Masuk“Evi, kita perlu bicara. Sekarang,” ucap Nala langsung tanpa basa-basi.
Evi yang sedang membersihkan meja ruang tamu sontak membeku. Tangannya kaku sementara, napasnya tertahan di tenggorokan. Perlahan dia mengangguk mencoba bersikap tenang padahal kakinya terasa lemas.
“Silakan masuk, Bu,” ucap Evi dengan suara nyaris tak terdengar.
Nala melangkah masuk dengan anggun, namun ada aura mengancam yang membuntuti setiap langkahnya. Tumit stilettonya mengetuk lantai marmer dengan ritme mantap, seirama dengan detak jantung Evi yang makin tak karuan.
Rasanya seperti seluruh ruang tamu berubah menjadi peti es. Udara menjadi berat dan Evi bahkan sulit menarik napas.
Mereka duduk berhadapan di sofa. Evi be
Pagi itu, rumah Liam dipenuhi cahaya lembut dari jendela besar ruang tengah. Aroma teh hangat dan pizza sisa semalam samar-samar masih tercium.Evi duduk di sofa sambil memangku bayi kecilnya yang baru berusia beberapa hari, Lucas. Ia menatap wajah mungil itu dengan tatapan penuh kasih.Selly, yang duduk di sebelahnya, membantu membetulkan selimut kecil yang melilit tubuh si bayi. “Lihat deh pipinya, kayak marshmallow,” ujarnya sambil terkikik.Ardi duduk di kursi seberang, menyalakan televisi untuk mencari berita pagi. “Kalian mau nonton apa? Aku cari berita ringan aja, ya. Jangan yang aneh-aneh.”Liam baru saja keluar dari kamar, masih mengenakan kamus abu dan celana panjang santai. Rambutnya sedikit berantakan. “Cari yang tenang aja, Ardi. Evi baru tidur dua jam semalam.”“Siap, bos,” balas Ardi ringan. Ia lalu menekan tombol remote, dan saluran berita nasional muncul di layar besar.Namun,
Sarah membuka matanya setelah pingsan beberapa jam yang lalu. Dia menoleh ke kanan kiri dengan kepala yang masih terasa pening.“Di mana aku?”Tangan dan kakinya diikat dengan erat. Sarah mulai panik, bertanya-tanya dia ada di mana. Gedung itu sangat asing baginya. Gelap, hanya ada cahaya lampu tepat di kepalanya.“Lepaskan aku! Kalian gila! Kalian tidak tahu siapa aku!” jerit Sarah dengan suara parau dan napasnya tersengal-sengal.Tak lama setelahnya, suara derit pintu besi yang terbuka pelan menggema di ruangan gelap itu. Sarah menegang di kursinya dan tubuhnya gemetar hebat.Udara malam begitu dingin, menusuk kulit, tapi yang membuat darahnya membeku adalah tatapan mata pria yang melangkah perlahan mendekat dari balik cahaya lampu.Langkah sepatu kulit bergema di lantai semen yang lembap.“...Y-Yonas,” bisiknya nyaris tak terdengar, suara parau karena berjam-jam berteriak minta tolong. “Apa yang kamu lakukan padaku? Lepaskan aku!”Yonas tersenyum tipis. Senyum yang tidak membawa ke
Udara sore yang tadinya hangat berubah menegang dalam sekejap begitu Yonas melangkah masuk.Bayangan pria paruh baya itu seolah memenuhi seluruh ruang tamu dengan auranya yang dingin dan berwibawa.Evi yang sedang berdiri di sisi sofa langsung kaku. Napasnya tercekat di tenggorokan saat tatapan mata tajam Yonas menatap lurus ke arahnya—tatapan yang membuat jantungnya berdetak tak karuan.Namun sebelum Yonas sempat mendekat, Liam sudah melangkah cepat dan berdiri di belakang Evi, seolah menjadi benteng pelindung bagi istrinya.“Ada apa? Kalau hanya ingin melihat cucumu, lihat saja dari sini. Tapi jangan pernah mendekati istriku.” Suaranya keluar datar namun sarat dengan ancaman.Yonas tidak menjawab segera. Sebaliknya, dia hanya menatap anaknya dengan senyum tipis yang sukar dibaca, kemudian melangkah santai ke arah sofa dan duduk dengan tenang, seolah tak terganggu dengan nada keras putranya.Tatapannya beralih pada Evi yang masih berdiri tegang di tempat. “Tentu saja aku ingin meliha
Dua hari sudah Evi melewati masa rawat di rumah sakit, dan kini akhirnya dia kembali ke rumah yang selalu membuatnya merasa aman. Tapi baru saja melangkah melewati pintu, matanya langsung membulat.Balon warna-warni tergantung di langit-langit, pita biru dan putih membentang dengan tulisan besar “Welcome Home, Mommy & Baby Lucas!” di tengahnya.Di bawahnya, Selly berdiri dengan wajah sumringah sambil membawa kue kecil bertuliskan “Selamat Datang di Dunia, Lucas!”.Ardi berdiri di sampingnya, bertepuk tangan dengan gaya berlebihan seperti pembawa acara televisi.“Selamat datang kembali, Evi, Liam, dan … pangeran kecil Lucas!” seru Ardi dengan suara lantang.Evi yang masih agak lemah tertegun di tempatnya. Bibirnya bergetar menahan haru dan matanya memanas.Ia menatap Selly dan Ardi bergantian, sebelum akhirnya tersenyum dan tertawa kecil. “Ya ampun, kalian … bikin aku hampir
Setelah beberapa jam di ruang bersalin, Evi kini sudah dibawa ke ruang rawat.Di ruang rawat yang remang, hanya terdengar suara alat infus dan desahan napas lembut dari Evi yang sedang tertidur pulas.Wajahnya masih tampak lelah, tapi di balik keringat dan pucatnya, tersimpan ketenangan yang luar biasa.Tangannya yang mungil terkulai di sisi tempat tidur, dengan jari-jari yang masih sedikit menggenggam selimut putih itu.Liam duduk di kursi di samping ranjangnya, tak beranjak sejak Evi dipindahkan dari ruang bersalin.Tatapannya lekat pada wajah istrinya itu, seolah takut kalau sebentar saja dia mengalihkan pandangan, semuanya akan menghilang begitu saja.Dengan gerakan lembut, dia mengusap pucuk kepala Evi, membenarkan beberapa helai rambut yang menempel di keningnya.Senyum lirih terbit di bibir Liam. “Kamu hebat sekali, Vi,” gumamnya dengan pelan, suaranya nyaris tak terdengar.“Kamu … benar-benar lu
Udara di rumah sakit malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Bau antiseptik menusuk hidung, berpadu dengan aroma samar cairan infus dan suara langkah kaki perawat yang sibuk berlalu lalang di lorong panjang.Evi terbaring di atas ranjang bersalin, wajahnya pucat, tubuhnya bergetar menahan rasa sakit luar biasa yang datang setiap beberapa menit.Napasnya tersengal, keringat mengucur deras di pelipisnya. Tangannya mencengkeram selimut hingga buku jarinya memutih.“Sudah masuk bukaan lima, Pak. Mohon bersabar, nanti kalau sudah lengkap kami bantu proses persalinan,” ujar seorang dokter kandungan dengan suara lembut namun tegas.Liam yang berdiri di samping ranjang langsung mengangguk cepat. “Iya, Dok. Tolong bantu istri saya, ya.” Suaranya terdengar bergetar dan matanya terus memandang Evi dengan campuran panik dan takut.“Mas Liam,” suara Evi bergetar lirih. “Sakit banget ….”Liam seg







