Waktu sudah menunjuk angka sembilan malam. Malam itu, Liam benar-benar menginginkan Evi lagi.
“Apa tidak bisa libur saja, Pak? Saya … saya masih lelah, Pak,” pinta Evi dengan nada memohon.
Liam yang tengah membuka kancing kemejanya satu persatu, menatap lekat wajah Evi lalu berbisik di telinganya.
“Tidak bisa, Evi. Aku tidak bisa menahannya lagi. Tubuhmu ini ….” Liam menyentuh lembut lengan Evi hingga membuat darahnya berdesir hebat.
“Membuatku candu,” bisiknya kemudian. “Bahkan saat di kantor pun aku tidak bisa konsentrasi.”
Evi tidak bisa berkata-kata lagi. Bahkan bibirnya kini sudah dibungkam oleh ciuman Liam yang membara. Tangan kokohnya meremas dadanya hingga membuat Evi spontan membusung.
Setelah keduanya tak lagi mengenakan pakaian, Liam langsung menghujam tubuh Evi. Menghentaknya dengan keras hingga membuat wanita itu nyaris menjerit.
“Pak … ah … pelan-pelan. Saya masih sakit. Tolong …,” lirih Evi dengan nada memohon.
“Aku tidak bisa berhenti,” gumamnya nyaris seperti orang kerasukan. “Kamu tahu, hm? Bahkan Nala tidak bisa membuatku segila ini. Cuma kamu … cuma kamu yang bisa membuatku begini, Evi.”
Tubuh Evi kembali dipaksa menanggung permainan yang jauh dari kata lembut. Suara ranjang berderit pelan bersaing dengan desahan yang meluncur tanpa bisa dikendalikan. Jeritan yang keluar dari bibir Evi, bukan karena nikmat, tapi karena tubuhnya sudah tak mampu lagi menolak rasa sakit.
Tangannya mencengkeram sprei. Air matanya menetes satu per satu, jatuh ke bantal putih yang kini sudah ternoda.
Di atasnya, Liam mendesah puas. Dia menggila, tak mengindahkan perasaan siapa pun malam itu. Bagi Liam, Evi bukan lagi manusia. Tapi candu. Pelampiasan dan kepuasan.
Lima belas menit kemudian, tubuh Evi lunglai di ranjang. Napasnya tak beraturan. Kepalanya pening. Luka batin yang lebih menyiksa daripada rasa ngilu di selangkangannya membuat perempuan itu menatap kosong langit-langit kamar.
Liam bangkit dan langsung mengenakan celana santainya sambil mengambil dompet dari atas meja. Ia membuka dompet itu, lalu menarik beberapa lembar uang berwarna merah dan meletakkannya di atas dada Evi.
“Ini … buat malam ini,” ucapnya ringan, seolah semua ini adalah transaksi biasa.
Evi memalingkan wajahnya. Hatinya terasa lebih busuk dari tempat sampah. “Pak … saya nggak kuat lagi ….”
Liam langsung memutar tubuhnya menghadap Evi, matanya kembali dingin.
“Kesepakatan tetap kesepakatan. Jangan coba-coba batalkan sepihak. Atau aku akan memastikan hidupmu lebih hancur dari ini!”
Nada ancaman di kalimat itu membuat Evi semakin mengecil. Ia menutup wajahnya dengan selimut. Rasa sesak dalam dadanya kian terasa.
Liam mulai mengeluarkan senjata pamungkasnya untuk menahannya, menjeratnya agar tetap melayani Liam sepanjang Liam menginginkannya.
Liam kemudian beranjak dari tempat tidur, meregangkan tubuhnya lalu berkata dengan nada santai.
“Buatkan aku makan malam. Omelette saja cukup. Aku lapar.”
Evi mengerjapkan matanya kemudian berusaha untuk bangun dari tidurnya. “Saya … saya capek, Pak. Saya—”
Liam menoleh dengan sorot tajam. “Jangan lupa kamu siapa di rumah ini. Kamu pelayan. Kamu bekerja di sini. Tubuhmu, waktu kamu, semuanya sekarang milikku. Jangan banyak alasan. Segera buatkan makan malam untukku.”
Kalimat itu menghujam dada Evi seperti pisau berkarat. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu perlahan turun dari ranjang.
Lututnya masih gemetar. Langkahnya goyah. Ia mengambil daster lusuh yang tergeletak di kursi, memakainya pelan, dan berjalan menuju pintu.
