"Bersiaplah untuk nanti malam. Bagas akan menjemputmu untuk pergi ke pesta Mama."
Perintah Ardan tadi menuntut Kirana untuk mulai bersiap, tapi perlakuan pria itu sejak semalam membuat Kirana duduk termenung di kasur. Setelah melihat ke arah jam, wanita itu lalu bangkit dan segera bersiap-siap untuk menghadiri pesta ulang tahun ibu mertuanya yang akan dimulai dalam tiga jam. Ternyata, sudah selama itu ia tertidur. Bahkan ia belum makan siang. Dengan sendu Kirana berjalan ke arah dapur dan membuat sandwich sederhana untuk mengganjal perutnya yang mulai berteriak. Tubuhnya terasa remuk, tapi ia harus menyelesaikan hari ini agar rencananya bisa berjalan lancar. Setelah matahari terbenam, Kirana sudah bersiap dengan satin dress berwarna hitam dan kotak hadiah di tangannya. Kali ini, ia menggunakan uang bulanan Ardan yang hampir tak pernah ia sentuh, untuk memberikan kado bagi ibu mertuanya itu. Saat posisi mobil hampir berhenti di bangunan megah tempat pesta dilaksanakan, Kirana berusaha untuk menetralkan perasaannya yang tiba-tiba merasa gugup. Selama ini, ia memang bisa dibilang sangat jarang diundang ke acara-acara besar dari keluarga Ardan, karena sanak saudara pria itu memang membencinya. Terlebih sejak kematian Kakek Ardan yang kerap membelanya, perbuatan mereka semakin menjadi-jadi. “Terima kasih, Bagas.” ujar Kirana, tapi pria yang dipanggil Bagas itu tak menjawab. Kirana tak mau mengambil pusing, karena pria itu memang pengikut setia suaminya yang tak akan membantah satu perintah Ardan sekalipun. Saat kaki Kirana melangkah memasuki ballroom, beberapa pasang mata langsung menatapnya dengan tatapan sinis. "Wow, lihat lintah darat sudah datang." Suara nyaring adik ipar Ardan, Laura, berhasil membuat semua orang yang ada di sana menoleh ke arahnya. Kirana meremas gaunnya untuk menenangkan diri. Kemudian, dengan percaya diri dia mendekat ke arah ibu mertuanya yang kini melihat dia ekspresi muram, sepertinya wanita itu menyesal telah mengundang Kirana untuk datang.. “Selamat ulang tahun, Ma. Ini Kirana bawakan hadiah, semoga Mama suka.” Monika menatap Kirana dengan sinis, sebelum kemudian membuka kado Kirana langsung di tempat. "Astaga.. Bisa-bisanya kamu memberi Ibu Mertuanya barang murahan seperti ini!" kata Laura saat melihat kado dari Kirana. Monika menatap Kirana dengan sinis, sebelum kemudian menutup kado itu dengan kasar. “Setiap tahun selalu begitu. Buat malu!” ujar Monika hingga memancing beberapa tamu untuk menatap Kirana dengan tajam. Sementara yang lain sudah mulai berbisik-bisik. “Astaga, dia memberikan kado berupa gelang murah seperti itu? Aku bahkan memberi Tante Monika tas Louis Vuitton keluaran terbaru”. "Kak Kirana, suamiku saja masih mampu loh untuk membeli hadiah mahal buat Mama, tapi bisa-bisanya kamu memberi gelang palsu itu sebagai hadiah mertuamu.” "Benar apa yang dikatakan Laura, Arkan yang tidak jadi ahli waris aja masih sanggup beli hadiah mahal. Ini istri Ardan kok pelit banget sama ibu mertuanya. Jangan-jangan memang uang Ardan dimakan sendiri sama keluarganya." Lagi dan lagi, para tamu undangan langsung berasumsi dan seolah mendapat hidangan segar dalam pesta dengan menjadikan orang lain sebagai bahan cacian. “Itu–” belum sempat Kirana