Shelby menunduk sedikit, bibirnya bergetar seolah sedang menahan rasa malu. “Saya... mungkin telah melakukan kesalahan saat memperbarui harga di sistem. Tetapi saya sama sekali tidak berniat buruk.”
Pria yang tadi membela Nazharina tersenyum tipis. “Lucu sekali. Saat semua orang menuduh staf baru ini, kau langsung percaya diri menyalahkannya. Tapi sekarang, begitu terbukti bahwa hanya kau yang bisa mengubah harga, tiba-tiba ini jadi ‘kesalahan kecil’?” Shelby menoleh tajam ke arahnya. “Saya tidak bermaksud seperti itu!” “Tapi kau terdengar seperti itu.” Shelby menggigit bibirnya, lalu menoleh ke arah Nyonya Dee dengan wajah memelas. “Saya benar-benar minta maaf, Nyonya. Ini hanya kesalahan teknis. Saya janji akan lebih berhati-hati ke depannya. Tolong jangan biarkan kesalahan ini mencoreng reputasi butik kami.” Nyonya Dee menatapnya lama. Suasana begitu tegang hingga Nazharina bisa mendengar suara napasnya sendiri. Saat itulah suara lain menyela. “Cukup.” Semua orang menoleh ke arah suara itu. Seorang wanita berusia empat puluhan dengan postur tegap dan ekspresi tegas berjalan mendekat. Rambutnya diikat rapi, dan pakaian formalnya menunjukkan bahwa ia memiliki otoritas di tempat ini. Miss Lovya. Supervisor butik. Shelby langsung menegakkan tubuhnya, mencoba memasang wajah patuh. “Miss Lovya, saya bisa jelaskan—“ “Aku sudah mendengar semuanya,” potong Miss Lovya dengan nada datar. “Dan aku sudah melihat rekaman transaksi hari ini. Hanya kau yang memiliki akses ke sistem perubahan harga sebelum butik buka. Jadi, jika ini memang ‘kesalahan kecil’, itu tetap tanggung jawabmu.” Shelby membuka mulut, tetapi Miss Lovya mengangkat tangan, menyuruhnya diam. “Mulai hari ini, aksesmu ke sistem akan dibatasi. Hanya Mira yang boleh mengubah harga di komputer kasir.” Nazharina hampir tersenyum. Shelby membeku. Wajahnya kehilangan warna. “Tapi... Miss Lovya, saya sudah bekerja di sini lebih lama dari Mira! Kenapa harus saya yang dibatasi?” Miss Lovya melipat tangan di depan dada. “Karena hanya kau yang mengubah harga hari ini. Aku tidak bisa mengambil risiko hal ini terjadi lagi.” Shelby tampak ingin membantah, tetapi jelas ia tidak punya pilihan. “Kita sudah membuang cukup banyak waktu,” lanjut Miss Lovya, melirik ke arah pelanggan lain yang masih berbisik-bisik. “Kasus ini selesai. Pastikan tidak ada masalah seperti ini lagi.” Shelby menunduk dalam, berusaha menyembunyikan ekspresi frustrasinya. “Ya, Miss.” Tetapi ketika ia berdiri kembali, matanya bertemu dengan tatapan Nazharina. Dan di balik senyum palsunya, Nazharina bisa melihat api kemarahan yang menyala di dalamnya. Saat butik mulai kembali normal, Shelby berjalan melewati Nazharina dan berhenti sebentar di sampingnya. Ia berbisik dengan suara rendah yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua. “Kau pikir kau menang hari ini?” Nazharina tidak menjawab. “Kau baru saja membuat musuh yang salah, Nazharina. Aku akan pastikan kau menyesalinya.” Lalu, tanpa menunggu jawaban, Shelby berjalan pergi dengan anggun—tetapi dengan tangan yang terkepal erat. * Nazharina menarik napas sebelum melangkah mendekati pria penyelamatnya yang kemudian diketahui bernama Darren. Ia masih berdiri di