuran,” jawab pria itu. “Nazharina pasti akan sangat terkejut mendengar berita ini.” “Dia sudah tahu. Jenazah ibunya kami antar ke rumah, tepat sebelum ia berangkat ke sekolah pagi ini,” jawab pria itu dengan yakin. Alicia terkejut. “Dia tahu ibunya meninggal, tapi tetap pergi ke sekolah?!” suaranya nyaris terdengar seperti sebuah teriakan tertahan. “Kami sudah berusaha menahannya, tapi dia bilang hari ini ada ujian.” Alicia menggelengkan kepala. Tak mengerti akan jalan pikiran salah satu siswinya itu. “Tunggu sebentar. Aku akan menyuruhnya bersiap untuk pulang.” Sang guru masuk. Men
Di depan rumah megah itu, Nazharina berdiri dengan koper di tangannya. Arian, seperti biasa, hanya menatapnya tanpa ekspresi.Siang hari ini matahari menyengat kulit, namun hati Nazharina seakan gelap kelabu. Ada mendung yang menciptakan awan hitam dalam jiwanya. Seakan ingin menjatuhkan hujan air mata, namun guruh di hati menahannya.Ia tak tahu apakah tangisan itu perlu?Haruskah ia bersedih saat ini?Bagaimana kalau ternyata mulai hari ini ia bisa mencoba hidup yang sesuai dengan kemauannya?“Terima kasih atas waktumu Arian. Akhirnya selesai juga. Bolehkah kita berjabat tangan karena mungkin tak akan ada lagi pertemuan setelah ini?” Nazharina menyodorkan tangan pada lelaki tampan namun beraura dingin di hadapannya.Sedetik... dua detik... hingga beberapa detik Arian tak menyambut uluran tangan itu, hanya menatap Nazharina dengan pandangan yang sulit untuk diartikan.“Ternyata tak boleh,” gumam Nazharina pelan, seraya menggenggam kembali jemari tangan dan memilih untuk menggaruk uju
Langit masih kelabu ketika Nazharina melangkah keluar dari rumahnya pagi itu. Udara dingin sempat menggigit kulitnya, tetapi ia tidak membiarkan keraguan merayap ke dalam hati. Hari ini, ia memulai sesuatu yang baru—tanpa embel-embel sebagai istri seseorang, tanpa bayang-bayang nama besar yang pernah menaunginya.Butik tempatnya bekerja terletak di pusat kota, di sebuah gedung megah dengan arsitektur modern yang dipenuhi kaca reflektif. Sebuah plakat elegan dengan huruf berwarna emas terpampang di atas pintu masuk, menyatakan nama butik yang selama ini hanya ia kenal dari majalah mode.Ia menarik napas dalam, lalu melangkah masuk.Dari dalam, butik itu tampak lebih menawan. Lantainya berkilau, dipadukan dengan pencahayaan yang memancarkan kemewahan. Rak-rak pakaian tersusun rapi, menampilkan koleksi eksklusif dari berbagai desainer ternama. Tidak ada yang tampak biasa di tempat ini.“Nazharina, bukan?”Nazharina menoleh. Seorang wanita muda dengan seragam butik yang sama mendekatinya,
