Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.
Evi sudah berada di dapur sejak satu jam yang lalu—sejak fajar masih pucat dan udara terasa dingin menusuk kulit—sibuk memotong sayuran, merebus kaldu, dan menyiapkan sarapan.
Aroma bawang putih yang ditumis bercampur dengan harum kaldu ayam memenuhi ruangan, namun suasana tetap terasa sepi.
Sesekali, Evi menoleh ke arah pintu yang menghubungkan dapur dengan ruang tengah. Tidak ada suara langkah kaki, tidak ada pintu kamar yang terbuka.
Dia mengernyit lalu bergumam lirih, seolah berbicara pada dirinya sendiri, “Masih pada tidur kah? Biasanya sudah pada keluar kamar,” ucapnya sambil menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa penasaran yang mulai menggelitik.
Suara derit anak tangga akhirnya memecah keheningan itu. Tidak lama, Liam muncul dengan setelan kerja yang sudah rapi, jas hitamnya terlipat sempurna di bahu, dasi
“Lihat sendiri apa yang sudah aku temukan selama ini, Rafael!”Sarah membalikkan ponselnya dan memperlihatkan sebuah foto di layar—gambar Rafael bersama Nala di sebuah hotel, terlihat jelas dari logo dan interiornya.Mata Rafael langsung membesar, pupilnya menyempit seketika. “Sarah … ini tidak seperti yang kamu pikir—”“DIAM!” potong Sarah dengan suara yang melengking, napasnya bahkan mulai memburu.“Kamu tega … tega sekali mengkhianati aku dengan wanita murahan seperti dia!”Tangannya yang bebas mengepal dengan erat dan tubuhnya sedikit bergetar karena emosi.“Kamu tahu apa yang paling membuat aku muak? Bukan cuma pengkhianatan ini, Rafael, tapi selera rendahmu itu! Nala?! Wanita kelas bawah yang bahkan tidak sepadan denganku! Kamu selingkuh dengan wanita seperti dia!”Rafael tersentak dan mencoba mendekat, tapi Sarah mundur setapak.“Sarah, dengarkan aku dulu—”“Tidak ada yang perlu aku dengar dari mulut kotormu itu, Rafael!” Sarah melangkah maju dan menusuk dada Rafael dengan telu
Di sebuah rumah mewah bergaya modern minimalis, senja mulai berganti malam.Lampu-lampu kristal di ruang tengah menyala temaram, memantulkan cahaya hangat ke seantero ruangan. Namun, kehangatan itu tak sampai ke dalam hati dua penghuninya.Di lantai dua, pintu kamar utama sedikit terbuka. Dari celahnya, terlihat Sarah duduk di depan meja rias besar yang dihiasi deretan botol parfum, lipstik, dan peralatan make up yang tertata rapi.Gaun satin warna biru tua yang ia kenakan memeluk tubuhnya dengan anggun. Rambut panjangnya tergerai, dan di tangannya ada brush make up yang bergerak perlahan, memberi sentuhan terakhir pada wajahnya.Rafael muncul di ambang pintu, langkahnya tenang namun tatapannya penuh maksud. “Sayang,” sapanya dengan lembut, suara baritonnya terdengar berusaha ramah saat memanggil nama istrinya itu.Sarah hanya melirik sekilas lewat pantulan cermin. Tatapannya datar, bibirnya tetap terkatup rapat. Tak ada respon verbal,
Liam melangkah masuk ke lobi kantornya dengan langkah panjang dan mantap.Sepatu kulit hitamnya memantulkan suara dentingan yang nyaring setiap kali menyentuh lantai marmer, membuat beberapa karyawan yang kebetulan lewat menoleh sekilas.Begitu sampai di ruangannya, Liam langsung meletakkan tas kerja di atas meja lalu menarik kursinya untuk duduk.Namun, tangannya tidak langsung membuka laptop seperti biasanya. Sebaliknya, dia meraih ponselnya dan menekan nomor yang sudah dihafalnya di luar kepala.Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum akhirnya suara berat Raka, kuasa hukum perceraiannya menjawab.“Pagi, Pak Liam. Ada kabar apa?” tanyanya kemudian.Liam menyandarkan punggung di kursi dan menghela napasnya. “Kapan surat panggilan sidang akan turun?” tanyanya to the point.Raka terdengar membolak-balikkan beberapa berkas di seberang sana sebelum menjawab, “Dalam minggu ini, Pak Liam. Saya sudah pantau di pengadilan, tinggal menunggu proses administrasi. Paling lambat Jumat, surat