Langkahnya menuruni tangga berat, tapi tak bisa dihindari. Di dapur, ia menyalakan kompor. Tangannya bergerak otomatis, memecahkan telur, mencincang bawang, menuangkan susu sedikit.
Saat suara penggorengan berdesis, dia berkata lirih, “Kenapa hidupku jadi begini, Bu? Aku pikir aku hanya akan bekerja sebagai pembantu saja. Ternyata … harus menjual tubuhku juga.”
Air mata Evi jatuh lagi, kali ini masuk ke dalam adonan telur yang hampir matang.
Selesai memasak, Evi menyajikannya ke meja makan. Ia tak mengatakan apa-apa. Hanya berdiri di sudut ruangan menunggu Liam datang.
Tak lama, langkah kaki terdengar dari ruang tengah. Tapi bukan hanya satu orang. Dari arah pintu depan, suara sepatu hak tinggi menghentak lantai kayu.
“Bu Nala …,” gumam Evi pelan.
Dan benar saja, dari balik pintu, sosok anggun Nala muncul dengan tubuh ramping dalam kemeja biru tua. Rambutnya diikat rapi. Wajahnya tampak letih, namun senyumnya tetap ramah.
“Sayang, aku pulang …,” sapa Nala dengan nada ceria.
Liam muncul dari arah tangga dengan celana santai dan kaos oblongnya. Tak ada raut panik di wajahnya. Bahkan dia menyambut istrinya dengan pelukan ringan dan ciuman di pipi.
“Tumben nggak kasih kabar?” tanya Liam.
“Baru selesai dinner sama klien,” jawab Nala, lalu menatap ke arah dapur. Matanya sempat melirik Evi, yang buru-buru menunduk.
“Ah, Evi. Kamu belum tidur?” tanya Nala.
Evi memaksakan senyum, “Belum, Bu. Tadi Bapak minta dibuatkan omelette.”
“Oh ….” Nala mengangguk, lalu duduk di meja makan. “Wah, wangi. Aku juga lapar, Vi. Bisa bikinkan satu lagi buat aku?”
“Siap, Bu.” Suara Evi nyaris tak terdengar.
Saat kembali ke dapur. Namun, tiba-tiba hatinya merasa hancur. Liam bisa bersikap biasa saja seolah tak terjadi apa-apa, padahal beberapa menit lalu dia telah mencabik harga diri Evi tanpa belas kasihan.
Dan kini, istrinya sendiri duduk hanya beberapa meter dari mereka, tak tahu apa-apa.
Di ruang makan, Nala berceloteh ringan pada Liam soal proyek terbaru di kantornya. Liam sesekali tertawa, mengangguk, seperti suami ideal.
“Euh … anu. Ini ….” Evi kelagapan, bibirnya terbuka-tutup seperti ingin bicara, tapi tak satu pun kata keluar dengan lancar.Napasnya memburu, jantungnya memukul keras dari dalam dada.Dia tidak tahu harus mencari alasan apa untuk menjawab pertanyaan yang tadi dilontarkan oleh pria itu.Otaknya kosong. Panik. Bahkan kaki dan tangannya terasa seperti bukan miliknya.Liam menatap Evi tanpa ekspresi, namun dalam matanya menyala ketajaman yang tak bisa disembunyikan.Tanpa berkata apa-apa, dia langsung menarik tangan Evi dengan tegas dan membawanya masuk ke dalam lift.Tarikan itu cepat, mendadak, dan cukup kuat hingga membuat tubuh Evi sempat kehilangan keseimbangan.Evi hanya bisa menurut. Tidak ada kata, tidak ada perlawanan. Dia terlalu syok karena tertangkap basah.Langkahnya lunglai mengikuti Liam ke dalam lift, dan ketika pintu lift tertutup di belakang mereka, dunia seolah menyusut menjadi ruang se
Dering ponselnya bersuara sedari tadi dan akhirnya Evi menghentikan aktivitas mengepel lantai.Ia meletakkan kain pel yang masih basah di dalam ember, lalu mengusap tangannya ke celemek lusuh yang ia kenakan.Keningnya berkerut saat melihat nama yang tertera di layar ponsel—Nala. Hatinya langsung terasa gelisah.“Kenapa Bu Nala telepon di siang bolong begini?” gumamnya sambil menelan ludah. Ia segera menyentuh ikon hijau dan mengangkat panggilan itu. “Halo, Bu? Ada yang bisa dibantu?”Suara Nala terdengar tajam dan terburu-buru, seperti ada bara di balik kata-katanya.“Evi. Aku dapat informasi dari teman sekantor Liam. Dia lagi di hotel dan nggak tahu mau ketemuan sama siapa! Aku lagi di luar kota jadi nggak bisa buntuti dia. Kamu ke sana sekarang dan lihat dengan siapa dia masuk hotel itu!”Tubuh Evi langsung menegang mendengarnya. Ia merasa darahnya tersedot ke perut. Napasnya seketika jadi tidak ber