dekat pintu butik, tampak santai dengan tangan terselip di saku celana. Senyumnya mengembang begitu Nazharina mendekat. “Aku ingin berterima kasih karena sudah membantuku tadi,” kata Nazharina, mencoba terdengar tulus meski ia merasa sedikit canggung. Darren mengangkat alis, lalu terkekeh pelan. “Ah, jadi kau akhirnya mengaku berhutang budi padaku?” Nada menggoda itu membuat Nazharina sedikit gelisah, tetapi ia hanya tersenyum kecil. “Aku memang berhutang budi.” “Aku harus bilang, kau cukup beruntung memiliki pelanggan seperti aku.” Suaranya terdengar ringan, tetapi ada kesan main-main yang tersembunyi di dalamnya. Nazharina menghela napas kecil sebelum membalas, “Aku benar-benar berterima kasih. Jika tadi kau tidak berbicara, mungkin aku akan benar-benar kehilangan pekerjaan.” Darren mengangkat bahu seolah itu bukan masalah besar. “Lalu, bagaimana kalau kau mentraktirku minum kopi sebagai tanda terima kasih?” Nazharina sedikit terkejut dengan permintaan itu. Ia memang berhutang budi, tetapi tidak menyangka Darren akan meminta waktu lebih lama dengannya. Ia tidak terbiasa menerima ajakan dari pria asing, terlebih karena ada sesuatu dari Darren yang membuatnya merasa sedikit tidak nyaman. Namun, menolak secara terang-terangan juga bukan pilihan yang baik, terutama karena pria itu baru saja menyelamatkan reputasinya. “Baiklah,” katanya, berusaha bersikap netral. “Sepulang kerja nanti.” Darren tersenyum lebih lebar. “Bagus. Aku tahu tempat yang cocok.” Darren menyelipkan tangan ke dalam saku celananya, lalu menyunggingkan senyum tipis. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit ditebak—campuran antara ketertarikan dan sesuatu yang lebih dalam yang belum bisa Nazharina artikan. * Kafe yang mereka datangi tidak terlalu ramai. Pencahayaan temaram, dengan aroma kopi yang memenuhi udara. Darren memilih tempat duduk di sudut, jauh dari keramaian. “Jadi,” katanya setelah menyeruput kopinya, “kau sudah lama bekerja di butik itu?” “Belum terlalu lama,” jawab Nazharina, menyesap minumannya. Darren mengangguk pelan, tatapannya meneliti wajahnya. “Menarik. Aku perhatikan kau terlihat cukup... polos untuk tempat seperti itu.” Nazharina mengernyit. “Polos?” Darren tersenyum tipis. “Maksudku, dunia ini keras, terutama di tempat di mana orang berlomba-lomba naik ke atas. Kau tipe yang terlalu baik. Itu bisa menjadi kelemahan.” Nazharina tidak langsung menjawab. Ia tidak menyukai bagaimana Darren mengatakannya—seolah dirinya adalah target yang mudah. Darren bersandar di kursinya. “Omong-omong, kau tinggal sendirian?” “Ya,” jawab Nazharina singkat. “Baguslah,” gumam Darren, seperti bicara pada dirinya sendiri. Ia menatap lama, terlalu lama hingga membuat Nazharina merasa tidak nyaman. “Jadi kau benar-benar sendiri? Tidak ada keluarga? Tidak ada yang akan mencarimu kalau kau tiba-tiba menghilang?” Nazharina menegang. Ada sesuatu dalam cara Darren mengatakannya yang membuat bulu kuduknya meremang. “Aku punya teman,” katanya hati-hati. “Dan rekan kerja.” Darren tersenyum samar. “Ah, tapi tetap saja, tidak ada yang benar-benar peduli, kan?” Nazharina tidak suka arah pembicaraan ini. Ia mengalihkan pandangan, menyesap kopinya hanya untuk memberi