“Liam?!”Suara itu memecah udara pagi yang sebelumnya hanya diisi bunyi sendok beradu pelan di cangkir kopi.Nada panggilannya tajam, nyaring, dan penuh tuntutan, membuat Liam dan Evi spontan menoleh bersamaan.Dari ambang pintu utama, berdirilah seorang wanita paruh baya dengan tatapan menusuk—Tari, ibunya Liam. Kehadirannya begitu tiba-tiba, tanpa kabar sebelumnya, membuat Liam seketika merasa ada sesuatu yang tidak beres.“Mama?” Liam melangkah cepat menghampiri, masih dengan raut bingung yang sulit disembunyikan.Sementara itu, Evi membeku di tempatnya. Kedua tangannya yang tadi memegang lap kain kini saling menggenggam erat di depan perut, jemarinya memainkan ujung kain itu gelisah.“Apa yang kamu lakukan, Liam? Apa Mama tidak salah lihat?” tanya Tari tegas, matanya bergeser tajam dari putranya ke Evi, lalu kembali ke Liam.Liam menelan ludah mencoba meredam detak jantung yang tiba-tiba bertambah cepat.“Sejak kapan Mama berdiri di sini? Apa saja yang Mama dengar dari percakapan
Malam itu, jarum jam sudah tepat menunjuk angka tujuh.Liam sudah tiba lebih dulu ke rumah padahal biasanya dia akan pulang jam sembilan atau sekitar jam sepuluh.Satu tangan memegang cangkir kopi sementara tatapannya fokus pada layar ponsel, seperti tengah memeriksa sesuatu yang penting.Setelah menaruh nampan di atas meja, Evi kemudian duduk di samping Liam dengan napas beratnya.“Ada apa, Evi? Ada yang ingin kamu tanyakan?” tanya Liam kemudian.Evi mengangguk dengan pelan. Matanya menatap lekat wajah pria di hadapannya itu.“Kenapa nggak bilang kalau habis ketemu sama Bu Sarah kemarin?” tanyanya dengan suara pelan.Liam mendongak dengan satu alisnya terangkat. “Hm?” gumamnya sedikit terkejut. “Sejak kapan kamu tanya kayak gini?” Senyum tipis terbit di sudut bibirnya. “Kamu cemburu, ya?”Evi langsung menghela napas. “Nggak usah ngelawak, Pak. Sa-saya cuma tanya. Saya hanya ingin tahu kenapa Pak Liam tumben sekali nggak bilang habis bertemu dengan Bu Sarah? Itu saja kok.”Liam terkek
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Evi sudah berada di dapur sejak satu jam yang lalu—sejak fajar masih pucat dan udara terasa dingin menusuk kulit—sibuk memotong sayuran, merebus kaldu, dan menyiapkan sarapan.Aroma bawang putih yang ditumis bercampur dengan harum kaldu ayam memenuhi ruangan, namun suasana tetap terasa sepi.Sesekali, Evi menoleh ke arah pintu yang menghubungkan dapur dengan ruang tengah. Tidak ada suara langkah kaki, tidak ada pintu kamar yang terbuka.Dia mengernyit lalu bergumam lirih, seolah berbicara pada dirinya sendiri, “Masih pada tidur kah? Biasanya sudah pada keluar kamar,” ucapnya sambil menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa penasaran yang mulai menggelitik.Suara derit anak tangga akhirnya memecah keheningan itu. Tidak lama, Liam muncul dengan setelan kerja yang sudah rapi, jas hitamnya terlipat sempurna di bahu, dasi