Sebuah kenangan berkelabat dalam benak Alana. Suatu pagi di hari Minggu saat Alana sedang menonton kartun favoritnya, tiba-tiba papanya datang dan memeluk erat. Dia ingat pada saat itu sedang mengenakan gaun merah jambu bermotif bunga-bunga tanpa lengan. Pakaian favorit Alana sewaktu kecil.
Papa memeluk Alana lama dan begitu erat, seakan tidak pernah ingin melepaskan sang puteri. Begitu akhirnya Papa melepaskan pelukan, Alana melihat lelaki itu menangis.
Seumur hidup Alana tidak pernah sekali pun melihat papanya menangis.
“Papa mengapa menangis?” tanya Alana, sambil mengusap air mata yang melelehi pipi papanya.
Papa Alana memeluknya lagi dan berbisik, “Maafkan Papa, Nak. Papa sayang sama Lana.”
Pada saat itulah Alana juga ikut menangis. Dia tahu sesuatu yang buruk pada akhirnya benar-benar terjadi. Alana melirik tas bepergian kecil warna hitam yang diletakkan di samping sang papa yang saat itu sedang berlutut di hadapannya.
Ada duka yang begitu mendalam di mata papanya dan itu membuat Alana menangis semakin keras.
“Papa mau pergi? Papa tidak boleh pergi. Papa jangan pergi!” Kali ini Alana berdiri dan giliran dia yang memeluk leher papanya dengan erat.
“Lana janji tidak akan nakal lagi, tetapi Papa jangan pergi. Lana mohon, Pa ... ” Kini Alana mulai menangis sesenggukan.
Alana tidak lagi mempedulikan serial kartun yang kini menampilkan adegan lucu. Dia bahkan tidak peduli lagi dengan semuanya.
Yang dia inginkan hanyalah papanya yang tetap berada di sisinya. Papa yang tidak akan pernah meninggalkannya.
Pada akhirnya papa Alana tetap pergi, tidak peduli apa pun yang gadis kecil itu katakan. Alana menunggu keesokan hari dan keesokannya lagi, tetapi sang papa tetap tidak pernah kembali.
Hari-hari itu Alana hanya ditemani oleh mamanya yang seringkali tiba-tiba marah dan mengamuk. Alana mulai semakin sering menjadi pelampiasan kemarahan wanita itu.
Dan saat Mama marah, tidak ada Papa di sampingnya yang akan selalu memberi pembelaan. Pada saat itu Alana marah pada papanya, marah pada keadaan.
Gadis itu selalu bertanya-tanya, mengapa Papa begitu tega pergi dan meninggalkannya hanya berdua dengan seorang ibu yang tampak benci padanya?
Hingga kemudian hari setelah Alana jauh lebih dewasa, dia tahu hal itu terjadi karena hak asuh jatuh ke tangan mamanya.
***
“Lebih ke kiri sedikit. Ya, sedikit lagi ... setop! Sama ini yang satunya agak miring, tolong dibetulkan, ya. Terus yang bagian ini bunganya agak layu, saya minta diganti.”
Alana sedang berdiri di atas puncak tangga lantai dua dan mengamati mamanya yang sedang mengarahkan tukang dekorasi.
Besok adalah hari pernikahan Mama, dan wanita tersebut ingin acara dilakukan di rumah. Pada akhirnya pernikahan itu benar-benar akan terjadi.
Setelah pertengkaran hebat dengan mamanya, Alana lebih banyak diam. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di kamar, apalagi kini Samuel lebih sering datang ke rumah mereka.
Tatapan pria itu yang seolah menelanjangi Alana membuat gadis itu merasa risi. Calon suami mamanya itu bahkan sama sekali tidak merasa bersalah ketika Alana beberapa kali memergokinya sedang memandang dengan tatapan kurang ajar.
Alana teringat percakapan dengan mamanya tempo hari.
“Nanti setelah kami menikah, Om Sam akan tinggal di sini bersama kita.” Mama Alana memecahkan kesunyian yang sebelumnya hanya berisi dentingan sendok dan garpu.
Alana tertegun sejenak. Dia mencoba menelan makan malamnya dengan susah payah. Gadis itu memegang garpu dengan erat untuk menahan luapan amarah. Diliriknya Samuel yang kini menatap dari seberang meja.
“Lana tidak keberatan kan, kalau Om tinggal di sini? Karena kita akan menjadi keluarga,” timpal Samuel.