Nazharina sedang sibuk merapikan deretan gaun di rak ketika suara tinggi seorang wanita menggelegar di seluruh butik. "Ini tidak bisa diterima! Kalian pikir aku bodoh?" Seluruh butik mendadak hening. Beberapa staf langsung menoleh ke arah sumber suara. Seorang wanita dengan pakaian mahal dan tas bermerek berdiri di depan kasir dengan ekspresi marah. Ia mengacungkan secarik struk belanja ke arah Shelby, yang berdiri di belakang meja kasir dengan ekspresi pura-pura terkejut. Nazharina merasa jantungnya berdebar saat menyadari siapa pelanggan itu. Nyonya Dee. Salah satu pelanggan VIP yang terkenal perfeksionis dan tidak segan-segan mengkritik jika ada sedikit saja kesalahan dalam pelayanannya. Shelby menoleh ke arah Nazharina dengan ekspresi prihatin yang dibuat-buat. "Oh, Nyonya Dee, mungkin ada sedikit kesalahan. Tapi saya yakin bukan niat staf kami untuk membuat Anda merasa tidak nyaman," katanya manis. Nyonya Dee tidak terpengaruh. "Aku mau jawaban! Bagaimana bisa gaun yang ha
Shelby menunduk sedikit, bibirnya bergetar seolah sedang menahan rasa malu. “Saya... mungkin telah melakukan kesalahan saat memperbarui harga di sistem. Tetapi saya sama sekali tidak berniat buruk.”Pria yang tadi membela Nazharina tersenyum tipis. “Lucu sekali. Saat semua orang menuduh staf baru ini, kau langsung percaya diri menyalahkannya. Tapi sekarang, begitu terbukti bahwa hanya kau yang bisa mengubah harga, tiba-tiba ini jadi ‘kesalahan kecil’?”Shelby menoleh tajam ke arahnya. “Saya tidak bermaksud seperti itu!”“Tapi kau terdengar seperti itu.”Shelby menggigit bibirnya, lalu menoleh ke arah Nyonya Dee dengan wajah memelas. “Saya benar-benar minta maaf, Nyonya. Ini hanya kesalahan teknis. Saya janji akan lebih berhati-hati ke depannya. Tolong jangan biarkan kesalahan ini mencoreng reputasi butik kami.”Nyonya Dee menatapnya lama.Suasana begitu tegang hingga Nazharina bisa mendengar suara napasnya sendiri.Saat itulah suara lain menyela.“Cukup.”Semua orang menoleh ke arah s
Butik mewah itu tak pernah sepi dari perbincangan, terlebih jika ada sesuatu yang menarik untuk digunjingkan.Pagi ini, di sudut ruang staf, beberapa karyawan berkumpul dengan wajah penuh antusiasme. Bisikan mereka terdengar samar, namun sesekali diiringi tawa cekikikan."Aku melihatnya kemarin sore," ujar seorang wanita berambut sebahu, Nadya, dengan nada penuh arti. "Dia duduk berdua dengan pria itu di kafe dekat butik. Ngobrol intens setelah pulang kerja. Aku yakin, salah satu dari mereka akan diajak singgah ke rumah."Shelby, yang sedang merapikan kuku dengan ekspresi malas, menoleh dengan ketertarikan. "Dia? Maksudmu, si wajah polos itu? Nazharina?""Iya." Nadya mengangguk, matanya berbinar penuh gosip. "Yang lebih menarik, dia bahkan tak masuk kerja hari ini. Sakit, katanya. Tapi siapa yang percaya?"Seorang lagi, Emma, menimpali dengan suara dramatis, "Aku yakin dia tak bisa bangun dari tempat tidur."Tawa cekikikan pecah di antara mereka."
