MasukAruna bergegas pergi ke bank untuk mencairkan uang yang sudah diberikan oleh Raka. Awalnya dia ingin menulis dua ratus juta, sebagian untuk biaya perawatan anaknya.
Namun, dia urungkan. Aruna tetap menuliskan nominal sesuai dengan keperluannya saja.
Setelah beberapa menit berlalu, uang sudah ada di tangannya. Dia bergegas kembali ke rumah sakit untuk segera membayar administrasi biaya operasi sang anak.
Hanya membutuhkan waktu lima belas menit saja dia sudah sampai di sana. Aruna langsung membayar secara tunai uang yang diminta oleh pihak rumah sakit.
“Tolong, segera atur jadwal operasi anak saya,” pinta Aruna dengan nada memohon.
Pelayan rumah sakit langsung mengangguk dan segera mengurus segala berkas yang diperlukan.
Aruna menunggu dengan cemas di kursi tunggu. Kedua tangannya menggenggam erat tas kecil yang kini terasa begitu berat, seolah menyimpan seluruh harapannya.
Sesekali dia melirik ke arah ruang perawatan anaknya. Dari balik kaca, terlihat tubuh mungil yang masih terbaring lemah dengan berbagai selang menempel. Air mata Aruna kembali jatuh tanpa bisa ditahan.
Tak lama kemudian, seorang dokter keluar dari ruangan administrasi sambil membawa berkas. “Nyonya Aruna?” panggilnya.
Aruna segera berdiri. “Iya, Dok. Bagaimana dengan jadwal operasi anak saya?” tanyanya dengan suara bergetar.
“Semua sudah siap. Karena kondisinya cukup mendesak, kami akan melakukan operasi malam ini juga. Mohon Anda menyiapkan diri secara mental. Operasi ini tidak mudah, tapi kami akan berusaha sebaik mungkin.”
Aruna menganggukkan kepalanya dengan cepat. “Apa pun risikonya, tolong selamatkan anak saya, Dok. Saya mohon.”
Dokter itu menatapnya penuh pengertian, lalu menepuk bahunya. “Percayakan pada kami.”
Aruna kembali ke ruang perawatan. Ia duduk di tepi ranjang seraya menggenggam tangan kecil sang anak. “Sayang, sebentar lagi kau akan sembuh. Mama janji, kau akan bisa bermain lagi. Kau akan bisa berlari di taman seperti dulu.”
Maggie—sahabat dekat Aruna datang dan langsung menghampiri Aruna. “Bagaimana, Aruna?” tanyanya kemudian.
“Aku sudah mendapatkan uangnya dan ….” Aruna menghela napas kasar. “Aku akan menceritakan semuanya padamu setelah kembali.”
“Kembali?” Maggie mengerutkan keningnya. “Apa maksudmu? Kau mau pergi ke mana, Aruna?”
“Aku harus bertemu dengan orang yang sudah memberiku uang. Aku titip Nayla padamu, Maggie. Kalau terjadi sesuatu, segera hubungi aku.”
Aruna langsung pamit tanpa memberi kesempatan Maggie untuk bicara lagi. Langkahnya sangat lebar dan cepat menuju kantor Raka.
**
Aruna melangkah keluar dari rumah sakit dengan hati yang kacau.
Begitu banyak hal berputar di kepalanya: rasa syukur karena Nayla akan segera dioperasi, ketakutan akan hasil operasi itu, dan kegelisahan besar karena dia harus memenuhi janji kepada Raka—pria yang selama ini justru ingin dia jauhi.
Taksi yang dia tumpangi melaju membelah jalan kota, membawa tubuhnya yang gelisah menuju kantor megah milik Raka.
Sesampainya di sana, Aruna menaiki lift menuju lantai tertinggi di gedung itu.
Pintu lift terbuka. Di ujung lorong, pintu kaca besar dengan nama RAKA PRADITYA tertera jelas.
Aruna menarik napas panjangnya berusaha menenangkan degup jantungnya, lalu mengetuk pelan.
“Masuk,” terdengar suara berat dari dalam.
Aruna membuka pintu dan benar saja, Raka masih duduk di balik meja kerjanya.
Jas hitamnya terlepas, dasinya dilonggarkan, tetapi sorot matanya tetap tajam menusuk.
