LOGINSuasana di dalam kamar hotel itu masih dipenuhi sisa hawa panas. Seprai berantakan, aroma tubuh bercampur dengan wangi rokok Rafael yang menempel di udara.
Nala berbaring miring dan tubuhnya masih lengket oleh keringat, sementara Rafael bersandar dengan santai di kepala ranjang lalu menyalakan rokok dengan tatapan malas.
Nala, dengan rambut acak-acakan menutupi sebagian wajahnya lalu mengulurkan tangan.
“Bagi satu batang,” ucapnya pelan dengan nada serak setelah permainan panas yang baru saja terjadi.
Rafael mengangkat alis dan sedikit menyeringai, lalu menyerahkan rokok yang sudah diisapnya itu.
“Habis bercinta, kamu malah ngerokok. Nggak takut cepat tua, hah?” godanya lalu mengepulkan asap tipis.
Nala mengambil rokok itu dan menarik dalam-dalam, lalu menghembuskan asap ke arah langit-langit kamar.
Matanya menatap
Udara sore yang tadinya hangat berubah menegang dalam sekejap begitu Yonas melangkah masuk.Bayangan pria paruh baya itu seolah memenuhi seluruh ruang tamu dengan auranya yang dingin dan berwibawa.Evi yang sedang berdiri di sisi sofa langsung kaku. Napasnya tercekat di tenggorokan saat tatapan mata tajam Yonas menatap lurus ke arahnya—tatapan yang membuat jantungnya berdetak tak karuan.Namun sebelum Yonas sempat mendekat, Liam sudah melangkah cepat dan berdiri di belakang Evi, seolah menjadi benteng pelindung bagi istrinya.“Ada apa? Kalau hanya ingin melihat cucumu, lihat saja dari sini. Tapi jangan pernah mendekati istriku.” Suaranya keluar datar namun sarat dengan ancaman.Yonas tidak menjawab segera. Sebaliknya, dia hanya menatap anaknya dengan senyum tipis yang sukar dibaca, kemudian melangkah santai ke arah sofa dan duduk dengan tenang, seolah tak terganggu dengan nada keras putranya.Tatapannya beralih pada Evi yang masih berdiri tegang di tempat. “Tentu saja aku ingin meliha
Dua hari sudah Evi melewati masa rawat di rumah sakit, dan kini akhirnya dia kembali ke rumah yang selalu membuatnya merasa aman. Tapi baru saja melangkah melewati pintu, matanya langsung membulat.Balon warna-warni tergantung di langit-langit, pita biru dan putih membentang dengan tulisan besar “Welcome Home, Mommy & Baby Lucas!” di tengahnya.Di bawahnya, Selly berdiri dengan wajah sumringah sambil membawa kue kecil bertuliskan “Selamat Datang di Dunia, Lucas!”.Ardi berdiri di sampingnya, bertepuk tangan dengan gaya berlebihan seperti pembawa acara televisi.“Selamat datang kembali, Evi, Liam, dan … pangeran kecil Lucas!” seru Ardi dengan suara lantang.Evi yang masih agak lemah tertegun di tempatnya. Bibirnya bergetar menahan haru dan matanya memanas.Ia menatap Selly dan Ardi bergantian, sebelum akhirnya tersenyum dan tertawa kecil. “Ya ampun, kalian … bikin aku hampir
Setelah beberapa jam di ruang bersalin, Evi kini sudah dibawa ke ruang rawat.Di ruang rawat yang remang, hanya terdengar suara alat infus dan desahan napas lembut dari Evi yang sedang tertidur pulas.Wajahnya masih tampak lelah, tapi di balik keringat dan pucatnya, tersimpan ketenangan yang luar biasa.Tangannya yang mungil terkulai di sisi tempat tidur, dengan jari-jari yang masih sedikit menggenggam selimut putih itu.Liam duduk di kursi di samping ranjangnya, tak beranjak sejak Evi dipindahkan dari ruang bersalin.Tatapannya lekat pada wajah istrinya itu, seolah takut kalau sebentar saja dia mengalihkan pandangan, semuanya akan menghilang begitu saja.Dengan gerakan lembut, dia mengusap pucuk kepala Evi, membenarkan beberapa helai rambut yang menempel di keningnya.Senyum lirih terbit di bibir Liam. “Kamu hebat sekali, Vi,” gumamnya dengan pelan, suaranya nyaris tak terdengar.“Kamu … benar-benar lu
Udara di rumah sakit malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Bau antiseptik menusuk hidung, berpadu dengan aroma samar cairan infus dan suara langkah kaki perawat yang sibuk berlalu lalang di lorong panjang.Evi terbaring di atas ranjang bersalin, wajahnya pucat, tubuhnya bergetar menahan rasa sakit luar biasa yang datang setiap beberapa menit.Napasnya tersengal, keringat mengucur deras di pelipisnya. Tangannya mencengkeram selimut hingga buku jarinya memutih.“Sudah masuk bukaan lima, Pak. Mohon bersabar, nanti kalau sudah lengkap kami bantu proses persalinan,” ujar seorang dokter kandungan dengan suara lembut namun tegas.Liam yang berdiri di samping ranjang langsung mengangguk cepat. “Iya, Dok. Tolong bantu istri saya, ya.” Suaranya terdengar bergetar dan matanya terus memandang Evi dengan campuran panik dan takut.“Mas Liam,” suara Evi bergetar lirih. “Sakit banget ….”Liam seg
Usia kandungan Evi sudah memasuki sembilan bulan.Langit sore tampak begitu tenang, awan tipis berarak lembut, seolah ikut menikmati momen bahagia sepasang suami istri yang kini tengah berjalan menyusuri koridor toko perlengkapan bayi.Evi dan Liam tampak menonjol di antara para calon orang tua lain—Liam dengan wajah serius dan tatapan penuh perhitungan, sementara Evi dengan perut besarnya tampak cantik dalam balutan dress putih longgar yang sederhana namun anggun.“Mas Liam, jangan asal ambil begitu! Itu baju biru lagi,” omel Evi sambil menatap suaminya yang tengah memegang setelan bayi berwarna biru lembut.Liam mendengus kecil sambil menatap label harga dan bahan bajunya, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi.“Tapi yang ini bagus, Sayang. Bahannya lembut, adem, dan biru itu netral, kan?”“Netral dari mananya? Biru itu identik dengan laki-laki!” sahut Evi cepat dan alisnya naik ke atas.“T
Waktu sudah menunjuk angka empat sore dan gedung Liam masih ramai oleh para tamu yang masih betah di sana.Sementara di luar gedung, dua wanita berdiri diam—dalam diam yang bukan karena kagum, tapi karena api yang membakar dada.Sarah menggenggam tas tangannya kuat-kuat, bibirnya mengerucut penuh kekesalan.“Sial,” desisnya pelan. “Kita bahkan tidak diundang. Aku tidak percaya Liam bisa berubah sedingin ini setelah semua yang kulakukan untuknya.”Tari, yang berdiri di sampingnya menatap ke depan tanpa ekspresi.Angin sore meniup rambutnya perlahan, tapi tatapannya tetap fokus ke gedung itu—ke tempat di mana putranya sekarang berdiri dengan bangga bersama wanita yang dulu hanya dianggap ‘mantan pembantu’.“Jangan terlalu berharap dia akan memandangmu lagi, Sarah,” ucap Tari dengan nada datarnya. Suaranya terdengar dingin dan tenang, tapi menusuk.Sarah menoleh cepat. “Ja