dirinya waktu berpikir. “Dan kau tidak khawatir? Maksudku, pulang larut sendirian di kota seperti ini?” Nazharina mengangkat bahu. “Aku sudah terbiasa.” Darren menaruh cangkirnya dan bersandar di kursi. “Kalau begitu, bagaimana kalau aku mengantarmu pulang malam ini?” Nazharina ragu. “Ah, tidak perlu—” “Aku tidak akan tenang kalau tahu kau berjalan sendirian,” potong Darren dengan senyum yang seolah penuh perhatian. “Aku bisa pulang sendiri,” sahut Nazharina cepat. Masih berusaha menolak. “Tidak.” Darren menggeleng. “Aku tidak akan membiarkanmu di luar malam-malam seperti ini. Dunia ini penuh bahaya.” Ironis. Karena sekarang Nazharina mulai berpikir bahwa Darren adalah bahaya yang sesungguhnya. Tetapi ia tetap mengangguk. “Baiklah.” Mereka keluar dari coffe shop itu setelah gelap merayap sejak tadi. Sepertinya ini hampir tengah malam. Nazharina yang sebenarnya sudah sangat lelah ingin pulang lebih awal. Namun Darren terus bercerita seolah-olah tak membiarkannya pergi begitu cepat. Kini, mereka berjalan berdampingan di trotoar. Jalanan mulai sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas di kejauhan. “Rumahmu jauh?” tanya Darren. “Tidak terlalu,” jawab Nazharina, berharap mereka segera sampai. Darren tersenyum. “Bagus. Aku tidak suka berlama-lama di tempat terbuka.” Nazharina merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ada sesuatu dalam kalimat dan nada suara Darren yang semakin mengganggunya. Begitu mereka tiba di depan pagar rumah, Nazharina berbalik. “Terima kasih sudah mengantarkan—“ Kilatan logam membuatnya terdiam. Darren mengeluarkan pisau lipat dari sakunya dan mengacungkannya tepat ke leher Nazharina. “Jangan berteriak,” bisiknya, suaranya berubah dingin dan tanpa emosi. Nazharina menahan napas, tubuhnya membeku.“Apa... apa yang kau lakukan?” Darren tersenyum miring. “Aku hanya ingin bersenang-senang, sayang. Masuklah.” Nazharina menggigil, tetapi dengan tangan gemetar, ia membuka pintu rumahnya. Begitu masuk, Darren menutup pintu dan menguncinya. Ia memandang sekeliling. “Tempat yang nyaman. Sepertinya cocok untuk sedikit... permainan.” Nazharina mundur perlahan. “Darren, tolong. Jangan lakukan ini.” Darren mendekat, jemarinya yang dingin menyentuh wajahnya. “Sayang sekali kalau wajah cantik ini harus rusak. Tapi aku suka meninggalkan kenangan.” Ia mencengkeram bahu Nazharina dan mendorongnya ke sofa. Pisau itu masih di tangannya, tetapi sekarang ia mulai menarik kasar pakaian Nazharina. Nazharina menjerit, meronta, tetapi Darren lebih kuat. “Kau tahu,” gumamnya sambil merobek kancing blus Nazharina, “Aku suka melihat ketakutan di mata wanita. Mereka selalu terlihat lebih hidup saat ketakutan.” Nazharina menangis. Ia memukul, menendang, tetapi setiap perlawanan hany
