Masuk“Tidak di sini. Aku tidak akan mengotori tempat kerjaku hanya untuk menyentuh tubuhmu lagi!”
Raka mengambil kunci mobilnya di meja kerjanya dan mengancingkan jas hitamnya.
“Ikut aku!” ucapnya dan keluar dari ruangan itu.
Aruna mengerutkan kening dan berjalan di belakang Raka. Entah mau dibawa ke mana dirinya, Aruna tidak ingin bertanya, tapi sebenarnya penasaran.
“Masuk,” titah Raka begitu mereka tiba di basement.
Aruna menoleh sebentar ke arah Raka sebelum masuk ke dalam mobil sedan hitam milik pria itu.
Napas panjang dia tarik sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil tanpa banyak kata.
Begitu pintu tertutup, suara mesinnya bergemuruh dan membawa mereka meluncur ke jalanan yang tampak sepi.
Hening.
Hanya suara ban melibas aspal basah dan dentuman halus musik klasik dari radio mobil. Raka menyetir dengan tatapan lurus ke depan, seolah Aruna tak ada di kursi sampingnya.
Aruna menggenggam erat pangkuannya, jari-jarinya saling mengait. Perutnya terasa mual oleh gugup. Ia ingin bicara, tapi takut. Namun keheningan itu semakin menyiksa.
“Apa kau benar-benar harus melakukan ini, Raka?” akhirnya suara Aruna pecah.
“Apakah tidak ada cara lain? Aku sudah berjanji akan melakukan apa pun demi Nayla. Tapi cara ini … ini terlalu kejam.”
Raka menoleh sekilas menatap dingin wajah Aruna. “Kau pikir aku akan memberi jalan mudah setelah semua yang kau lakukan padaku? Kau tidak berhak meminta syarat lain, Aruna.”
Aruna menggigit bibirnya menahan air mata yang ingin keluar dari matanya.
“Aku tahu aku salah. Tapi setidaknya … lakukan ini karena dia. Karena putrimu. Jangan hukum aku dengan melibatkan Nayla. Dia tidak bersalah!”
Mobil melaju lebih cepat. Raka menekan pedal gas dan suara mesin meraung di jalanan yang sepi itu.
“Justru karena dia putriku, aku berhak memutuskan. Aku sudah terlalu lama disingkirkan. Sekarang giliranmu yang merasakan sakitnya kehilangan kendali.”
Aruna menolehkan kepalanya dan menatap Raka dengan tatapan yang tajam. “Kau bicara seolah balas dendammu lebih penting dari keselamatan anakmu sendiri. Kau tega, Raka. Kau bukan lelaki yang dulu pernah kucintai.”
Senyum tipis terulas di bibir Raka, ada getir dan pahit. “Kau benar. Lelaki itu sudah mati sejak hari kau pergi meninggalkanku dengan pria itu. Yang tersisa hanyalah aku yang sekarang—lelaki yang kau bentuk dengan pengkhianatanmu sendiri.”
Aruna memejamkan matanya dengan erat. Ingin rasanya dia bicara bahwa yang jahat adalah ibunya—Deasy. Tapi, semuanya pasti akan sia-sia. Bisa saja Raka tidak akan percaya padanya.
Beberapa menit berlalu dalam hening yang tegang.
Aruna menatap pantulan wajahnya sendiri di kaca. Pucat, lelah, dengan mata yang sembab. Ia nyaris tak mengenali dirinya sendiri di pantulan kaca itu.
Mobil berbelok keluar dari jalan raya utama dan memasuki kawasan perumahan mewah di pinggiran kota.
Jalanan lebih sepi, lampu jalan yang jarang, hanya cahaya bulan samar menembus kabut.
Aruna menatap sekeliling dengan cemas. “Kita akan pergi ke mana?” tanyanya ragu.
Raka tersenyum samar dan matanya tetap menatap jalanan yang sepi itu. “Ke rumah baruku. Baru kubeli satu tahun setelah kita berpisah!”
Aruna meremas lututnya hingga tubuhnya terasa kaku. Nafasnya tercekat. Ia tahu ia sudah tidak bisa mundur.
Mobil berhenti di depan sebuah rumah besar bergaya Victoria, berdiri anggun namun dingin di tengah pekat malam.
