Share

Bahaya di Balik Senyuman

last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-03 15:43:36

Shelby menunduk sedikit, bibirnya bergetar seolah sedang menahan rasa malu. “Saya... mungkin telah melakukan kesalahan saat memperbarui harga di sistem. Tetapi saya sama sekali tidak berniat buruk.”

Pria yang tadi membela Nazharina tersenyum tipis. “Lucu sekali. Saat semua orang menuduh staf baru ini, kau langsung percaya diri menyalahkannya. Tapi sekarang, begitu terbukti bahwa hanya kau yang bisa mengubah harga, tiba-tiba ini jadi ‘kesalahan kecil’?”

Shelby menoleh tajam ke arahnya. “Saya tidak bermaksud seperti itu!”

“Tapi kau terdengar seperti itu.”

Shelby menggigit bibirnya, lalu menoleh ke arah Nyonya Dee dengan wajah memelas. “Saya benar-benar minta maaf, Nyonya. Ini hanya kesalahan teknis. Saya janji akan lebih berhati-hati ke depannya. Tolong jangan biarkan kesalahan ini mencoreng reputasi butik kami.”

Nyonya Dee menatapnya lama.

Suasana begitu tegang hingga Nazharina bisa mendengar suara napasnya sendiri.

Saat itulah suara lain menyela.

“Cukup.”

Semua orang menoleh ke arah suara itu.

Seorang wanita berusia empat puluhan dengan postur tegap dan ekspresi tegas berjalan mendekat. Rambutnya diikat rapi, dan pakaian formalnya menunjukkan bahwa ia memiliki otoritas di tempat ini.

Miss Lovya. Supervisor butik.

Shelby langsung menegakkan tubuhnya, mencoba memasang wajah patuh. “Miss Lovya, saya bisa jelaskan—“

“Aku sudah mendengar semuanya,” potong Miss Lovya dengan nada datar. “Dan aku sudah melihat rekaman transaksi hari ini. Hanya kau yang memiliki akses ke sistem perubahan harga sebelum butik buka. Jadi, jika ini memang ‘kesalahan kecil’, itu tetap tanggung jawabmu.”

Shelby membuka mulut, tetapi Miss Lovya mengangkat tangan, menyuruhnya diam.

“Mulai hari ini, aksesmu ke sistem akan dibatasi. Hanya Mira yang boleh mengubah harga di komputer kasir.”

Nazharina hampir tersenyum.

Shelby membeku. Wajahnya kehilangan warna. “Tapi... Miss Lovya, saya sudah bekerja di sini lebih lama dari Mira! Kenapa harus saya yang dibatasi?”

Miss Lovya melipat tangan di depan dada. “Karena hanya kau yang mengubah harga hari ini. Aku tidak bisa mengambil risiko hal ini terjadi lagi.”

Shelby tampak ingin membantah, tetapi jelas ia tidak punya pilihan.

“Kita sudah membuang cukup banyak waktu,” lanjut Miss Lovya, melirik ke arah pelanggan lain yang masih berbisik-bisik. “Kasus ini selesai. Pastikan tidak ada masalah seperti ini lagi.”

Shelby menunduk dalam, berusaha menyembunyikan ekspresi frustrasinya. “Ya, Miss.”

Tetapi ketika ia berdiri kembali, matanya bertemu dengan tatapan Nazharina.

Dan di balik senyum palsunya, Nazharina bisa melihat api kemarahan yang menyala di dalamnya.

Saat butik mulai kembali normal, Shelby berjalan melewati Nazharina dan berhenti sebentar di sampingnya.

Ia berbisik dengan suara rendah yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua.

“Kau pikir kau menang hari ini?”

Nazharina tidak menjawab.

“Kau baru saja membuat musuh yang salah, Nazharina. Aku akan pastikan kau menyesalinya.”

Lalu, tanpa menunggu jawaban, Shelby berjalan pergi dengan anggun—tetapi dengan tangan yang terkepal erat.

*

Nazharina menarik napas sebelum melangkah mendekati pria penyelamatnya yang kemudian diketahui bernama Darren. Ia masih berdiri di dekat pintu butik, tampak santai dengan tangan terselip di saku celana. Senyumnya mengembang begitu Nazharina mendekat.

“Aku ingin berterima kasih karena sudah membantuku tadi,” kata Nazharina, mencoba terdengar tulus meski ia merasa sedikit canggung.

Darren mengangkat alis, lalu terkekeh pelan. “Ah, jadi kau akhirnya mengaku berhutang budi padaku?”

