Di kamar hotel Sabrina, aroma jasmine dari diffuser berpadu dengan ketegangan yang menyesakkan. Sabrina duduk di tepi ranjang, bibirnya mengerucut. Ia melihat Kana hanya duduk di sofa, memainkan ponsel, tetapi pikirannya tak bisa fokus. Sabrina melihat banyak kejanggalan pada diri Kana selama berlibur di sini, seolah pria itu hadir secara fisik tapi jiwanya tertinggal entah di mana.Sabrina mendekat, lalu duduk di pangkuan Kana. Ia memeluk kepala pria itu agar menempel di dadanya, berusaha menciptakan kembali keintiman yang telah hilang. Namun, Kana bergeming, tidak menyambutnya. “Aku lelah, Sab,” ucap Kana, dengan suara pelan dan datar. Ia melepaskan pelukan Sabrina dengan lembut dan memijat pelipisnya, berusaha mengusir penat yang menumpuk.Tangan Sabrina terulur untuk membelai rambut pria itu. “Sebentar saja, sayang. Aku sudah menunggumu seharian.” Ia melanjutkan dengan nada menggoda, “Aku merindukanmu.” Sambil menyelusuri leher dan dada Kana dengan jemari dinginnya. Ia membungku
Teras kamar hotel itu masih hangat oleh sisa matahari sore. Setelah kembali dari kapal, Riri duduk sendiri di kursi rotan, menyandarkan tubuh pada bantal kecil yang mulai lembap oleh keringat punggungnya. Angin laut menyibak ujung rambutnya yang setengah terikat. Suara ombak bersahut dengan tawa anak-anak turis yang bermain pasir. Namun, baginya, suasana itu tak masuk ke dalam hatinya. Ia sedang menunggu, dengan hati yang lebih dingin dari lautan itu sendiri.Kana masih bersama Sabrina. Alasan klasik, “Sabrina butuh bantuan soal laporan investasi minggu depan.” Riri hanya mengangguk, pura-pura tak paham. Padahal, ia tahu. Ia tahu semua. Bukan hanya pengkhianatan di balik pekerjaan itu, tapi juga bisikan mesra, sentuhan terlarang, dan tatapan penuh rahasia yang ia saksikan sendiri sejak awal liburan. Tapi kini, Riri sudah terlalu muak untuk peduli pada drama mereka. Hatinya sudah mati rasa, tergantikan oleh api dendam yang membara.Langkah sepatu mendekat tanpa aba-aba.Damian muncu
“Mas, aku pikir… akan lebih seru kalau kita ajak Pak Damian dan Sabrina ikut liburan bareng,” ucap Riri sambil menyesap tehnya di teras kamar mereka.Kana menghentikan gerakan sendoknya, menoleh pelan. “Maksudmu… mengajak mereka satu perahu, satu jadwal?”Riri mengangguk dengan senyum manis yang tak bisa ditolak. “Iya. Supaya suasananya lebih hidup. Masa Cuma kita berdua? Lagipula, Sabrina sepupumu, tak enak kalau kita hanya berlibur berdua. Dia di sini untuk mengurus pekerjaanmu,” lanjut Riri dengan nada yang sedikit lebih ditegaskan saat menyebut nama Sabrina.“Lalu apa urusannya aku harus mengajak Damian?” tanya Kana, ada nada bingung yang nyata dalam suaranya.Riri menjawab dengan wajah dibuat semanis mungkin, “Dia sudah membantu kita saat kejadian orang mabuk itu. Aku tak ingin terlihat seperti orang yang tidak tahu terima kasih.”Kana mendengus pelan, lalu menyeruput kopi. “Kamu serius mau liburan bareng dengan mereka?”“Setidaknya bisa memeriahkan suasana. Felix juga ajak saja
Wakatobi menyambut mereka dengan langit senja berwarna jingga keemasan. Angin laut menerpa lembut, membelai dedaunan kelapa dan menyisipkan ketenangan semu yang seolah menutupi riak-riak konflik yang belum juga padam.Kana telah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Meski masih ada plester di pelipisnya, ia tampak jauh lebih segar. Ia kembali ke hotel bersama Riri, Sabrina, dan Felix. Keputusan Sabrina untuk tak kembali ke Jakarta sempat mengejutkan. Ia memilih bergabung dalam liburan. Dan entah kebetulan atau bukan, kamar yang dipesannya berdekatan dengan kamar Riri dan Kana.Di dalam kamar, keheningan menyambut mereka. Canggung. Riri mencoba terlihat tenang, kembali mengenakan peran yang sudah ia kuasai bertahun-tahun yaitu sebagai istri yang baik, lembut, dan penuh perhatian. Meski kini, di balik semua itu, ada bayangan Damian yang terus menghantui pikirannya.Kana bersandar santai di kasur, memperhatikan Riri yang sibuk membereskan barang-barang dan merapikan selimut hingga me
Setelah kepuasan yang meredakan gejolak batin, Damian dan Riri berbaring diam dalam pelukan di atas ranjang. Keringat masih membasahi tubuh mereka, napas perlahan melambat, seiring detak jantung yang mulai menyatu. Dalam keheningan itu, Damian menggenggam jemari Riri, jari-jarinya bermain pelan di atas cincin pernikahan yang masih melingkar di tangan Riri, cincin dari Kana. Sebuah pengakuan bisu akan rumitnya hubungan mereka.Riri menoleh, menatap wajah Damian dari jarak dekat. “Aku harus kembali ke rumah sakit,” bisiknya. “Tadi aku bilang ke Felix hanya pergi sebentar, hanya untuk mengambil ponsel dan berganti pakaian.”Damian mendengus pelan, lalu terkekeh sambil mengecup puncak kepala Riri. “Bukannya berganti pakaian, tapi malah melepas semua pakaiannya. Kamu benar-benar tak bisa dipercaya, Nyonya,” goda Damian.Riri tertawa kecil, memukul pelan dada Damian. Tapi tawa itu cepat meredup, tergantikan kegelisahan di matanya. Damian menangkapnya. Dan ia tahu, Riri harus kembali memaink
Damian menatap bibir Riri yang masih basah setelah ciuman terakhir mereka. Napasnya belum stabil. Matanya gelap, bukan karena gairah semata, tapi karena kemarahan yang belum benar-benar mereda. Di kepalanya, bayangan jejak merah di leher Riri masih menghantui. Rasa curiga, cemburu, dan luka bercampur jadi satu. Tanpa peringatan, Damian kembali mencium Riri. Tak seperti biasanya. Kali ini lebih kasar. Lebih tergesa. Lidahnya langsung masuk, menuntut, mendominasi. Tangannya mencengkeram pinggang Riri erat, menahan tubuhnya agar tak menjauh. Riri tergagap. Tubuhnya sempat terdorong ke belakang, tapi Damian menahan dengan kuat. Ciuman itu tak ada kelembutan, hanya ledakan emosi. Bibirnya digigit, cukup keras hingga meninggalkan rasa perih. “Damian…” bisik Riri, mencoba mengatur napas di sela tekanan itu. Tapi Damian tak memberinya ruang. Ia mencium lagi, lebih dalam, seolah ingin menghapus semua kemungkinan jejak pria lain dari tubuh Riri. Tangan Damian bergerak cepat. Dari tengkuk, k