"Kau beruntung," gumam Arian akhirnya. "Aku bisa saja membunuhmu di sini dan menghilangkan jejakmu tanpa ada yang tahu."Darren menahan napas, ngeri dengan ketenangan yang menyelimuti suara itu."Tapi aku tidak akan melakukannya," lanjut Arian. "Karena kau tidak sebanding dengan risikonya. Aku tidak akan mengotori tanganku untuk sampah sepertimu."Arian berjongkok, menyamakan tinggi mereka, lalu menepuk pipi Darren dengan ringan—hampir seperti seorang teman lama yang sedang berbincang."Tapi dengarkan aku baik-baik, Darren," katanya, suaranya lebih pelan, lebih dingin. "Jika kau berani muncul lagi dalam hidup Nazharina… jika kau bahkan mencoba mendekatinya satu langkah saja… aku akan menemukanmu."Darren merasakan bulu kuduknya berdiri."Aku akan menghancurkan hidupmu," lanjut Arian, tatapannya gelap dan tanpa belas kasihan. "Aku akan memastikan kau tidak bisa melarikan diri ke mana pun. Dan kalau itu belum cukup…" Ia menyeringai kecil, ekspresi yang le
Butik mewah itu tak pernah sepi dari perbincangan, terlebih jika ada sesuatu yang menarik untuk digunjingkan.Pagi ini, di sudut ruang staf, beberapa karyawan berkumpul dengan wajah penuh antusiasme. Bisikan mereka terdengar samar, namun sesekali diiringi tawa cekikikan."Aku melihatnya kemarin sore," ujar seorang wanita berambut sebahu, Nadya, dengan nada penuh arti. "Dia duduk berdua dengan pria itu di kafe dekat butik. Ngobrol intens setelah pulang kerja. Aku yakin, salah satu dari mereka akan diajak singgah ke rumah."Shelby, yang sedang merapikan kuku dengan ekspresi malas, menoleh dengan ketertarikan. "Dia? Maksudmu, si wajah polos itu? Nazharina?""Iya." Nadya mengangguk, matanya berbinar penuh gosip. "Yang lebih menarik, dia bahkan tak masuk kerja hari ini. Sakit, katanya. Tapi siapa yang percaya?"Seorang lagi, Emma, menimpali dengan suara dramatis, "Aku yakin dia tak bisa bangun dari tempat tidur."Tawa cekikikan pecah di antara mereka."
“Tolong bujuk Nazharina untuk pulang sekarang juga. Kami akan memakamkan ibunya pagi ini,” ucapnya pilu. Alicia menoleh ke belakang, tepat di mana siswi yang dimaksud sedang mencoret-coret kertas ujian sambil merebahkan kepala di atas meja. “Ibunya meninggal?” tanyanya memastikan. Antara terkejut dan ikut berduka. “Iya, kecelakaan tadi pagi saat pergi ke pasar untuk bekerja menjual sayuran,” jawab pria itu. “Nazharina pasti akan sangat terkejut mendengar berita ini.” “Dia sudah tahu. Jenazah ibunya kami antar ke rumah, tepat sebelum ia berangkat ke sekolah pagi ini,” jawab pria itu dengan yakin. Alicia terkejut. “Dia tahu ibunya meninggal, tapi tetap pergi ke sekolah?!” suaranya nyaris terdengar seperti sebuah teriakan tertahan. “Kami sudah berusaha menahannya, tapi dia bilang hari ini ada ujian.” Alicia menggelengkan kepala. Tak mengerti akan jalan pikiran salah satu siswinya itu. “Tunggu sebentar. Aku akan menyuruhnya bersiap untuk pulang.” Sang guru masuk. Men
Di depan rumah megah itu, Nazharina berdiri dengan koper di tangannya. Arian, seperti biasa, hanya menatapnya tanpa ekspresi.Siang hari ini matahari menyengat kulit, namun hati Nazharina seakan gelap kelabu. Ada mendung yang menciptakan awan hitam dalam jiwanya. Seakan ingin menjatuhkan hujan air mata, namun guruh di hati menahannya.Ia tak tahu apakah tangisan itu perlu?Haruskah ia bersedih saat ini?Bagaimana kalau ternyata mulai hari ini ia bisa mencoba hidup yang sesuai dengan kemauannya?“Terima kasih atas waktumu Arian. Akhirnya selesai juga. Bolehkah kita berjabat tangan karena mungkin tak akan ada lagi pertemuan setelah ini?” Nazharina menyodorkan tangan pada lelaki tampan namun beraura dingin di hadapannya.Sedetik... dua detik... hingga beberapa detik Arian tak menyambut uluran tangan itu, hanya menatap Nazharina dengan pandangan yang sulit untuk diartikan.“Ternyata tak boleh,” gumam Nazharina pelan, seraya menggenggam kembali jemari tangan dan memilih untuk menggaruk uju