Waktu sudah menunjuk angka enam pagi. Evi baru keluar dari kamarnya dan langkahnya langsung terhenti ketika melihat Nala sudah duduk di meja makan seolah tengah menunggu dirinya.“Bu Nala? Sejak kapan dia ada di rumah?” gumamnya kemudian menghela napasnya dengan panjang.“Kamu sudah bangun. Bagus,” ucap Nala ketika melihat sosok Evi yang berdiri dekat dapur.Evi langsung mengangguk dan menyapa wanita itu dengan sopan. “Selamat pagi, Bu.”“Aku tidak ingin basa-basi, Evi.” Nada suara Nala langsung menembus jantung. “Aku ingin laporan.”“Laporan, Bu?” Evi mengangkat kepala dengan pelan.“Ya. Selama dua hari aku tidak ada di rumah. Apa saja yang dia lakukan? Jam berapa dia sampai? Apakah ada tamu? Telepon? Atau tanda-tanda mencurigakan lainnya?”Evi menelan ludah. Tenggorokannya mendadak kering. Dia sudah menduga Nala akan menanyakan tentang laporan lagi.
Evi mencoba menghapus bukti di ruang tengah, lututnya bertumpu di lantai dingin saat tangannya terus menggosok bantal sofa yang ternoda.Namun, sekeras apa pun dia menyeka dengan tisu basah, bercak putih itu tetap saja membandel, menyisakan jejak dari dosa yang baru saja mereka lakukan.“Astaga ... bagaimana ini? Kenapa harus meninggalkan bercak ini di sini?” gumamnya sambil mendesah panik, keringat dingin mulai bermunculan di pelipisnya.Napasnya tidak teratur. Detak jantungnya berdentam keras di dada, seolah memukul-mukul peringatan akan bahaya yang mengintai.Pandangan matanya resah menelusuri ruangan. Tirai belum ditutup sepenuhnya, aroma samar tubuh Liam dan dirinya masih tercium di udara, dan di permukaan meja kaca, masih ada sisa gelas air yang sempat dia minum setelah tubuhnya dipakai—tanpa ampun bahkan tanpa bisa menolak.Liam sendiri telah menghilang ke kamarnya, pintu kayu besar itu tertutup sejak lima belas menit lalu. Mungkin sudah mandi, membersihkan diri setelah sesi pe
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Evi baru saja selesai membersihkan dapur saat suara deru mesin mobil terdengar dari halaman depan. Lampu sorot menerpa dinding rumah, menandakan mobil baru saja berhenti.Evi membeku seketika. Pikirnya, siapa yang datang lebih dulu? Nala atau Liam? Jika Nala, dia akan terbebas dari cengkeraman Liam yang sedari tadi sudah mengirim pesan padanya agar menunggunya pulang.Namun, jika Liam, maka dia tidak bisa menolak keinginan pria itu yang sudah tak sabar ingin menyentuhnya setelah satu minggu tidak pernah menyentuhnya.Tanpa pikir panjang, Evi segera berlari ke pintu depan, membuka tirai dan mengintip ke luar. Dan benar saja, mobil Liam yang terparkir.Detik berikutnya, pintu depan terbuka.
Sudah satu minggu sejak Nala mulai menerima laporan dari Evi setiap malam. Catatan waktu, aktivitas harian Liam, dan percakapan telepon … semuanya Evi tulis rapi dalam sebuah buku kecil berwarna cokelat.Namun, tidak ada satu pun yang mencurigakan. Tidak ada bukti bahwa Liam tengah menyembunyikan sesuatu apalagi berselingkuh. Setidaknya di mata Nala. Bahkan kecurigaannya pada Evi juga mulai luntur karena tidak juga mendapat gerak-gerik mencurigakan dari wanita itu apalagi Liam.Nala tetap tenang, bahkan terlalu tenang. Ia tidak bertanya lebih jauh. Tidak ada nada curiga dalam suaranya.Justru pagi ini, saat ia mengenakan blazer biru dan sibuk merapikan dokumen, ia hanya menatap Evi sekilas lalu berkata santai, “Evi, kamu yang antar dokumen itu ke kantor Liam, ya. Aku harus meeting di Bandung sampai beso