Nazharina menarik napas sebelum mengetuk pintu dan masuk ke dalam ruangan yang kini menjadi tempat kerjanya. Ruang kerja Arian tidak banyak berubah sejak terakhir kali ia melihat—tetap rapi, minimalis, dan terasa terlalu formal untuk seseorang seperti Arian yang dulu ia kenal.
Namun, yang berbeda adalah suasananya. Arian duduk di balik meja, mengenakan kemeja putih dengan dasi yang sedikit longgar, tampak sibuk membaca sesuatu di tangannya. Begitu Nazharina masuk, ia mengangkat kepala dan menatap sekilas. Sekilas, tapi cukup lama. Nazharina tetap berdiri tegak, berusaha tidak memikirkan betapa anehnya situasi ini. Bagaimanapun, ini adalah pekerjaan. Ia tidak boleh memperumit keadaan hanya karena sejarah yang mereka miliki. Namun, Arian… tetaplah Arian. Tatapannya tenang, tetapi ada sesuatu di sana yang sulit diabaikan. Dan saat keheningan menggantung di antara mereka, Nazharina menyadari satu hal—ia tidak tahu bagaimana menghadapi pria ini sebagai atasannya. Bukan lagi sebagai suami. Bukan lagi sebagai seseorang dari masa lalunya. Melainkan sebagai General Manager yang baru saja menggantikan posisi atasannya. Pikiran itu membawanya kembali ke momen di lobi tadi pagi—ketika ia masih berdiri canggung, mencoba mencerna kenyataan yang baru saja terjadi. Sesaat setelah pria itu diperkenalkan sebagai General Manager yang baru. Ketenangannya terusik ketika Peter, manajer HRD, tiba-tiba memanggil namanya. "Nona Nazharina," suara Peter terdengar jelas. "Kenalkan, ini Tuan Arian. Beliau adalah General Manager baru kita. Dan, Tuan Arian, ini Nazharina—sekretaris pribadi dari GM sebelumnya." Seolah ada aliran listrik kecil yang merambat ke seluruh tubuhnya. Arian. Ia tahu pria itu pasti sudah mengetahui posisinya sebelum hari ini. Tapi tetap saja, momen perkenalan ini terasa terlalu… aneh. Dengan langkah terkontrol, Nazharina mendekat. Ia bisa merasakan tatapan semua orang di sekitar mereka, seakan menyaksikan sesuatu yang besar. Arian tidak mengatakan apa pun. Ia hanya menatapnya, tanpa berkedip. Nazharina mengenali tatapan itu. Tatapan yang tenang, mendalam, dan sulit diterjemahkan. Ia menegakkan tubuh, berusaha tidak terlihat goyah. Namun, ketika Peter kembali bersuara, jantungnya berdegup lebih kencang. "Silakan bersalaman," bisik Peter, membuatnya hampir menelan ludah sendiri. Tentu saja Peter tidak tahu. Tidak ada yang tahu bahwa pria di hadapannya ini adalah mantan suaminya. Tidak ada yang tahu bahwa Arian bukan tipe orang yang akan dengan mudah bersalaman dengannya—atau dengan siapa pun, kecuali dalam situasi tertentu. Tangannya tetap berada di samping tubuh. Ragu. Seketika, kenangan lain melintas di benaknya. Hari ketika ia berusia dua belas tahun—ketika pertama kali bertemu Arian setelah diadopsi oleh Erina dan Marco. Atau momen saat ia berpamitan, meninggalkan rumah megah itu setelah perceraian mereka diputuskan secara resmi. Arian tak pernah mau menjabat tangannya. Tapi sekarang… Di hadapan begitu banyak orang, Nazharina tidak punya pilihan lain. Dengan hati yang sudah lebih dulu dipenuhi kepastian bahwa Arian tak akan membalasnya, ia akhirnya mengulurkan tangan. Namun, yang terjadi berikutnya membuat Nazharina terkejut. Arian menyambut tangannya. Dan menggenggamnya dengan