Nada menggoda itu membuat Nazharina sedikit gelisah, tetapi ia hanya tersenyum kecil. “Aku memang berhutang budi.”

“Aku harus bilang, kau cukup beruntung memiliki pelanggan seperti aku.” Suaranya terdengar ringan, tetapi ada kesan main-main yang tersembunyi di dalamnya.

Nazharina menghela napas kecil sebelum membalas, “Aku benar-benar berterima kasih. Jika tadi kau tidak berbicara, mungkin aku akan benar-benar kehilangan pekerjaan.”

Darren mengangkat bahu seolah itu bukan masalah besar. “Lalu, bagaimana kalau kau mentraktirku minum kopi sebagai tanda terima kasih?”

Nazharina sedikit terkejut dengan permintaan itu. Ia memang berhutang budi, tetapi tidak menyangka Darren akan meminta waktu lebih lama dengannya. Ia tidak terbiasa menerima ajakan dari pria asing, terlebih karena ada sesuatu dari Darren yang membuatnya merasa sedikit tidak nyaman.

 Namun, menolak secara terang-terangan juga bukan pilihan yang baik, terutama karena pria itu baru saja menyelamatkan reputasinya.

“Baiklah,” katanya, berusaha bersikap netral. “Sepulang kerja nanti.”

Darren tersenyum lebih lebar. “Bagus. Aku tahu tempat yang cocok.”

Darren menyelipkan tangan ke dalam saku celananya, lalu menyunggingkan senyum tipis. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit ditebak—campuran antara ketertarikan dan sesuatu yang lebih dalam yang belum bisa Nazharina artikan.

*

Kafe yang mereka datangi tidak terlalu ramai. Pencahayaan temaram, dengan aroma kopi yang memenuhi udara. Darren memilih tempat duduk di sudut, jauh dari keramaian.

“Jadi,” katanya setelah menyeruput kopinya, “kau sudah lama bekerja di butik itu?”

“Belum terlalu lama,” jawab Nazharina, menyesap minumannya.

Darren mengangguk pelan, tatapannya meneliti wajahnya. “Menarik. Aku perhatikan kau terlihat cukup... polos untuk tempat seperti itu.”

Nazharina mengernyit. “Polos?”

Darren tersenyum tipis. “Maksudku, dunia ini keras, terutama di tempat di mana orang berlomba-lomba naik ke atas. Kau tipe yang terlalu baik. Itu bisa menjadi kelemahan.”

Nazharina tidak langsung menjawab. Ia tidak menyukai bagaimana Darren mengatakannya—seolah dirinya adalah target yang mudah.

Darren bersandar di kursinya. “Omong-omong, kau tinggal sendirian?”

“Ya,” jawab Nazharina singkat.

“Baguslah,” gumam Darren, seperti bicara pada dirinya sendiri. Ia menatap lama, terlalu lama hingga membuat Nazharina merasa tidak nyaman. “Jadi kau benar-benar sendiri? Tidak ada keluarga? Tidak ada yang akan mencarimu kalau kau tiba-tiba menghilang?”

Nazharina menegang. Ada sesuatu dalam cara Darren mengatakannya yang membuat bulu kuduknya meremang.

“Aku punya teman,” katanya hati-hati. “Dan rekan kerja.”

Darren tersenyum samar. “Ah, tapi tetap saja, tidak ada yang benar-benar peduli, kan?”

Nazharina tidak suka arah pembicaraan ini. Ia mengalihkan pandangan, menyesap kopinya hanya untuk memberi dirinya waktu berpikir.

“Dan kau tidak khawatir? Maksudku, pulang larut sendirian di kota seperti ini?”

Nazharina mengangkat bahu. “Aku sudah terbiasa.”

Darren menaruh cangkirnya dan bersandar di kursi. “Kalau begitu, bagaimana kalau aku mengantarmu pulang malam ini?”

Nazharina ragu. “Ah, tidak perlu—”

“Aku tidak akan tenang kalau tahu kau berjalan sendirian,” potong Darren dengan senyum yang seolah penuh perhatian.

“Aku bisa pulang sendiri,” sahut Nazharina cepat. Masih berusaha menolak.

“Tidak.” Darren menggeleng. “Aku tidak akan membiarkanmu di luar malam-malam seperti ini. Dunia ini penuh bahaya.”

Ironis. Karena sekarang Nazharina mulai berpikir bahwa Darren adalah bahaya yang sesungguhnya.

Tetapi ia tetap mengangguk. “Baiklah.”  