Langit masih kelabu ketika Nazharina melangkah keluar dari rumahnya pagi itu. Udara dingin sempat menggigit kulitnya, tetapi ia tidak membiarkan keraguan merayap ke dalam hati. Hari ini, ia memulai sesuatu yang baru—tanpa embel-embel sebagai istri seseorang, tanpa bayang-bayang nama besar yang pernah menaunginya.Butik tempatnya bekerja terletak di pusat kota, di sebuah gedung megah dengan arsitektur modern yang dipenuhi kaca reflektif. Sebuah plakat elegan dengan huruf berwarna emas terpampang di atas pintu masuk, menyatakan nama butik yang selama ini hanya ia kenal dari majalah mode.Ia menarik napas dalam, lalu melangkah masuk.Dari dalam, butik itu tampak lebih menawan. Lantainya berkilau, dipadukan dengan pencahayaan yang memancarkan kemewahan. Rak-rak pakaian tersusun rapi, menampilkan koleksi eksklusif dari berbagai desainer ternama. Tidak ada yang tampak biasa di tempat ini.“Nazharina, bukan?”Nazharina menoleh. Seorang wanita muda dengan seragam butik yang sama mendekatinya,
Nazharina sedang sibuk merapikan deretan gaun di rak ketika suara tinggi seorang wanita menggelegar di seluruh butik. "Ini tidak bisa diterima! Kalian pikir aku bodoh?" Seluruh butik mendadak hening. Beberapa staf langsung menoleh ke arah sumber suara. Seorang wanita dengan pakaian mahal dan tas bermerek berdiri di depan kasir dengan ekspresi marah. Ia mengacungkan secarik struk belanja ke arah Shelby, yang berdiri di belakang meja kasir dengan ekspresi pura-pura terkejut. Nazharina merasa jantungnya berdebar saat menyadari siapa pelanggan itu. Nyonya Dee. Salah satu pelanggan VIP yang terkenal perfeksionis dan tidak segan-segan mengkritik jika ada sedikit saja kesalahan dalam pelayanannya. Shelby menoleh ke arah Nazharina dengan ekspresi prihatin yang dibuat-buat. "Oh, Nyonya Dee, mungkin ada sedikit kesalahan. Tapi saya yakin bukan niat staf kami untuk membuat Anda merasa tidak nyaman," katanya manis. Nyonya Dee tidak terpengaruh. "Aku mau jawaban! Bagaimana bisa gaun yang ha
Butik mewah itu tak pernah sepi dari perbincangan, terlebih jika ada sesuatu yang menarik untuk digunjingkan.Pagi ini, di sudut ruang staf, beberapa karyawan berkumpul dengan wajah penuh antusiasme. Bisikan mereka terdengar samar, namun sesekali diiringi tawa cekikikan."Aku melihatnya kemarin sore," ujar seorang wanita berambut sebahu, Nadya, dengan nada penuh arti. "Dia duduk berdua dengan pria itu di kafe dekat butik. Ngobrol intens setelah pulang kerja. Aku yakin, salah satu dari mereka akan diajak singgah ke rumah."Shelby, yang sedang merapikan kuku dengan ekspresi malas, menoleh dengan ketertarikan. "Dia? Maksudmu, si wajah polos itu? Nazharina?""Iya." Nadya mengangguk, matanya berbinar penuh gosip. "Yang lebih menarik, dia bahkan tak masuk kerja hari ini. Sakit, katanya. Tapi siapa yang percaya?"Seorang lagi, Emma, menimpali dengan suara dramatis, "Aku yakin dia tak bisa bangun dari tempat tidur."Tawa cekikikan pecah di antara mereka."