hangat. Nazharina menahan napas. Sesuatu yang aneh berdesir di dalam dirinya. Untuk pertama kali, sejak mereka saling mengenal, ia merasakan langsung sentuhan pria itu. Tangan Arian hangat. Kokoh. Tidak seperti yang ia bayangkan—dingin dan penuh perhitungan. Dan lebih dari itu, tatapan Arian... berbeda. Tatapannya tidak lagi datar. Ada sesuatu di sana—dan itu membuat napas Nazharina tersendat. Nazharina buru-buru menarik tangannya sebelum debaran aneh itu semakin menguasai dirinya. Ia berusaha mengatur napas dan menenangkan pikirannya. Kini, ia benar-benar berhadapan langsung dengan Arian dan memulai hubungan kerja secara profesional. “Saya sudah siap menerima instruksi,” katanya, menjaga nada suaranya tetap netral. Arian meletakkan dokumen yang tadi ia baca, lalu menyandarkan tubuh ke kursinya. “Aku butuh laporan ringkasan untuk proyek ekspansi kita di Singapura. Maxime sudah mengirim datanya ke emailmu, kau bisa mulai dari sana.” Nazharina mengangguk. “Baik. Ada hal lain yang harus saya prioritaskan?” “Untuk sekarang, cukup itu dulu,” jawab Arian, tapi mata pria itu tidak benar-benar lepas darinya. Nazharina mengangguk lagi. Ia akan berbalik pergi ketika pintu tiba-tiba terbuka tanpa diketuk. Maxime masuk dengan ekspresi santai, tangan kirinya menyelip di saku celana. “Jadi, sudah mulai kerja?” tanyanya ringan, sebelum matanya menyapu seisi ruangan dan akhirnya berhenti pada Arian dan Nazharina. Sejenak, ia tidak berkata apa-apa. Tapi ekspresinya berbicara banyak. Nazharina menyadari itu. Maksudnya jelas—tentu saja Maxime tahu hubungan mereka di masa lalu. Sebagai asisten pribadi yang selalu mengikuti Arian ke mana-mana, hampir mustahil jika ia tidak tahu. Tapi yang mengejutkan adalah, Maxime tidak berkomentar langsung. Ia hanya tersenyum kecil sebelum berkata dengan nada ringan, “Ruangannya tiba-tiba jadi terlalu sunyi. Aku hampir mengira salah masuk.” Arian memutar matanya. “Jangan berlebihan.” Maxime mengangkat bahu. “Aku hanya bilang suasananya… berbeda.” Ia kemudian melirik Nazharina sekilas, lalu kembali fokus pada Arian dengan tatapan geli yang tersamar. “Tapi ya sudahlah, aku cuma mau kasih update soal jadwal rapat sore nanti.” Arian mengangguk, kembali fokus pada pekerjaannya, sementara Nazharina diam di tempatnya sejenak. Ia tahu Maxime tidak akan terus membahas ini. Namun, ia juga tahu bahwa asisten Arian itu cukup cerdas untuk menangkap atmosfer aneh yang tadi sempat menguasai ruangan. Nazharina berusaha tetap profesional. Setelah menerima tugasnya, ia berjalan menuju meja di sudut ruangan, tempat Arian meninggalkan beberapa dokumen yang harus ia tinjau. Tapi saat ia meraih salah satu dokumen, Arian juga melakukan hal yang sama. Tangan mereka bertemu di atas tumpukan kertas. Nazharina langsung menarik tangannya, tapi Arian sedikit terlambat merespons, membuat ujung jarinya masih sempat bersentuhan dengan kulitnya. Bukan sesuatu yang berarti—hanya sekilas. Namun, listrik kecil yang menyertainya cukup membuat mereka sama-sama terpaku sesaat. Dan tentu saja, Maxime tidak melewatkan momen itu. “Oh,” komentar Maxime ringan, “ternyata tumpukan kertas bisa sangat menggoda hari ini.” Nazharina merapikan ekspresi. “Saya akan mulai mengerjakannya sekarang.” “Bagus,” Arian