Pagar besi terbuka otomatis dan mobil meluncur masuk ke halaman luas yang diterangi lampu taman.
Aruna terpaku menatap bangunan itu. Hatinya berdegup tak karuan. Rumah megah itu seolah menjadi simbol penjara baru yang siap mengurungnya.
Raka mematikan mesin lalu menoleh padanya. Senyum misterius kembali terlukis di wajahnya. “Sudah sampai.”
Aruna menggenggam tas kecil di pangkuannya. Ia menatap pintu rumah besar itu, seolah di baliknya menunggu takdir yang akan mengubah segalanya.
Begitu pintu mobil terbuka, Aruna berdiri menatap bangunan megah itu dengan napas tercekat.
“Kenapa kau membeli rumah sebesar ini padahal tinggal sendiri?” tanya Aruna dengan nada pelan.
Raka menaikan alisnya menatap Aruna. “Siapa bilang aku tinggal sendiri?”
Ucapan itu tentu saja membuat kening Aruna mengkerut. “Maksudmu?”
Usia kandungan Aruna sudah memasuki sembilan dan kini wanita itu sedang berbaring di tempat tidur, tangannya menggenggam selimut, dan wajahnya meringis menahan nyeri yang datang bergelombang.“Raka,” bisiknya pelan, dan napasnya tersengal. “Sepertinya … waktunya sudah dekat.”Raka yang semula sedang menyiapkan susu hangat di meja, langsung berbalik dengan mata membesar.“Sekarang?” suaranya meninggi, tapi cepat-cepat ia menenangkan diri. “Oke, oke … tenang, aku di sini.”Ia berlari ke lemari, menarik koper yang sejak dua minggu lalu sudah disiapkan berisi perlengkapan rumah sakit, pakaian bayi, dan dokumen penting.Tangannya sedikit gemetar saat memeriksa ulang semuanya. “Handuk kecil? Ada. Selimut bayi? Ada. Oh Tuhan, aku lupa pampers ukuran newborn.”“Raka.” Suara Aruna memanggil lembut, di sela kontraksi. “Aku baik-baik saja. Jangan panik, ya?”Lelaki itu berhenti sejenak, menatap wajah istrinya yang kini tampak pucat tapi tetap berusaha tersenyum.Ia menarik napas panjang, menundu
Dua bulan kemudian.Pagi itu, matahari baru saja menembus celah tirai kamar mereka. Aruna duduk di tepi tempat tidur, memegangi perutnya sambil menarik napas panjang.Sudah tiga hari terakhir tubuhnya terasa aneh — mual setiap kali mencium aroma kopi Raka, pusing ringan, dan cepat lelah meski tidak banyak beraktivitas.Ia mencoba tersenyum menenangkan diri, tapi saat bangkit hendak berjalan ke kamar mandi, kepalanya berputar.“Aruna?” Suara Raka terdengar dari arah pintu.Lelaki itu baru saja selesai jogging dan terkejut melihat istrinya memegangi meja rias sambil menunduk. “Kau baik-baik saja?” tanyanya cepat, menghampiri dengan wajah cemas.Aruna menggeleng pelan. “Entahlah … mungkin karena perut kosong,” gumamnya, mencoba terdengar ringan. Tapi ekspresi pucat di wajahnya membuat Raka semakin khawatir.“Tidak, ini bukan sekadar lapar,” ujarnya tegas. “Aku akan panggil dokter.”“Tidak perlu panik begitu, Raka.” Aruna mencoba menenangkan, tapi suaminya sudah mengambil kunci mobil.“Ki
Pagi itu udara terasa lebih segar dari biasanya. Sinar matahari menerobos lembut melalui tirai tipis kamar mereka, menyingkap pemandangan halaman rumah yang basah oleh embun.Dari dapur terdengar suara gemericik air, dentingan sendok, dan aroma roti panggang yang baru keluar dari toaster.Aruna berdiri di depan meja dapur dengan celemek bermotif bunga kecil yang dulu dibelikan Raka.Rambutnya diikat asal dengan jepit besar, beberapa helaian terlepas menutupi wajahnya yang belum sepenuhnya berias. Tapi justru di situlah pesonanya—alami, lembut, dan begitu rumah.Di meja, ada sepiring telur orak-arik, potongan buah segar, dan dua cangkir kopi panas. Aruna menata semuanya dengan rapi sambil bersenandung pelan.“Wangi apa ini?” suara berat Raka terdengar dari arah ruang tengah.Aruna menoleh. Raka baru turun dari lantai atas, mengenakan kaus putih polos dan celana kain hitam, rambutnya sedikit berantakan, namun tetap tampan seperti biasa. Ia berjalan santai sambil mengucek mata, lalu berh
