Wakatobi menyambut mereka dengan langit senja berwarna jingga keemasan. Angin laut menerpa lembut, membelai dedaunan kelapa dan menyisipkan ketenangan semu yang seolah menutupi riak-riak konflik yang belum juga padam.Kana telah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Meski masih ada plester di pelipisnya, ia tampak jauh lebih segar. Ia kembali ke hotel bersama Riri, Sabrina, dan Felix. Keputusan Sabrina untuk tak kembali ke Jakarta sempat mengejutkan. Ia memilih bergabung dalam liburan. Dan entah kebetulan atau bukan, kamar yang dipesannya berdekatan dengan kamar Riri dan Kana.Di dalam kamar, keheningan menyambut mereka. Canggung. Riri mencoba terlihat tenang, kembali mengenakan peran yang sudah ia kuasai bertahun-tahun yaitu sebagai istri yang baik, lembut, dan penuh perhatian. Meski kini, di balik semua itu, ada bayangan Damian yang terus menghantui pikirannya.Kana bersandar santai di kasur, memperhatikan Riri yang sibuk membereskan barang-barang dan merapikan selimut hingga me
Setelah kepuasan yang meredakan gejolak batin, Damian dan Riri berbaring diam dalam pelukan di atas ranjang. Keringat masih membasahi tubuh mereka, napas perlahan melambat, seiring detak jantung yang mulai menyatu. Dalam keheningan itu, Damian menggenggam jemari Riri, jari-jarinya bermain pelan di atas cincin pernikahan yang masih melingkar di tangan Riri, cincin dari Kana. Sebuah pengakuan bisu akan rumitnya hubungan mereka.Riri menoleh, menatap wajah Damian dari jarak dekat. “Aku harus kembali ke rumah sakit,” bisiknya. “Tadi aku bilang ke Felix hanya pergi sebentar, hanya untuk mengambil ponsel dan berganti pakaian.”Damian mendengus pelan, lalu terkekeh sambil mengecup puncak kepala Riri. “Bukannya berganti pakaian, tapi malah melepas semua pakaiannya. Kamu benar-benar tak bisa dipercaya, Nyonya,” goda Damian.Riri tertawa kecil, memukul pelan dada Damian. Tapi tawa itu cepat meredup, tergantikan kegelisahan di matanya. Damian menangkapnya. Dan ia tahu, Riri harus kembali memaink
Damian menatap bibir Riri yang masih basah setelah ciuman terakhir mereka. Napasnya belum stabil. Matanya gelap, bukan karena gairah semata, tapi karena kemarahan yang belum benar-benar mereda. Di kepalanya, bayangan jejak merah di leher Riri masih menghantui. Rasa curiga, cemburu, dan luka bercampur jadi satu. Tanpa peringatan, Damian kembali mencium Riri. Tak seperti biasanya. Kali ini lebih kasar. Lebih tergesa. Lidahnya langsung masuk, menuntut, mendominasi. Tangannya mencengkeram pinggang Riri erat, menahan tubuhnya agar tak menjauh. Riri tergagap. Tubuhnya sempat terdorong ke belakang, tapi Damian menahan dengan kuat. Ciuman itu tak ada kelembutan, hanya ledakan emosi. Bibirnya digigit, cukup keras hingga meninggalkan rasa perih. “Damian…” bisik Riri, mencoba mengatur napas di sela tekanan itu. Tapi Damian tak memberinya ruang. Ia mencium lagi, lebih dalam, seolah ingin menghapus semua kemungkinan jejak pria lain dari tubuh Riri. Tangan Damian bergerak cepat. Dari tengkuk, k
Di teras rumah sakit yang temaram, Damian mondar-mandir gelisah, napasnya memburu. Di sampingnya, Satria berdiri diam, membiarkan atasannya meluapkan emosi. Damian mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Ia tak bisa menerima. "Harusnya aku menyuruh pembunuh bayaran, bukannya orang mabuk gila yang cuma mampu melukai kening bajingan itu!" geram Damian, suaranya sarat amarah yang tertahan. Damian kembali mengumpat. “Harusnya bukan cuma luka di pelipis. Harusnya aku kirim orang yang lebih beres, yang bisa menghabisinya!” Nafasnya berat, dadanya naik turun. Tapi kemarahannya bukan cuma karena rencana yang meleset, melainkan karena Riri. Karena perempuan itu memilih masuk ke ruang rawat Kana. Duduk di sisinya. Bahkan ikut berbaring di ranjang yang sama, alih-alih menjelaskan jejak merah di leher itu. Riri tak menggubris amarahnya. Satria tetap diam. Ia tahu ini bukan waktu yang tepat untuk menyela, karena Damian sedang berada di ambang batas. Tiba-tiba, suara langkah kaki pelan terdeng
Bau antiseptik menusuk hidung Riri begitu Kana dibawa masuk ke ruang gawat darurat. Jantungnya bergemuruh tak karuan, seolah ingin lepas dari rongga dada. Ia telah berganti pakaian, mengenakan sweter Kana yang kebesaran, menutupi gaun tidur satinnya. Dingin pendingin ruangan tak seberapa dibanding rasa dingin yang menjalar dari ujung kaki hingga ubun-ubun. Damian dan Satria berdiri di sisinya, menjadi bayangan yang menenangkan di tengah kekalutan. Seorang perawat keluar dan memanggilnya. “Bu, Bapak Kana akan segera dijahit lukanya. Nanti setelah tindakan, Ibu diperbolehkan masuk.” Riri mengangguk kaku. Dari balik kaca tipis, ia melihat Kana terbaring di ranjang, tubuhnya lemas, seorang dokter tengah membersihkan luka di pelipisnya. Setiap kali Kana meringis, dada Riri ikut mengencang. Ketakutan itu nyata. Tak bisa ia kendalikan. Damian yang berdiri terpaku, tatapannya tak lepas dari Riri yang menatap Kana dengan kekhawatiran penuh. Ada sengatan panas di dada Damian. Api cemburu itu
Malam semakin larut perlahan di Wakatobi, menyelimuti resor dengan keheningan yang hanya dipecah desir angin laut dan derik serangga. Makan malam telah usai, menyisakan degup kencang di dada Riri. Ia merasakan tatapan Damian yang tak putus mengawasinya dari kejauhan, sebuah pengawasan yang luput dari perhatian Kana. Kini, Riri duduk di depan meja rias. Rambutnya masih setengah basah, berantakan namun memancarkan pesona tersendiri. Gaun tidur satin warna champagne yang disediakan hotel untuk tamu bulan madu menempel lembut di kulitnya. Bahu halusnya terbuka, garis lehernya memanjang hingga lekukan dada yang samar terlihat. Lampu kuning hangat menyoroti wajahnya yang polos tanpa riasan, hanya sedikit lip balm dan krim malam yang baru saja ia oleskan pelan. Kana, yang baru selesai mandi, keluar dari kamar mandi dan terdiam, menatap Riri begitu dalam. Tak seperti biasanya, malam ini ia tidak menyibukkan diri dengan laptop atau dering telepon yang tak kunjung henti. Matanya terpaku pada