menjawab, suaranya sedikit lebih rendah dari biasanya. Maxime menyeringai kecil. “Jangan terlalu serius, Nona Nazharina. Aku tahu bos kita ini bisa sangat perfeksionis, tapi jangan sampai tegang begitu.” Nazharina hanya tersenyum kecil sebelum berjalan menuju pintu. Ia merasa Maxime sengaja menahan komentar yang lebih tajam, seolah menunggu sampai ia keluar dari ruangan. Dan benar saja. Begitu pintu tertutup di belakangnya, Maxime langsung menoleh ke Arian dengan ekspresi penuh arti. “Kau yakin ingin terus berpura-pura seperti ini?” katanya, menyilangkan tangan di dada.“Aku akan pulang. Dan kau, Max, siapkan tim Public Relations terbaik. Kita akan melakukan damage control. Dan cari tahu setiap jejak Shelby. Setiap koneksinya. Setiap orang yang dia ajak bicara.”Maxime mengangguk. “Siap. Tapi Arian, ini akan jadi perang yang kotor. Mereka akan menyerang Nazharina secara pribadi.”Arian menghela napas, matanya menatap ke luar jendela. “Aku tahu. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhnya. Tidak lagi.”Malam itu, Arian tiba di rumah Nazharina. Ia memeluknya erat, menenangkan tubuh Nazharina yang masih gemetar.“Aku sudah bicara dengan tim PR. Mereka akan mengeluarkan pernyataan besok pagi. Kita akan mengumumkan hubungan kita secara resmi.”Nazharina mendongak, terkejut. “Apa?! Sekarang?”“Ya. Tidak ada lagi yang perlu disembunyikan. Biarkan mereka tahu. Biarkan mereka bicara. Aku tidak peduli.” Arian menatapnya dalam. “Aku hanya ingin kau aman. Dan aku ingin dunia tahu kau adalah milikku.”Nazharina merasaka
“Nazh! Aku tahu kau di dalam! Buka pintunya!”Itu suara Kinoshita.Nazharina menghela napas lega, lalu segera membuka pintu. Kinoshita langsung menerobos masuk, wajahnya penuh kekhawatiran.“Astaga, Nazh! Kau baik-baik saja? Aku nyaris gila mencarimu! Ponselmu tidak aktif, kau tidak masuk kerja, dan... dan ada desas-desus aneh di hotel!” Kinoshita memeluknya erat, lalu menarik diri, menatap Nazharina dari ujung kepala sampai kaki.“Aku baik-baik saja, Kinoshita,” Nazharina tersenyum tipis. “Maaf membuatmu khawatir. Ada... urusan mendadak.”“Urusan mendadak sampai menghilang begitu saja? Aku kira kau diculik lagi!” Kinoshita menghela napas, lalu matanya menyipit. “Omong-omong soal diculik... kau tahu, sejak kejadian yang dulu itu, saat Reynold menghilang, ada banyak bisik-bisik aneh tentangmu. Dan sekarang, setelah kau menghilang lagi, gosipnya makin liar!”Nazharina menunduk. Ia tahu gosip itu. Shelby pasti dalangnya.“Mereka bilang apa?” Nazharina bertanya, suaranya pelan.Ki
Di luar rumah tua tempat pesta digelar, Arian berdiri diam di bawah bayang-bayang pepohonan. Ia tiba sejak dua jam lalu. Timnya menyisir wilayah, tapi tidak ada langkah ceroboh. Tidak malam ini. Ia datang sendiri. Berpakaian hitam pekat, jas yang rapi, dan tatapan yang tajam membelah gelap malam.Maxime, yang mengikutinya diam-diam, mendekat pelan. “Kau yakin tidak mau aku masuk bersamamu?”Arian tak menoleh. “Aku butuh dia merasa aman. Aman untuk menunjukkan kelemahannya. Jika kau masuk, dia akan memasang wajah keras.”Maxime mengangguk. “Jadi... bagaimana rencananya?”Arian hanya menatap bangunan bercahaya itu. “Aku akan bicara. Dan aku akan menang.”**Langkah Arian tenang saat ia memasuki rumah tua itu. Musik hampir padam. Ruangan itu mendadak sunyi saat sosoknya muncul.Julian yang sedang berdiri di dekat bar, terkejut — hanya sedetik. Tapi itu cukup. Ia cepat memulihkan diri, lalu menyeringai. “Arian. Aku tidak tahu kau bisa secepat ini.”“Aku tidak suka terlambat ke pes