Pria itu kini tersenyum licik. Alana sangat tergoda untuk melompat ke atas meja makan mereka dan mencolokkan garpu yang tengah dia pegang ke mata pria keparat itu.
Padahal semula Alana mengira setelah menikah mamanya akan tinggal di rumah Samuel. Alana sama sekali tidak keberatan jika harus tinggal sendirian di rumah tanpa sang mama.
Alana melupakan satu hal, bahwa Samuel adalah pria miskin tidak bermodal. Lelaki itu memikat mamanya hanya bermodal omong kosong.
Lagi-lagi mamanya tidak mendiskusikan hal ini dengan dirinya, seolah kenyamanan dan kebahagian Alana sebagai anak tidak cukup berarti.
Alana langsung kehilangan nafsu makan. Dia bahkan merasa mual hanya dengan memikirkan Samuel yang akan tinggal seatap dengan mereka.
“Mau ke mana kamu? Kembali ke meja dan habiskan makanan kamu!”
Alana baru saja berdiri saat mamanya menegur dengan tegas.
“Aku sudah kenyang,” jawab Alana yang langsung beranjak pergi sehingga membuat mamanya murka.
“Lana, kembali ke sini! Mama belum selesai bicara dengan kamu. Lanaaa!”
Alana tak peduli. Dia menutup pintu kamar dengan keras, lalu berusaha mengatur napas. Kini dadanya mulai sesak. Pandangan mata Alana mengabur dan tanpa terasa buliran air mata jatuh menetes di pipinya.
Adrian hanya bisa terdiam, saat mendapati bukti-bukti perselingkuhan kekasihnya. Namun, meski semua bukti itu terpampang nyata, pemuda itu masih menolak untuk memercayainya. Dia harus memastikan hal itu secara langsung. Dia harus menemui Greta.Pemuda itu mencari Greta di tempat kerjanya, dan mendapati bahwa gadis itu sedang libur. Dari sini, perasaan Adrian sudah berubah tidak nyaman. Kemudian Adrian pergi menuju rumah gadis itu, berharap dia akan bertemu Greta di sana.Dan betapa hancur hati Adrian, saat mendapati kekasihnya tengah bersama seorang laki-laki yang dilihatnya dalam foto. “A-Adrian!” Greta terkejut dengan kedatangan pemuda itu yang tiba-tiba.“Kau tidak bekerja?” tanya Adrian, masih mencoba untuk berpikir positif.“Aku baru saja pulang,” jawab gadis itu.“Benarkah? Aku baru saja dari tempat kerjamu. Dan mereka bilang hari ini kau sedang libur.”“Ah, i-itu..” Greta menjawab dengan gugup. “Aku—““Siapa kau? Ada perlu apa kau dengan kekasihku?” pria di samping Greta berta
Alana dan Braden mampir ke sebuah tempat yang menjadi pusat street food sebelum pulang. Meski Alana bilang sedang ingin diet, nyatanya mata gadis itu seketika melebar saat melihat aneka jajanan serta mengendus aroma makanan yang menguar di udara sekitar mereka.“Waah, semuanya terlihat enak.” Alana menatap sekelilingnya dengan mata berbinar.“Bukankah tadi kau bilang sedang ingin diet?” Sindir Braden.“Kita kan sudah terlanjur sampai di sini. Jadi, ayo kita keliling,” Alana berjalan di depan dengan diikuti Braden yang membawakan bonekanya.Alana bingung menentukan pilihan, karena semua makanan terlihat sama enaknya. Setelah berkeliling dan melihat sana-sini, akhirnya gadis itu menjatuhkan pilihan pada corndog isi sosis dan keju berukuran besar, souffle cake mini dengan aneka toping, dan segelas boba cokelat.Mereka berjalan sambil menyesap minuman dingin, sedang mencari tempat duduk untuk makan. “Sepertinya itu Kak Greta. Apa aku salah lihat?” Alana berhenti untuk memperhatikan seoran