Sudah dua minggu berlalu dan kini mereka sudah kembali ke rumah.Mobil hitam itu berhenti di depan rumah yang sudah hampir dua minggu mereka tinggalkan. Langit sore itu berwarna lembut, cahaya matahari menembus pepohonan yang rindang di halaman depan.Dari balik kaca mobil, Aruna menatap rumah mereka—tempat segala hal dimulai, dan kini, tempat segalanya kembali utuh.Raka turun lebih dulu, lalu bergegas membuka pintu untuk Aruna. Ia menatap istrinya yang masih memeluk tas kecil di pangkuannya. “Sudah siap, Bu Mama?” godanya sambil tersenyum.Aruna terkekeh kecil. “Aku bahkan tidak sabar.”Belum sempat mereka melangkah ke teras, suara kecil yang familiar terdengar dari balik pintu. “Papaaa! Mamaaa!”Pintu terbuka lebar, dan sosok mungil berambut kuncir dua langsung berlari dengan kecepatan penuh ke arah mereka. Nayla.Aruna berjongkok, dan gadis kecil itu langsung menubruk pelukannya. “Mamaaa! Aku kangeeen!” serunya dengan suara bergetar. Aruna memeluk Nayla erat-erat, mencium rambut d
Sore itu, sinar matahari menembus jendela besar vila dan menciptakan warna keemasan di seluruh ruangan.Raka sedang duduk di balkon, membaca buku tipis sambil menikmati suara deburan ombak yang menenangkan.Sementara itu, Aruna sibuk menata rambutnya di depan cermin, mengenakan gaun santai berwarna putih.Hari mereka berjalan begitu damai. Tidak ada rapat, tidak ada telepon kantor, hanya mereka berdua dan ketenangan yang sudah lama mereka rindukan.Namun di balik keheningan itu, ada sesuatu yang terasa kurang — suara tawa Nayla yang biasanya memenuhi rumah.Aruna menatap layar ponselnya yang tergeletak di meja, menimbang-nimbang apakah ia harus menelepon.Tapi sebelum sempat menekan tombol panggil, layar itu tiba-tiba bergetar. Nama yang muncul di sana membuatnya tersenyum lebar.“Nayla. Video Call”Aruna segera menjawab panggilan itu. “Sayang!” serunya riang.Wajah kecil Nayla muncul di layar, pipinya chubby, rambutnya diikat dua seperti biasa.Ia tampak sedang duduk di ruang tengah
Pagi itu, vila yang mereka tinggali terasa begitu tenang. Hanya suara ombak lembut yang datang dari kejauhan, sesekali disertai desir angin yang menerpa tirai putih di balkon kamar mereka.Aruna masih meringkuk di tempat tidur, rambutnya berantakan dan wajahnya tampak begitu damai.Raka berdiri di dekat pintu, menatap pemandangan itu dengan senyum kecil. Ada rasa yang sulit dijelaskan setiap kali melihat Aruna dalam keadaan seperti itu—tenang, lembut, tanpa beban. Ia ingin pagi ini menjadi sesuatu yang istimewa.Tanpa membangunkannya, Raka berjalan pelan keluar kamar, menutup pintu rapat-rapat. Ia melangkah menuju dapur vila yang luas dengan aroma roti panggang yang samar. Di sana, seorang koki paruh baya sedang merapikan meja.“Selamat pagi, Tuan Raka,” sapa sang koki ramah. “Mau saya siapkan sarapan seperti biasa?”Raka mengangkat tangan cepat-cepat. “Tidak, tidak perlu. Kali ini saya ingin mencobanya sendiri.”Koki itu menaikkan alis. “Maksudnya, Anda mau memasak sendiri?”Raka men







