LOGINEvi terdiam mendengar ucapan pria itu.
“Kamu kira bisa begitu saja pergi setelah semua ini? Kamu lupa siapa yang selama ini membantumu? Kamu mau, ibumu di kampung kesulitan membayar pengobatan hanya karena kamu mau melarikan diri?” lanjut Liam dengan suara tajam dan penuh ancaman.
Jantung Evi seketika seperti diremas keras. Nama ibunya membuatnya terbungkam. Ia tahu benar ibunya bergantung pada gajinya. Setiap bulan, uang itu harus dikirim agar ibunya bisa melanjutkan pengobatan jantungnya. Bayangan wajah lemah ibunya membuat mata Evi panas dan berair.
“Jangan bawa ibu saya ke dalam ini,” bisik Evi dengan suara bergetar.
“Aku hanya bicara kenyataan,” kata Liam pelan seraya menatap lekat wajah Evi. “Kamu membutuhkan uangku untuk m
Malam itu rumah terasa begitu tenang. Hanya suara detak jam di dinding yang terdengar lembut menyatu dengan hembusan angin dari jendela kamar.Setelah memastikan Lucas tidur nyenyak di pelukannya, Evi perlahan menurunkannya ke boks bayi yang berada tepat di sisi ranjang mereka.Bayi mungil itu tampak damai, wajahnya tenang, dada kecilnya naik turun dengan ritme yang begitu lembut.Evi menatap anaknya beberapa saat dengan senyum yang begitu hangat. Sentuhan jari kecil Lucas di tangannya membuat hatinya terasa hangat dan penuh cinta.Ia lalu menunduk dan mencium kening bayi mungil itu pelan, lalu berbisik lirih, “Tidurlah, sayang. Mama selalu di sini.”Setelah memastikan selimut Lucas terpasang dengan rapi, Evi melangkah keluar kamar perlahan.Lampu ruang tengah sudah diredupkan, tapi dari balik pintu ruang kerja Liam, masih terlihat cahaya terang. Ia menghela napas kecil, lalu mengetuk pelan.Tok. Tok.Tidak
Rafael melangkah dengan tenang melewati lorong penjara yang dingin dan sunyi.Suara langkah sepatunya bergema di antara dinding batu. Di ujung lorong, dua petugas membukakan pintu sel tempat Nala berada.Wajah wanita itu tampak lelah, rambutnya berantakan, namun matanya masih menyimpan sisa arogansi yang dulu membuatnya terlihat kuat.“Rafael?” ucap Nala begitu melihat pria itu datang menghampiri. Suaranya datar, tapi ada sedikit keheranan di sana. “Kamu datang lagi? Untuk apa? Mengejekku?”Rafael tidak langsung menjawab. Ia menarik kursi besi di depan Nala dan duduk dengan perlahan. Tatapannya serius, tanpa senyum seperti biasanya.“Aku tidak datang untuk itu. Aku datang membawa kabar penting.”Nala mengernyit. “Kabar penting?”Rafael menautkan jari-jarinya di atas meja, suaranya turun pelan. “Tentang Sarah.”Mendengar nama itu, Nala langsung menegakkan tubuhnya. “Sarah kenapa?” tanyanya cepat, nada curiga langsung muncul.
