Evi terdiam mendengar ucapan pria itu.
“Kamu kira bisa begitu saja pergi setelah semua ini? Kamu lupa siapa yang selama ini membantumu? Kamu mau, ibumu di kampung kesulitan membayar pengobatan hanya karena kamu mau melarikan diri?” lanjut Liam dengan suara tajam dan penuh ancaman.
Jantung Evi seketika seperti diremas keras. Nama ibunya membuatnya terbungkam. Ia tahu benar ibunya bergantung pada gajinya. Setiap bulan, uang itu harus dikirim agar ibunya bisa melanjutkan pengobatan jantungnya. Bayangan wajah lemah ibunya membuat mata Evi panas dan berair.
“Jangan bawa ibu saya ke dalam ini,” bisik Evi dengan suara bergetar.
“Aku hanya bicara kenyataan,” kata Liam pelan seraya menatap lekat wajah Evi. “Kamu membutuhkan uangku untuk m
Nala beranjak dari duduknya dengan gerakan cepat. Tumit sepatunya menghentak lantai keras, menciptakan bunyi nyaring yang membuat Evi refleks menegakkan tubuhnya.Tatapan dingin Nala menusuk wajah Evi seperti belati. Matanya menyipit penuh amarah, dan napasnya terdengar berat.“Kamu minta uang? Yang benar saja, Evi?!” Suaranya meninggi dan menggelegar di ruang tamu yang tadinya sunyi.“Bahkan kamu dapat informasi soal Liam ada di hotel aja dari aku. Dan kamu minta uang? Apa kamu gila, hah?!”Pekikan itu menghantam telinga Evi seperti tamparan. Tubuhnya langsung menciut. Bahunya menguncup, dan kepala tertunduk rendah. Matanya menatap lantai, nyaris tak sanggup mengangkat wajah.“Ma-maaf, Bu. Saya butuh uang untuk pengobatan ibu saya. Dan Ibu juga sudah menjanjik—”“Menjanjikan apa?!” Nala memotong dengan tajam dan matanya kini melebar.“Aku tidak pernah menjanjikan apa pun ke
Evi menganggukkan kepalanya dengan cepat, nyaris refleks. Napasnya sedikit tertahan, seolah takut satu kata saja bisa membuat Nala meledak.“Iya, Bu. Mungkin sekitar tiga jam saya menunggu di sana. Dan setelah melihat Pak Liam ada di restoran sedang bertemu dengan kliennya itu, saya langsung fotokan. Saya juga menunggu sampai meeting itu selesai, Bu,” ucap Evi setenang mungkin meskipun detak jantungnya berdebar.Dia kembali harus memainkan perannya sebagai mata-mata gadungan, berjalan di atas tali yang sangat tipis—antara perintah Nala dan kenyataan yang sebenarnya jauh lebih rumit dari apa yang terlihat.Sementara Evi berbicara, Nala hanya duduk diam. Kedua tangannya kini dilipat di dada, napasnya diembuskan panjang dari hidungnya, tampak jelas bahwa pikirannya sedang bercabang ke banyak arah.“Bisa-bisanya aku menuduh Liam macam-macam. Padahal aku tahu sifat dia kayak gimana,” gumam Nala lirih, namun masih terdengar jelas o
Nala menggigit bibir bawahnya dengan pelan, menatap layar ponsel yang baru saja menampilkan foto kiriman dari Evi.Jemarinya yang menggenggam ponsel tampak sedikit gemetar. Meski tak ada adegan mesra, hanya dokumentasi formal pertemuan bisnis, tetap saja rasa curiga menusuk dadanya seperti sembilu.Wajahnya tegang, rahangnya mengeras. Tapi sebelum dia bisa berkata-kata, suara berat Rafael memotong keheningan itu dari arah sofa di seberangnya.“Udahlah, Nala. Aku sudah bilang padamu, Liam tidak akan mengkhianatimu. Buktinya dia hanya sedang meeting dengan kliennya,” ucap Rafael santai sambil menyilangkan kaki.Di tangannya, sebatang rokok mengepul, aromanya menyebar memenuhi ruangan hotel yang mereka sewa untuk urusan proyek luar kota.Nala menghela napas kasar, begitu berat hingga dadanya naik-turun. Dia bersandar ke kursi dan mengusap keningnya dengan telapak tangan. “Ya, aku tahu. Aku cuma penasaran kenapa dia menolak bercinta d