Mereka keluar dari coffe shop itu setelah gelap merayap sejak tadi. Sepertinya ini hampir tengah malam. Nazharina yang sebenarnya sudah sangat lelah ingin pulang lebih awal. Namun Darren terus bercerita seolah-olah tak membiarkannya pergi begitu cepat.

Kini, mereka berjalan berdampingan di trotoar. Jalanan mulai sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas di kejauhan.

“Rumahmu jauh?” tanya Darren.

“Tidak terlalu,” jawab Nazharina, berharap mereka segera sampai.

Darren tersenyum. “Bagus. Aku tidak suka berlama-lama di tempat terbuka.”

Nazharina merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ada sesuatu dalam kalimat dan nada suara Darren yang semakin mengganggunya.

Begitu mereka tiba di depan pagar rumah, Nazharina berbalik. “Terima kasih sudah mengantarkan—“

Kilatan logam membuatnya terdiam.

Darren mengeluarkan pisau lipat dari sakunya dan mengacungkannya tepat ke leher Nazharina.

“Jangan berteriak,” bisiknya, suaranya berubah dingin dan tanpa emosi.

Nazharina menahan napas, tubuhnya membeku.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terjebak Cinta dan Gairah Mantan Suami    Yang Dijaga, Yang Disembunyikan

    Kinoshita melanjutkan, suaranya pelan, nyaris seperti bisikan malam. “Aku juga pernah dengar... dari salah satu mantan rekan kerja kita di butik. Katanya... Nyonya Clara pernah datang dan meminta maaf padamu, atas insiden tuduhan gila itu.”Nazharina mengangguk perlahan. “Itu benar. Tapi aku tidak pernah tahu apa yang membuatnya tiba-tiba berubah.”Kinoshita mencondongkan tubuh. “Desas-desus bilang, ada seseorang berpengaruh yang menampar Nyonya Clara dan mengancam jabatan suaminya. Katanya, kalau dia tidak meminta maaf padamu, suaminya akan kehilangan posisi penting di dewan pemilik saham perusahaan.”“Aku...” Nazharina tampak terpukul, “Aku tidak tahu soal itu.”“Dan... tak lama setelah itu, Shelby juga dipecat. Mendadak. Tanpa penjelasan.”Hening.Kinoshita menatapnya tajam, tapi dengan kelembutan yang tak bisa disangkal. “Apa kau tak merasa semua ini bukan kebetulan? Bahwa mungkin... selama ini, Tuan Arian menjagamu dari jauh?”Nazharina masih

  • Terjebak Cinta dan Gairah Mantan Suami    Tawa, Luka dan Masa Lalu

    Nazharina langsung menyikut Arian dengan lembut. “Arian...”Tapi Arian justru mengangkat bahu. “Hanya bercanda.”“Astaga...” Kinoshita menutup wajah dengan kedua tangan. “Saya bersumpah demi kucing saya, saya tidak lihat apa-apa!”“Sayang sekali,” sahut Arian ringan.Nazharina nyaris menjatuhkan mapnya karena tertawa tertahan.Arian bersandar ringan pada counter, mendekatkan wajahnya sedikit. “Tapi tentu saja, masalah pelanggaran area terbatas bukan perkara kecil. Bisa saja... berujung pada sanksi. Atau bahkan... pemecatan.”Kinoshita menarik napas panjang seperti baru keluar dari kolam es. “Tuan Arian... saya mohon... jangan main-main soal pemecatan. Saya masih punya cicilan, kucing, dan... harga diri.”Arian tertawa. Benar-benar tertawa.Itu tawa rendah, hangat, dan—membuatnya tampak manusiawi. Tak ada kesan superioritas. Tak ada tekanan.“Tenang. Aku tidak akan memecatmu,” katanya, melirik Nazharina sekilas. “Tapi... aku akan mempertim

  • Terjebak Cinta dan Gairah Mantan Suami    Kinoshita dan Fakta Tak Terlupakan

    Maxime tertawa. “Kau terlalu banyak diam. Setidaknya sekarang aku tahu alasannya. Coba tebak, Nazh… saat kau tak muncul ke kantor, semua orang mengira kau sedang dalam misi rahasia. Ternyata misinya... bernuansa kasur.”Nazharina hampir tertawa, tapi memilih tetap menjaga wajah dinginnya. “Aku tak akan membahas ini.”“Tentu tidak. Tapi izinkan aku mengingatkan—gosip kantor lebih kejam dari kenyataan. Dan kau baru saja memberi mereka materi untuk seminggu penuh.”Nazharina menyipitkan mata. “Aku akan pasang batas, Max.”“Bagus. Karena kalau tidak, aku khawatir ruangan ini akan berubah jadi ruang konsultasi pranikah... atau—”“Cukup,” potong Nazharina, meski suaranya terdengar terlalu lembut untuk terdengar mengancam.Maxime mengedip jahil. “Oke, Nyonya yang setengah-resmi. Tapi satu hal terakhir...”Nazharina menoleh malas. “Apa lagi?”Maxime mengangguk ke arah perutnya. “Kalau tiba-tiba kau mulai mual-mual, aku akan jadi orang pertama yang men