Pagi itu, rumah Liam dipenuhi cahaya lembut dari jendela besar ruang tengah. Aroma teh hangat dan pizza sisa semalam samar-samar masih tercium.Evi duduk di sofa sambil memangku bayi kecilnya yang baru berusia beberapa hari, Lucas. Ia menatap wajah mungil itu dengan tatapan penuh kasih.Selly, yang duduk di sebelahnya, membantu membetulkan selimut kecil yang melilit tubuh si bayi. “Lihat deh pipinya, kayak marshmallow,” ujarnya sambil terkikik.Ardi duduk di kursi seberang, menyalakan televisi untuk mencari berita pagi. “Kalian mau nonton apa? Aku cari berita ringan aja, ya. Jangan yang aneh-aneh.”Liam baru saja keluar dari kamar, masih mengenakan kamus abu dan celana panjang santai. Rambutnya sedikit berantakan. “Cari yang tenang aja, Ardi. Evi baru tidur dua jam semalam.”“Siap, bos,” balas Ardi ringan. Ia lalu menekan tombol remote, dan saluran berita nasional muncul di layar besar.Namun,
Sarah membuka matanya setelah pingsan beberapa jam yang lalu. Dia menoleh ke kanan kiri dengan kepala yang masih terasa pening.“Di mana aku?”Tangan dan kakinya diikat dengan erat. Sarah mulai panik, bertanya-tanya dia ada di mana. Gedung itu sangat asing baginya. Gelap, hanya ada cahaya lampu tepat di kepalanya.“Lepaskan aku! Kalian gila! Kalian tidak tahu siapa aku!” jerit Sarah dengan suara parau dan napasnya tersengal-sengal.Tak lama setelahnya, suara derit pintu besi yang terbuka pelan menggema di ruangan gelap itu. Sarah menegang di kursinya dan tubuhnya gemetar hebat.Udara malam begitu dingin, menusuk kulit, tapi yang membuat darahnya membeku adalah tatapan mata pria yang melangkah perlahan mendekat dari balik cahaya lampu.Langkah sepatu kulit bergema di lantai semen yang lembap.“...Y-Yonas,” bisiknya nyaris tak terdengar, suara parau karena berjam-jam berteriak minta tolong. “Apa yang kamu lakukan padaku? Lepaskan aku!”Yonas tersenyum tipis. Senyum yang tidak membawa ke
Udara sore yang tadinya hangat berubah menegang dalam sekejap begitu Yonas melangkah masuk.Bayangan pria paruh baya itu seolah memenuhi seluruh ruang tamu dengan auranya yang dingin dan berwibawa.Evi yang sedang berdiri di sisi sofa langsung kaku. Napasnya tercekat di tenggorokan saat tatapan mata tajam Yonas menatap lurus ke arahnya—tatapan yang membuat jantungnya berdetak tak karuan.Namun sebelum Yonas sempat mendekat, Liam sudah melangkah cepat dan berdiri di belakang Evi, seolah menjadi benteng pelindung bagi istrinya.“Ada apa? Kalau hanya ingin melihat cucumu, lihat saja dari sini. Tapi jangan pernah mendekati istriku.” Suaranya keluar datar namun sarat dengan ancaman.Yonas tidak menjawab segera. Sebaliknya, dia hanya menatap anaknya dengan senyum tipis yang sukar dibaca, kemudian melangkah santai ke arah sofa dan duduk dengan tenang, seolah tak terganggu dengan nada keras putranya.Tatapannya beralih pada Evi yang masih berdiri tegang di tempat. “Tentu saja aku ingin meliha
Dua hari sudah Evi melewati masa rawat di rumah sakit, dan kini akhirnya dia kembali ke rumah yang selalu membuatnya merasa aman. Tapi baru saja melangkah melewati pintu, matanya langsung membulat.Balon warna-warni tergantung di langit-langit, pita biru dan putih membentang dengan tulisan besar “Welcome Home, Mommy & Baby Lucas!” di tengahnya.Di bawahnya, Selly berdiri dengan wajah sumringah sambil membawa kue kecil bertuliskan “Selamat Datang di Dunia, Lucas!”.Ardi berdiri di sampingnya, bertepuk tangan dengan gaya berlebihan seperti pembawa acara televisi.“Selamat datang kembali, Evi, Liam, dan … pangeran kecil Lucas!” seru Ardi dengan suara lantang.Evi yang masih agak lemah tertegun di tempatnya. Bibirnya bergetar menahan haru dan matanya memanas.Ia menatap Selly dan Ardi bergantian, sebelum akhirnya tersenyum dan tertawa kecil. “Ya ampun, kalian … bikin aku hampir