Liam mengendikkan bahunya pelan, seperti tidak ingin terlalu larut dalam pembicaraan yang baginya sudah lama dia simpan dalam diam.“Aku sibuk, Evi. Kantorku juga sedang banyak tender dan aku sering meeting ke sana kemari. Tidak sempat mencaritahu apa yang Nala sembunyikan dariku. Tapi, aku sudah menaruh curiga bahwa dia ada main dengan bosnya itu,” ucap Liam sambil menatap langit-langit kamar.Evi terdiam. Tangannya menggenggam selimut di atas tubuhnya, dan matanya perlahan menatap ke arah Liam.Kalimat tadi menghujam keras di benaknya. Ternyata, Liam tahu. Dia tahu semuanya—tapi memilih tidak mencaritahu lebih lanjut.Entah karena tidak sempat, atau memang tidak mau menghadapi kenyataan lebih cepat dari waktunya.Ada rasa aneh yang menggantung di hati Evi. Luka yang samar, seperti tergores tanpa disadari.“Kalau tahu Bu Nala melakukan itu, kenapa Bapak juga lakukan ini dengan saya?” tanyanya dengan suara pelan
“Euh … anu. Ini ….” Evi kelagapan, bibirnya terbuka-tutup seperti ingin bicara, tapi tak satu pun kata keluar dengan lancar.Napasnya memburu, jantungnya memukul keras dari dalam dada.Dia tidak tahu harus mencari alasan apa untuk menjawab pertanyaan yang tadi dilontarkan oleh pria itu.Otaknya kosong. Panik. Bahkan kaki dan tangannya terasa seperti bukan miliknya.Liam menatap Evi tanpa ekspresi, namun dalam matanya menyala ketajaman yang tak bisa disembunyikan.Tanpa berkata apa-apa, dia langsung menarik tangan Evi dengan tegas dan membawanya masuk ke dalam lift.Tarikan itu cepat, mendadak, dan cukup kuat hingga membuat tubuh Evi sempat kehilangan keseimbangan.Evi hanya bisa menurut. Tidak ada kata, tidak ada perlawanan. Dia terlalu syok karena tertangkap basah.Langkahnya lunglai mengikuti Liam ke dalam lift, dan ketika pintu lift tertutup di belakang mereka, dunia seolah menyusut menjadi ruang se
Dering ponselnya bersuara sedari tadi dan akhirnya Evi menghentikan aktivitas mengepel lantai.Ia meletakkan kain pel yang masih basah di dalam ember, lalu mengusap tangannya ke celemek lusuh yang ia kenakan.Keningnya berkerut saat melihat nama yang tertera di layar ponsel—Nala. Hatinya langsung terasa gelisah.“Kenapa Bu Nala telepon di siang bolong begini?” gumamnya sambil menelan ludah. Ia segera menyentuh ikon hijau dan mengangkat panggilan itu. “Halo, Bu? Ada yang bisa dibantu?”Suara Nala terdengar tajam dan terburu-buru, seperti ada bara di balik kata-katanya.“Evi. Aku dapat informasi dari teman sekantor Liam. Dia lagi di hotel dan nggak tahu mau ketemuan sama siapa! Aku lagi di luar kota jadi nggak bisa buntuti dia. Kamu ke sana sekarang dan lihat dengan siapa dia masuk hotel itu!”Tubuh Evi langsung menegang mendengarnya. Ia merasa darahnya tersedot ke perut. Napasnya seketika jadi tidak ber