"Kau beruntung," gumam Arian akhirnya. "Aku bisa saja membunuhmu di sini dan menghilangkan jejakmu tanpa ada yang tahu."Darren menahan napas, ngeri dengan ketenangan yang menyelimuti suara itu."Tapi aku tidak akan melakukannya," lanjut Arian. "Karena kau tidak sebanding dengan risikonya. Aku tidak akan mengotori tanganku untuk sampah sepertimu."Arian berjongkok, menyamakan tinggi mereka, lalu menepuk pipi Darren dengan ringan—hampir seperti seorang teman lama yang sedang berbincang."Tapi dengarkan aku baik-baik, Darren," katanya, suaranya lebih pelan, lebih dingin. "Jika kau berani muncul lagi dalam hidup Nazharina… jika kau bahkan mencoba mendekatinya satu langkah saja… aku akan menemukanmu."Darren merasakan bulu kuduknya berdiri."Aku akan menghancurkan hidupmu," lanjut Arian, tatapannya gelap dan tanpa belas kasihan. "Aku akan memastikan kau tidak bisa melarikan diri ke mana pun. Dan kalau itu belum cukup…" Ia menyeringai kecil, ekspresi yang le
“Apa... apa yang kau lakukan?” Darren tersenyum miring. “Aku hanya ingin bersenang-senang, sayang. Masuklah.” Nazharina menggigil, tetapi dengan tangan gemetar, ia membuka pintu rumahnya. Begitu masuk, Darren menutup pintu dan menguncinya. Ia memandang sekeliling. “Tempat yang nyaman. Sepertinya cocok untuk sedikit... permainan.” Nazharina mundur perlahan. “Darren, tolong. Jangan lakukan ini.” Darren mendekat, jemarinya yang dingin menyentuh wajahnya. “Sayang sekali kalau wajah cantik ini harus rusak. Tapi aku suka meninggalkan kenangan.” Ia mencengkeram bahu Nazharina dan mendorongnya ke sofa. Pisau itu masih di tangannya, tetapi sekarang ia mulai menarik kasar pakaian Nazharina. Nazharina menjerit, meronta, tetapi Darren lebih kuat. “Kau tahu,” gumamnya sambil merobek kancing blus Nazharina, “Aku suka melihat ketakutan di mata wanita. Mereka selalu terlihat lebih hidup saat ketakutan.” Nazharina menangis. Ia memukul, menendang, tetapi setiap perlawanan hany
Shelby menunduk sedikit, bibirnya bergetar seolah sedang menahan rasa malu. “Saya... mungkin telah melakukan kesalahan saat memperbarui harga di sistem. Tetapi saya sama sekali tidak berniat buruk.”Pria yang tadi membela Nazharina tersenyum tipis. “Lucu sekali. Saat semua orang menuduh staf baru ini, kau langsung percaya diri menyalahkannya. Tapi sekarang, begitu terbukti bahwa hanya kau yang bisa mengubah harga, tiba-tiba ini jadi ‘kesalahan kecil’?”Shelby menoleh tajam ke arahnya. “Saya tidak bermaksud seperti itu!”“Tapi kau terdengar seperti itu.”Shelby menggigit bibirnya, lalu menoleh ke arah Nyonya Dee dengan wajah memelas. “Saya benar-benar minta maaf, Nyonya. Ini hanya kesalahan teknis. Saya janji akan lebih berhati-hati ke depannya. Tolong jangan biarkan kesalahan ini mencoreng reputasi butik kami.”Nyonya Dee menatapnya lama.Suasana begitu tegang hingga Nazharina bisa mendengar suara napasnya sendiri.Saat itulah suara lain menyela.“Cukup.”Semua orang menoleh ke arah s
Nazharina sedang sibuk merapikan deretan gaun di rak ketika suara tinggi seorang wanita menggelegar di seluruh butik. "Ini tidak bisa diterima! Kalian pikir aku bodoh?" Seluruh butik mendadak hening. Beberapa staf langsung menoleh ke arah sumber suara. Seorang wanita dengan pakaian mahal dan tas bermerek berdiri di depan kasir dengan ekspresi marah. Ia mengacungkan secarik struk belanja ke arah Shelby, yang berdiri di belakang meja kasir dengan ekspresi pura-pura terkejut. Nazharina merasa jantungnya berdebar saat menyadari siapa pelanggan itu. Nyonya Dee. Salah satu pelanggan VIP yang terkenal perfeksionis dan tidak segan-segan mengkritik jika ada sedikit saja kesalahan dalam pelayanannya. Shelby menoleh ke arah Nazharina dengan ekspresi prihatin yang dibuat-buat. "Oh, Nyonya Dee, mungkin ada sedikit kesalahan. Tapi saya yakin bukan niat staf kami untuk membuat Anda merasa tidak nyaman," katanya manis. Nyonya Dee tidak terpengaruh. "Aku mau jawaban! Bagaimana bisa gaun yang ha