menjawab, sebuah suara tiba-tiba terdengar di telinganya. "Apa yang kalian lakukan?" Dari pintu masuk, Ardan yang datang bersama dengan Zara membuat Kirana tertegun. Keduanya lalu berjalan beriringan hingga akhirnya sampai di depan mereka. “Ardan! Lihat apa yang istrimu lakukan! Bisa-bisanya dia memberi Mama hadiah gelang murahan seperti ini!” Ardan menatap gelang yang dimaksud ibunya, lalu menatap Kirana. “Bukankah aku sudah memberimu dana yang cukup untuk memberi kado?” Semua orang yang kembali mendapatkan gosip hangat langsung berkerumun lagi seolah mendapat hidangan segar. Dihadapkan pada situasi tersebut, Kirana hanya terdiam. Dia tak mau membuka mulutnya, karena ia tahu kalau tak akan ada yang akan berada di sisinya sama sekali”. “Kirana!” Ardan merasa geram, saat melihat istrinya yang terus menutup mulut. Namun, sebelum dia sempat berkata-kata lagi, Zara telah lebih dulu menahan lengannya. “Sudahlah, Mas, Tante. Sebaiknya tidak perlu diperpanjang. Ini Zara bawakan hadiah juga untuk Tante. Silakan dibuka, semoga Tante suka”. “Wah! Itu kan tas Gucci edisi limited edition! Katanya hanya ada dua lho di Asia!” seru seorang tamu dengan heboh saat Monika mengeluarkan sebuah tas berwarna putih. “Ah, calon menantuku ini. Benar-benar pengertian. Tidak seperti seseorang, dia datang membawa kado yang berkelas seperti ini untukku. Terima kasih ya, Tante menyukainya”. Monika terlihat berseri-seri. Melihat itu, Laura kembali menyeletuk, “Gelang sampah macam apa yang dibawa Istri Mas Ardan? Padahal Zara yang merupakan orang luar saja bisa membawa kado yang berharga”. Tak tahan lagi, Kirana segera menjawab. “Sepertinya mata kalian buta karena kebencian. Jadi, kalian tidak bisa melihat material hadiah yang sebenarnya. Itu adalah gelang giok, dan di bawahnya ada set anting serta kalung”. Perkataan Kirana membuat semua orang terkejut, apalagi setelah melihat Kirana yang berbicara dengan raut wajah datar. “Kamu! Sungguh tidak sopan! Bisa-bisanya kamu berucap seperti itu kepada kami?!” ujar Monika. “Ma, sebaiknya Mama pakai gelang dan kalung giok itu setiap hari, sehingga Mama bisa terus sehat dan tak terkena darah tinggi. Aku pamit” ujar Kirana lagi dan berhasil membuat ekspresi semua orang berubah semakin marah. “Ohya, Zara. Es krim itu memang enak untuk dijilat, tapi tidak dengan manusia. Jangan sampai lidahmu penuh dengan daki. Kotor sekali!”. Tanpa peduli apa pun lagi, Kirana segera melangkahkan kaki untuk pergi dari sana. Sungguh, ia tak peduli lagi pada keluarga Wijaya atau para konglomerat lain. Sebab, ia sudah lelah. Hidup satu tahun dalam penderitaan bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Oleh karena itu, ia akan mengakhirinya malam ini juga. Namun, sebelum dia sempat keluar dari gedung, Ardan telah lebih dulu menarik lengannya dan memutar tubuh Kirana untuk menghadap ke arah wajah tampan pria itu. “Mau ke mana kamu, Kirana? Apa kamu sadar apa yang telah kamu perbuat itu keterlaluan?” Kirana menatap Ardan dengan lelah. “Biarkan aku pergi, Ardan. Aku lelah dan aku ingin pulang”. “Kamu tidak akan ke mana-mana. Cepat masuk dan bergabung dengan yang lain, Kirana. Jangan membuatku marah”. “Untuk apa, Ardan? Untuk dipermalukan seperti tadi? Kamu yang suamiku