"Kau beruntung," gumam Arian akhirnya. "Aku bisa saja membunuhmu di sini dan menghilangkan jejakmu tanpa ada yang tahu."Darren menahan napas, ngeri dengan ketenangan yang menyelimuti suara itu."Tapi aku tidak akan melakukannya," lanjut Arian. "Karena kau tidak sebanding dengan risikonya. Aku tidak akan mengotori tanganku untuk sampah sepertimu."Arian berjongkok, menyamakan tinggi mereka, lalu menepuk pipi Darren dengan ringan—hampir seperti seorang teman lama yang sedang berbincang."Tapi dengarkan aku baik-baik, Darren," katanya, suaranya lebih pelan, lebih dingin. "Jika kau berani muncul lagi dalam hidup Nazharina… jika kau bahkan mencoba mendekatinya satu langkah saja… aku akan menemukanmu."Darren merasakan bulu kuduknya berdiri."Aku akan menghancurkan hidupmu," lanjut Arian, tatapannya gelap dan tanpa belas kasihan. "Aku akan memastikan kau tidak bisa melarikan diri ke mana pun. Dan kalau itu belum cukup…" Ia menyeringai kecil, ekspresi yang le
“Apa... apa yang kau lakukan?” Darren tersenyum miring. “Aku hanya ingin bersenang-senang, sayang. Masuklah.” Nazharina menggigil, tetapi dengan tangan gemetar, ia membuka pintu rumahnya. Begitu masuk, Darren menutup pintu dan menguncinya. Ia memandang sekeliling. “Tempat yang nyaman. Sepertinya cocok untuk sedikit... permainan.” Nazharina mundur perlahan. “Darren, tolong. Jangan lakukan ini.” Darren mendekat, jemarinya yang dingin menyentuh wajahnya. “Sayang sekali kalau wajah cantik ini harus rusak. Tapi aku suka meninggalkan kenangan.” Ia mencengkeram bahu Nazharina dan mendorongnya ke sofa. Pisau itu masih di tangannya, tetapi sekarang ia mulai menarik kasar pakaian Nazharina. Nazharina menjerit, meronta, tetapi Darren lebih kuat. “Kau tahu,” gumamnya sambil merobek kancing blus Nazharina, “Aku suka melihat ketakutan di mata wanita. Mereka selalu terlihat lebih hidup saat ketakutan.” Nazharina menangis. Ia memukul, menendang, tetapi setiap perlawanan hany
Shelby menunduk sedikit, bibirnya bergetar seolah sedang menahan rasa malu. “Saya... mungkin telah melakukan kesalahan saat memperbarui harga di sistem. Tetapi saya sama sekali tidak berniat buruk.”Pria yang tadi membela Nazharina tersenyum tipis. “Lucu sekali. Saat semua orang menuduh staf baru ini, kau langsung percaya diri menyalahkannya. Tapi sekarang, begitu terbukti bahwa hanya kau yang bisa mengubah harga, tiba-tiba ini jadi ‘kesalahan kecil’?”Shelby menoleh tajam ke arahnya. “Saya tidak bermaksud seperti itu!”“Tapi kau terdengar seperti itu.”Shelby menggigit bibirnya, lalu menoleh ke arah Nyonya Dee dengan wajah memelas. “Saya benar-benar minta maaf, Nyonya. Ini hanya kesalahan teknis. Saya janji akan lebih berhati-hati ke depannya. Tolong jangan biarkan kesalahan ini mencoreng reputasi butik kami.”Nyonya Dee menatapnya lama.Suasana begitu tegang hingga Nazharina bisa mendengar suara napasnya sendiri.Saat itulah suara lain menyela.“Cukup.”Semua orang menoleh ke arah s
Nazharina sedang sibuk merapikan deretan gaun di rak ketika suara tinggi seorang wanita menggelegar di seluruh butik. "Ini tidak bisa diterima! Kalian pikir aku bodoh?" Seluruh butik mendadak hening. Beberapa staf langsung menoleh ke arah sumber suara. Seorang wanita dengan pakaian mahal dan tas bermerek berdiri di depan kasir dengan ekspresi marah. Ia mengacungkan secarik struk belanja ke arah Shelby, yang berdiri di belakang meja kasir dengan ekspresi pura-pura terkejut. Nazharina merasa jantungnya berdebar saat menyadari siapa pelanggan itu. Nyonya Dee. Salah satu pelanggan VIP yang terkenal perfeksionis dan tidak segan-segan mengkritik jika ada sedikit saja kesalahan dalam pelayanannya. Shelby menoleh ke arah Nazharina dengan ekspresi prihatin yang dibuat-buat. "Oh, Nyonya Dee, mungkin ada sedikit kesalahan. Tapi saya yakin bukan niat staf kami untuk membuat Anda merasa tidak nyaman," katanya manis. Nyonya Dee tidak terpengaruh. "Aku mau jawaban! Bagaimana bisa gaun yang ha