“Alana―” Braden menyaksikan mata Alana berkilat saat gadis itu menatap Leona dengan tajam. Leona mendongak, menatap Alana tidak kalah sengit. Melihat itu Braden buru-buru berdiri dan menempatkan dirinya di antara kedua gadis itu. “Lana, ayo kita pergi saja. Aku baru ingat ada kedai es krim yang lebih enak.” Alana menepis tangan Braden yang tengah memegangi lengannya. “Kenapa kita harus pergi? Kita duluan yang menempati meja ini. Kalau ada yang harus pergi, itu adalah dia!” Alana menunjuk Leona. “Bagaimana kalau aku tidak mau pergi?” Leona menyialngkan kaki dan mengibaskan rambutnya yang kini pendek sebahu. “Ayo kita cari meja lain.” Braden membujuk. “TIDAK!” Kata Alana tegas, masih sambil menatap Leona tanpa berkedip. Will menyadari ketegangan yang mulai terbentuk. “Leona, ayo kita kembali ke meja kita.” “Meja kita sudah ditempati oleh orang lain. Lagi pula aku lebih suka duduk di sini.” Leona berbicara tanpa repot-repot menoleh pada Will. Alana tersenyum miring. “Baiklah kala
Braden sangat kesal ketika melihat Alana yang terus saja tersipu saat mereka makan bersama malam itu. Gadis itu mengaduk-aduk makanan di piringnya dengan pandangan mata menerawang, dengan senyum samar yang terus saja tersungging di wajahnya.“Lana, jangan mainkan makananmu.” Tegur Sherly, membuat Lana bergegas menghabiskan sisa makanannya.‘Apa yang sudah dilakukan bajingan tengik itu? Dia pasti sudah mencekoki Alana dengan omong kosongnya!’ Braden membatin dengan kesal.Saat akhirnya kembali ke kamarnya, Braden menjadi makin kesal. Senyum konyol Alana benar-benar mengganggunya. “Argh, sialan!” Braden mengacak rambutnya. Dia benar-benar ingin menghajar Eric.Dia keluar dan pergi ke kamar Alana. Dia masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu. Didapatinya gadis itu mendongak terkejut dengan kedatangannya. “Kenapa kau tidak mengetuk pintu? Benar-benar kebiasan!” Alana tengah duduk di meja belajarnya sambil memangku boneka beruang bertuksedo pemberian Eric.Braden melirik boneka itu dengan ke
“Kenapa kau terus memandangiku?” tanya Alana, karena Eric berkali-kali mencuri pandang ke arahnya.Pemuda itu hanya tersenyum. “Aku hanya senang karena akhirnya bisa pergi denganmu.”Alana jadi salah tingkah. “Fokuslah mengemudi. Kau harus memperhatikan jalan dengan baik.”Akhirnya Eric menuruti apa kata Alana. Alana memperhatikan Eric yang sedikit tegang, berbeda dari biasanya. “Eric, apa kau baik-baik saja? Kau tampak tegang.”“Hahaha. Aku baik-baik saja.” Eric melirik Alana kembali. “Emm, Lana. Bisakah kau bukakan laci itu untukku?” Eric menunjuk laci dashboard yang berada tepat di depan Alana.“Yang ini?” Alana menunjuk.“Ya, benar. Yang itu. Bukalah.”Alana membukanya, dan menemukan sebatang cokelat dengan hiasan pita pink. Alana menatap Eric dengan pandangan bertanya. “Itu untukmu.” Ucap Eric, tanpa berani menatap Alana kali ini.Seketika Alana merasakan panas yang menjalar di leher dan wajahnya. Dia merasa kepanasan, padahal AC tengah menyala. ‘Astaga, ini cuma cokelat. Ada apa
Saat sampai di rumah, Alana menumpahkan kekesalannya pada boneka beruang pemberian Adrian. Alana memukul-mukul kepala beruang malang itu, kemudian menutupnya dengan kantong keresek agar mukanya yang imut itu tidak terlihat oleh pandangan matanya.“Kau memang menyebalkan! Mudah sekali kau meminta maaf. Kau pikir aku bisa melupakannya begitu saja?” Alana meninju beruang itu beberapa kali lagi hingga dia merasa puas. Sebenarnya dia merasa kasihan pada si beruang, tetapi benda itu selalu saja mengingatkannya pada Adrian.Seperti yang dijanjikan pemuda itu, keesokan harinya Greta benar-benar datang ke rumah dan meminta maaf pada Alana. “Maafkan aku, Lana. Aku menyesal, sungguh.” Permintaan maaf Greta tampak tulus, tetapi kini Alana tidak akan tertipu lagi.“Bisakah kita memulai semua kembali dari awal? Sebagai sahabat?” Greta tersenyum manis, seakan mereka berdua benar-benar bisa menjadi sahabat.‘Apa? Sahabat? Cuiih...’ Batin Alana. Dia menduga-duga, pasti Adrian harus menyuap Greta denga