Arian menunjuk sebuah area di peta. “Fokuskan pencarian di sekitar sini. Ini adalah rute tercepat dari rumah menuju wilayah terpencil tanpa melewati banyak mata. Dan ada properti yang dulu pernah ia incar untuk proyek gagalnya. Dia mungkin menggunakannya untuk menyembunyikan sesuatu.”Maxime melihat ke titik yang ditunjuk Arian. “Itu akan membutuhkan izin khusus untuk menyisirnya. Wilayah itu dikendalikan oleh... kelompok lama Julian.”“Aku tidak butuh izin.” Suara Arian dingin. “Aku akan masuk sendiri jika perlu. Cari tahu di mana pusat kendali kelompok lama Julian. Jika mereka melindunginya, mereka juga akan hancur.”Ponsel Arian berdering lagi. Nomor Julian. Arian langsung mengangkatnya, menyalakan loudspeaker agar Maxime bisa mendengar.“Sudah menemukan teka-tekiku, Arian?” suara Julian terdengar riang. “Kurasa kau butuh sedikit bantuan.”“Katakan di mana dia, Julian,” Arian menggeram.“Sabar. Aku hanya ingin memastikan kau tahu apa yang akan kau hadapi. Nyonya Laurent baik-
"Arian memang sangat mencintaimu, bukan?" Julian bertanya, suaranya tiba-tiba terdengar... aneh. Tidak sinis lagi, melainkan lebih seperti sebuah pengamatan yang dalam.Nazharina tidak menjawab.Julian hanya mengangguk pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Menarik." Ia menatap Nazharina lagi, senyum tipis kembali ke bibirnya, tapi kali ini terasa berbeda, hampir seperti janji. "Aku akan kembali besok."Pintu gudang tertutup kembali, meninggalkan Nazharina dalam kegelapan. Ia menatap ke arah pintu yang terkunci, merasa ada sesuatu yang aneh dari sikap Julian di akhir. Tatapannya itu... Itu bukan sekadar rival.Dan Nazharina tahu, permainan ini, bagi Julian, baru saja dimulai. Bukan hanya untuk Arian, tapi juga, entah bagaimana, untuk dirinya.***”Malam itu terasa panjang di gudang terpencil. Nazharina tidak bisa tidur. Setiap derit kayu, setiap suara angin, terasa seperti langkah kaki. Ketakutan akan apa yang akan terjadi padanya, pada bayinya, dan pada Arian, terus men
Julian tersenyum miring. "Kau kelemahannya. Titik paling rentannya. Selama ini, aku hanya mendengarnya. Betapa dia terobsesi denganmu. Betapa dia melindungimu. Dan sekarang... aku akan membuktikannya sendiri.""Kau gila!" Nazharina berteriak, amarah dan ketakutan bercampur. "Apa kau tidak tahu aku sedang hamil?! Kau tidak bisa melakukan ini!"Wajah Julian sedikit berubah. Ada kilatan aneh di matanya. "Aku tahu kau hamil," katanya, dengan suara sedikit lebih rendah. "Selamat. Aku ikut senang karena itu akan membuat Arian semakin putus asa.” Nada "selamat" itu terdengar dingin, seperti sarkasme. "Lepaskan aku! Aku mohon!" Nazharina mencoba membuat suaranya putus asa, berharap memancing simpati. "Apa kau tidak punya hati? Aku tidak bersalah! Bayiku tidak bersalah!"Julian bangkit berdiri. Ia menatap Leo. "Pastikan dia tidak kekurangan apapun. Makanan sehat. Air bersih. Dan jangan sentuh dia sama sekali." Suaranya kembali datar. "Aku tidak ingin bayi itu kenapa-kenapa. Aku hanya in