  • Terjebak Cinta dan Gairah Mantan Suami    Nazharina Sudah Kembali

    Pintu kaca buram itu terbuka tanpa ketukan. Maxime menyelip masuk dengan gaya seenaknya, satu tangan membawa dua cangkir kopi. Senyum jahil langsung mengembang begitu melihat Arian sedang berdiri di dekat jendela, dengan senyum kecil yang tidak biasa.“Ini untukmu, Bapak CEO yang sedang mabuk asmara,” kata Maxime sambil meletakkan kopi di meja Arian.Arian hanya melirik, tak bereaksi. Tapi Maxime tahu betul, sikap datar itu hanya kedok dari pria yang sedang menyembunyikan sesuatu.“Pagi yang cerah, bukan?” sindir Maxime sambil menjatuhkan diri ke sofa. “Tapi sepertinya cuaca di kamarmu lebih panas dari kemarin.”Arian hanya menggeleng, melirik sekilas. “Apa kau selalu punya waktu untuk urusan pribadi orang lain?”“Kalau itu melibatkan teman lama dan wanita yang selama ini membuatnya susah tidur, tentu saja,” jawab Maxime santai. “Kau terlalu bersinar hari ini. Matamu bahkan tidak sekaku biasanya.”Arian kembali ke mejanya. “Max.”“Aku serius. Kau d

  • Terjebak Cinta dan Gairah Mantan Suami    Bosku, Mantanku, Masalahhku

    "A-Astaga, Kinoshita! Berhenti!" seru Nazharina panik, mengejar langkah cepat temannya yang langsung menuju lorong kamar.Tapi terlambat.Kinoshita sudah sampai di depan pintu kamar yang terbuka sedikit, dan apa yang dilihatnya membuat dia terdiam membeku.Di dalam, Arian duduk santai di tepian kasur, hanya mengenakan celana panjang, dada bidangnya telanjang, rambutnya berantakan dengan cara yang sangat... sangat intim.Kinoshita menutup mulutnya erat-erat, menahan teriakan. Matanya membulat seperti piring. Ia mundur cepat, membentur dinding dengan bunyi 'duk' kecil.Nazharina buru-buru menarik lengannya, menyeretnya keluar sebelum Arian sempat sadar.Mereka berdua jatuh ke sofa, napas memburu."Nazh!" Kinoshita akhirnya bersuara, setengah berbisik, setengah menjerit. "Kau tidur dengan Tuan Arian!"Nazharina memejamkan mata, mengutuk nasibnya."Aku bisa jelaskan semuanya," desahnya, berusaha terdengar tenang."Astaga, astaga..." Kino

  • Terjebak Cinta dan Gairah Mantan Suami    Jejak di Kulit, Luka di Hati

    Arian membalik tubuh Nazharina, mencium tulang belakangnya dengan lembut, lalu kembali mengisinya, kali ini lebih dalam, lebih perlahan, seolah ingin membuat malam itu bertahan selamanya.Nazharina mengerjap pelan, berusaha mengatur napas yang masih memburu. Tubuhnya terasa lemas, nyaris tak bisa bergerak, tapi kehangatan aneh menyelimuti hatinya.Lengan kekar itu menariknya kembali ke dalam pelukan. Kulit panas mereka kembali bersentuhan, membangkitkan bara yang belum sepenuhnya padam."Kau pikir aku puas hanya sekali?" bisik Arian di telinganya, suaranya serak dan berat oleh hasrat yang belum reda.Nazharina menggeliat kecil, mencoba berpaling, tapi Arian sudah membalik tubuhnya hingga kini ia menatap pria itu. Wajah Arian berada sangat dekat, matanya menatap dengan dalam."Aku ingin melihatmu lebih jelas," gumam Arian, mengusap helai rambut yang menempel di pipi Nazharina.Sebelum Nazharina bisa membalas, Arian kembali menunduk, mencium bibirnya perl

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status