Langit masih kelabu ketika Nazharina melangkah keluar dari rumahnya pagi itu. Udara dingin sempat menggigit kulitnya, tetapi ia tidak membiarkan keraguan merayap ke dalam hati. Hari ini, ia memulai sesuatu yang baru—tanpa embel-embel sebagai istri seseorang, tanpa bayang-bayang nama besar yang pernah menaunginya.Butik tempatnya bekerja terletak di pusat kota, di sebuah gedung megah dengan arsitektur modern yang dipenuhi kaca reflektif. Sebuah plakat elegan dengan huruf berwarna emas terpampang di atas pintu masuk, menyatakan nama butik yang selama ini hanya ia kenal dari majalah mode.Ia menarik napas dalam, lalu melangkah masuk.Dari dalam, butik itu tampak lebih menawan. Lantainya berkilau, dipadukan dengan pencahayaan yang memancarkan kemewahan. Rak-rak pakaian tersusun rapi, menampilkan koleksi eksklusif dari berbagai desainer ternama. Tidak ada yang tampak biasa di tempat ini.“Nazharina, bukan?”Nazharina menoleh. Seorang wanita muda dengan seragam butik yang sama mendekatinya,
Di depan rumah megah itu, Nazharina berdiri dengan koper di tangannya. Arian, seperti biasa, hanya menatapnya tanpa ekspresi.Siang hari ini matahari menyengat kulit, namun hati Nazharina seakan gelap kelabu. Ada mendung yang menciptakan awan hitam dalam jiwanya. Seakan ingin menjatuhkan hujan air mata, namun guruh di hati menahannya.Ia tak tahu apakah tangisan itu perlu?Haruskah ia bersedih saat ini?Bagaimana kalau ternyata mulai hari ini ia bisa mencoba hidup yang sesuai dengan kemauannya?“Terima kasih atas waktumu Arian. Akhirnya selesai juga. Bolehkah kita berjabat tangan karena mungkin tak akan ada lagi pertemuan setelah ini?” Nazharina menyodorkan tangan pada lelaki tampan namun beraura dingin di hadapannya.Sedetik... dua detik... hingga beberapa detik Arian tak menyambut uluran tangan itu, hanya menatap Nazharina dengan pandangan yang sulit untuk diartikan.“Ternyata tak boleh,” gumam Nazharina pelan, seraya menggenggam kembali jemari tangan dan memilih untuk menggaruk uju
“Tolong bujuk Nazharina untuk pulang sekarang juga. Kami akan memakamkan ibunya pagi ini,” ucapnya pilu. Alicia menoleh ke belakang, tepat di mana siswi yang dimaksud sedang mencoret-coret kertas ujian sambil merebahkan kepala di atas meja. “Ibunya meninggal?” tanyanya memastikan. Antara terkejut dan ikut berduka. “Iya, kecelakaan tadi pagi saat pergi ke pasar untuk bekerja menjual sayuran,” jawab pria itu. “Nazharina pasti akan sangat terkejut mendengar berita ini.” “Dia sudah tahu. Jenazah ibunya kami antar ke rumah, tepat sebelum ia berangkat ke sekolah pagi ini,” jawab pria itu dengan yakin. Alicia terkejut. “Dia tahu ibunya meninggal, tapi tetap pergi ke sekolah?!” suaranya nyaris terdengar seperti sebuah teriakan tertahan. “Kami sudah berusaha menahannya, tapi dia bilang hari ini ada ujian.” Alicia menggelengkan kepala. Tak mengerti akan jalan pikiran salah satu siswinya itu. “Tunggu sebentar. Aku akan menyuruhnya bersiap untuk pulang.” Sang guru masuk. Men