“Aku lihat kau sudah mengambil uang itu,” ucap Raka tanpa ekspresi dan pandangannya menelusuri wajah Aruna yang tampak letih.
“Aku sudah membayar biaya operasi Nayla. Mereka akan melakukan operasi itu malam ini,” kata Aruna dengan nada lirihnya.
Raka lantas bersandar di kursinya dan menyilangkan tangan di dada menatap datar wajah Aruna.
“Bagus. Itu berarti kau sudah menepati separuh dari kesepakatan kita.”
Aruna menelan ludahnya mendengar ucapan dari mantan suaminya itu.
Raka kemudian bangkit dari kursinya dan berjalan pelan menghampiri Aruna.
Tubuh jangkungnya berdiri begitu dekat hingga Aruna bisa merasakan aroma maskulin yang familiar, aroma yang dulu begitu dia rindukan.
“Sekarang giliranmu menepati janjimu,” bisik Raka seraya menatap datar wajah Aruna.
Usia kandungan Aruna sudah memasuki sembilan dan kini wanita itu sedang berbaring di tempat tidur, tangannya menggenggam selimut, dan wajahnya meringis menahan nyeri yang datang bergelombang.“Raka,” bisiknya pelan, dan napasnya tersengal. “Sepertinya … waktunya sudah dekat.”Raka yang semula sedang menyiapkan susu hangat di meja, langsung berbalik dengan mata membesar.“Sekarang?” suaranya meninggi, tapi cepat-cepat ia menenangkan diri. “Oke, oke … tenang, aku di sini.”Ia berlari ke lemari, menarik koper yang sejak dua minggu lalu sudah disiapkan berisi perlengkapan rumah sakit, pakaian bayi, dan dokumen penting.Tangannya sedikit gemetar saat memeriksa ulang semuanya. “Handuk kecil? Ada. Selimut bayi? Ada. Oh Tuhan, aku lupa pampers ukuran newborn.”“Raka.” Suara Aruna memanggil lembut, di sela kontraksi. “Aku baik-baik saja. Jangan panik, ya?”Lelaki itu berhenti sejenak, menatap wajah istrinya yang kini tampak pucat tapi tetap berusaha tersenyum.Ia menarik napas panjang, menundu
Dua bulan kemudian.Pagi itu, matahari baru saja menembus celah tirai kamar mereka. Aruna duduk di tepi tempat tidur, memegangi perutnya sambil menarik napas panjang.Sudah tiga hari terakhir tubuhnya terasa aneh — mual setiap kali mencium aroma kopi Raka, pusing ringan, dan cepat lelah meski tidak banyak beraktivitas.Ia mencoba tersenyum menenangkan diri, tapi saat bangkit hendak berjalan ke kamar mandi, kepalanya berputar.“Aruna?” Suara Raka terdengar dari arah pintu.Lelaki itu baru saja selesai jogging dan terkejut melihat istrinya memegangi meja rias sambil menunduk. “Kau baik-baik saja?” tanyanya cepat, menghampiri dengan wajah cemas.Aruna menggeleng pelan. “Entahlah … mungkin karena perut kosong,” gumamnya, mencoba terdengar ringan. Tapi ekspresi pucat di wajahnya membuat Raka semakin khawatir.“Tidak, ini bukan sekadar lapar,” ujarnya tegas. “Aku akan panggil dokter.”“Tidak perlu panik begitu, Raka.” Aruna mencoba menenangkan, tapi suaminya sudah mengambil kunci mobil.“Ki
Pagi itu udara terasa lebih segar dari biasanya. Sinar matahari menerobos lembut melalui tirai tipis kamar mereka, menyingkap pemandangan halaman rumah yang basah oleh embun.Dari dapur terdengar suara gemericik air, dentingan sendok, dan aroma roti panggang yang baru keluar dari toaster.Aruna berdiri di depan meja dapur dengan celemek bermotif bunga kecil yang dulu dibelikan Raka.Rambutnya diikat asal dengan jepit besar, beberapa helaian terlepas menutupi wajahnya yang belum sepenuhnya berias. Tapi justru di situlah pesonanya—alami, lembut, dan begitu rumah.Di meja, ada sepiring telur orak-arik, potongan buah segar, dan dua cangkir kopi panas. Aruna menata semuanya dengan rapi sambil bersenandung pelan.“Wangi apa ini?” suara berat Raka terdengar dari arah ruang tengah.Aruna menoleh. Raka baru turun dari lantai atas, mengenakan kaus putih polos dan celana kain hitam, rambutnya sedikit berantakan, namun tetap tampan seperti biasa. Ia berjalan santai sambil mengucek mata, lalu berh