saja tidak pernah membelaku dan mengharapkan kehadiranku. Untuk apa aku berada di tengah-tengah kalian?” kata Kirana. “Tenang saja, aku tidak akan membuat kalian muak lagi.” lanjut Kirana sebelum menghempaskan tangannya dari Ardan. Wanita itu lalu berjalan pergi ke arah gerbang hotel, sebelum kemudian menghilang di dalam taksi. Meninggalkan Ardan yang merasakan sesuatu yang asing dalam dadanya. Tanpa Ardan sadar, Kirana sudah tak memanggilnya dengan sebutan ‘Mas’ lagi.Setelah Bagas pergi, Ardan kembali ke ruang makan. Kirana sudah duduk di sana, punggungnya tegak, sambil menatap kosong ke arah luar jendela. Cahaya pagi menerpa wajahnya yang pucat, menonjolkan garis-garis kelelahan di bawah matanya. Ardan mendekat, dengan hati berdebar-debar. Kemudian ia menarik kursi dan duduk di hadapan Kirana."Kirana," katanya lembut, suaranya berusaha meredam ketegangan yang masih terasa di antara mereka. Kirana tidak menjawab, wanita itu hanya diam, dan tatapannya tetap tertuju pada taman kecil di luar.Tak lama kemudian, Ardan meraih tangan Kirana, jemarinya yang dingin terasa di genggamannya. "Aku tahu, aku telah menyakitimu. Aku tahu kata-kata tak cukup. Tapi aku mohon, beri aku kesempatan untuk membuktikannya. Tolong jangan bersikap dingin seperti ini. Aku tidak bisa, Kirana." Ia merasakan getaran halus di tangan Kirana, seolah-olah wanita itu sedang mempertimbangkan ucapannya.Kirana akhirnya menoleh, matanya menatap Ardan dalam-dalam, penuh dengan
Seminggu telah berlalu sejak kepulangan Kirana dari rumah sakit. Rumah itu sunyi, sunyi yang berat, dipenuhi ketegangan yang tertahan di antara Ardan dan Kirana. Kirana, pucat dan lemah, sering terbangun di malam hari, mimpi buruk tentang masa lalu menghantuinya. Meskipun Ardan selalu ada di sisinya, namun sikap kakunya masih terasa, seperti tembok es yang memisahkan mereka.Pagi hari ini, Ardan menyajikan sarapan—bubur—dengan tangan yang gemetar sedikit. Kirana menatapnya, matanya dipenuhi keraguan. Udara di antara mereka terasa kental, dipenuhi ketegangan yang tak terucapkan."Terima kasih," kata Kirana, suaranya hampir tak terdengar, seperti bisikan.Ardan hanya mengangguk singkat, matanya tak berani menatap Kirana terlalu lama. Ia merasakan beban berat di dadanya, beban penyesalan yang tak terkira."Tapi kau… kau tidak perlu repot-repot," kata Kirana, suaranya sedikit lirih, tapi nadanya sedikit menusuk. "Kau bukan orang yang mau repot-repot melayani orang lain, terutama di
Permintaan Kirana untuk bercerai mendarat di hati Ardan seperti batu besar yang menghancurkan kedamaian. "Lepaskan aku..." Kata-kata itu bergema di kepalanya, setiap suku kata menusuk relung hatinya yang paling dalam. 'Tuhan, apa yang telah kulakukan?' Ia meremas telapak tangannya, kuku-kukunya menancap ke kulit, tanda ketegangan yang luar biasa. Air matanya seperti akan tumpah, namun ia tahan. Ia harus kuat, setidaknya untuk saat ini. Ia menatap Kirana, wanita yang dicintainya, wanita yang telah ia sakiti dengan begitu kejam. Wajahnya pucat, matanya sembab, namun tetap ada kekuatan yang terpancar dari tatapannya – kekuatan untuk mengakhiri semuanya. 'Aku pantas mendapatkannya,' batinnya, rasa bersalah menggerogoti jiwanya. Ia telah menghancurkan rumah tangga mereka, menghancurkan harapan akan hadirnya buah hati mereka. "Kirana…" suaranya serak, nyaris tak terdengar. Ia ingin memohon, ingin menjelaskan, ingin membalikkan waktu, namun kata-katanya seakan tercekat di tenggorokannya. Ia