Langit masih kelabu ketika Nazharina melangkah keluar dari rumahnya pagi itu. Udara dingin sempat menggigit kulitnya, tetapi ia tidak membiarkan keraguan merayap ke dalam hati. Hari ini, ia memulai sesuatu yang baru—tanpa embel-embel sebagai istri seseorang, tanpa bayang-bayang nama besar yang pernah menaunginya.Butik tempatnya bekerja terletak di pusat kota, di sebuah gedung megah dengan arsitektur modern yang dipenuhi kaca reflektif. Sebuah plakat elegan dengan huruf berwarna emas terpampang di atas pintu masuk, menyatakan nama butik yang selama ini hanya ia kenal dari majalah mode.Ia menarik napas dalam, lalu melangkah masuk.Dari dalam, butik itu tampak lebih menawan. Lantainya berkilau, dipadukan dengan pencahayaan yang memancarkan kemewahan. Rak-rak pakaian tersusun rapi, menampilkan koleksi eksklusif dari berbagai desainer ternama. Tidak ada yang tampak biasa di tempat ini.“Nazharina, bukan?”Nazharina menoleh. Seorang wanita muda dengan seragam butik yang sama mendekatinya,
Di depan rumah megah itu, Nazharina berdiri dengan koper di tangannya. Arian, seperti biasa, hanya menatapnya tanpa ekspresi.Siang hari ini matahari menyengat kulit, namun hati Nazharina seakan gelap kelabu. Ada mendung yang menciptakan awan hitam dalam jiwanya. Seakan ingin menjatuhkan hujan air mata, namun guruh di hati menahannya.Ia tak tahu apakah tangisan itu perlu?Haruskah ia bersedih saat ini?Bagaimana kalau ternyata mulai hari ini ia bisa mencoba hidup yang sesuai dengan kemauannya?“Terima kasih atas waktumu Arian. Akhirnya selesai juga. Bolehkah kita berjabat tangan karena mungkin tak akan ada lagi pertemuan setelah ini?” Nazharina menyodorkan tangan pada lelaki tampan namun beraura dingin di hadapannya.Sedetik... dua detik... hingga beberapa detik Arian tak menyambut uluran tangan itu, hanya menatap Nazharina dengan pandangan yang sulit untuk diartikan.“Ternyata tak boleh,” gumam Nazharina pelan, seraya menggenggam kembali jemari tangan dan memilih untuk menggaruk uju
“Tolong bujuk Nazharina untuk pulang sekarang juga. Kami akan memakamkan ibunya pagi ini,” ucapnya pilu. Alicia menoleh ke belakang, tepat di mana siswi yang dimaksud sedang mencoret-coret kertas ujian sambil merebahkan kepala di atas meja. “Ibunya meninggal?” tanyanya memastikan. Antara terkejut dan ikut berduka. “Iya, kecelakaan tadi pagi saat pergi ke pasar untuk bekerja menjual sayuran,” jawab pria itu. “Nazharina pasti akan sangat terkejut mendengar berita ini.” “Dia sudah tahu. Jenazah ibunya kami antar ke rumah, tepat sebelum ia berangkat ke sekolah pagi ini,” jawab pria itu dengan yakin. Alicia terkejut. “Dia tahu ibunya meninggal, tapi tetap pergi ke sekolah?!” suaranya nyaris terdengar seperti sebuah teriakan tertahan. “Kami sudah berusaha menahannya, tapi dia bilang hari ini ada ujian.” Alicia menggelengkan kepala. Tak mengerti akan jalan pikiran salah satu siswinya itu. “Tunggu sebentar. Aku akan menyuruhnya bersiap untuk pulang.” Sang guru masuk. Men