Sudah dua minggu berlalu dan kini mereka sudah kembali ke rumah.Mobil hitam itu berhenti di depan rumah yang sudah hampir dua minggu mereka tinggalkan. Langit sore itu berwarna lembut, cahaya matahari menembus pepohonan yang rindang di halaman depan.Dari balik kaca mobil, Aruna menatap rumah mereka—tempat segala hal dimulai, dan kini, tempat segalanya kembali utuh.Raka turun lebih dulu, lalu bergegas membuka pintu untuk Aruna. Ia menatap istrinya yang masih memeluk tas kecil di pangkuannya. “Sudah siap, Bu Mama?” godanya sambil tersenyum.Aruna terkekeh kecil. “Aku bahkan tidak sabar.”Belum sempat mereka melangkah ke teras, suara kecil yang familiar terdengar dari balik pintu. “Papaaa! Mamaaa!”Pintu terbuka lebar, dan sosok mungil berambut kuncir dua langsung berlari dengan kecepatan penuh ke arah mereka. Nayla.Aruna berjongkok, dan gadis kecil itu langsung menubruk pelukannya. “Mamaaa! Aku kangeeen!” serunya dengan suara bergetar. Aruna memeluk Nayla erat-erat, mencium rambut d
Sore itu, sinar matahari menembus jendela besar vila dan menciptakan warna keemasan di seluruh ruangan.Raka sedang duduk di balkon, membaca buku tipis sambil menikmati suara deburan ombak yang menenangkan.Sementara itu, Aruna sibuk menata rambutnya di depan cermin, mengenakan gaun santai berwarna putih.Hari mereka berjalan begitu damai. Tidak ada rapat, tidak ada telepon kantor, hanya mereka berdua dan ketenangan yang sudah lama mereka rindukan.Namun di balik keheningan itu, ada sesuatu yang terasa kurang — suara tawa Nayla yang biasanya memenuhi rumah.Aruna menatap layar ponselnya yang tergeletak di meja, menimbang-nimbang apakah ia harus menelepon.Tapi sebelum sempat menekan tombol panggil, layar itu tiba-tiba bergetar. Nama yang muncul di sana membuatnya tersenyum lebar.“Nayla. Video Call”Aruna segera menjawab panggilan itu. “Sayang!” serunya riang.Wajah kecil Nayla muncul di layar, pipinya chubby, rambutnya diikat dua seperti biasa.Ia tampak sedang duduk di ruang tengah
Pagi itu, vila yang mereka tinggali terasa begitu tenang. Hanya suara ombak lembut yang datang dari kejauhan, sesekali disertai desir angin yang menerpa tirai putih di balkon kamar mereka.Aruna masih meringkuk di tempat tidur, rambutnya berantakan dan wajahnya tampak begitu damai.Raka berdiri di dekat pintu, menatap pemandangan itu dengan senyum kecil. Ada rasa yang sulit dijelaskan setiap kali melihat Aruna dalam keadaan seperti itu—tenang, lembut, tanpa beban. Ia ingin pagi ini menjadi sesuatu yang istimewa.Tanpa membangunkannya, Raka berjalan pelan keluar kamar, menutup pintu rapat-rapat. Ia melangkah menuju dapur vila yang luas dengan aroma roti panggang yang samar. Di sana, seorang koki paruh baya sedang merapikan meja.“Selamat pagi, Tuan Raka,” sapa sang koki ramah. “Mau saya siapkan sarapan seperti biasa?”Raka mengangkat tangan cepat-cepat. “Tidak, tidak perlu. Kali ini saya ingin mencobanya sendiri.”Koki itu menaikkan alis. “Maksudnya, Anda mau memasak sendiri?”Raka men