Kirana menggeleng pelan, matanya masih tertuju pada jendela. "Aku ingin istirahat," katanya lirih, suaranya hampir tak terdengar. Keheningan kembali menyelimuti ruangan, lebih berat daripada sebelumnya. Ardan hanya bisa menatap istrinya, merasa ada jurang yang semakin dalam menganga di antara mereka. 'Entah kenapa hatiku terasa sakit saat Kirana terus-menerus menolak ku. Apakah aku benar-benar telah mencintai Kirana? Wanita yang ingin aku sakiti? Aku pasti sudah gila.' Ardan membatin sambil terus bertanya pada diri sendiri. Setelah beberapa saat terdiam, Kirana tiba-tiba bertanya, suaranya datar tanpa emosi, "Kenapa kau masih di sini? Kau selalu sibuk, Ardan. Dulu… dulu aku sampai mengemis agar kau mau sedikit memperhatikan aku." Kalimat terakhir keluar dengan suara bergetar, menahan tangis yang hampir pecah. "Sudah tidak ada alasan bagimu untuk mempertahankan pernikahan kita. Tujuanmu sudah tercapai. Aku sudah hancur seperti yang kamu inginkan. Hidupku juga berantakan atas keingina
Tangan Ardan gemetar saat ia mengangkat panggilan dari Zara. "Halo?" bisiknya, suara serak karena kurang tidur dan beban perasaan yang berat. Di seberang sana, suara Zara terdengar cemas dan sedikit tinggi. "Ardan! Kau di mana? Kenapa kau tidak membalas pesanku? Aku sangat khawatir!" Ardan menghela napas panjang. "Aku… aku di rumah sakit, Zara. Ada sedikit masalah." Ia berusaha menjaga suaranya tetap tenang, meskipun jantungnya berdebar-debar. "Masalah apa? Ceritakan padaku!" desak Zara. "Kau selalu menyembunyikan segalanya dariku." Ardan melirik ke arah Kirana yang masih tertidur pulas. "Ini… ini bukan waktu yang tepat untuk menjelaskannya, Zara. Aku butuh waktu." "Waktu? Ardan, aku sudah tidak tahan lagi! Kau selalu mengulur-ulur waktu! Aku tahu kau masih bersama wanita itu, Kirana! Kau harus menceraikannya!" Suara Zara semakin meninggi, diselingi isak tangis. Ardan menggigit bibir bawahnya. Ia tahu Zara tidak akan mengerti. "Zara, dengarkan aku. Situasinya sangat rumit. Jangan
Jam berlalu dengan lambat. Di ruang perawatan rumah sakit, Ardan menatap Kirana yang terbaring lemah. Wajah istrinya pucat, namun tatapannya kosong, tanpa sedikitpun rasa hangat yang pernah Ardan kenal. Kirana berubah. Ia cuek, ucapannya singkat dan ketus, seakan menciptakan dinding es di antara mereka. Meskipun Ardan melihat air mata yang sesekali lolos dari sudut mata Kirana, ia hanya mendapatkan perlakuan dingin. Ia mencoba menghibur, menawarkan segelas air, membantu Kirana mengganti posisi tidur, semuanya dibalas dengan helaan nafas panjang dan tatapan yang menusuk. "Ini sup ayam, Kirana. Semoga kamu suka," kata Ardan lembut, menyodorkan mangkuk sup. Kirana menerima mangkuk itu tanpa sepatah kata pun, lalu menatapnya dengan tatapan yang seakan mengatakan, "Apa urusanmu denganku?" Ardan menghela napas. Ia tahu, ucapannya yang kasar, sikapnya yang dingin di masa lalu, telah menorehkan luka yang begitu dalam di hati Kirana. Luka yang tak semudah itu disembuhkan. "Aku… aku sangat