Share

BAB 2 – Sebuah Kenangan

Sebuah kenangan berkelabat dalam benak Alana. Suatu pagi di hari Minggu saat Alana sedang menonton kartun favoritnya, tiba-tiba papanya datang dan memeluk erat. Dia ingat pada saat itu sedang mengenakan gaun merah jambu bermotif bunga-bunga tanpa lengan. Pakaian favorit Alana sewaktu kecil.

Papa memeluk Alana lama dan begitu erat, seakan tidak pernah ingin melepaskan sang puteri. Begitu akhirnya Papa melepaskan pelukan, Alana melihat lelaki itu menangis.

Seumur hidup Alana tidak pernah sekali pun melihat papanya menangis.

“Papa mengapa menangis?” tanya Alana, sambil mengusap air mata yang melelehi pipi papanya.

Papa Alana memeluknya lagi dan berbisik, “Maafkan Papa, Nak. Papa sayang sama Lana.”

Pada saat itulah Alana juga ikut menangis. Dia tahu sesuatu yang buruk pada akhirnya benar-benar terjadi. Alana melirik tas bepergian kecil warna hitam yang diletakkan di samping sang papa yang saat itu sedang berlutut di hadapannya.

Ada duka yang begitu mendalam di mata papanya dan itu membuat Alana menangis semakin keras.

“Papa mau pergi? Papa tidak boleh pergi. Papa jangan pergi!” Kali ini Alana berdiri dan giliran dia yang memeluk leher papanya dengan erat.

“Lana janji tidak akan nakal lagi, tetapi Papa jangan pergi. Lana mohon, Pa ... ” Kini Alana mulai menangis sesenggukan.

Alana tidak lagi mempedulikan serial kartun yang kini menampilkan adegan lucu. Dia bahkan tidak peduli lagi dengan semuanya.

Yang dia inginkan hanyalah papanya yang tetap berada di sisinya. Papa yang tidak akan pernah meninggalkannya.

Pada akhirnya papa Alana tetap pergi, tidak peduli apa pun yang gadis kecil itu katakan. Alana menunggu keesokan hari dan keesokannya lagi, tetapi sang papa tetap tidak pernah kembali.

Hari-hari itu Alana hanya ditemani oleh mamanya yang seringkali tiba-tiba marah dan mengamuk. Alana mulai semakin sering menjadi pelampiasan kemarahan wanita itu.

Dan saat Mama marah, tidak ada Papa di sampingnya yang akan selalu memberi pembelaan. Pada saat itu Alana marah pada papanya, marah pada keadaan.

Gadis itu selalu bertanya-tanya, mengapa Papa begitu tega pergi dan meninggalkannya hanya berdua dengan seorang ibu yang tampak benci padanya?

Hingga kemudian hari setelah Alana jauh lebih dewasa, dia tahu hal itu terjadi karena hak asuh jatuh ke tangan mamanya.

***

“Lebih ke kiri sedikit. Ya, sedikit lagi ... setop! Sama ini yang satunya agak miring, tolong dibetulkan, ya. Terus yang bagian ini bunganya agak layu, saya minta diganti.”

Alana sedang berdiri di atas puncak tangga lantai dua dan mengamati mamanya yang sedang mengarahkan tukang dekorasi.

Besok adalah hari pernikahan Mama, dan wanita tersebut ingin acara dilakukan di rumah. Pada akhirnya pernikahan itu benar-benar akan terjadi.

Setelah pertengkaran hebat dengan mamanya, Alana lebih banyak diam. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di kamar, apalagi kini Samuel lebih sering datang ke rumah mereka.

Tatapan pria itu yang seolah menelanjangi Alana membuat gadis itu merasa risi. Calon suami mamanya itu bahkan sama sekali tidak merasa bersalah ketika Alana beberapa kali memergokinya sedang memandang dengan tatapan kurang ajar.

Alana teringat percakapan dengan mamanya tempo hari.

“Nanti setelah kami menikah, Om Sam akan tinggal di sini bersama kita.” Mama Alana memecahkan kesunyian yang sebelumnya hanya berisi dentingan sendok dan garpu.

Alana tertegun sejenak. Dia mencoba menelan makan malamnya dengan susah payah. Gadis itu memegang garpu dengan erat untuk menahan luapan amarah. Diliriknya Samuel yang kini menatap dari seberang meja.

“Lana tidak keberatan kan, kalau Om tinggal di sini? Karena kita akan menjadi keluarga,” timpal Samuel.

Pria itu kini tersenyum licik. Alana sangat tergoda untuk melompat ke atas meja makan mereka dan mencolokkan garpu yang tengah dia pegang ke mata pria keparat itu.

Padahal semula Alana mengira setelah menikah mamanya akan tinggal di rumah Samuel. Alana sama sekali tidak keberatan jika harus tinggal sendirian di rumah tanpa sang mama.

Alana melupakan satu hal, bahwa Samuel adalah pria miskin tidak bermodal. Lelaki itu memikat mamanya hanya bermodal omong kosong.

Lagi-lagi mamanya tidak mendiskusikan hal ini dengan dirinya, seolah kenyamanan dan kebahagian Alana sebagai anak tidak cukup berarti.

Alana langsung kehilangan nafsu makan. Dia bahkan merasa mual hanya dengan memikirkan Samuel yang akan tinggal seatap dengan mereka.

“Mau ke mana kamu? Kembali ke meja dan habiskan makanan kamu!”

Alana baru saja berdiri saat mamanya menegur dengan tegas.

“Aku sudah kenyang,” jawab Alana yang langsung beranjak pergi sehingga membuat mamanya murka.

“Lana, kembali ke sini! Mama belum selesai bicara dengan kamu. Lanaaa!”

Alana tak peduli. Dia menutup pintu kamar dengan keras, lalu berusaha mengatur napas. Kini dadanya mulai sesak. Pandangan mata Alana mengabur dan tanpa terasa buliran air mata jatuh menetes di pipinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status